Podcast Rukun Beragama

Wednesday, January 13, 2021

Belajar dari Masyarakat Adat Saat Covid









Pemerintah kota di Indonesia perlu belajar dari masyarakat adat dalam menangani covid-19. Setidaknya dalam mengatur arus masuk dan keluar pengunjunga kota-kota itu.



Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mungkin cocok mencontoh kehidupan masyarakat Adat. Saat saya berada di Desa Sinar Resmi, masuk keluar orang dari desa tersebut terpantau dengan baik. Bahkan mereka yang berkunjung ke desa tersebut mendapatkan tempat tersendiri dalam pemantauan pimpinan desa. Mungkin itulah sebabnya, penyebaran Covid 19 tidak begitu terdengar melanda daerah masyarakat adat yang tertata dengan baik dengan aturan adat yang dipatuhi masyarakat desa. Berbeda dengan penerapan PSBB di Provinsi DKI Jakarta yang sarat pelanggaran.


Masyarakat adat melekat dengan agamanya, berarti juga melekat dengan aturan yang ditaati masyarakat sebagai standar hidup bersama. Ketaatan pada aturan adat menjadikan toleransi dalam msyarakat adat tertata dengan baik. Berdasarkan hal tersebut maka menghormati masyarakat dalam daerah urban saat ini berarti juga menghormati agama dan kepercayaan masyarakat adat. Eksistensi masyarakat adat perlu tetap diproteksi dalam masyarakat urban. Karena menjaga eksistensi masyarakat adat adalah merawat nilai-nilai toleransi yang secara bersamaan juga merawat NKRI.


Marthin Luther dengan tegas mengatakan, “di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Kebebasan memilih agama dan kepercayaan adalah hak dari Tuhan, karena suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia. Kebebasan hati nurani menjadi hak asasi yang paling mendasar. Dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara. Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM).


Kebebasan hati nurani merupakan kunci kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Tanpa kebebasan hati nurani tidak mungkin tercipta ruang publik yang sehat yang mensyaratkan kerelaan setiap anggota masyarakat untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya. Dan itu bisa diwujudkan di negeri ini jika Kepercayaan diposisikan setara dengan agama-agama resmi. Masyarakat adat


Menegasikan masyarakat adat, penganut agama suku, aliran kepercayaan yang menjadi identitas masyarakat adat, serta menjadikan mereka warga kelas dua di negeri ini, sama saja dengan menghianati perjuangan kemerdekaan indonesia yang dilakukan oleh segenap rakyat Indonesia, termasuk didalamnya adalah masyarakat adat, mereka yang menganut agama suku dan aliran kepercayaan. Karena itu, kolonialisasi terhadap agama suku dan aliran kepercayaan tidak boleh terjadi di negeri toleran ini.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/belajar-dari-masyarakat-adat-saat-covid.html


Kekerasan Agama Masih Jadi Persoalan Indonesia

 







Salah satu persoalan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia yang menjadi sorotan dunia adalah perihal kekerasan agama.

Maraknya kekerasan agama dengan munculnya organisasi-organisasi intoleran yang mengambil peran aparat hukum dalam menyelesaikan konflik agama tentu saja membuat kita jengah. 

Negara sebagai lembaga yang memiliki hak monopoli penegakkan hukum seakan kalah oleh kelompok-kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya.

 

Penyerangan terhadap kebebasan beragama yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran itu tentu saja memengaruhi kerukunan beragama yang telah lama subur di negeri ini. 

Kecurigaan antaragama yang dihembuskan kelompok-kelompok intoleran telah membuat munculnya cluster-cluster berdasarkan agama tertentu, dan secara bersamaan  mempersempit ruang dialog agama-agama. 

Integrasi agama-agama telah menjadi persoalan yang tidak mudah, itulah sebabnya konflik agama bermunculan diberbagai tempat.


Konflik agama

Sebenarnya konflik yang membawa-bawa nama agama bukan eksklusiv terjadi di Indonesia. 

Derasnya arus imigran dari Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika Selatan sesungguhnya telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi perjumpaan agama-agama yang berbeda dan beragam itu pada negara-negara Eropa.   

Demikian juga dengan negara-negara Eropa Timur yang sebelum komunis berkuasa dan sesudah tumbangnya komunis adalah negara-negara sekuler yang menetapkan agama hanya boleh ada pada ruang privat agama. 

