Monday, February 1, 2021

Toleransi Antaragama

 







 

Binsar A. Hutabarat dan H. Hans Panjaitan



This article will measure the level of religious tolerance in Indonesia. The measurement of this level of tolerance is based upon views of some students’ organizations in Jakarta. These samples are chosen because they are groups which have most involvement in the issue of religious relationship. These samples which are used to represent the population of students’ organizations are five religious related organizations, namely: Christian Students Movement of Indonesia (GMKI), Islam Students Community (HMI), Buddhist Students Community of Indonesia (HIKMAHBUDHI), Hindu Dharma Students Union of Indonesia (KMHDI), and Catholic Students Unity of the Republic of Indonesia (PMKRI). The views of these students’ organizations are expected to be measurement tools for the level of religious tolerance in Indonesian society, which are very important to preserve the integrity of Indonesia as a nation. Data collection in this research uses surveys in the form of a Likert scale, as well as structured interview. Data analysis is done with triangulation method so that it is expected that data validity can be well preserved.

 

Artikel yang berjudul ‚Tingkat Toleransi Antaragama di Masyarakat Indonesia‛ ini akan mengukur tingkat toleransi antaragama di Indonesia. Pengukuran tingkat toleransi ini didasarkan pada pendapat organisasi mahasiswa di Jakarta. Sampel ini dipilih karena organisasi mahasiswa merupakan kelompok yang paling terlibat dalam persoalan


 

hubungan antaragama. Sampel yang digunakan untuk mewakili populasi organisasi mahasiswa adalah lima organisasi mahasiswa beratribut keagamaan, yakni:  Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Himpunan Mahasiswa  Islam (HMI), Himpunan Mahasiswa Buddha Indonesia (HIKMAHBUDHI), Kesatuan Mahasiswa  Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), dan Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Pendapat organisasi mahasiswa ini diharapkan dapat menjadi alat ukur tingkat toleransi antaragama dalam masyarakat di Indonesia, yang amat penting untuk memelihara keutuhan bangsa Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket dalam bentuk skala Likert, dan juga wawancara terstruktur. Analisis data dilakukan dengan metode triangulasi, sehingga diharapkan validitas data dapat terjaga dengan baik.


toleransi, agama, kekerasan.

 

Toleransi antarkelompok agama merupakan isu yang kerap menjadi perhatian besar di Indonesia, khususnya  di era reformasi. Konflik antaragama di banyak tempat bisa dikategorikan sebagai bencana nasional, karena membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Konflik dalam kategori bencana nasional ini bukan hanya mengakibatkan korban materi tetapi juga, korban luka-luka dan korban meninggal dunia. Wajar saja jika konflik antaragama yang terus berlangsung hingga saat ini menjadi perhatian banyak pihak di negeri ini. Toleransi yang awalnya menjadi modal sosial untuk terciptanya integrasi bangsa pada era reformasi kerap  mengalami pasang surut. Akibatnya proses integrasi bangsa bukan hanya mengalami hambatan, tetapi kecurigaan antarkelompok semakin kuat, bahkan tidak jarang hanya gara-gara karena persoalan sepele, konflik antaragama bisa meletus.

 


 

Laporan tentang kekerasan antarumat beragama yang menunjukkan pasang surut tingkat toleransi masyarakat di Indonesia sebenarnya telah diterbitkan oleh banyak lembaga kajian, seperti SETARA Institute, Wahid Institute, Interseksi dll. Penelitian mengenai faktor-faktor determinan toleransi antaragama yang pernah dilakukan oleh lembaga kajian Interseksi, yang dituangkan dalam buku Komunalisme dan Demokrasi, menjelaskan bahwa komunalisme salah satu faktor yang menyebabkan tergerusnya toleransi antaragama di Indonesia.1

Penelitian yang dilakukan Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Beragama pada tahun 2010 tentang Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri), menunjukkan bahwa kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap toleransi beragama mahasiswa. Lingkup penelitian ini menduga ada faktor agama dalam toleransi antarkelompok masyarakat di Indonesia.2


 

 

Keragaman adalah realitas Indonesia yang tidak bisa ditolak. Keragaman elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) Indonesia terlihat jelas dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu) secara jelas menyatakan bahwa keragaman Indonesia tidak bisa


1 Lihat: Hikmat Budiman, Landry H. Subianto, ed. Komunalisme dan Demokrasi (Jakarta: Interseksi, 2003).

2 Lihat: Bahari,ed., Toleransi Beragama Mahasiswa (Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010).


 

dihomogenisasi. Indonesia adalah satu dalam keragaman. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu telah mengantarkan Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang  mampu memelihara realitas keragamannya dan mendapatkan manfaat dari keragaman tersebut. Dalam hal keragaman agama, toleransi antarumat beragama merupakan modal sosial yang menjadi kunci keberhasilan Indonesia, dan harus terus dipelihara untuk menjaga keutuhan Indonesia.

