Thursday, October 3, 2024

Agama Global

 

Agama Global Katolik VS Protestan: Indiferentisme dan Non-Indiferentisme agama

Agama global menurut saya bisa muncul dengan pemaksaan, dan percampuran. Tapi menurut saya kehadiran agama global itu tidak mungkin dan terlalu banyak persoalan yang muncul ketika menghadirkannya.

Untuk memahami itu saya mencoba akan memaparkan Pluralisme Agama Indiferentisme dan Non-Indiferentisme.

Usaha menyamakan agama dengan memegang konsep pluralisme indiferentisme akan berbahaya jatuh mencampurkan agama-agama, atau sinkretisme, tapi itu pun tidak akan menimbulkan agama global, sebaliknya akan menghadirkan agama baru yang akan menambah keragaman.

Sebaliknya menerima Pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama juga perlu waspada pada pengakuan sebagai agama yang paling benar, dan melabelkan agama lain sesat, serta memaksa semua agama harus bergabung pada agama yang paling  benar itu.

Memahami Pluralisme Agama, atau mungkin ada yang lebih suka menggunakan pluralitas agama, karena alergi dengan label sesat yang kerap dituduhkan pada penganut pluralism.

Pluralisme agama menurut saya lebih baik dipahami sebagai pengakuan bahwa agama-agama itu pada realitasnya berbeda, tetapi sama-sama mengakui adanya Tuhan yang satu, untuk Indonesia istilah Pluralisme agama itu dinyatakan dalam pernyataan sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika kita melakukan penelitian, dan narasumber kita adalah dari berbagai agama yang ada di Indonesia, misalnya saja tentang jalan keselamatan, maka kita akan menemukan bahwa agama-agama yang ada di Indonesia itu memiliki jalan keselamatan yang berbeda, kesimpulan dalam penelitian kualitatif biasanya kita menyatakan terdapat variasi jalan keselamatan agama-agama, artinya agama-agama itu bervariasi, atau berbeda-beda.

Kemudian jika kita Tanya lagi kepada narasumber kita yang berasal dari berbagai agama yang ada di Indonesia mengenai kepercayaan pada Tuhan atau sesuatu yang ilahi, maka kita akan menemukan bahwa semua agama di Indonesia percaya kepada Tuhan atau yang ilahi. Itulah sebabnya Presiden Sukarno mengatakan bahwa orang Indonesia adalah orang yang ber-Tuhan, Tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, itulah sebabnya sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kesimpulannya adalah Indonesia mengakui banyak agama, agama yang berbeda-beda, tetapi memiliki sumber yang sama yaitu Tuhan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia.

Jadi Berdasarkan sila ketuhanan yang maha esa itu dapat dipahami bahwa manusia Indonesia percaya adanya Tuhan atau yang ilahi Yang Maha Esa. Jadi Pluralisme agama berdasarkan Pancasila tidak menyamakan agama-agama (Indiferentisme), Tetapi Pluralisme Non-Indiferentisme, Pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama.

Pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama

Jadi pluralisme agama yang tidak menyamakan agama-agama adalah perjumpaan agama-agama untuk terus membangun dasar bersama dengan menemukan nilai-nilai inklusif yang dapat jadi pijakan bersama.

Kebijakan publik yang non deskriminatif terhadap agama adalah hasil dari perjumpaan agama-agama yang memberikan nilai-nilai inclusive bersamanya sebagai dasar bersama.

Agama-agama yang berbeda itu berjalan bersama di atas dasar niai-nilai agama yang eksklusif dan inklusif, dan terus memperkaya diri dalam perjumpaan-perjumpaan yang saling memperkaya diri dengan berpegang pada nilai-nilai inklusif agama, dan secara bersamaan menguatkan nilai-nilai eksklusif agama yang berbeda itu.

Perjumpaan agama-agama yang jujur menurut saya adalah keterbukaan akan adanya nilai-nilai eksklusif agama, dan secara bersamaan juga dapat bergaul dengan jujur dengan agama-agama yang berbeda karena semua agama-agama itu pada realitasnya memang memiliki nilai-nilai inklusif.

Nilai-nilai eksklusif agama perlu diakui dengan jujur, karena itu adalah perjumpaan khusus individu atau komunitas agama tertentu dengan Tuhan. Namun perlu diakui bahwa nilai-nilai itu absolut untuk diri individu atau komunitas agama itu , dan tidak perlu dipaksakan kepada yang lain.

