Podcast Rukun Beragama

Video

Showing posts with label Pemerintahan. Show all posts
Showing posts with label Pemerintahan. Show all posts

Friday, August 1, 2025

Soal Kebebasan Berekspresi

 










Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan tanpa batas, tetapi kebebasan berekspresi itu dapat dibatasi dengan undang-undang agar pemenuhan kebebasan individu tidak mengganggu kebebasan individu lainnya.


Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukanlah pengesahan bahwa setiap individu bisa bertindak secara liar tanpa menghormati martabat individu lainnya, yakni mengabaikan akibat penggunaan kebebasan berekspresi itu bagi individu lainnya.

 

Kebijakan publik yang mengatur kehidupan bersama sejatinya adalah sebuah konsensus bersama. Karena itu hukum, kebijakan publik sejatinya  harus melindungi setia individu atau kelompok tanpa dekriminasi.


Apabila  implementasi kebijakan publik terindikasi menegasikan individu atau kelompok tertentu, pastilah ada yang salah dalam rumusan kebijakan publik itu.

Kebebasan beragama

Setiap agama itu unik dan absolud bagi pemeluknya. Maka, tak seorangpun boleh menghina agama apapun. Menghina agama apapun sama saja dengan menghina martabat manusia beragama.

Berdasarkan hal tersebut jelaslah setiap individu beradab wajib menghargai dan menghormati apapun kepercayaan yang di anut oleh seseorang, dan juga menjauhi usaha-usaha untuk menghakimi agama-agama yang beragam dan berbeda itu.

Sebab itu terhinalah mereka yang menghina agama yang dianut manusia yang bermartabat, karena perbuatan tersebut menghianati kewajibab asasi manusia. Setiap orang tentu boleh saja menyaksikan agama yang diyakininya itu tanpa perlu melecehkan keyakinan agama dan kepercayaan lain.

Harus diakui bahwa penghinaan terhadap salah satu agama, bukan hanya menyakiti hati penganut agama itu, tapi juga menyakiti hati semua umat beragama. Karena itu  penghinaan pada salah satu agama sepatutnya diposisikan sebagai penghinaan terhadap semua agama, yang patut diwaspadai oleh semua umat beragama.

Kebenaran itu adalah milik Tuhan, interpretasi yang absolud tentang apapun yang kita percayai sesungguhnya hanya ada pada Tuhan. Karena itu tak seorang pun berhak memaksakan apa yang diyakininya kepada orang lain.

Menjadikan diri hakim atas sesamanya dalam menentukan tafsir yang benar tentang kepercayaan agama-agama lain adalah kesombongan, itu sama saja dengan memposisikan diri sebagai Tuhan, sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang menyadari keterbatasannya.

Apabila kita percaya, di dalam hati nuraninya yang terdalam manusia sesungguhnya mencintai kebenaran, maka manusia sepatutnya diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang sesuai dengan nuraninya, dan itu juga berarti, kebebasan adalah semata-mata untuk melaksanakan kebenaran.

Marthin Luther dengan tegas mengatakan,di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia.  Meneguhkan hal itu, Os Guinnes mengatakan, “kebebasan hati nurani adalah  dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara.” Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM). Karena itu pelaksanaan kebebasan berekspresi mestinya didasarkan pada nurani manusia yang terdalam, yakni mengusahakan kebaikan untuk sesamanya.

 

Apabila kebebasan hati nurani ini menjadi landasan dalam menjalankan hak kebebasan berekspresi, maka kebebasan berekspresi pastilah akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Sebaliknya, pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa hati nurani akan mengakibakan kekacauan dan ketidaktertiban. Itulah sebabnya, penghinaan atas agama yang bertentangan dengan suara hati nurani itu telah mengakibatkan kekacauan di banyak tempat.

Proteksi atas kebebasan hati nurani mestinya akan menciptakan ruang publik yang sehat, dimana setiap anggota masyarakat memiliki kerelaan untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya, bukannya saling menyakiti sesamanya.

Penghinaan terhadap agama tidak boleh ditolerir meski itu dengan alasan untuk mengagungkan hak kebebasan berekspresi. Kebebasan itu tidak liar. Kebebasan bernaung dalam ketaatan pada hukum. Siapapun yang melaksanakan kebebasannya dengan melanggar hukum, harus menerima ganjaran hukum yang setimpal.

Jika kita setuju bahwa kerukunan adalah sebuah kerelaan yang keluar dari nurani manusia yang menghargai kebenaran tentang martabat manusia yang adalah sederajat itu, dan selayaknya hidup harmonis dalam perbedaan di bumi yang satu ini, maka kerukunan tidak mungkin dihadirkan dengan mendewakankeliaran. Demikian juga, memaknai kebebasan sebagai kondisi dimana setiap individu boleh melakukan apa saja sangatlah tidak berdasar. Kondisi itu lebih patut disebutkeliaran.Kebebasan semata-mata diberikan untuk melaksanakan kebenaran yang memuliakan martabat manusia.

Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarinstitute.id/2020/12/soal-kebebasan-berekspresi.html

Thursday, November 9, 2023

Kapan Kegaduhan Akan Berakhir?

 



Kapan Kegaduhan Akan Berakhir?

 

Atas nama stabilitas politik, Tito Karnavian melabrak ketetapan pendahulunya dengan menempatkan salah seorang Cagub Jakarta menjadi tersangka. 


Panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat mengingatkan bahwa kebijakan tersebut bisa menjadi preseden buruk pada Pemilihan Kepala Daerah yang sedang masuk masa kampanye. 

Polisi bisa disibukkan dengan banyaknya tuntutan kelompok-kelompok  dengan tujuan memenangkan “jagoannya”.

Kebijakan itu sesaat memang mujarab, karena berhasil meredam aksi demo besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. 


Meski disinyalir, demo besar-besaran itu terkait hiruk-pikuk pertarungan perebutan kursi Gubernur.  

Mungkin ada benarnya, dilihat dari perspektif pengelompokkan partai politik pendukung pasangan calon, Kompetisi politik di di DKI Jakarta adalah proxy pertarungan Pemilihan Presiden  tahun 2019.

Kebijakan Kapolri tampaknya selaras dengan model perumusan kebijakan teori  kelompok. Pada model ini kebijakan diandaikan sebagai titik keseimbangan kelompok (equilibrium)

Harus diakui, kebijakan itu tepat sasaran. Kegaduhan memang masih terjadi, namun interaksi antar kelompok untuk memengaruhi kebijakan dapat diatur lewat penegakkan hukum, dan semua kelompok mendapatkan kesempatan yang sama. 

Kelompok-kelompok berhasil digiring  kedalam interaksi antar kelompok yang “fair” dengan setiap kelompok mendapatkan independensinya. 

Kelompok-kelompok  suka atau tidak suka digiring kedalam “model permainan,”setiap kelompok berada pada pilihan yang sama-sama bebas. 

Istilah ‘game’ mengandung arti pembuat kebijakan harus memutuskan kebijakan yang hasilnya tergantung pada pilihan aktor yang terlibat.

 

Kondisi independen kelompok-kelompok itu kemudian menimbulkan kegaduhan baru. Atas nama hukum, secara independen satu kelompok kemudian menuntut kelompok lain yang mengancam eksistensinya.

 Karena kelompok independen itu cukup banyak, fenomena saling melaporkan menjadi budaya baru di negeri ini. 

Secara bersamaan pemerintah harus memahami, hukum bisa jadi instrumen untuk kepentingan tertentu, dan jauh dari semangat untuk memberikan keadilan untuk semua.

Fenomena saling melapor yang ada saat ini tidak boleh diselesaikan dengan jalan tebang pilih, pemerintah harus menegakkan hukum untuk menciptakan kondisi nyaman kembali menaungi negeri ini. 

Apalagi, kegaduhan politik saat ini mulai memasuki masa mencemaskan, setidaknya para investor harus berpikir ulang untuk menempatkan dananya di negeri ini.

 

Mengakhiri kegaduhan

Stabilitas politik yang dijanjikan pemerintah menanggapi kecemasan masyarakat atas kegaduhan politik saat ini mestinya mengadopsi cara-cara demokrasi, bukannya cara-cara lama, yang sempat dihembuskan aktor-aktor politik terkait “isu makar.”

Harus diakui, hukum di negeri ini belum menjadi panglima. Ketidakadilan dalam penegakkan hukum bisa dilihat pada sejarah perjalanan panjang negeri ini.  

Hukum kerap hanya tajam ke bawah, untuk mereka yang lemah, dan tumpul ke atas bagi mereka yang mempunyai kekuasaan. 

Wajar saja jika fenomena saling melapor dicurigai membuktikan bahwa hukum masih menjadi alat untuk memaksakan kehendak kelompok tertentu, bukannya menyemaikan keadilan untuk semua.

 Terlebih lagi dalam kondisi kompetisi antar kelompok di negeri ini sangat kuat, ditambah lagi, persaingan politik pemilihan kepala daerah yang kian memanas.

Untuk mengakhiri kegaduhan politik yang terjadi saat ini mustahil mengadopsi  cara memuaskan semua kelompok, karena dalam permainan pasti ada yang kalah dan ada yang menang.

Pemerintah harus berpegang pada aturan hukum, dan menjadikan hukum sebagai panglima, bukannya berpihak pada kelompok yang bersuara keras, atau menggerakan massa besar.

Tiap kelompok independen boleh saja menuntut lahirnya kebijakan yang adil untuk mereka, tapi kebijakan itu belum tentu baik untuk semua, apalagi dengan persaingan antar kelompok yang saling menuntut dominasinya, kebijakan rasional tidak mungkin bisa dihadirkan.

Berharap kegaduhan politik dinegeri ini tenang dengan sendirinya adalah mustahil. Kelompok independen, apalagi yang tak perduli dengan cita-cita negeri ini yang di dasarkan pada Pancasila, tentu saja akan merongrong pembangunan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang kuat. 

Tidak mustahil, di negeri ini ada kelompok-kelompok yang tidak menginginkan hadirnya pemerintah yang kuat, sehingga bertindak semaunya. 

Pemerintah harus bertindak tegas menegakkan kebijakan yang telah dirumuskan untuk kemuliaan bangsa dan negara ini. 

Tindakan nyata pemerintah menenangkan kegaduhan untuk memberikan kenyamanan menjadi harapan semua rakyat Indonesia yang mencintai negeri ini, yang tersohor dengan keramahtamahannya.


Dr. Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarinstitute.id/2020/11/kapan-kegaduhan-akan-berakhir.html

 

Anti Kristus Jaman Now

  Anti Kristus Jaman Now: PGI, PGLII, PGPI, Aras Nasional Gereja Perlu Waspada!   Gereja pada awalnya adalah sebuah komunitas misioner...