Dalam perjalanan waktu, toleransi antaragama di Indonesia tidak selalu terjaga dengan baik. Ada banyak konflik bernuansa agama yang mengubah wajah Indonesia—yang terkenal dengan toleransinya—menjadi negara yang penuh kekerasan antaragama. Entah sudah berapa  kali kekerasan bermotif agama yang sangat merisaukan terjadi, terutama di era reformasi ini. Konflik bermotif agama tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, tetapi juga nyawa manusia. Ironisnya negara seakan  tidak  hadir.

Tentu masih segar dalam ingatan kita peristiwa berdarah yang terjadi dalam kurun 1998 – 2000 di Ambon, Maluku. Saat itu pecah kerusuhan berkepanjangan antarkelompok masyarakat beragama yang melibatkan kelompok Kristen dengan Islam. Konflik yang berlangsung bertahun-tahun dan memakan banyak korban jiwa dan harta benda itu padahal bermula dari konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan sopir angkutan kota. Kemudian meluas menjadi konflik antara kelompok masyarakat Ambon dan kelompok Masyarakat Bugis, Buton, dan Makassar. Karena konflik tersebut kemudian membawa-bawa agama, maka kemudian menjadi konflik antara kelompok masyarakat Kristen Ambon dengan kelompok masyarakat Islam Ambon. Konflik ini menjadi salah satu konflik terbesar dan terlama di negeri ini, dan dapat dikatakan sebagai bencana nasional yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, serta harta benda. Konflik


 

yang membawa-bawa nama agama juga terjadi di Maluku Utara yang melibatkan dua kelompok masyarakat yang berbeda agama3.

Konflik dalam skala besar juga terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Laporan jurnalistik menyebutkan konflik Poso sebagai tragedi tiga babak. Pertama tanggal 25-30 Desember 1998; Kedua 15-21 April 2000; Ketiga, tanggal 23 Mei – 10 Juni 2001. Ditilik dari sisi dinamika kelompok (in group- out group), kerusuhan ini merupakan konflik horizontal antara kelompok Islam dan Kristen.  Konflik bermula dari perkelahian antarpemuda (kriminal) berkembang menjadi kerusuhan bernuansa SARA yang tidak terkendali, mengakibatkan tumpulnya pemerintahan, perekonomian, transportasi dan aktivitas masyarakat. Agama bukan merupakan pemicu utama, tapi lebih  berperan sebagai faktor pengiring yang  datang belakangan, dimanfaatkan selaku penggalang solidaritas.4

Belum lama ini, konflik yang sama juga sempat melanda masyarakat Tolikara, Papua, tepatnya pada 17 Juli 2015 lalu. Konflik ini diduga ada kaitannya dengan agama, karena menyasar kelompok agama tertentu dan juga rumah ibadah. Dalam peristiwa ini bukan hanya gedung bangunan yang menjadi sasaran amuk massa, tapi juga menyebabkan seorang warga meninggal dunia, dan beberapa orang lainnya terluka parah. Belum tuntas persoalan ini, konflik antarwarga berbeda agama meletup di Singkil, Aceh, pada pertengahan Oktober 2015. Dengan alasan tidak memiliki izin, beberapa gereja menjadi sasaran amuk massa. Selanjutnya massa menuntut agar tempat-tempat ibadah umat kristiani tersebut ditutup selamanya. Pada peristiwa ini bukan hanya rumah ibadah yang dibakar, namun juga ada korban meninggal dan luka-luka, dan ribuan orang mengungsi.

 


3
Budiman dan Subianto, Komunalisme dan Demokrasi, 104. 

4 Chandra Setiawan, Direktori Penelitian Agama, Konflik dan Perdamaian (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2005), 156-7.


 

Kita harus mengakui, Indonesia yang sejak dulu terkenal dengan keramahtamahannya, telah berubah menjadi negara yang kerap diwarnai kekerasan bernuansa agama. Kondisi ini semakin diperparah oleh oknum- oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja ‚menjual‛ agama untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri. Hal ini jamak terjadi pada pilkada atau pemilu. Ada saja pihak- pihak yang tidak sungkan memainkan isu agama dalam rangka menjegal lawan politiknya. Contoh terkini adalah menjelang Pilkada DKI 2017. Namun saat ini suhu politiknya sudah sangat membara. Unsur SARA sangat terang-terangan digunakan oleh banyak pihak yang tidak menginginkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terpilih kembali menjadi gubernur DKI untuk periode 2017 – 2022. Statemen bahwa ‚haram hukumnya memilih pemimpin yang berasal dari agama lain‛, menjadi kalimat andalan bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menjegal lawan politiknya yang kebetulan tidak seagama. Dapat dikatakan, kondisi-kondisi semacam ini yang bisa berujung pada konflik antaragama di negeri ini, amat mengkhawatirkan, dan dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Singkatnya, kemajemukan masyarakat Indonesia kini bisa jadi bukan lagi menjadi modal dasar pembangunan, tapi justru menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia. Munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan, merupakan indikator dari persoalan tersebut. Kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun berbalik arah menuju ke arah intoleransi yang makin menebal. Kenyataan ini ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga antaragama di masyarakat. Umat GKI Yasmin, Bogor sejak beberapa tahun lalu terpaksa menggelar ibadah minggu di depan Istana Merdeka Jakarta, karena gereja mereka disegel massa. Belakangan jemaat HKBP Filadelfia Bekasi turut bergabung, karena alasan yang sama: gereja mereka disegel massa. Nasib yang sama juga kerap menimpa umat Ahmadiyah di berbagai tempat. Mereka dilarang beribadah dan tempat ibadah mereka disegel massa. Dan