Nilai-nilai agama itu absolut relative, absolut karena merupakan pengalaman nyata perjumpaan individu ata komunitas agama itu, tapi tak dapat digeneralisasi apalagi dipaksakan untuk semua. Pengalaman subyektif hanya benar untuk mereka yang mengalaminya, namun agama yang berbeda tidak perlu menjadi hakim untuk menentukan, mana agama yang benar dan mana yang salah.

Menurut saya pemahaman terkait pluralism agama menjadi penting untuk menghadirkan perjumpaan agama-agama dalam menghadirkan nilai-nilai bersama yang menjadi pijakan bersama agama-agama yang berbeda itu , untuk bergaul dengan saling menghargai sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Labelisasi bidat.

Labelisasi bidat untuk sebuah aliran gereja atau agama, secara khusus untuk agama dan kepercayaan yang dipeluk masyarakat Indonesia dan di lindungi undang-undang adalah tidak tepat.

Indonesia menempatkan agama pada tempat terhormat. Agama yang berbeda dan beragam itu memiliki kedudukan sama dihadapan hukum. Semua gereja, agama, kepercayaan diakui keberadaannya di Indonesia, dan perlu bergaul dengan semangat persaudaraan.

Tuduhan sesat terhadap gereja Katolik yang disampaikan apologet yang mengaku dari aliran Protestan tentu saja membuat masyarakat Indonesia terlukai. Demikian juga tuduhan bidat kepada Protestan yang ditujukan apologet Katolik melukai umat Katolik.

Katolik dan Protestan adalah agama yang diakui di Indonesia, dan Katolik dan Protestan memiliki Dirjen masing-masing di kementerian agama, artinya Katolik dan Protestan keberadaannya di Indonesia dilindungi undang-undang.

Konflik masa lampau antara Protestan dan Katolik sebenarnya tak perlu diwarisi generasi saat ini, apalagi di Indonesia yang menempatkan Katolik dan Protestan sama dihadapan hukum, secara khusus dalam pengakuan sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedatangan Paus Fransiskus yang membawa berita perdamaian yang amat memesona dengan kesederhanannya menuai pujian secara luas dari berbagai agama, hal itu mestinya perlu diteladani.

Umat Katolik perlu terus mengumandangkan warta damai itu untuk tetap lestari di Indonesia. Demikian juga para apologet yang menyebut diri apologet Protestan perlu belajar dan tidak arogan serta merasa diri paling benar, apalagi merasa memiliki kebenaran yang absolut serta memiliki kunci pintu keselamatan tunggal. Keselamatan itu tak pernah pindah dari tangan Tuhan ke tangan manusia.

Debat dengan melabelkan yang berbeda sebagai aliran  sesat akan membangkitkan intoleransi agama yang berujung pada konflik antarmereka yang saling menyesatkan.

Indonesia tersohor dengan toleransinya. Diskusi agama dan perjumpaan agama-agama di Indonesia tidak perlu saling mengalahkan, sebaliknya perlu saling belajar untuk saling memperkaya agama-agama yang berbeda.

Apabila agama-agama itu mau saling belajar, maka bukan hanya pengetahuan akan perbedaan agama yang diapahami, tetapi juga pengetahuan itu akan menolong agama-agama itu memahami agama mereka secara lebih baik.

Perjumpaan saya dengan berbagai agama telah membawa saya kepada pemahaman tentang agama-agama yang berbeda, dan memperdalam pemahaman tentang agama yang saya anut. Kiranya dialog damai yang tidak saling mengalahkan dapat menggantikan debat yang saling menaklukkan. Salam damai.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

 

 https://www.binsarinstitute.id/2024/10/agama-global.html

 

 

Indiferentisme vs Non-Indiferentisme

 

 

Indiferentisme vs Non-Indiferentisme

 

 Hari ini saya akan menjawab tuduhan Patris Allegro yang diterbitkan pada tanggal 3 Oktober 2024 yang secara langsung ditujukan kepada Dr. Binsar Hutabarat, tapi dalam  judul video nama saya ditulis Binsar Sitompul.

Patris Allegro mengatakan bahwa saya Dr. BinsarAntoni Hutabarat adalah relativisme yang melanggar prinsip agama. Patris Allegro mengingatkan saya agar tidak jatuh pada relativisme moral yang sama sekali saya belum pernah bahas di video.

