Showing posts with label Agama dan Negara. Show all posts
Showing posts with label Agama dan Negara. Show all posts

Tuesday, September 10, 2024

Perdamaian maha karya keadilan


 


Perdamaian adalah mahakarya keadilan

 

Perdamaian adalah mahakarya keadilan merupakan pernyataan yang agung dari mereka yang menjadi penegak keadilan, dan sekaligus pejuang perdamaian.

Perdamaian sebagai mahakarya keadilan secara sederhana dapat dipahami dengan usaha-usaha menghadirkan kebijakan unggul untuk menghadirkan kehidupan yang damai. Sebuah kebijakan unggul adalah kebijakan yang berlandaskan keadilan, dan ketika kebijakan itu dilaksanakan, maka yang hadir adalah keadilan yang memberikan kebaikan bagi semua. Secara bersamaan itu akan menghadirka  perdamaian.

Pernyataan Paus Fransiskus yang tersohor, Perdamaian adalah mahakarya keadilan” bukanlah slogan kosong, tetapi itulah yang dihidupi dan diperjuangkan. Sebuah keyakinan yang bukan hanya dinyatakan dalam komunikasi verbal, tapi juga dihidupi, dan hasilnya dirasakan banyak orang. Tidak heran jika kehadiran Paus Fransiskus begitu memesona. Keadilan adalah inti kasih, mereja yang menegakkan keadilan, tanpa perlu menjadi hakim, akan memancarkan sinar kasih.

Cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk menghadirkan masyarakat adil dan makmur tepat sekali, bumi Indonesia yang kaya dengan sumber alamnya hanya bisa memberi kemakmuran bagi semua jika pemerintah mengelolanya dengan adil. Demikian juga mereka yang mendapatkan hak pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah, patut menyelenggarkan usaha-usaha yang berlendaskan keadilan.

Apabila setiap individu dan komunitas di negeri ini bekerja bersama untuk mencapai kehidupan masyarakat adil dan makmur dengan dinakhodai pemerintah yang adil, maka masyarakat adil dan makmur bukan utopia. Sebagaimana alam bisa memberikan kehidupab pada segala mahkluk, sejatinya alam juga dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama umat manusia.

Dalam perjuangan keadilan kita akan menemukan kebaikan bersama, dan jika kita hidup adil dan memberikan kebaikan bersama, maka yang hadir adalah perdamaian antar sesame, itu semua merupakan mahakarya keadilan.

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/09/perdamaian-maha-karya-keadilan.html 

Wednesday, May 8, 2024

Tindakan kriminal atas nama agama

 


 

 Tindakan kriminal atas nama agama sebagaimana terjadi di Tangerang Selatan baru-baru ini perlu tindakan tegas pemerintah.

Penyerangan terhadap mereka yang beribadah atas nama apapun tak bisa ditolerir. Pemerintah perlu menindak tegas sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Semangat beragama untuk menghadirkan kedamaian sebagaimana di promosikan pemerintah dalam aksi moderasi beragama tampaknya belum sampai padakesadaran masyarakat.

Tentu sajausaha mempromosikan moderasi beragama perlu mendapatkan dukungan semua pihak, itulah sebabnya Indonesia memberikan perlakuan yang sama terhadap semua agama untuk beribadah secara pribadi dan secara komunal.

 https://www.binsarinstitute.id/2024/05/tindakan-kriminal-atas-nama-agama.html

 


Tuesday, January 30, 2024

Agama dan Fanatisme Agama

 “Wajah Ganda Agama Dan Fanatisme Agama ”



 Agama pada satu sisi dapat menjadi agen pembawa damai, namun pada sisi lain juga menampilkan wajah garang yang tampil dalam koflik agama. 

Umat beragama di Indonesia, termasuk umat Kristen perlu mewaspadai fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama yang kerap menampilkan kekerasan agama.

Radikalisme tidak identik dengan terorisme, namun, upaya preventif agar mereka yang memiliki paham radikal itu  tidak terkooptasi menjadi teroris harus dikerjakan secara bersama.


Dalam terminologi politik, istilah “radikalisme” mengacu pada individu atau gerakan yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara menyeluruh. 

Radikalisasi dalam beragama muncul di tengah panggung politik secara global.  Kekerasan atas nama agama seringkali muncul dari perbedaan dalam memahami kitab suci dan agama itu sendiri.