 

ada banyak kejadian serupa yang tidak mungkin diurai satu per satu. Ironisnya, negara tidak berbuat apa-apa, bahkan seolah membiarkan aksi- aksi sepihak massa intoleran itu berlangsung dengan leluasa.

Timbul pertanyaan, apakah tingkat toleransi antaragama di negeri ini memang sudah berada dalam keadaan darurat dan memerlukan perhatian khusus untuk bisa kembali kepada kondisi awal saat perjuangan kemerdekaan? Dan siapakah yang  harus bertanggung jawab untuk menumbuhkan dan meningkatkan toleransi antaragama di negeri ini?

 


 

Dalam Webster’s World Dictionary of American Language5, kata

‚toleransi‛ secara etimologis berasal dari Bahasa Latin, tolerare yang berarti menahan, menanggung, membetahkan, membiarkan, dan tabah. Dalam bahasa Inggris, kata itu berubah menjadi tolerance yang berarti sikap membiarkan, mengakui, dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan mengenai ‚toleran‛ sebagai bersifat atau  bersikap  menenggang  (menghargai membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedang toleransi artinya, sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan dengan penuh.

Kamus Oxford menegaskan bahwa toleransi adalah kemampuan untuk menenggang rasa atau keyakinan dan tindakan orang lain dan membiarkan mereka melakukannya. Kamus tersebut juga menggambarkan toleransi sebagai: kemampuan untuk menanggung penderitaan atau rasa

 

5 David G. Gulamic, Webster’s World Dictionary of American Language (New York: The World Publishing Company, 1959), 799.


 

‚sakit‛. Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi UNESCO menyatakan bahwa toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi manusia. Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan. J.P. Chaplin mengatakan, toleransi adalah satu sikap liberalis, atau tidak mau campur tangan dan tidak mengganggu tingkah laku dan keyakinan orang lain.6

Benyamin Intan dalam bukunya, Public Religion and The Pancasila-based State of Indonesia,7 mengutip David Little membagi pengertian toleransi dalam dua bagian: Pertama, dalam definisinya yang minimal, yaitu jawaban pada seperangkat kepercayaan, praktik atau atribut, yang pada awalnya dianggap menyimpang atau tidak bisa diterima, dengan ketidaksetujuan, tetapi tanpa menggunakan kekuatan atau  paksaan‛.  Kedua,  dalam bentuknya yang paling kuat, toleransi bisa didefinisikan sebagai, (sebuah) jawaban kepada seperangkat kepercayaan, praktik atau  atribut,  yang awalnya dianggap sebagai menyimpang atau tidak bisa diterima, dengan ketidaksetujuan yang disublimasi, tetapi tanpa menggunakan kekuatan atau paksaan‛. Menurut Little, ‚ketidaksetujuan yang disublimasi adalah ada sesuatu yang bisa dinilai, sesuatu yang membangun, baik di dalam bagian kepercayaan-kepercayaan yang menyimpang itu sendiri atau di  dalam  proses memberi – menerima yang terjadi di antara para pendukung ide-ide yang sedang bertikai, betapa pun besarnya ketidaksepakatan yang ada‛. Dalam definisi Little yang pertama ada hidup bersama, namun tak ada kebersamaan, sedang dalam definisi yang kedua, hidup  bersama  itu diwarnai kebersamaan, suatu kehidupan yang saling memberi dan

 

6 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 512. Editor in Chief. ‚Toleration‛ in The Encyclopedia of Philosophy. Volume 7 dan 8 Paul Edwards (New York & London: Macmilan Publisher, 1967), 143.

7 Benyamin Fleming Intan, ‚Public Religion‛ and the Pancasila-Based State of Indonesia (New York: Peter Lang Publishing, Inc, 2006), 232.


 

menerima. Kehidupan bersama yang harmonis tentu saja mensyaratkan penerimaan definisi yang kedua. Toleran itu bukan hanya membutuhkan kesadaran, tetapi juga semangat, gairah, perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang lebih baik.

Toleransi merupakan sikap dan tindakan yang saling memberikan peluang atau kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu, sehingga benih-benih pertentangan antarindividu atau antarkelompok dapat dicegah.8

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah suatu sikap dan tindakan yang  bukan hanya  membutuhkan kesadaran, tetapi juga semangat, gairah, perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang lebih baik dengan cara memberikan peluang atau kesempatan pada kelompok/umat agama lain untuk melakukan sesuatu untuk terciptanya hubungan antarmasyarakat yang harmonis dan rukun.