Patris Allegro juga menuduh saya Indiferentisme yang menyamakan agama-agama, yang menurut Patris Allegro terungkap ketika dia mendengarkan video saya.

Pertama-tama saya juga berterima kasih kepada Patris Allgro yang menyatakan dia bukanlah peneliti empiris. Tapi lebih kepada peneliti agama atau teologi berdasarkan iman dengan menggunakan alat analisis filsafat.

Namun karena penelitian teologi juga menggunakan metode ilmiah, maka penelitian teologi itu bisa disebut teologi ilmiah, meskipun ada yang tidak setuju.

Generalisasi yang dirumuskan melalui analogi juga bergantung dari data, dan ujian rumusan doktrin juga berdasarkan data, yaitu data-data yang diimani bersumber dari Tuhan, utamanya kitab suci.

Pluralisme agama

 Pluralisme agama setidaknya terbagi dua yaitu pluralisme indiferentisme(pluralisme yang menyamakan agama-agama)  dan Pluralisme Non-Indiferentisme(Pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama).

Berdasarkan pandangan kedua itu, maka pluralisme indiferentisme (Pluralisme yang menyamakan agama-agama) biasanya dituduh sinkretisme (mencampurkan agama-agama), atau pluralisme yang liberal.

Tapi, menurut saya kaum Konservative perlu juga belajar pandangan liberal untuk bisa terus maju, dan tidak jatuh pada fundamentalisme yang selalu menganggap nilai-nilai lama itu yang terbaik, sehingga pakaian pun mereka menggunakan pakaian dulu yang dianggapnya paling baik dan menolak model-model pakaian terkini.

Tuduhan Patris Allegro bahwa saya adalah indiferentisme dan liberal tentu saja tidak tepat, apalagi ketika mengaitkannya dengan relativisme (segala sesuatu relative) termasuk Tuhan juga relative, sehingga tidak ada yang absolut.

Pluralisme Non-indifferentisme mengakui bahwa agama-agama itu berbeda, tapi secara bersamaan juga agama-agama itu kaya dengan nilai-nilai inklusif yang baik untuk semua, meski nilai-nilai inklusive juga eksklusif karena tidak menerima nilai-nilai yang tidak baik.

Jika kita menyebut Allah kebenaran, bisakah kita mengatakan bahwa semua kebenaran agama-agama itu bersumber dari Tuhan?

Pluralisme agama Non-indiferentisme itu adalah pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama, tapi percaya bahwa dalam agama-agama itu kaya dengan nilai-nilai inklusif, sehingga perjumpaan agama-agama adalah menemukan nilai-nilai yang dapat memiliki pijakan bersama.

Jadi pluralisme yang tidak menyamakan agama-agama itu adalah sebuah perjalanan perjumpaan agama-agama untuk memiliki dasar bersama, namun dalam keterbatasan manusia akan tetap ada perbedaan, karena itu saya menolak agama global yang menyeragamkan agama-agama.

Bagi saya nilai-niai eksklusif agama-agama itu juga inklusif, universal, baik untuk semua, karena itu saya tidak menerima relativisme yang menyatakan segala sesuatu relative. Sebaliknya saya mengatakan nilai-nilai eksklusif agama yang berbeda itu, dan karena nilai-nilai itu benar, dan universal, maka itu absolut.

Nilai-nilai eksklusif agama dalam perpektif Tuhan itu universal dan absolut, tetapi manusia belum mampu mengetahui seluruh kebenaran, karena manusia belum tahu seluruh kebenaran, maka manusia perlu terus belajar kebenaran.  Dan karena ada yang absolut, maka manusia yang belum tahu segalanya itu perlu belajar dan mengikuti yang absolut, Dalam Kristen kita mengenal istilah menjadi seperti Kristus.

Kebenaran yang Tuhan berikan itu absolut, tapi dalam perpektif manusia yang terbatas pengetahuan yang absolut itu dikonstruksi dalam keterbatasan manusia.

Jika Romo Patris menyakini bahwa Katolik akan menjadi agama yang sempurna, silahkan saja. Dalam perektif Tuhan bisa saja dikatakan benar, tapi pada realitasnya keterbatasan manusia tidak dapat mewujudkannya.