Pelaku tindakan kekerasan atas nama agama merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Karena itu gemar memaksakan kehendaknya seolah-olah menjadi Tuhan atas semua orang.


Kaum radikalisme agama memandang dirinya berhak memonopoli kebenaran, seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. 


Kelompok Radikalisme agama ini kerap  mengumandangkan  penolakannya untuk memberikan proteksi terhadap  kebebasan beragama yang ditetapkan dalam konstitusi negeri ini.


 “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan, namun dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.” 


Meningkatnya intoleransi agama tersebut diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus meningkat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu sebaliknya makin melemah. 


Dampak Fanatisme Agama 


Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let live). Bahkan  pada beberapa tempat di negeri ini hubungan antarumatt beragama itu sedemikian buruk yakni sudah pada taraf menampilkan hegemoni agama yang menjurus pada kekerasan agama (live and let die). 


Pertumbuhan sebuah agama kerap diringi dengan pembelengguan kebebasan beragama pada agama-agama yang berbeda. Lahirnya perda-perda bernuansa agama, baik perda syariah maupun raperda Injil meneguhkan hubungan antar agama yang amat memperihatinkan itu.


Masyarakat Indonesia yang mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai  bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Kondisi terancam itu membuat agama-agama kehilangan kesadaran interdepedensi satu dengan yang lainnya, yang ada hanyalah usaha bagaimana agama-agama itu mempertahankan eksisitensinya tanpa memedulikan akibatnya pada yang lain, atau dengan sengaja menekan pertumbuhan agama yang lain.


Radikalisme dan fanatisme keagamaan yang semakin subur di negeri ini ternyata berdampak buruk terhadap kerukunan antarumat beragama yang lama bersemayam di negeri ini. Deradikalisasi agama menjadi persoalan penting yang harus dikerjakan dengan serius jika memang kita ingin melihat agama-agama di negeri ini terus menebarkan wajah perdamaian.



Mewaspadai Wajah Ganda Agama


 Di satu sisi, secara unik dan inheren agama hadir dengan berbagai sifat eksklusif, partikularis, dan primordial. Namun di sisi lain, pada waktu yang bersamaan, ia kaya dengan identitas yang berelemen inklusif, universalis, transendental. Kedua sisi ini datang silih berganti  secara simultan. Itu sebabnya mengapa agama berpotensi menampakkan wajah kekerasan dan wajah perdamaian.


Karena itu penggambaran agama yang melulu penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap.   Karena banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.


Untuk Indonesia, konflik agama terbilang relatif kecil pada era orde lama maupun orde baru. Pada era tersebut, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. 


Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama. 


Jadi konflik agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Bahkan, posisi agama yang begitu terhormat di negeri ini awalnya telah mempopulerkan Indonesia  sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Perjalanan sejarah negeri ini menyaksikan bahwa agama bukan sumber masalah, dan kontribusi positif agama-agama sangat dibutuhkan. 



Betapapun universalnya suatu agama dan  betapapun kekalnya doktrin-doktrin agama itu, kepercayaan-kepercayaan ini tidak bisa menjadi prinsip ideologis formal bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.  


Negara yang  membiarkan agama tertentu menjadi alat penentu untuk memperlakukan para warga negara secara berbeda, sama saja dengan  mengabaikan prinsip-prinsip inklusifitas dan non-diskriminasi yang terdapat di dalam Pancasila. 


Ketika politik mengizinkan dirinya dikooptasi oleh agama, seketika itu juga ia kehilangan fungsinya yang paling luhur, mengayomi dan memperlakukan warganya secara adil, tanpa diskriminasi.


Lahirnya peraturan-peraturan yang bernuansa agama meski dengan alasan demi merukunkan antarumat beragama justru telah membuat kehidupan antarumat beragama menjadi tidak rukun, dan penuh konflik, karena kehadiran undang-undang bernuansa agama tak terbantahkan sarat dengan politisasi agama. 


 Semangat yang menampilkan kekerasan agama sebagaimana dipertontonkan kaum radikalisme keagamaan adalah buah dari cara-cara beragama yang salah tersebut.


Konteks Kristen


Radikalisme agama ada pada semua agama, termasuk dalam kekristenan. Karena itu umat Kristen Indonesia harus mewaspadai hal itu. Khusunya Fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama.


Fanatisme agama selalu mengandaikan ke-murni-an atau purifikasi agama yang pada kenyataannya mustahil, karena sejarah dan realitas terus bergerak. Golongan fanatisme agama cenderung menganggap dirinya lebih murni atau suci, saleh dan benar sendiri, tanpa dibarengi nalar kritis.