 


 

Agama adalah aturan atau tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Itulah definisi sederhananya. Tetapi definisi yang sempurna dan lengkap tak pernah dapat dibuat. Agama dapat mencakup tata tertib upacara, praktik pemujaan, dan kepercayaan kepada Tuhan, Sebagian orang menyebut agama sebagai tata cara pribadi untuk dapat berhubungan langsung dengan Tuhannya. Agama juga disebut pedoman hidup manusia, pedoman bagaimana harus berpikir, bertingkahlaku dan bertindak, sehingga tercipta hubungan yang serasi antarmanusia dan hubungan erat dengan Yang Mahapencipta. Ditinjau dari definisi yang sederhana, di dunia ini terdapat ribuan agama. Namun banyak

 

8 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 83.


 

negara hanya mengakui beberapa agama tertentu. Delapan agama besar di dunia adalah Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu, Taoisme, Shinto, Kristen, Islam.9

Terkait dengan pengertian agama itu, Olaf Herbert Schuman secara tegas mengatakan, ‚Agama dan kekerasan adalah dua hal yang sebenarnya bertolak belakang. Bagi Schuman, agama dan kekerasan itu seperti terang dan gelap. Agama mustahil menjadi sumber kekerasan. Lebih jauh dia menegaskan: ‚tuduhan seolah-olah agama itu sendiri menjadi sumber, dan memberikan motivasi bagi kekerasan yang acap kali terjadi di antara para penganut agama yang berbeda sebenarnya tidak tepat. Karena pada suatu tempat agama yang beragam bisa hidup dengan rukun, namun pada tempat yang lain antarkelompok agama kerap tersebar konflik dan kekerasan.‛10

Togardo Siburian, dosen Sekolah Tinggi Teologi Bandung, mengutip Keith Ward menjelaskan: Agama itu sendiri tidak menuntun pada sesuatu yang    tidak   baik,    namun    sifat   manusialah    yang    menuntun pada

‚keburukan‛. Tidak berbeda dari Schuman, Siburian menjelaskan dengan memperbandingkan ‚Quaker‛ versus ‚Alqaeda‛, di mana agama di tangan kelompok Quaker dengan jalan pasifismenya berbeda dari agama di tangan kelompok Alqaeda dengan jalan terorismenya. Menurutnya, akal sehat jelas mengakui bahwa di tangan Alqaeda, agama menjadi jahat, berkonflik, dendam, dan peperangan religius. Sedangkan di tangan kelompok Quaker, agama menjadi sangat baik, damai, dan menyejukkan umat manusia. Jadi, konflik yang bernuansa agama sesungguhnya juga tidak patut disebut bersumber pada agama, sebaliknya perasaan superioritas umat beragama, kebencian individu yang menjadi sumbernya.11 Bagi Schuman dan Siburian

 

9 Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Delta Pamungkas), 156.

10 Olaf Herebert Schumann, Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 487.

11 Togardo Siburian, ‚Manusia, Agama, dan Masyarakat: Suatu Wacana Menuju Dialog Multi Peradaban Global‛ dalam Jurnal Societas Dei 1, no. 1 (2014): 191.


 

jelas bahwa konflik yang terjadi antarumat beragama, bahkan menyasar rumah-rumah ibadah, sesungguhnya tidak bersumber pada agama, tetapi bersumber dari orientasi beragama yang salah. Karena pada dasarnya agama itu baik dan mulia, maka sangat bertentanganlah jika yang baik dan yang mulia itu menjadi sumber kekerasan atau kejahatan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa determinan (faktor penyebab) intoleransi antaragama sesungguhnya tidak berasal dari agama itu sendiri. Adalah sulit untuk memahami bagaimana agama yang berisi ajaran-ajaran yang baik itu di dalam dirinya sendiri mengandung konflik. Karena itu tepatlah apa yang dikatakan Thomas Nagel:

Para anggota dari suatu masyarakat yang semuanya dimotivasi oleh suatu penghormatan yang imparsial satu terhadap yang lain akan terjerumus ke dalam konflik oleh motif yang persis sama apabila mereka tidak sepakat tentang apakah yang tercakup di dalam kehidupan yang baik itu, dan juga apa yang mereka kehendaki secara imparsial untuk setiap dan semua orang.12

 

Perasaan superioritas, tanpa mengakui keterbatasannya yang hanya memiliki pengetahuan yang parsial menyebabkan seseorang berada dalam bahaya, seperti yang dikatakan Nagel:

 

Siapa saja yang memiliki suatu keyakinan tertentu tentang kebaikan bagi makhluk insani lazimnya akan condong untuk mengusahakan kekuasaan negara di balik keyakinannya itu, bukan hanya demi kepentingannya sendiri tetapi juga karena keprihatinannya terhadap orang-orang lain. Orang-orang yang tidak sepakat tentu menghendaki agar negara mendukung tujuan lain. Ketidaksepahaman seperti itu bisa saja menjadi jauh lebih pahit dan tak terlacak daripada konflik-konflik kepentingan semata, persoalannya ialah apakah terdapat satu metode apa saja untuk menangani ketidaksepahaman itu pada suatu tingkat yang lebih tinggi yang harus dapat diterima oleh semua orang yang berakal sehat, sehingga mereka tidak dapat sesuatu hasil tertentu walaupun hal itu bertentangan dengan keinginan mereka. Karena posisi-posisi yang saling bertentangan justru mengungkunginya dan

12 Thomas Nagel, ‚Toleransi‛ dalam Feix Baghi, ed., Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi

(Yogyakarta: Lidarero, 2012), 329.


