Hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal HAM yang juga disebut “Magna Carta” adalah suatu pernyataan dari berjuta-juta manusia di bumi yang merindukan adanya proteksi HAM. Deklarasi Universal Ham (DUHAM) yang tidak mengikat itu kemudian diturunkan dalam konvensi-konvensi Ham yang bersifat mengikat. Ratifikasi Konvensi Hak-hak asasi manusia, seperti konvensi Hak-hak sipil dan ekonomi yang bersifat mengikat itu untuk Indonesia salah satunya dengan hadirnya undang-undang tentang Hak Asasi manusia.
Deklarasi HAM itu dapat disebut sebagai ideologi internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Nilai-nilai universal HAM pertama kali dikumandangkan dalam deklarasi tersebut. Meski implementasi dari HAM tersebut masih memerlukan perjuangan panjang yang menuntut perhatian semua umat manusia, tetapi adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan HAM itu merupakan suatu prestasi penting. Tidaklah berlebihan jika Deklarasi Universal HAM kemudian disebut sebagai Piagam Mulia. Karena sejak itu, semua manusia mengerti apakah tindakan atas sesamanya merupakan sesuatu yang melanggar HAM atau tidak, dan ketika deklarasi tersebut dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam suatu negara, maka HAM kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam suatu negara. Deklarasi HAM itu juga telah membuat negara-negara di dunia bertanggung jawab untuk menjaga implementasi HAM di negara tempat mereka memerintah.
Kedudukan Deklarasi Universal HAM menjadi penting bagi suatu Negara karena mempengaruhi hubungan luar negeri negara tersebut. Deklarasi universal memang tidak mempunyai kekuatan hukum dan juga tidak memiliki polisi internasional untuk mengawasi pelaksanaan hak-hak tersebut, juga untuk mengadili pelanggar HAM di suatu negara. Namun, laporan mengenai keadaan suatu negara yang tidak mengadakan proteksi terhadap HAM akan membuat banyak kesulitan bagi negara tersebut dalam menjalin hubungan internasionalnya.
Sejak diterimanya Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, deklarasi itu telah banyak mempengaruhi banyak negara di dunia untuk melaksanakannya, hal tersebut nyata dengan digunakannya deklarasi tersebut dalam penyusunan dan perbaikan UUD negara-negara yang ada, demikian juga yang terjadi dengan Indonesia, terlebih setelah tumbangnya rejim yang otoriter.
Deklarasi Universal HAM yang dijadikan sebagai pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional dibangun di atas dasar pemahaman bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia dan melekat pada manusia, sehingga tidak seorangpun berhak mencabutnya. Hak tersebut dimiliki oleh manusia karena ia terlahir sebagai manusia, hal ini secara eksplisit dituangkan dalam mukadimah Deklarasi Universal HAM yang berbunyi demikian, “bahwa pengakuan atas martabat alamiah serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian didunia.” Pandangan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang didasari oleh hukum kodrat yang dicetuskan oleh John Locke. Sehingga Rhoda seorang pengamat tentang hak-hak asasi manusia mengatakan :
Hak asasi manusia adalah masalah sekuler: hak ini berasal dari pemikiran manusia tentang hakikat keadilan, bukan keputusan Ilahi. Meskipun hak asasi manusia dalam prakteknya akan lebih terjamin kalau didasarkan pada keyakinan agama, dasar keagamaan ini tidak mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang bagaimana mereka seharusnya. Hak asasi manusia bersifat universal dalam arti harus universal, tanpa memandang apakah agama-agama besar menerimanya sebagai prinsip. Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan didasarkan pada agama, melainkan pada masyarakat sekuler, pada pandangan kaum sekuler tentang hak yang diperlukan semua orang untuk hidup bermartabat
Pandangan Rhoda tersebut lahir untuk menanggapi pandangan yang menolak universalitas dari HAM. Agama-agama yang berbeda ternyata menghasilkan konsep HAM yang berbeda sehingga universalitas HAM mengalami gugatan dari kaum relativisme HAM, karena itu bagi Rhoda seorang penganut universal HAM, tidak penting apakah agama-agama setuju atau tidak, dan HAM harus bersifat universal. Pemahaman Rhoda tentang HAM yang bersifat universal merupakan penelusuran konsep HAM modern yang memang dipelopori oleh para filsuf, secara khusus John Locke. Namun sayangnya Rhoda tidak mencoba untuk menganalisa darimanakah asalnya pikiran masyarakat sekuler tersebut. Tentulah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran keagamaan juga.