Pada pemerintahan komunis kegiatan agama menjadi aktivitas terlarang. Kini mereka harus menghadapi persoalan bagaimana perjumpaan agama-agama yang berbeda dan beragam itu tidak menimbulkan koflik ditengah kebangkitan agama-agama,  khususnya pada penolakan agama-agama untuk tidak boleh ada pada ruang publik.  

 

Mengijinkan agama-agama untuk hadir pada ranah publik memang bukan persoalan mudah bagi negara-negara sekuler yang melihat agama bukan sebagai kebutuhan, bahkan telah memarginalkannya begitu lama. Apalagi mereka memiliki keyakinan bahwa tanpa agama mereka bisa hidup sebagai sebuah negara.

Sedang pada sisi lain, negara-negara yang mengatur kehidupan masyarakatnya dengan nilai-nilai agama yang amat ketat juga tidak mampu mengatasi persoalan sosial seperti korupsi, kemiskinan dan keborobrokan birokrasi.

.

Sengkarut antara agama dan negara pada abad pertengahan tentu saja masih menyisakan trauma dan ketakutan bagi negara-negara sekuler. Negara-negara demokrasi kini menghadapi tantangan baru, karena sebagai negara demokrasi mereka harus mengijinkan agama-agama yang beragam itu  hadir dalam ruang publik.

Kehadiran agama pada ruang publik untuk Indonesia sebenarnya bukan persoalan. Pengalaman Indonesia hidup bersama dalam keragaman agama, etnik dan budaya berada dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan itu dilalui dengan damai. 

Kehadiran agama-agama di Indonesia berlangsung dengan cara damai, bahkan tidak jarang terjadi sinkretisme agama-agama yang kemudian menyemarakkan keragaman agama-agama di Indonesia.

 

Peran positif agama adalah suatu realitas bagi Indonesia. Itulah sebabnya di negeri ini agama memiliki posisi yang terhormat, agama-agama di Indonesia memiliki peran yang amat besar bagi pembangunan nasionalisme Indonesia, dan dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

 

Kekerasan agama di ruang publik

Penggambaran agama yang penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap. Casanova berujar, selama tahun 1980-an, para aktivis religius juga merupakan para pemain utama di dalam gerakan-gerakan yang berjuang untuk pembebasan, keadilan, dan demokrasi di seluruh dunia.

 

Hadirnya teologia pembebasan di Amerika Latin, yang kemudian menyebar kebelahan dunia lainnya dengan bentuk dan  nama-nama baru, Afrika dan Asia misalnya adalah bukti yang tak terbantahkan dari keterlibatan aktivis religius dalam menegakkan keadilan, dan demokrasi. Ini juga diteguhkan oleh R. Scott Appleby telah menekankan banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.

Harus diakui, agama mempunyai dampak ganda atau apa yang disebut Appleby sebagai “ambivalensi dari yang suci. Cassanova menyebutnya wajah ganda agama (janus face). Namun, wajah ganda agama itu tidak berasal dari agama itu sendiri, tetapi dari cara pemeluk-pemeluk agama itu beragama. Karena itu mengkerangkeng agama hanya ada pada dunia privat agama saja merupakan tindakan yang tidak bijak, dan akan menimbulkan balas dendam agama.

 

Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/kekerasan-agama-masih-jadi-persoalan.html


Tuesday, January 12, 2021

Bintang Jasa Pemberantas Korupsi

 






Bintang Jasa Pemberantas Korupsi perlu dianugerahi kepada mereka yang berjuang keras menekan tingginya angka korupsi di Indonesia.


Penanganan kasus-kasus korupsi yang terus terkuak, bahkan mulai menyentuh kasus-kasus mega korupsi, belum juga menjanjikan Indonesia merdeka dari  korupsi. Kondisi ini telah menggangu kegembiraan peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75 tahun ini. Pasalnya, kasus-kasus mega korupsi  belum juga terselesaikan.



Korupsi sebagai musuh bersama 

Reproduksi korupsi dipandang dari sudut manapun tak memiliki pijakan kebenaran. Karena itu, ”menjadikan korupsi sebagai 'budaya,” atau membiarkan korupsi terus mereproduksi adalah sebuah kesalahan fatal. Korupsi  adalah kebiadaban, musuh semua manusia. Manusia beradab mestinya menekan hal-hal yang jahat, dan berusaha semaksimal mungkin menumbuhkan nilai-nilai manusia yang bermutu dan   mulia, yakni kebaikan, keadilan, serta segala sesuatu yang merupakan kebaikan bagi sesama. Maka, menjadikan korupsi sebagai “budaya” sama saja dengan menciptakan negara mafia yang biadab dan tak     berperikemanusiaan. 