Pebedaan-perbedaan pemahaman kemudian melahirkan fanatisme-fanatisme sektarian dan semakin melembaga.Fanatisme dan ketiadaan pemahaman tentang esensi beragama dan ber-Tuhan  membuat pemeluk agama melihat agama lain dari kacamata kepicikan yang sempit, sehingga cenderung merendahkan agama lain, atautafsiran agama dari kelompok agama yang berbeda dengan mereka.


Kelompok fanatisme agama merupakan segerombolan orang-orang yang berupaya untuk terus memelihara nilai-nilai terdahulu yang mereka anut, menghadirkan monumen masa lalu ke masa sekarang. 

Fanatisme adalah sikap terlampau kuat atau berlebihan menyakini ajaran agama. Akibatnya, sering kali melahirkan tindakan yang anti keberagaman. 

Fanatisme cenderung melahirkan arogansi, menebar kebencian, anti perbedaan, dan dekat dengan kekerasan. “Fanatisme adalah musuh besar kebebasan.” Artinya, dimana fanatisme tumbuh dengan subur, di situ pastilah terjadi pemasungan kebebasan beragama.


Dr. Binsar A. Hutabarat

Perang keadilan

 




Menggugat Teori Perang Keadilan

Amerika adalah korban konsep war of justice, yang kemudian menjadi teori yang dianggap absolut bahwa untuk ada damai perlu ada peperangan.

Teori perang keadilan itu menjadi instrumen yang memosisikan Amerika sebagai polisi dunia, sebuah kesombongan yang mengerikan, dan kesombongan itu mendahulu kejatuhan. Amerika bukannya menghadirkan perdamaian dunia, sebaliknya pencipta perang di berbagai penjuru dunia. 

Ketika Amerika menjadi polisi dunia dengan segala hak veto yang dimiliki menetapkan perang demi keadilan untuk hadirnya perdamaian, pada konteks tertentu, ternyata perang tidak dibutuhkan untuk hadirnya perdamaian. 

Kejahatan Amerika sebagai polisi dunia, atau yang menempatkan diri menjadi polisi dunia dengan segala fasilitas hak veto untuk menetapkan perang telah menjadikan Amerika seperti hakim yang tidak adil, seperti juga kejahatan yang terjadi di pengadilan. 

Usaha-usaha restoratif justice yang diusahakan untuk menyelesaikan konflik di luar pengadilan adalah usaha untuk memberi keadilan kepada yang berkonflik di luar pengadilan. Pengadilan bukan solusi bagi penyelesaian segala konflik yang ada, apalagi ketika pengadilan itu sendiri tidak jarang memproduksi ketidakadilan.

Perang keadilan ini konsep Kristen yang perlu hati-hati digunakan, biasanya teori ini dicetuskan berdasarkan konsep Perjanjian Lama (PL) yang memerangi bangsa-bangsa untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. Israel yang merasa menjadi bangsa yang paling hebat bukan hanya tidak mampu menghadirkan perdamaian untuk bangsa-bangsa, tetapi juga dalam kehidupan mereka berbangsa. Itulah sebabnya Israel di buang Tuhan.

Menurut saya semua teori-teori yang kita terapkan sebagai landasan dalam mengambil keputusan perlu terus dikaji dan diuji untuk hadirnya landasan yang lebih baik. Sebuah kebijakan yang unggul, atau alternatif teori akan menghadirkan kehidupan bersama yang damai, tapi tidak ada landasan bersama yang sempurna yang dibangun manusia yang tidak sempurna, apalagi manusia yang menerapkannya juga tidak sempurna. 

Keyakinan diri paling hebat, paling tahu, paling menguasai kebenaran hanya akan menghadirkan alternatif kebijakan yang buruk  yang kemudian berujung pada konflik yang tidak berkesudahan. Bukankah ini terjadi antar denominasi gereja yang tak pernah bisa rukun, saling menyesatkan, merasa denominasinya paling baik, paling suci, paling kudus, dan tak bisa hidup bersama secara baik untuk membangun hidup bersama yang lebih baik.

Dr. Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarinstitute.id/2023/09/perang-keadilan.html

Sunday, July 30, 2023

Pdt. Erastus Sabdono di Kudeta?