 

perbedaan berada di atas apa yang dimaksudkannya.13

 

Mengingat bahwa mengukur keberagamaan seseorang merupakan sesuatu yang sulit, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin, maka tulisan ini tidak akan mengukur hal tersebut. Apalagi telah dijelaskan bahwa agama bukanlah sumber kekerasan. Bukan agamanya yang salah, tetapi orang beragama itulah yang salah, atau bisa dikatakan orientasi beragama individu atau kelompok agama itu yang salah.

Orientasi beragama bisa menjadi referensi bagaimana cara seseorang mempraktikkan atau hidup menampakkan kepercayaan dan nilai religiusnya. Orientasi religius ini terbagi dua, yakni orientasi intrinsik dan orientasi ekstrinsik. Orientasi intrinsik sebagai motivasi untuk mencapai tujuan agama itu sendiri. Orang yang termasuk tipe orientasi religius ini, hidupnya menampakkan keyakinan agama untuk  kepentingan yang diyakininya. Komitmen terhadap nilai yang  diyakini lebih  penting dibandingkan ibadah yang tampak. Orang religius bertipe ini secara mendalam terlibat keyakinan dan nilai yang dianut dengan cara mau berkorban bahkan mengalahkan kepentingan dirinya sendiri. Motivasi agama pada orang tersebut menjadi inspirasi langkah-langkah kehidupannya. Orientasi religius intrinsik mengimplikasikan agama sebagai motivasi dan sumber yang  memberi pengharapan dalam menjalani kehidupan. Sementara orang yang tergolong religius ekstrinsik menggunakan agama sebagai alat mencapai yang bukan tujuan agama. Motif orientasi religius ekstrinsik hanya sebatas nilai dan keyakinan sosial atau yang tampak. Tipe ini adalah gambaran orang yang mengejar tujuan untuk kepentingan pribadi dan menggunakan agama untuk mencapai kedudukan sosial dan kekuasaan. Religius ekstrinsik dikatakan sebagai

 

 

13 Ibid., 330.


 

pertanda kurang dewasanya dalam beragama dibandingkan yang intrinsik.14

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa konflik antaragama diduga dapat dipengaruhi oleh orientasi agama yang ekstrinsik, atau menggunakan agama sebagai alat mencapai tujuan yang bukan tujuan agama itu sendiri, melainkan kepentingan pribadi atau menggunakan agama untuk mencapai kedudukan sosial dan kekuasaan.


 


 

Aktor intoleransi agama di Indonesia dapat diketahui dari penelusuran terhadap konflik-konflik yang bernuansa agama. Penelitian Tim Peneliti Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM), dan Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dituangkan dalam buku Kontroversi Gereja di Jakarta melaporkan pemerintah merupakan aktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan agama, mulai dari ketua RT dan RW, sampai pada kepala-kepala daerah, dan juga aparat kepolisian. Aktor kedua yang mempengaruhi kekerasan antaragama selanjutnya adalah tokoh-tokoh agama. Kemudian disusul organisasi kemasyarakatan (ormas).15

 

 

Metodologi penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei,  dengan menggunakan instrumen dengan skala Likert, dan juga wawancara langsung dengan pimpinan-pimpinan organisasi kemahasiswaan. Dengan demikian maka penggunaan triangulasi untuk validitasi data dapat

 

14 Sumarno, Teori dan Aplikasi Metode Penelitian (Jakarta: PT Buku Seru, 2014), 133.

15 Ihsan Ali-Fauzi dkk., Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS, 2011), 129-34.


 

dilakukan. Penelitian ini dilakukan di Jakarta, melibatkan 106 mahasiswa yang merupakan anggota dari organisasi mahasiswa  beratribut  keagamaan di Indonesia, yaitu: GMKI, HMI, HIKMAHBUDHI, KMHDI, dan PMKRI. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2016.

Hasil penelitian yang didapat melalui angket berskala Likert dengan jumlah responden 106 orang mahasiswa yang merupakan anggota dari organisasi-organisasi tersebut: GMKI (20); HIKMAHBUDHI (21); HMI (24); KMHDI (21); PMKRI (20). Dengan skala tingkat toleransi: Sangat Tinggi (6); Tinggi (5); Agak Tinggi (4); Kurang Tinggi (3); Rendah (2); (1) Sangat Rendah. Adalah sebagai berikut:


 

Tabel 1. Tingkat toleransi antaragama di Indonesia.

