Quo Vadis Pendidikan Tinggi Teologi Di Indonesia
Matius 28: 19-20, Kisah
Rasul 19:8-10
Perintah memberitakan Injil diberikan Yesus pada semua murid Kristus. Setelah
Kebangkitan, empat puluh hari lamanya Yesus menampakkan diri kepada
murid-murid-Nya. Dengan beragam cara dan dalam situasi beragam, Yesus
menampakkan diri kepada murid-murid-Nya agar murid-murid percaya dan tahu
dengan pasti, artinya mengalami pengalaman nyata perjumpaan dengan Yesus yang
bangkit dari kematian. Setelah peristiwa kehadiran Kristus dengan tubuh
kebangkitan, Maka Yesus naik ke surga disaksikan para murid yang telah menjadi
percaya. Selanjutnya, setelah kenaikan Yesus ke Surga, maka pada hari ke lima
puluh setelah kebangkitan, Yesus mengirimkan Roh Kudus untuk menyertai
murid-murid-Nya. Hari itu dirayakan sebagai hari Pentakosta.
Murid-murid Yesus yang telah percaya dengan kebangkitan Kristus, secara
khusus 12 murid dengan Matias yang ditambahkan sebagai pengganti Yudas menjadi
saksi kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga. Kedua belas murid Yesus
itu disebut Rasul, saksi mata tentang kehidupan Kristus, kematian, kebangkitan,
kenaikan ke surga dan janji Yesus akan datang kembali sebagai hakim yang agung.
Para Rasul itu menjadi saksi digenapinya rencana Allah untuk pengampunan dosa
manusia yang dikerjakan oleh Yesus di salib.
Salah seorang rasul yang bukan termasuk dalam dua belas murid Yesus
adalah Saulus yang kemudian disebut Paulus. Perjumpaan
Paulus dengan Yesus secara khusus, dan ajaran Paulus yang langsung diajarkan
oleh Yesus, serta perintah Yesus kepada Paulus untuk menjadi saksi Injil,
menjadikan Paulus setara dengan para Rasul. Paulus mengatakan dirinya yang
paling rendah dari para rasul.
Salah satu strategi Paulus yang jitu dalam mengabarkan Injil keseluruh
Asia adalah strategi pemuridan dengan melatih murid-muridnya di ruang kuliah
Tiranus. Tidak dijelaskan Apakah Paulus mendirikan sekolah teologi, tetapi
Paulus menggunakan ruang kuliah Tiranus untuk melatih murid-muridnya. Ada
penafsir yang menjelaskan bahwa kemungkinan Paulus menggunakan ruang kuliah
Tiranus ketika ruang kuliah itu tidak digunakan. Namun dapat dipahami, bahwa
melatih murid-murid secara khusus seperti pendidikan tinggi teologi merupakan
cara efektif untuk mempersiapakan tenaga-tenaga pemberita Injil. Paulus melatih
murid-murid nya selama dua tahun di ruang kuliah Tranus, dan melalui
murid-murid Paulus itu Injil tersebar luas di Asia.
Melatih murid seperti yang dilakukan Yesus, demikian juga melatih murid
seperti yang dilakukan Paulus di ruang kuliah Tiranus merupakan cara efektif
untuk memberitakan Injil. Itulah sebabnya penekanan kata dalam mandat Injil
adalah pada kata murid. Sekolah Tinggi Teologi saat ini merupakan wadah untuk
melatih murid-murid Yesus untuk membawa berita Injil, bukan hanya sebagai
pejabat gereja. Tetapi dengan kemajuan organisasi gereja, Sekolah Tinggi
Teologi atau biasa awalnya disebut seminari, merupakan wadah untuk
mempersiapkan pelayan-pelayan gereja. Tetapi, dengan banyaknya denominasi
gereja saat ini, dan perubahan kebijakan publik tentang pendidikan tinggi,
secara khusus pendidikan tinggi teologi seakan tak tahu arah, kemanakah
pendidikan tinggi teologi di Indonesia akan mengarah. Masihkah pendidikan
tinggi teologi berdampak bagi gereja dan institusi Kristen, secara khusus menghadirkan
terang Kristus di bumi Indonesia.
Kewajiban akreditasi mengharuskan pendidikan tinggi teologi bermutu,
pada sisi itu tentu menolong pendidikan tinggi untuk terus meningkatkan
mutunya, tetapi dengan keragaman dogma gereja, serta makin beragamnya program
studi, pedidikan tinggi teologi dapat berubah jenis pendidikan dari sekolah
tinggi menjadi institut, dan kemudian menjadi universitas. Pendidikan tinggi dengan keragaman program
studi bukan lagi hanya memenuhi kebutuhan gereja, tetapi juga lembag-lembaga
Kristen dengan beragam aktivitas, serta kebutuhan pegawai negri sipil ata
pegawai pemerintah yang menjanjikan peluang kerja lebih luas.