 Kudeta Terhadap Pendeta Erastus Sabdono Penyangkalan terhadap Kebebasan Akademik



 Baru-baru ini terdengar berita pelengseran Pdt.Dr. Erastus Sabdono sebagai ketua BMPTKKI (Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Indonesia. Sebuah badan yang awalnya di tolak hadir oleh perkumpulan-perkumpulan Kristen Lainnya, seperti Persetia, dan juga khususnya PDPTKKI(Perkumpulan Dosen dan Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Indonesia) yang didirikan atas dukungan penuh Dirjen Thomas Pentury yang dilengserkan Menteri Agama.

Dengan lengsernya Dirjen Bimas Kristen Thomas Pentury pendukung utama berdirinya BMPTKKI maka organisasi yang biasa saya sebut “proyek kecelakaan”itu yang dinakhodai Pdt. Erastus Sabdono pun kian meredup. 

Timbul pertanyaan, apakah memang Dr. Erastus Sabdono dilengserkan karena pengurus BMPTKKI ingin mendekat dengan Dirjen yang baru setelah Dirjen yang membidani BMPTKKI itu lengser?

Jika alasan pelengseran Erastus Sbdono karena doktrin, Penulis yang tahu sejarah bedirinya BMPTKKI tentu saja heran, bukankah Pdt. Erastus Sabdono memang memiliki pemahaman tentang Allah Tritunggal telah dipermasalahkan oleh Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) sebelum menjadi ketua BMPTKII?

Pdt. Erastus Sabdono pindah Sinode atau keluar dari GBI karena permasalah doktrin tritunggal. Artinya, kalau alasan Pdt. Dr.Erastus sabdono dilengserkan karena ajarannya tentang Allah bertentangan dengan pengurus BMPTKII mengapa baru sekarang dipermasalahkan? Apalagi mengatasnamakan tiga ratus STT, tanpa tanda tangan ketua STT pula!

BMPTKII itu bukan organisasi yang mengurusi doktrin, disana bercampur banyak aliran gereja yang membangun sekolah teologi untuk menjadi benteng pelindung doktrin gereja dengan landasan akademik, jadi bagaimana mungkin Pdt. Erastus Sabdono di lengserkan dengan alasan doktrin? 

Apakah STT-STT itu tidak tahu bahwa dalam 13 aras nasional yang terdaftar di Dirjen Bimas Kristen, didalamnya terdapat Organisasi gereja Independen yang didalamnya ada Saksi Yehuwa dan Mormon yang dianggap aliran gereja tertentu sesat?

Menurut penulis, Doktrin Pdt. Erastus Sabdono itu urusan sinode gereja itu, kenapa STT-STT yang sempat menikmati guyuran dana Erastus itu baru mengkudetanya saat ini? 

Wajar saja jika ada yang berpikir, ini tahun politik, dan jangan-jangan memang ada kudeta bak penggulingan tokoh-tokoh partai politik.

Kementerian agama yang sedang giat-giat mendorong moderasi beragama, tak perlu menanggapi kudeta yang tidak tahu digagas oleh siapa, dan mengatas namakan STT-STT se Indonesia, dan tanpa tanda tangan di atas meterai. Apalagi BMPTKII hanya merupakan sebuah perkumpulan yang seharusnya bisa mengatasinya sendiri, dan jika persoalan doktrin, itu juga urusan Sinode Pdt. Erastus sabdono bukan urusan STT-STT, apalagi untuk STT yang mengakui kebebasan akademik, penggulingan Pdt, Erastus Sabdono sama saja dengan penyangkalan kebebasan akademik.

Monday, June 12, 2023

Perjuangan Mencabut Kebijakan Deskriminatif

 Perjuangan Mencabut Kebijakan Deskriminatif

Peryataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas akan menghapus persyaratan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk pendirian rumah ibadah merupakan angin segar untuk hadirnya kebijakan yang memenuhi hak kebebasan beragama umat beragama di Indonesia untuk beribadah secara individual maupun berkelompok. 

Pencabutan persyaratan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersam Menteri (PBM) 2006 itu sekaligus menyelesaikan problem yang dihadirkan PBM itu terkait adanya kebijakan ganda, yaitu kebijakan pemerintah dan kebijakan masyarakat dalam menetapkan pemberian ijin pendirian rumah ibadah yang memerlukan rekomendasi FKUB.  Menurut penulis itu menjadi salah satu sebab mengapa PBM tidak produktif bahkan menjadi instrument penutupan rumah ibadah. Tepatlah apa yang dikatakan Menteri yang akrab disebut Gusmen tersebut, makin banyak rekomendasi maka akan makin mempersulit pendirian rumah ibadah.