Klaim bahwa manusia dilahirkan dalam kebebasan dan memiliki martabat yang sama sebagaimana dikatakan dalam Deklarasi Universal HAM yang dipengaruhi oleh pikiran Locke, sebenarnya merupakan sesuatu yang berasal dari pengaruh Yahudi dan Kristen. Yaitu diatas pengakuan manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah. Memang pemahaman bahwa manusia dikarunia akal serta hati nurani dan harus bergaul dalam semangat persaudaraan berasal dari pikiran pencerahan.
HAM memang harus bersifat universal berdasarkan hukum kodrat, namun tidak berarti bahwa HAM merupakan buah pikiran manusia sekuler semata-mata. Karena apa yang dinyatakan dalam hukum kodrat John Locke telah ada jauh sebelum dinyatakan oleh Locke.
Untuk memahami pengaruh kekristenan dan Yahudi dalam pembentukan pemikiran hukum kodrat John Lock, dapat ditelusuri dengan mempelajari sejarah pembentukan pemikiran Barat. Baik di Inggris maupun Amerika, tempat dimana pemikiran HAM yang modern dikembangkan. Pengaruh kekristenan terhadap institusi legal nyata ketika agama Kristen menjadi agama negara pada waktu pertobatan Konstantinus. Pada waktu itu, undang-undang negara dipengaruhi oleh pemikiran kekristenan, seperti undang-undang yang ditetapkan dalam lembaga pernikahan: pernikahan merupakan pernikahan monogami, heterosexual dan seumur hidup.
Demikian juga pada masa Reformasi Protestan yang mengajak untuk kembali kepada pemahaman manusia sebagai gambar Allah. Reformasi mengakui bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama. Pengakuan itu kemudian melahirkan suatu kesadaran bahwa semua manusia memiliki kesamaan dihadapan hukum dan negara.
Pemahaman manusia memiliki martabat yang mulia dan kesederajatan tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap Deklarasi Amerika dan Perancis. Munculnya dasar lain selain agama dalam pembentukan sistem perundang-undangan negara baru terjadi setelah terjadi konflik sektarian yang melahirkan perang berdarah, Namun tidak berarti nilai-nilai kebenaran Kristen tidak lebih baik dari standar sekuler yang kemudian melahirkan HAM dalam perspektif masyarakat modern, karena pikiran sekuler tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran agama yang telah mengalami sekularisasi.
Harus diakui, perkembangan HAM tidak terikat semata-mata dengan tahapan perkembangan pemikiran Barat, namun tanpa memahami perkembangan tahapan itu, maka HAM tidak dapat dimengerti dengan baik. Pemikiran HAM akan memiliki bentuk yang terpotong-potong, yang berakibat lahirnya pemikiran HAM yang bersifat relative (relativisme HAM).
Pikiran Rhoda yang ingin mengabaikan agama dengan menganggap HAM adalah buah karya masyarakat sekuler dengan tidak mempertimbangkan pentingnya pengaruh agama juga akan mengakibatkan terciptanya jurang antara Barat dan non Barat. Karena bagi orang-orang yang beragama Islam, Kristen, Hindu dan Kongfucu hukum dan agama memiliki kesatuan yang dalam, sehingga menganggap HAM hanyalah buah manusia sekuler dan tidak mempertimbangkan aspek agama dalam pembentukan HAM justru akan melahirkan penolakan terhadap HAM yang bersifat universal. Apalagi apa yang dinyatakan dalam hukum kodrat sebagai dasar HAM modern dapat dimengerti lebih baik justru dengan melihat sejarah lahirnya pemahaman hukum kodrat yang telah diakui sejak lama dalam kekristenan.
Pengaruh pikiran Locke sangat kental pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dianggap sebagai penetapan yang paling awal dari HAM secara konstitusional, Maka Locke dianggap sebagai peletak dasar dari HAM jaman modern. Sehingga lahirnya HAM dalam konsep modern tidak dapat dianggap sebagai buah karya masyarakat sekuler semata-mata (produk Barat), karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat sarat dengan pemikiran Kristen, dan itu ada dalam pikiran John Locke, dan karena John Locke seorang pemeluk agama Kristen dan seorang anggota jemaat dari Church of England.