 

Nomor

Nama Organisasi

Tingkat toleransi

1

GMKI

63 : 20 = 3,15

2

HIKMAHBUDHI

72 : 21 = 3,42

3

HMI

101 : 24 = 4,20

4

KMHDI

61 : 21 = 3,04

5

PMKRI

361 : 20 = 3,05

 

Jumlah

16,86 : 5 = 3,37

 

Berdasarkan hasil penelitian di atas jelaslah bahwa tingkat toleransi antaragama di Indonesia saat ini adalah rendah, dengan nilai 3,37 dari skala

6. Ini dapat dilihat bahwa tingkat toleransi  yang  didapat  berada  di  bawah  70% (70% x 6 = 4,2).


 

Tabel 2. Kemampuan menerima perbedaan antarumat beragama:

 

Nomor

Nama Organisasi

Saling menerima perbedaan antarumat beragama

1

GMKI

73 : 20 = 3,65

2

HIKMAHBUDHI

79 : 21 = 3,76

3

HMI

101 : 24 = 4,20

4

KMHDI

73 : 21 = 3,40

5

PMKRI

70 ; 20 = 3,50

 

Jumlah

18,51: 5 = 3,70

 

Tingkat toleransi antaragama yang rendah itu juga dibuktikan dengan rendahnya kemampuan masyarakat Indonesia menerima perbedaan agama (3,7) yang juga kurang dari 70% (4,2).

 

Tabel 3. Kemampuan menerima pemimpin dari agama lain:

 

Nomor

Nama Organisasi

Menerima pemimpin dari agama lain

1

GMKI

64 : 20 = 3,2

2

HIKMAHBUDHI

77 : 21 = 3,6

3

HMI

70 : 24 = 2,91

4

KMHDI

57 : 21 = 2,71

5

PMKRI

50 : 20 = 2,5

 

Jumlah

14,92 : 5 = 2,98

 

Berdasarkan tabel di atas jelaslah bahwa kemampuan kelompok agama di Indonesia menerima pemimpin yang berbeda agama lebih rendah


 


dibandingkan dengan penerimaan terhadap mereka yang berbeda agama. Tabel 4. Menerima anggota agama lain yang berbeda agama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kemampuan sebuah kelompok agama menerima anggota yang berbeda agama masih lebih rendah dibandingkan penerimaan terhadap perbedaan agama, ini menunjukan bahwa diskriminasi karena pilihan agama yang berbeda dialami oleh individu yang berada dalam kelompok agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.

 

Tabel 5. Tingkat bentrokan antaragama di Indonesia.

 

Nomor

Nama Organisasi

Bentrokan antaragama

1

GMKI

82 : 20 = 4,1

2

HIKMAHBUDHI

85 : 21 = 4,04

3

HMI

79 : 24 = 3,29

4

KMHDI

86 : 21 = 4,09

5

PMKRI

79 : 20 = 3,95


 

 

Jumlah

19,47 : 5 = 3,89

 

Tingkat bentrokan antaragama bisa dikatakan tinggi (3,8), sebagai negara yang terkenal dengan toleransinya, mestinya bentrokan  antaragama di Indonesia tidak boleh melebihi 30% (1,8). Bentrokan antaragama di Indonesia terbilang tinggi karena melebihi 50 persen (3,0).

 

Tabel 6. Gotong-royong masyarakat beda agama.

 

Nomor

Nama Organisasi

Gotong-royong masyarakat beda agama

1

GMKI

76 : 20 = 3,8

2

HIKMAHBUDHI

97 : 21 = 4,61

3

HMI

100 : 24 = 4,16

4

KMHDI

89 : 21 = 4,23

5

PMKRI

71 : 20 = 3,55

 

Jumlah

20,35 : 5 = 4,07

 

Gotong-royong masyarakat beda agama masih pada batas di bawah 70% (4,2), namun bisa dikatakan dalam taraf moderat karena mendekati angka (4,2), ini bisa dipahami karena masyarakat Indonesia terkenal dengan semangat gotong-royongnya sejak awal.

 

Tabel 7. Kegiatan bersama antarkelompok agama

 

Nomor

Nama Organisasi

Melakukan Kegiatan Bersama

1

GMKI

78 : 20 = 3,9

2

HIKMAHBUDHI

87 : 21 = 4,14


 

3

HMI

86 : 24 = 3,58

4

KMHDI

82 : 21 = 3,90

5

PMKRI

61 : 20 = 3,05

 

Jumlah

18,57 : 5 = 3,71

 

Tingkat kegiatan antarkelompok agama tidak berbeda jauh  dari tingkat gotong-royong antaragama, namun tingkat kegiatan antaragama ini masih terbilang rendah karena berada di bawah 70% (4,2).

 

Tabel 8. Demonstrasi sebagai bentuk protes atas keputusan pemerintah yang dinilai mendiskriminasikan agama lain.