Pencabutan PBM menjadi semakin jelas dengan pengajuan rancangan peraturan presiden tentang pendirian rumah ibadah yang mengatur rekomendasi cukup dari Kemenag. "Di perpres yang kami ajukan, rekomendasi hanya satu saja, cukup dari Kementerian Agama (Kemenag)," ujar Gusmen dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Senin (5/6/2023) dilansir dari laman Youtube Komisi VIII DPR RI Channel.





Kilas Balik Perjuangan Mencabut PBM

Sejak hadirnya PBM saya setuju dengan banyak pengamat yang memprediksi akan terjadi “perdagangan” ijin pendirian rumah ibadah melalui FKUB. Bagi umat Kristen, bukan hal rahasia jika mengurus ijin pendirian rumah ibadah itu membutuhan biaya mahal, dan belum tentu juga sukses, apalagi isu penutupan rumah ibadah menurut penelitian penulis marak pada menjelang pemilihan umum, instrument yang digunakan adalah PBM tentang pendirian rumah ibadah, silahkan baca artikel berikut, Hutabarat, B. A. (2017). Evaluasi terhadap Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Societas Dei: Jurnal Agama Dan Masyarakat, 4(1), 8. https://doi.org/10.33550/sd.v4i1.41

Ketika salah seorang wakil Kristen, Richard Daulay, menjelaskan bahwa hadirnya PBM merupkan sebuah prestasi menghadirkan kebijakan terkait agama saya berpikir bagaimana mungkin, kebetulan pernyataan itu disampaikannya pada acara seminar, maka saya tak bisa menahan diri untuk bertanya, apalagi kebetulan yang menjadi moderator adalah teman saya Dr. Victor Silaen yang juga tak setuju dengan kehadiran PBM, “saya bertanya, prestasinya dimana?” Bukankah secara struktur Kementerian Agama merupakan Kementerian Agama Islam? Itulah sebabnya Gus Dur berkeinginan membubarkan kementerian Agama, dan syukur Kementerian Agama saat ini mulai memposisikan moderasi beragama. 

Komentar Richard Daulay pada waktu itu adalah bahwa prestasinya pada adanya batasan jumlah jemaat sebuah rumah ibadah bisa berdiri dan jumlah pemberi rekomendasi, jadi lebih jelas dibandingkan kebijakan ijin pendirian rumah ibadah sebelumnya. Menurut saya tak ada prestasi dari isi pernyataan itu, karena beribadah secara individu atau secara kelompok tidak boleh dibatasi jumlahnya.

Richard Daulay adalah seorang dosen STT, saya mengenalnya ketika bersaksi di acara seminar agama-agama PGI, seingat saya waktu itu di Salatiga, dia bersaksi, setelah menyelesaikan kuliah Doktornya di STT Jakarta, dia katakan dia baru memahami bahwa Yesus bukan Tuhan. Waktu itu juga sedang ramai-ramainya polemik tentang Pentahbisan Dr. Sumarthana sebagai pendeta tanpa mengakui Yesus adalah Tuhan.

Pengaruh Richard Daulay semakin berkibar ketika menjadi Sekum PGI dan setelah lengser dari jabatan itu kemudian menjadi Ketua STT Cipanas.

Kabar tidak sedap muncul dari pejabat pemerintah ketika melakukan sosialisasi PBM bahwa itu bukan hanya usulan lembaga-lembaga agama, tapi dari pihak Kristen, dikabarkan itu usulan gereja-gereja dengan jumlah jemaat yang besar dengan tujuan menghalangi bertumbuhnya gereja-gereja kecil. Meski akhirnya PBM itu sendiri jadi instrument penutupan gereja-gereja besar.

PBM itu sejak hadirnya banyak menuai kritik dan rekomendasi pencabutan, tapi herannya yang melindungi adalah gereja-gereja besar. Anehnya lagi mereka, tokoh-tokoh agama itu bukan ahli dalam ilmu kebijakan publik, tetapi ada yang berani mengungkapkan bahwa pencabutan PBM akan menimbulkan konflik karena terjadinya kekosongan hukum. Padahal PBM hanyalah sebuah juknis yang sesungguhnya malah bertentangan dengan UUD, apalagi tidak ada UU terkait kebebasan beragama yang melandasi PBM. 