Sejarah menunjukkan bahwa perjalanan Gereka Katolik sarat dengan kelemahan. Gereja itu Katholik, universal hanya dalam perpektif Tuhan yang sempurna, realitasnya masih dalam perjalanan mengenal yang absolut secara utuh.

https://www.binsarinstitute.id/2024/10/indiferentisme-vs-non-indiferentisme.html 

Wednesday, October 2, 2024

Agama Katolik Global

 


Agama Katolik global

 

Semangat Patris Allegro secara membuta menuduh semua protestan bidat dengan istilah protestantisme menimbulkan pertanyaan besar, apakah Patris Allegro sedang mempromosikan Agama Katolik Global?

Dengan alasan melawan (membela Katolik) dari serangan apologet yang disebutnya apologet Protestan, padahal MYM, Deky, Budi Asali dll, mereka semua bukan apologet gereja secara organisasi seperti layaknya Katolik.

Apologet itu dalam pandangan saya adalah apologet yang menempatkan diri sebagai teolog akademik, dan mereka itu bukan hanya mengkritik Katolik, tetapi juga Protestan, seperti serangan Budi Asali terhadap Pdt, Stephen Tong sebagai sebuah contoh.

Budi Asali yang menempatkan diri sebagai teolog akademis itu mengkritik kebijakan Gereja Reformed Injili Indonesia, dengan ketua sinode Pdt Stephen Tong terkait kebijakan gereja membantu membangun Gereja Katolik di Sumba Barat Daya.

Tujuan apologet akademik itu sesungguhnya juga mulia yaitu untuk menjaga gereja pada jalur yang benar. Hanya sayangnya hal itu disampaikan tanpa penelitian mendalam, an berlangsung dalam ajang debat, layaknya pertarungan pemimpin politik. Apalagi secara bersamaan juga mereka memberikan label sesat pada Katolik .

Timbul pertanyaan, mengapa Patris Allegro seperti sengaja menggunakan kaca mata kuda ketika membela kebenaran Katolik dengan alasan hanya membaca fakta sejarah. Padahal sejarah tidak bisa dibaca secara netral, sejarah perlu dibaca melalui teori dogma Protestan atau Katolik.

Pembacaan sejarah hanya dari sisi dogma Katolik atau tradisi suci Katolik apalagi dengan mem-bidat kan Protestan jelas menyiratkan bahwa Patris Allegro secara membabi buta menyasar Protestan, padahal para apoleget yang disebutnya apologet Protestant tidak ada yang memiliki kedudukan penting dalam Gereja atau sinode gereja.

Media social secara bebas tanpa sensor membiarkan siapa saja memanfaatkannya, dan ini perlu menjadi perhatian teman-teman Katolik yang berjibaku bersama ingin menghabisi apologet yang mereka sebut apologet Protestan.

Serangan Patris Allgro tentu saja tidak menimbulkan simpatik gereja-gereja Protestan yang beragam, apalagi Patris Allgro secara sembarangan menggunakan istilah Protestantisme, menurut definisi eksklusifnya sendiri, dan hanya dimengerti oleh Katolik.

 Paling tidak usaha Patris Allgro membidatkan Protestan mungkin bermanfaat untuk mengembalikan anggota gereja Katolik yang pindah ke gereja Protestan, dan belum sempat memahami dogma Protestan dengan baik, atau sebagian umat Katolik yang berencana pindah ke Protestan, bisa saja akan mengurungkan niatnya.

Menurut saya mimpi Patris Allegro mungkin juga teman-teman Katolik adalah hadirnya agama Katolik Global, agama yang paling benar diseluruh muka bumi.

Jika itu yang diharapkan Patris Allgro bersiaplah menyambut  kebangkitan agama-agama lain yang merasa terpinggirkan. Kalua Protestan saja mereka bidat-bidatkan, bagaimana dengan agama-agama lain.

Apakah Katolik yang ingin mengembalikan kejayaan masa lampaunya? Dan apakah Katolik sudah siap menyambut kembali kegelapan gereja pada masa lampau?

Jangan-jangan buah dari kontroversi apologet Protestan dan Katolik ini justru akan menghadirkan gelombang Ateisme di Indonesia. Bukankah pengalaman masa lampau negara agama tak berhasil menghadirkan damai di bumi?

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/10/agama-katolik-global.html 

Agama Global

  Agama Global Katolik VS Protestan: Indiferentisme dan Non-Indiferentisme agama Agama global menurut saya bisa muncul dengan pemaksaan,...