Persoalan kurikulum menjadi beban tersendiri bagi pendidikan tinggi
teologi yang tidak mempersiapkan diri dengan baik. Kondisi ekternal yang cepat
berubah tampaknya membuat banyak pendidikan tinggi teologi di Indonesia
kehilangan arah, dan tidak sedikit pendidikan tinggi teologi yang tak mampu
merumuskan Visi, Misi Institusi dan Visi keilmuan program studi untuk merespons
zaman yang cepat berubah itu. Wajar saja jika kita bertanya, mau kemana
pendidikan tinggi teologi di Indonesia?
Pendidikan Tinggi
Teologi Dan Pendidikan Warga Gereja
Pendidikan Warga Gereja
Tri tugas Gereja (Koinonia, Diakonia, Marturia) secara tegas menyatakan
bahwa warga gereja perlu bertumbuh dalam pengenalan akan firman Tuhan yang
baik, untuk hidup saling melayani, dan kemudian secara bersama menjadi saksi
Kristus. Pendidikan Warga gereja secara khusus dalam hal ajaran gereja (Dogma
gereja/Firman Tuhan) perlu menjadi perhatian gereja, secara khusus dalam era
global dengan kemajuan teknologi komunikasi yang membuat informasi apapun dapat
menembus ruang-ruang yang dulunya privat. Pentingnya pendidikan warga gereja
ini telah dibahas dalam jurnal-jurnal ilmiah teologi dan jurnal-jurnal
pendidikan agama Kristen.
Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen
Pendidikan tinggi keagamaan Kristen pada awalnya biasa disebut sekolah
teologi dan sekolah tinggi teologi. Sekolah teologi telah ada dalam banyak
gereja dengan tujuan memberikan pengetahuan teologi kepada jemaat untuk dapat
melayani dengan baik untuk mengerjakan Tri Tugas Gereja yang
diselenggarakan oleh gereja secara
eksklusif, dan juga kerja sama antara gereja dan sekolah tinggi teologi, dan
pada umumnya belum ada integrasi antara pendidikan warga gereja dan sekolah
tinggi teologi. Itu terlihat bahwa lulusan sekolah teologi di gereja ketika berkeinginan atau terpanggil
sebagai calon pendeta perlu mengulang seluruh mata kuliah yang ada di Sekolah
Tinggi Teologi dengan alasan bahwa mata kuliah yang di dapat di sekolah teologi
memiliki kualifikasi yang berbeda dengan yang ada di sekolah tinggi teologi. Pendidikan
tinggi teologi kerap dianggap sebagai orang khusus yang terpanggil untuk
menjadi pemimpin gereja, sedangkan pendidikan warga gereja adalah calon-calon
pelayan jemaat yang terbatas untuk membantu pimpinan gereja dalam memenuhi Tri
Tugas Gereja. Apalagi ketika ilmu teologi masih merasa menjadi ratu ilmu
pengetahuan, maka kurikulum pendidikan tinggi teologi tak mampu mempersiapkan
lulusannya dalam pelayanan atau pekerjaan yang lebih luas. Usaha
mengarusutamakan pendidikan tinggi teologi kerap dikumandangkan, tetapi
langkah-langkah untuk mengarusutamakan itu terganjal banyak hal, secara khusus
kepemimpinan pendidikan tinggi teologi.
Pada sisi lain, Integrasi pendidikan informal, non formal dan formal
merupakan amanat Sistem pendidikan nasional tahun 2003. Integrasi pendidikan
itu perlu mewujud dalam kurikulum pendidikan tinggi keagamaan Kristen
(pendidikan formal), dan pendidikan warga gereja (Pendidikan informal).
Lemahnya integrasi pendidikan informal (pendidikan agama dalam keluarga)
Pendidikan non formal (Pendidikan warga gereja), dan Pendidikan pada Pendidikan
Tinggi Keagamaan Kristen menyebabkan teologi gereja yang dinyatakan dalam Tata
dasar dan tata gereja tidak mengalami perkembangan teologi berarti, demikian
juga sebaliknya luaran-luaran pendidikan tinggi keagamaan Kristen tidak
mendapatkan tempat yang tepat di gereja.