Sebaliknya, UU Kebebasan Beragama yang kerap didorong aktivisis kebebasan beragama tidak juga hadir, dan lucunya PBM kemudian di dorong oleh sebagian pihak, termasuk pengurus PGLII (Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia) untuk menjadi UU. 

Saya tidak paham mengapa usulan PGLII itu mirip dengan pernyataan ketua MUI, yang mengatakan, “Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang kerukunan beragama dinilai perlu ditingkatkan menjadi undang-undang (UU) sehingga memiliki kekuatan hukum tetap, bukannya dicabut. "Pencabutan PBM tidak menyelesaikan masalah, bahkan perlu ditingkatkan menjadi undang-undang," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan di Jakarta, Kamis, (16/9).”

Usulan PGLII yang dinyatakan secara langsung ke Menteri Agama itu terkait permintaan Kementerian Agama melalui Direktur Urusan Agama Kristen Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen di Kementerian Agama, Jannus Pangaribuan, yang memerintahkan kantor wilayah provinsi di seluruh Indonesia untuk melakukan pendataan terkait "rumah ibadah Kristen yang selama ini terkendala perizinan maupun gangguan lainnya".

Surat permintaan ini, katanya, dilakukan sebagai bagian dari rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk mengkaji regulasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006, persyaratan pendirian rumah ibadah diatur dalam pasal 14. Ada empat persyaratan khusus untuk mendirikan rumah ibadah. Pertama, daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Berikutnya, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Terakhir, rekomendasi tertulis dari FKUB kabupaten/kota. Sementara itu, dalam pasal 8 disebutkan jika FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota. Pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.

Ketua PGI saat ini merupakan salah seorang yang menganggap PBM merupakan sebuah prestasi, dan itu terbaca dalam sosialisasi PBM yang dilakukannya https://pgi.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Dari-SKB-ke-PBM.pdf

Bagi saya mengherankan, mengapa ada pemimpin-pemimpin agama yang minim pemahaman terkait kebijakan publik itu kerap berbicara lantang tentang kebijakan publik terkait agama yang sebenarnya tidak dikuasai. Timbul pertanyaan, Apakah mereka ingin menyuarakan suara moral mereka, ataukah hanya ingin mencicipi permainan politik yang seksi itu?


Dr. Binsar A. Hutabarat

Wednesday, June 2, 2021

Pengalaman Buruk Perancis Menguburkan Doktrin Sekularisisasi

  








 

Konflik bisa disebabkan banyak hal, dan bisa terjadi dalam kelompok agama, suku, budaya, dan antar kelompok. Artinya konflik bukan eksklusif milik agama, karena itu tak ada alasan mengatakan bahwa agama merupakan sumber konflik.

Negara-negara Eropa yang sekuler , seperti Perancis kerap gamang bersikap terhadap agama. Pada sisi lain Barat yang sekuler, jika tidak ingin dikatakan anti agama, kerap tidak mengijinkan agama untuk hadir dalam ruang publik. Ada anggapan ruang publik yang steril dari agama menjanjikan kedamaian untuk semua orang.

Keyakinan itu sebenarnya perlu dikubur, karena bagaimana pun kuatnya negara-negara sekuler menyingkirkan agama untuk hadir di ruang publik, eksistensi agama tak pernah tergusur. 

Mungkin itu masih menjadi mimpi buruk negara-negara sekuler yang awalnya adalah negara agama, dan mereka yang menganut paham sekuler itu mengalami deskriminasi dalam negara agama.

Apabila negara-negara Eropa seperti Perancis dapat arif dalam mengamati perjalanan sejarah, maka mereka yang menganut paham sekuler itu tak perlu anti agama, apalagi berusaha mendeskriminasikan agama-agama untuk melindungi eksistensi mereka.


Pengalaman buruk Perancis

Perancis perlu Belajar dari Presiden Jeques Chirac yang menanggapi postif protes negara islam terhadap provokasi terang-terangan Tabloid Charlie Hebdo yang mengatakan, “Apapun yang dapat melukai keyakinan orang lain, khususnya keyakinan beragama harus dihindari.”

Pengabaian Nasihat Bijak Chirac yang dilakukan Emmanuel Macron terlihat dengan pemberian dukungan terhadap Sekularisme Perancis yang secara bersamaan juga menumbuhkan islamofobia di Eropa. Apalagi dengan pernyataan macron yang deskriminatif yang akan memberlakukan undang-undang lebih ketat terhada minoritas Muslim di Perancis.