Mengenai pengaruh pikiran John Locke dalam isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat David Weissbrodt menjelaskan sebagai berikut:
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli tahun 1776 menyatakan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan dari semua orang untuk hidup, untuk bebas, dan mencari kebahagiaan. Hak-hak ini diturunkan dari teori-teori Eropa pada abad ke-18 yang mengatakan bahwa individu itu pada kodratnya otonom. Begitu masuk ke dalam masyarakat, otonomi setiap individu bergabung membentuk kedaulatan rakyat. Maka secara prinsip hak rakyat yang tidak dapat dihilangkan itu telah berubah menjadi hak untuk memerintah diri sendiri (self government) termasuk hak untuk menentukan dan mengubah pemerintahnya. Namun masing-masing individu juga masih tetap memiliki beberapa otonominya yang asli dalam bentuk hak-hak yang bahkan pemerintah sendiri tidak boleh melanggarnya. Kepercayaan terhadap hak-hak yang masih dimiliki itu telah menyebabkan masing-masing negara bagian bersikeras mengenai perlunya tambahan Bill Of Rights kepada Konstitusi Amerika Serikat tahun 1789.
Pandangan David Weissbrodt di atas merupakan hasil dari analisis kritis dari isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang menjelaskan mengenai alasan mengapa masyarakat membentuk suatu pemerintahan. Secara eksplisit pengaruh pikiran Locke mengenai hukum kodrat yang terkait erat dengan pemikiran Kristen dan Yahudi tersebut tertuang dalam pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang ditulis oleh Thomas Jefferson seperti berikut:
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sudah jelas dengan sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa penciptanya telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut; bahwa di antara hak-hak ini adalah hak untuk hidup bebas dan mengejar kebahagiaan- bahwa untuk menjamin hak-hak ini, orang-orang mendirikan pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan persetujuan (kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk pemerintahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya.
Pemahaman tentang manusia yang diciptakan oleh Allah dengan martabat yang mulia dan dalam kesamaan merupakan pikiran yang berdasarkan keagamaan, bukan sekuler, jadi Pengakuan HAM tidak dapat dilepaskan dengan pengaruh kekristenan.
Pengakuan akan hak-hak Asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat juga ada dalam Deklarasi Perancis tentang hak-hak manusia dan warga Perancis tahun 1789. Naskah Deklarasi Perancis ini diberi judul Deklarasi Hak Manusia dan Warga negara. Karena dalam deklarasi ini bukan hanya menyatakan hak-hak, tetapi juga menyatakan hukuman terhadap penyelewengan, sebagaimana terjadi dalam rejim yang ditumbangkan pada revolusi tersebut. Dalam deklarasi itu dinyatakan bahwa manusia memiliki hak yang “kodrati” yang melekat pada manusia dan tak dapat dicabut, pernyatan tersebut terdapat dalam pasal 1 Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara tertanggal 26 Agustus 1789, yang mengatakan bahwa: “Semua manusia terlahir dan tetap selalu dalam kebebasan dan persamaan hak. Perbedaan kedudukan dalam masyarakat hanya dapat didasari oleh kemanfaatan manusia.” Kemudian dalam pasal 4 dinyatakan bahwa: “Kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain: dengan demikian batas-batas pelaksanaan hak kodrati setiap manusia hanyalah dibatasi oleh jaminan pelaksanaan hak kodrati bagi anggota lain masyarakat. Batas-batas tersebut hanya dapat ditentukan oleh hukum”. Perbedaannya adalah, jika Amerika Serikat berjuang untuk merdeka, maka Perancis berjuang menghancurkan sistem pemerintahan yang absolut dan mendirikan negara demokrasi.
Sebelum konsep HAM modern ditetapkan secara konstitusional dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Perancis pada abad XVII di Eropa sudah banyak orang berpikir tentang masalah HAM. Hal ini tidak mengherankan karena pada tahun 1215, di Inggris, lahir Piagam Mulia (Magna Charta) hasil perjuangan kaum bangsawan melawan kekuasaan Raja John. Piagam tersebut berisi batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolut. Piagam Mulia ini menjadi induk bagi perumusan HAM yang dikenal dengan konsep modern. Apabila HAM dipahami sebagai hasil dari pemikiran masyarakat sekuler semata-mata, maka secara bersamaan HAM akan dianggap sebagai sesuatu yang dilahirkan oleh budaya Barat dan tidak harus diterima oleh non Barat. Namun sebagaimana telah dijelaskan di atas, pemikiran HAM yang bersifat mutilasi tersebut (Tidak melihat sejarah perkembangan pemikiran Barat) akan mengakibatkan lahirnya HAM yang relative dan tidak sesuai dengan Deklarasi Universal HAM. Pemahaman tentang HAM yang menyeluruh merupakan sesuatu yang amat penting dalam memahami sifat HAM yang bersifat universal.