Kehadiran para tokoh gereja yang mengaku tak mengenyam pendidikan
teologi merupakan sebuah sindiran terhadap pentingnya pendidikan tinggi
keagamaan Kristen, secara bersamaan juga menyiratkan bahwa luaran pendidikan
tinggi keagamaan Kristen tak memiliki dampak berarti bagi pengembangan dan
pertumbuhan gereja. Pada sisi lain tokoh-tokoh pendidikan tinggi keagamaan
Kristen tidak banyak yang hadir dalam diskusi-diskusi teologi gereja, kecuali
mereka yang merangkap jabatan sebagai dosen dan secara bersamaan juga sebagai
pendeta jemaat. Apalagi pendidikan tinggi teologi pada umumnya hanya berperan
sebagai benteng pelindung dogma gereja, Peran penelitian dan pengabdian
masyarakat Pendidikan Tinggi teologi masih sangat rendah.
Merdeka Belajar kampus
Merdeka
Landasan lain dari integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan
tinggi keagamaan Kristen dapat dibaca pada Pedoman kurikulum merdeka belajar
kampus merdeka tahun 2020, yang kemudian dikembangkan dalam permendikbudristek
dikti nomor 53 tentang penjaminan mutu, dan selanjutnya kurikulum dikti 2024. Pedoman
yang ditetapkan baik terkait penjaminan mutu maupun kurikulum merdeka belajar
kampus merdeka merupakan kebijakan
pemerintah yang mendasari pendidikan formal Pendidikan Tinggi keagamaan Kristen
untuk merumuskan integrasi pendidikan warga gereja dengan pendidikan tinggi
keagamaan Kristen.
Alternatif meningkatkan
kompetensi pelayan Kristen.
Warga gereja adalah input bagi Pendidikan Tinggi Teologi, secara khusus
mereka yang telah mengikuti pendidikan warga gereja (non formal) yang
bekerjasama dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi pendidikan
warga gereja akan mengakibatkan kualitas input pendidikan tinggi keagamaan
Kristen menjadi lebih baik. Pada sisi lain pendidikan tinggi keagamaan Kristen
perlu memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan kegiatan belajar yang ada pada
pendidikan warga gereja dengan melakukan equivalensi terstruktur dan
equivalensi tidak terstruktur sebagaimana juga dijelaskan dalam kurikulum
merdeka dan merdeka belajar.
Pada sisi lain, pendidikan tinggi keagamaan Kristen perlu menyadari
bahwa Gereja adalah pengguna lulusan pendidikan tinggi teologi, pada semua
program studi, sehingga kemampuan pelayanan yang dikembangkan dalam gereja
perlu menjadi mata kuliah pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi
itu akan membuat pendidikan tinggi keagamaan Kristen dapat memahami kebutuhan
gereja, sehingga kontribusi pendidikan tinggi teologi menjadi tepat sasaran.
Menurut penelitian saya sebagai Pembina pada banyak pendidikan tinggi
teologi, baik ketika berada sebagai ketua bidang penelitian Perkumpulan Dosen
dan Perguruan Tinggi Kristen Indonesia (PDPTKI), Ketua Umum Asosiasi Program
Studi Ilmua Keagamaan (APSIK), juga sebagai asesor lembaga akreditasi mandiri
kependidikan (LAMDIK), serta pernah menjadi narasumber perumusan kurikulum mengacu KKNI pada tahun
2017, dll. Terlihat jelas bahwa Perguruan Tinggi kegamaan Kristen belum mampu
melakukan integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan
Kristen. Salah satu persoalannya adalah pendidikan tinggi keagamaan Kristen
pada umumnya belum mampu merumuskan kurikulum mereka dengan baik, sehingga
tidak memiliki rencana yang baik bukan hanya untuk luarannya, tapi juga seleksi
input, dan kemudian tentunya mengakibatkan proses untuk mencapai profil lulusan
tidak dapat dipetakan dengan baik.
Kurikulum adalah sebuah rencana, tanpa sebuah rencana yang baik tidak
dapat diharapkan hasil sesuai yang diharapkan. Salah satu rencana yang perlu
dirumuskan dengan baik adalah perumusan kurikulum dan pengembangan kurikulum
untuk merepons perubahan. Tanpa pemahaman Visi dan Misi yang baik, Konteks
kebijakan pendidikan di Indonesia, Pendidikan tinggi keagamaan Kristen akan tak
tahu akan kemana, dan tentunya tidak mampu membuat proyeksi untuk merespon
zaman yang terus berubah.
Penutup
Pendidikan Tinggi teologi perlu meningkatkan mutu secara berkelanjutan,
dan tentunya perlu melampaui standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Disamping
itu pendidikan tinggi teologi perlu mengintegrasikan pendidikan warga gereja
dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Gereja dan lembaga pendidikan tinggi
keagamaan Kristen, perlu membangun kemitraan bukan hanya pada gereja-gereja
sealiran dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen, tetapi juga kemitraan
dengan gereja-gereja yang beragam aliran untuk bersama meningkatkan kompetensi
tenaga pelayan Kristen.
No comments:
Post a Comment