Sebenarnya cemooh kaum sekuler Eropa bukan hanya ditujukan kepada Islam, tetapi juga agama-agama lain. Perancis sebagai negara sekuler, juga negara-negara Eropa sekuler lainnya, kerap melakukan cemooh terhadap agama-agama yang mereka anggap tidak patut hadir di ruang publik. Bagi negara-negara sekuler seperti Perancis agama hanya boleh ada dalam ruang privat agama, dan tidak perlu terlibat untuk membangun kehidupan publik yang aman dan sejahtera.

Tesis negara sekuler terhadap agama

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu  yang akan memudar dalam masa modern.

Pippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.

Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”.

Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia.

 

Menguburkan Doktrin Sekularisasi

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati.

Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.”

Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.”

 

Negara-negara sekuler patut menyadari bahwa kebebasan tanpa batas bukanlah kebebasan. Kebebasan perlu dilaksanakan dengan memerhatikan kebebasan orang lain. Kebebasan tanpa batas bukanlah kebebasan, tapi keliaran, karena itu sudah sepatutnya kelompok-kelompok sekuler juga mengakui keberadaan agama-agama dan mencontoh tindakan bijak Chrirac untuk tidak melukai perasaan siapapun dalam menjalankan kebebasan. Untuk itu perlu aturan atau undang-undang yang non deskriminatif.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/pengalaman-buruk-perancis-menguburkan.html






Monday, March 29, 2021

Mewaspadai Konflik Agama


TEMPAT MENULIS KARYA ILMIAH, JURNAL AKADEMIK, KLIK DISINI!


 



https://bit.ly/3cDiTW5

Mewaspadai konflik agama dalam masyarakat Indonesia yang tersohor religius adalah penting, apalagi ketika meningkatnya religiusitas sebuah komunitas itu makin eksklusif. 

 

Pernyataan Majelis Ulama Indonesia yang mengutuk tindakan pelaku bom di Makasar yang bertentangan dengan ajaran agama apapun perlu mendapat dukungan semua agama. Tapi, secara bersamaan kita juga perlu mewaspadai konflik yang ditimbulkan individu atau kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama, dengan aktivitas religius yang eksklusif.

 

Pada acara makan malam peringatan hari jadi Singapura, Minggu (2/8), dalam pidato bertajuk tantangan masa depan Singapura, Menteri senior Goh Chok Tong pernah mengingatkan warga Singapura agar mewaspadai potensi bahaya  yang meningkat dengan semakin religiusnya warga Singapura.

 

Menurutnya, semakin religius seseorang akan membuat orang membentuk kelompok hanya dengan pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian kelompok-kelompok berdasarkan agama. Ini akan menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama.

 

Goh Chok Tong tampaknya mewaspadai betul apa yang dikatakan tentang wajah ganda agama yang oleh Jose Casanova diartikan sebagai “bermuka dua”, “janus face” dimana agama dapat menampilkan wajah garang dan wajah perdamaian. Meskipun demikian pemerintah Singapura tetap mengakui bahwa agama merupakan kekuatan positif di masyarakat dalam memberikan panduan menghadapi dunia yang berubah dengan cepat.

 

Kejujuran Goh Chok Tong mengungkapkan bahwa agama memiliki potensi konflik harus dihargai, dan pernyataan tersebut tentu bebas dari usaha untuk merendahkan agama, sebaliknya itu harus dimaknai sebagai suatu kejujuran dalam melihat realitas saat ini dimana konflik agama menjadi problematika yang tidak mudah diselesaikan, dan itu terjadi diberbagai belahan dunia ini. Karena itu, wajar saja jika pemerintah Singapura berusaha berjaga-jaga untuk menghindari terjadinya konflik agama di negerinya, apalagi konflik agama ini di berbagai negara telah menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit, serta meninggalkan akar kebencian yang sulit untuk dipadamkan.

 

Menurut penulis pandangan-pandangan absolutisme tentang kepercayaan atau doktrin agama tertentu memang perlu diwaspadai, apalagi ketika doktrin atau kepercayaan itu melegalkan untuk melakukan tindakan apa saja atas nama Tuhan. Gairah yang makin tinggi dari masyarakat dalam menekuni agama atau kepercayaan yang ada tentu saja pada satu sisi perlu disyukuri, tetapi fenomena meruyaknya agamaisasi koflik dewasa ini, yaitu usaha membawa-bawa agama dalam konflik antar individu atau golongan juga perlu diwaspadai. Karena harus diakui mengeneralisasikan bahwa agama adalah semata-mata membawa perdamaian juga sulit dibuktikan berdasarkan penelitian empiris, karena masih maraknya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Untuk itu agama-gama sudah sepatutnya mempromosikan pluralisme agama tanpa menyangkali keunikan agama-agama itu.