Korupsi dana pendidikan telah menyebabkan biaya pendidikan terus melambung, meski pos dana pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Korupsi dana kesehatan  menyebabkan biaya rumah sakit tak terjangkau rakyat kecil, sudah tak terhitung berapa nyawa yang harus melayang karena mereka tak mampu membayar pengobatan di rumah sakit. Korupsi juga menjadi biang keladi mengapa terjadi eksploitasi alam yang semena-mena dan menyengsarakan masyarakat disekitar eksploitasi alam itu terjadi, karena alam tak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka, belum lagi bahaya banjir, tanah longsor yang setiap saat bisa mengancam mereka akibat  penebangan hutan, tanah-tanah tandus di tempat eksploitasi bahan tambang dll. 


Manusia beretika mestinya menyadari akibat buruk perbuatannya pada orang lain, baik pada masa kini maupun generasi selanjutnya. Tepatlah apa yang dikatakan Aristoteles, “lebih baik menderita daripada melakukan kejahatan.” Hans Jonas, seorang filosof Jerman-Amerika, secara lebih luas mengungkapkan, Bertindaklah sedemikian rupa hingga akibat-akibat tindakan kita dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi.”Bayangan buruk dari akibat perbuatan jahat pada masa kini terhadap masa mendatang harusnya membuat kita berusaha bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang kita lakukan. Reproduksi korupsi dengan alasan apapun harus ditumpas oleh segenap rakyat di negeri ini, korupsi tak layak “dibudidayakan”. Korupsi layak menjadi musuh bersama bangsa ini.


Kita patut merenungkan apa yang di suarakan Levinas, Respon deo ergo sum, (aku bertanggung jawab, jadi aku berada). Manusia bukan lagi manusia jika tak memiliki tanggung jawab atas sesamanya. Melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan sesama adalah prinsip utama etika, " berbuat baiklah terhadap sesama dan  janganlah berbuat jahat terhadap sesama." Jadi, reproduksi korupsi yang menyengsarakan sesama adalah tidak etis dan tanda manusia tak berbudaya. Semua orang yang memiliki jiwa kepahlawanan tentu tak akan membiarkan merajalelanya korupsi di negeri ini.


Bintang jasa pemberantas korupsi

Indonesia memerlukan pemimpin yang tidak hanya pandai, memiliki kemampuan manajerial yang tersohor, tetapi juga memiliki sifat kepahlawanan. Pemimpin yang memiliki sifat kepahlawanan  adalah pemimpin yang berani membela dan menyuarakan kebenaran, yang menguntungkan semua orang tanpa perbedaan, dan yang mendatangkan kebaikan bagi semua masyarakat.


Di negeri ini, korupsi tergolong dalam kejahatan luarbiasa, pemberantasannyapun  menjadi bagian dalam perjuangan reformasi. Dan perjuangan pemberantasan korupsi itu juga telah melewati satu dekade reformasi, namun hasilnya tetap belum menggembirakan. Bahkan, Indonesia kini sedang memasuki masa paling kelam dalam pemberantasan korupsi, yakni terjadinya reproduksi korupsi yang banal. Reproduksi korupsi ini tentu saja tak boleh dibiarkan terus menggila, atau dibiarkan merasuki semua elemen bangsa, karena taruhannya adalah masa depan bangsa ini. 


Perilaku korupsi yang dibiarkan merajalela pada masa kini akan berdampak pada masa depan bangsa, yaitu negara gagal. Indonesia membutuhkan tampilnya pahlawan-pahlawan pemberantas korupsi. Dan untuk memotivasi perjuangan berat tersebut, bintang jasa pemberantas korupsi diberikan pada pribadi-pribadi yang berjasa luarbiasa dalam pemberantasan korupsi, ini akan mendorong semua elemen bangsa untuk bahu membahu berperang melawan korupsi, dan menjadi korupsi musuh utama bangsa ini.


Tugas untuk menghantar rakyat negeri ini pada kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dengan cara memutus rantai korupsi merupakan tugas mulia. Mereka yang berkomitmen pada tugas tersebut layak mendapatkan Bintang Jasa Pemberantas Korupsi.



Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/bintang-jasa-pemberantas-korupsi.html


Demonstrasi Damai

 Demonstrasi damai merupakan solusi merajut Indonesia yang terkoyak. Jangan biarkan bumi Pertiwi ini bersimbah darah mereka yang adalah saud...