Percakapan dan penghormatan HAM sebenarnya juga sudah ada sejak sebelum Masehi. Pada jaman Yunani kuno, abad kedua sebelum Masehi, seorang ahli hukum Romawi kuno bernama Cicero mencetuskan pernyataan yang terkenal sebagai inti HAM demikian: “Manusia adalah sama dan semua manusia dilahirkan bebas”. Tetapi apabila ditarik lebih jauh lagi keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kesamaan dan kebebasan sudah ada sejak adanya manusia. Alkitab Perjanjian Lama melaporkan bahwa manusia diciptakan mulia sebagai gambar Allah (Kejadian 1: 26). Jadi, martabat manusia yang mulia bukan ada dengan sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang dikaruniai oleh Allah. Tidak seorang pun berhak mencabut hak-hak manusia kecuali pencipta itu sendiri. Karena itu semua manusia harus hidup dalam penghormatan terhadap sesamanya, karena ia diciptakan sederajat adanya. Walaupun pada abad XIX Gereja Katolik secara organisasi (tindakan gereja secara organisasi belum tentu sesuai dengan pandangan Alkitab) merupakan pendukung pemerintahan monarkhi dan menolak HAM, sikap gereja tersebut disebabkan trauma yang dialami gereja pada waktu Revolusi Perancis di mana dalam revolusi tersebut ribuan imam Katolik dihukum mati karena tidak mau mengucapkan sumpah pada konstitusi. Puncak penolakan kebebasan beragama dalam gereja Katolik terjadi pada tahun 1964 di mana kebebasan beragama dan toleransi dikutuk sebagai kesesatan. Sikap gereja yang melakukan pelanggaran HAM juga nyata dalam perang-perang salib serta pertikaian antara gereja Katolik dan aliran Protestan yang dianggap bidat. Namun tindakan-tindakan salah gereja tidak boleh diartikan bahwa Alkitab menyetujui tindakan tersebut. Karena pada waktu-waktu selanjutnya gereja mendukung penegakan HAM sebagaimana dikatakan oleh Paus Johanes Paulus II yang memuji Deklarasi Universal HAM sebagai inspirasi dan sendi yang mendasar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Demikian juga Calvin seorang tokoh reformator Protestan pernah mendapat pujian sebagai pioner kebebasan hati nurani dan HAM.
Harus diakui bahwa dalam sejarah Gereja baik Katolik maupun Protestan terdapat banyak pelanggaran HAM, namun tidak dapat diartikan bahwa kekristenan tidak menghargai HAM. Pemahaman mengenai aspek keberadaan manusia yang telah jatuh dalam dosa serta tidak lagi mampu mentaati Allah secara sempurna harus menjadi dasar dalam memahami kegagalan gereja dalam mengadakan proteksi terhadap HAM, tetapi hal itu tidak hanya terjadi pada agama Kristen, tetapi juga pada semua agama.
Dalam sejarah agama-agama terlihat bahwa semua agama besar di dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap agama-agama lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut melekat kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti politik atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.
Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat lokal, namun setelah perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami trauma yang dalam akibat perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan proteksi HAM tidak lagi bersifat domestik. Perjuangan HAM yang bersifat mendunia tersebut nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan Piagam PBB dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan kepercayaannya akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional tersebut akhirnya menghasilkan Deklarasi Universal HAM yang lahir tanggal 10 Desember 1948. Dan piagam tersebut oleh majelis PBB ditetapkan sebagai standar umum untuk semua rakyat dan negara. Dua puluh pasal pertama deklarasi tersebut memiliki kesamaan dengan Bill Of Rights Amerika Serikat. Karena itu tidaklah mengherankan jika Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati. Konsep HAM dianggap dipengaruhi oleh konsep Locke tentang hukum kodrati tersebut tidak boleh dianggap menjadi buah karya masyarakat sekuler, karena peran kekristenan sangat nyata, dimana hukum kodrati itu sendiri sudah ada sebelum dicetuskan oleh Locke, dan hukum kodrati merupakan sesuatu yang berasal dari kekristenan.
Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB sebagai standar umum bersifat tidak mengikat, karena itu dalam usaha untuk menegakkan HAM yang bersifat universal lahirlah konvensi-konvensi yang bersifat mengikat.
No comments:
Post a Comment