Nomor

Nama Organisasi

Demonstrasi memprotes keputusan diskriminatif

1

GMKI

82 : 20 = 4,1

2

HIKMAHBUDHI

83 : 21 = 3,95

3

HMI

68 : 24 = 2,83

4

KMHDI

68 : 21 = 3,23

5

PMKRI

75 : 20 = 3,75

 

Jumlah

17,86 : 5 = 3,57

 

Tingkat demonstrasi sebagai bentuk protes atas keputusan pemerintah yang dinilai mendiskriminasikan agama lain, menariknya, terendah berasal dari kelompok Islam. Ini dapat dipahami bahwa tingkat diskriminasi yang dialami penganut agama Islam lebih rendah dibandingkan agama-agama lain.


 

Tabel 9. Perasaan agamanya yang lebih baik antara lain merupakan faktor penyebab intoleransi beragama.

Nomor

Nama Organisasi

Merasa agamanya lebih baik penyebab intoleransi

1

GMKI

91 : 20 = 4,55

2

HIKMAHBUDHI

101 : 21 = 4,80

3

HMI

94 : 24 = 3,91

4

KMHDI

108 : 21 = 5,14

5

PMKRI

87 : 20 = 4,35

 

Jumlah

22,75 : 5 = 4,55

 

Superioritas agama merupakan penyebab intoleransi agama di Indonesia diteguhkan oleh temuan yang dituliskan dalam tabel di atas, dengan skala 4,55. Berarti berada di atas 70%. Dengan demikian dapat disimpulkan superioritas kelompok adalah faktor penyebab intoleransi agama.

 

Tabel 10. Penggunaan agama untuk kepentingan di luar agama merupakan faktor penyebab intoleransi antaragama.

Nomor

Nama Organisasi

Menggunakan agama untuk kepentingan di luar agama penyebab intoleransi

1

GMKI

92 : 20 = 4,6

2

HIKMAHBUDHI

87 : 21 = 4,14

3

HMI

105 : 24 = 4,37

4

KMHDI

98 : 21 = 4,66


 

5

PMKRI

73 : 20 = 3,65

 

Jumlah

21,42 : 5 = 4,28

 

Penggunaan agama untuk kepentingan di luar agama, berdasarkan tabel di atas berada pada skala rata-rata 4,28, berarti telah melebih 70 persen, ini menyimpulkan bahwa intoleransi dan kekerasan agama disebabkan orientasi beragama yang salah.

 

Tabel 11. Pendapat organisasi mahasiswa tentang fanatisme agama yang diduga penyebab intoleransi antaragama.

Nomor

Nama Organisasi

Fanatisme penyebab intoleransi

1

GMKI

99 : 20 = 4,95

2

HIKMAHBUDHI

107 : 21 = 5,09

3

HMI

101 : 24 = 4,20

4

KMHDI

111 : 21 = 5,28

5

PMKRI

83 : 20 = 4,15

 

Jumlah

23,67 : 5 = 4,73

 

Fanatisma agama yang bersumber dari perasaan superioritas individu atau kelompok, ternyata mendapatkan skala rata-rata (4,73), berada di atas 70%. Ini mengungkapkan bahwa fanatisme agama merupakan faktor utama intoleransi antaragama.


 

Tabel 12. Pendapat organisasi mahasiswa tentang perasaan superior agama sebagai faktor penyebab intoleransi beragama.

Nomor

Nama Organisasi

Rasa superior agama penyebab intoleransi

1

GMKI

96 : 20 = 4,8

2

HIKMAHBUDHI

95 : 21 = 4,52

3

HMI

100 : 24 = 4,16

4

KMHDI

106 : 21 = 5,04

5

PMKRI

83 : 20 = 4,15

 

Jumlah

22,67 : 5 = 4,53

 

Tabel di atas meneguhkan bahwa kekerasan agama yang ada di Indonesia lebih disebabkan karena superior agama, yang berasal dari perasaan superioritas individu atau kelompok.

Tabel 13. Aktor yang paling bertanggung jawab untuk meningkatkan toleransi antaragama di Indonesia.

 

No.

 

Nama Organisasi

 

Pemerintah

Tokoh- tokoh agama

Kepala- kepala suku

Tokoh- tokoh daerah

 

Pemimpin parpol

 

Pemimpin ormas

 

01

 

GMKI

 

19

 

20

 

5

 

5

 

5

 

7

 

02

 

HIKMAHBUDHI

 

16

 

20

 

3

 

14

 

1

 

8

 

03

 

HMI

 

21

 

22

 

6

 

7

 

4

 

10

 

04

 

KMHDI

 

17

 

20

 

6

 

10

 

2

 

8

 

05

 

PMKRI

 

17

 

20

 

6

 

10

 

2

 

5


 

 

 

Jumlah

 

90

 

102

 

26

 

46

 

14

 

38

 

