Monday, June 12, 2023

Perjuangan Mencabut Kebijakan Deskriminatif

 Perjuangan Mencabut Kebijakan Deskriminatif

Peryataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas akan menghapus persyaratan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk pendirian rumah ibadah merupakan angin segar untuk hadirnya kebijakan yang memenuhi hak kebebasan beragama umat beragama di Indonesia untuk beribadah secara individual maupun berkelompok. 

Pencabutan persyaratan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersam Menteri (PBM) 2006 itu sekaligus menyelesaikan problem yang dihadirkan PBM itu terkait adanya kebijakan ganda, yaitu kebijakan pemerintah dan kebijakan masyarakat dalam menetapkan pemberian ijin pendirian rumah ibadah yang memerlukan rekomendasi FKUB.  Menurut penulis itu menjadi salah satu sebab mengapa PBM tidak produktif bahkan menjadi instrument penutupan rumah ibadah. Tepatlah apa yang dikatakan Menteri yang akrab disebut Gusmen tersebut, makin banyak rekomendasi maka akan makin mempersulit pendirian rumah ibadah.

Pencabutan PBM menjadi semakin jelas dengan pengajuan rancangan peraturan presiden tentang pendirian rumah ibadah yang mengatur rekomendasi cukup dari Kemenag. "Di perpres yang kami ajukan, rekomendasi hanya satu saja, cukup dari Kementerian Agama (Kemenag)," ujar Gusmen dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Senin (5/6/2023) dilansir dari laman Youtube Komisi VIII DPR RI Channel.





Kilas Balik Perjuangan Mencabut PBM

Sejak hadirnya PBM saya setuju dengan banyak pengamat yang memprediksi akan terjadi “perdagangan” ijin pendirian rumah ibadah melalui FKUB. Bagi umat Kristen, bukan hal rahasia jika mengurus ijin pendirian rumah ibadah itu membutuhan biaya mahal, dan belum tentu juga sukses, apalagi isu penutupan rumah ibadah menurut penelitian penulis marak pada menjelang pemilihan umum, instrument yang digunakan adalah PBM tentang pendirian rumah ibadah, silahkan baca artikel berikut, Hutabarat, B. A. (2017). Evaluasi terhadap Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Societas Dei: Jurnal Agama Dan Masyarakat, 4(1), 8. https://doi.org/10.33550/sd.v4i1.41

Ketika salah seorang wakil Kristen, Richard Daulay, menjelaskan bahwa hadirnya PBM merupkan sebuah prestasi menghadirkan kebijakan terkait agama saya berpikir bagaimana mungkin, kebetulan pernyataan itu disampaikannya pada acara seminar, maka saya tak bisa menahan diri untuk bertanya, apalagi kebetulan yang menjadi moderator adalah teman saya Dr. Victor Silaen yang juga tak setuju dengan kehadiran PBM, “saya bertanya, prestasinya dimana?” Bukankah secara struktur Kementerian Agama merupakan Kementerian Agama Islam? Itulah sebabnya Gus Dur berkeinginan membubarkan kementerian Agama, dan syukur Kementerian Agama saat ini mulai memposisikan moderasi beragama. 

Komentar Richard Daulay pada waktu itu adalah bahwa prestasinya pada adanya batasan jumlah jemaat sebuah rumah ibadah bisa berdiri dan jumlah pemberi rekomendasi, jadi lebih jelas dibandingkan kebijakan ijin pendirian rumah ibadah sebelumnya. Menurut saya tak ada prestasi dari isi pernyataan itu, karena beribadah secara individu atau secara kelompok tidak boleh dibatasi jumlahnya.

Richard Daulay adalah seorang dosen STT, saya mengenalnya ketika bersaksi di acara seminar agama-agama PGI, seingat saya waktu itu di Salatiga, dia bersaksi, setelah menyelesaikan kuliah Doktornya di STT Jakarta, dia katakan dia baru memahami bahwa Yesus bukan Tuhan. Waktu itu juga sedang ramai-ramainya polemik tentang Pentahbisan Dr. Sumarthana sebagai pendeta tanpa mengakui Yesus adalah Tuhan.