 

Mewaspadai agamaisasi konflik

 

Perjuangan terorisme internasional, seperti juga Alqaeda, ISIS, dll, adalah untuk mengembalikan pemerintahan berdasarkan agama. Menurutnya, Islam sebagai agama sukses,  kekuasaan Islam melebihi daerah kekuasaan Romawi pada awal masehi, dan berlangsung hampir seribu tahun sejak wafatnya Muhammad, sebelum akhirnya dikalahkan bangsa-bangsa Barat, telah dijadikan alat kampanye untuk membangkitkan kemarahan radikalisme Islam terhadap bangsa-bangsa barat.

 

Semangat berkuasa untuk menjadi pemimpin dunia tersebut telah membuat pemimpin-pemimpin agama menggunakan legitimasi agama untuk memuluskan ambisinya. Konflik yang terjadi antara individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok demi kekuasaan tersebut menjadi semakin luas dengan adanya agamaisasi konflik.

 

Komunitas agama-agama adalah komunitas yang melintasi batasan suku, budaya dan bangsa. Itulah sebabnya agamaisasi konflik cenderung memperluas konflik, dan jika terjadi, sulit untuk dipadamkan. Karena itu, wajar saja jika Goh Chok Tong mewaspadai munculnya konflik yang membawa-bawa nama agama itu.

 

Konflik Israel dan Palestina adalah contoh klasik dari agamaisasi konflik yang bukan hanya melibatkan kedua bangsa tersebut, tetapi juga bangsa-bangsa lain. Padahal Israel adalah negara sekular, dan negara Palestina yang menjadi lawan tandingnya juga negara sekular, namun konflik kedua negara tersebut selalu saja dikaitkan dengan agama.

 

 

Dialog yang jujur

 

Dialog yang jujur terhadap mereka yang berbeda agama akan menyadarkan kita bahwa kita sesungguhnya membutuhkan orang lain. Apalagi, jika kita menyadari betapa sabarnya orang lain menerima kelemahan-kelemahan kita. Tepatlah apa yang dikatakan Hannah Arendt,  manusia memiliki dua kelemahan yaitu unpredictable (tak dapat diramalkan) dan irreversible (tak bisa dikembalikan ke titik nol), maka sudah sepatutnyalah kita belajar sabar untuk menerima kelemahan-kelemahan orang lain. Ini adalah sikap moderat yang dibutuhkan untuk menjadikan Indonesia tempat persemaian yang subur bagi agama-agama, dan semua orang yang berdiam di negeri ini. Tanpa harus menyamarkan identitas agama-agama itu sendiri.

 

Dialog yang jujur itu bisa terjalin jika kita menerima pluralisme agama sebagai dasar bagi pijakan bersama. Dialog dalam bingkai pluralisme agama bukan sarana untuk mengajak orang beragama lain berpindah agama, tetapi dialog adalah suatu penghargaan dan pengakuan bahwa sesungguhnya agama-agama itu unik bagi setiap pemeluknya, dan agama-agama yang ada itu dapat memberikan kontribusinya bagi kehidupan bersama.

 

Agama-agama yang berbeda itu sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang universal yang berguna untuk semua orang. Mengabaikan keberadaan agama-agama yang berbeda dalam membangun suatu kehidupan bersama adalah suatu kerugian yang teramat besar.

 

Untuk Indonesia, pluralisme itu sendiri sesungguhnya sudah termuat dalam sila pertama dari Pancasila yang juga menjiwai sila-sila lain dari Pancasila yang mengadopsi nilai-nilai Islam,Kristen dan agama-agama lain. Suatu sintesa dari nilai-nilai agama-agama, suku dan budaya yang telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia, dan memungkinkan semua orang di bumi Indonesia dapat hidup bersama dengan rukun  tanpa terdiskriminasikan.

 

Binsar Antoni  Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/03/mewaspadai-konflik-agama.html



Konstruksi ilmu pengetahuan

http://dlvr.it/TDBXt8