Pengaruh Richard Daulay semakin berkibar ketika menjadi Sekum PGI dan setelah lengser dari jabatan itu kemudian menjadi Ketua STT Cipanas.

Kabar tidak sedap muncul dari pejabat pemerintah ketika melakukan sosialisasi PBM bahwa itu bukan hanya usulan lembaga-lembaga agama, tapi dari pihak Kristen, dikabarkan itu usulan gereja-gereja dengan jumlah jemaat yang besar dengan tujuan menghalangi bertumbuhnya gereja-gereja kecil. Meski akhirnya PBM itu sendiri jadi instrument penutupan gereja-gereja besar.

PBM itu sejak hadirnya banyak menuai kritik dan rekomendasi pencabutan, tapi herannya yang melindungi adalah gereja-gereja besar. Anehnya lagi mereka, tokoh-tokoh agama itu bukan ahli dalam ilmu kebijakan publik, tetapi ada yang berani mengungkapkan bahwa pencabutan PBM akan menimbulkan konflik karena terjadinya kekosongan hukum. Padahal PBM hanyalah sebuah juknis yang sesungguhnya malah bertentangan dengan UUD, apalagi tidak ada UU terkait kebebasan beragama yang melandasi PBM. 

Sebaliknya, UU Kebebasan Beragama yang kerap didorong aktivisis kebebasan beragama tidak juga hadir, dan lucunya PBM kemudian di dorong oleh sebagian pihak, termasuk pengurus PGLII (Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia) untuk menjadi UU. 

Saya tidak paham mengapa usulan PGLII itu mirip dengan pernyataan ketua MUI, yang mengatakan, “Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang kerukunan beragama dinilai perlu ditingkatkan menjadi undang-undang (UU) sehingga memiliki kekuatan hukum tetap, bukannya dicabut. "Pencabutan PBM tidak menyelesaikan masalah, bahkan perlu ditingkatkan menjadi undang-undang," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan di Jakarta, Kamis, (16/9).”

Usulan PGLII yang dinyatakan secara langsung ke Menteri Agama itu terkait permintaan Kementerian Agama melalui Direktur Urusan Agama Kristen Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen di Kementerian Agama, Jannus Pangaribuan, yang memerintahkan kantor wilayah provinsi di seluruh Indonesia untuk melakukan pendataan terkait "rumah ibadah Kristen yang selama ini terkendala perizinan maupun gangguan lainnya".

Surat permintaan ini, katanya, dilakukan sebagai bagian dari rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk mengkaji regulasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006, persyaratan pendirian rumah ibadah diatur dalam pasal 14. Ada empat persyaratan khusus untuk mendirikan rumah ibadah. Pertama, daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Berikutnya, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Terakhir, rekomendasi tertulis dari FKUB kabupaten/kota. Sementara itu, dalam pasal 8 disebutkan jika FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota. Pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.

Ketua PGI saat ini merupakan salah seorang yang menganggap PBM merupakan sebuah prestasi, dan itu terbaca dalam sosialisasi PBM yang dilakukannya https://pgi.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Dari-SKB-ke-PBM.pdf

Bagi saya mengherankan, mengapa ada pemimpin-pemimpin agama yang minim pemahaman terkait kebijakan publik itu kerap berbicara lantang tentang kebijakan publik terkait agama yang sebenarnya tidak dikuasai. Timbul pertanyaan, Apakah mereka ingin menyuarakan suara moral mereka, ataukah hanya ingin mencicipi permainan politik yang seksi itu?


Dr. Binsar A. Hutabarat

Pelarangan ibadah tak boleh terjadi di Indonesia

http://dlvr.it/T6tpgz