Mayoritas responden (96%) berpendapat bahwa tokoh-tokoh agama paling bertanggung jawab untuk meningkatkan toleransi beragama di Indonesia. Di urutan kedua adalah pemerintah. Ketiga, tokoh-tokoh daerah. Keempat, pemimpin ormas. Kelima, kepala-kepala suku, dan yang terakhir atau urutan keenam adalah pemimpin parpol. Rinciannya:  tokoh-tokoh agama dipilih sebanyak 102 responden (96,22%); pemerintah dipilih 90

responden (84,90%); tokoh-tokoh daerah dipilih 46 responden (43,39%); pemimpin ormas dipilih 38 responden (35,84%); dan di urutan terakhir pemimpin parpol yang dipilih 14 responden (3,20%). Berdasarkan tabel di atas jelaslah bahwa aktor yang paling bertanggung jawab dalam kekerasan agama adalah tokoh-tokoh agama, dan pemerintah.

Temuan yang didapat melalui angket berskala Likert di atas juga sejalan dengan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap pimpinan- pimpinan organisasi mahasiswa di atas. Misalnya pernyataan Ayub, ketua umum GMKI mengakui memang pertikaian bernuansa agama terjadi di beberapa kawasan, karena penekanan dari satu kelompok agama pada kelompok agama lain, bahkan secara individu ada yang tidak menerima pemimpin yang  tidak seagama. Ayub berpendapat bahwa perasaan superioritas agama menjadi salah satu penyebab intoleransi. Banyak yang memanfaatkan agama di luar kepentingan agama itu sendiri, terutama dalam momentum politik saat ini. Faktor ekonomi juga sangat besar pengaruhnya untuk memicu sikap intoleransi. Fanatisme secara berlebihan juga menjadi penyebab pemicu intoleransi. Intoleransi di negeri ini menurutnya juga disebabkan adanya rasa tidak puas melihat kondisi sosial yang ada saat ini. Ketidakadilan membuat orang melakukan kekerasan


 

mengatasnamakan agama.16

Menurut ketua umum GMKI tersebut, pemerintah harus memperlakukan semua warga negara dengan sama di depan hukum. Tindakan diskriminatif pemerintah terlihat pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang merupakan revisi dari SKB yang pada banyak tempat dipakai sebagai instrumen untuk menutup rumah ibadah yang tidak memenuhi syarat PBM. Menurutnya, pemerintah yang paling bertanggung jawab untuk meningkatkan toleransi antaragama. Pemerintah sebagai mandataris dari konstitusi bertanggung jawab menjaga kesatuan bangsa, demikian juga dalam hal menjaga hubungan antaraumat beragama, ras, dll. Kemudian, peran tokoh agama penting untuk menciptakan perdamaian di tengah masyarakat.

Sementara itu, Suparjo, ketua HIKMAHBUDHI berpendapat bahwa intoleransi antaragama dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan masyarakat, akibatnya  fanatisme yang menyatu dengan emosi kerap meledak dalam bentuk konflik, apalagi jika ada pihak-pihak tertentu yang memainkannya. Bentrokan agama terjadi karena faktor pemahaman sosial dan antaragama yang rendah, fanatisme tinggi, digesek sedikit saja langsung terjadi bentrokan. Padahal secara naluriah orang Indonesia ramah- tamah, tetapi karena pendidikan masyarakat masih rendah, ini sering dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Suparjo berpendapat gotong-royong dalam konteks sosial masih terjadi, namun dalam konteks agama diragukan ketulusannya, apalagi melihat fanatisme agama yang dari tahun ke tahun makin memburuk. Menurutnya, pada tahun 70-80 sekat-sekat agama masih minim, tapi kini fanatisme yang makin berkembang di negeri ini telah menyebabkan menurunnya kualitas gotong-royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Fanatisme agama yang makin kuat juga terlihat dari

16 Wawancara dengan ketua umum GMKI


 

tingginya demo memprotes pemimpin beda agama. Rasa superioritas agama juga penyebab intoleransi. Menurutnya, di negeri ini banyak orang menggunakan agama di luar kepentingan agama itu sendiri. Ada aktor di balik kekerasan agama, dan masyarakat sering hanya menjadi suporter/penonton yang hanya ikut-ikutan, padahal tidak tahu permainan apa yang dilakukan orang yang membawa-bawa agama untuk menebar kekerasan. Pemerintah menurutnya belum serius memelihara toleransi di negeri ini. Menurut Suparjo, pemerintah dan masyarakat masih setengah- setengah melawan pihak-pihak yang melanggar toleransi. Maka menurut Suparjo, yang bertanggung jawab meningkatkan toleransi: pemerintah, tokoh agama, tokoh adat atau tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh di masyarakat. Ketiga pihak ini harus mulai lagi menggiatkan toleransi beragama yang benar-benar mengakar ke bawah.17

Betariani Saraswati, salah seorang presidium KMHDI mengatakan bahwa pada dasarnya masyarakat kita masih bisa menerima perbedaan sekalipun dalam prakteknya masih banyak yang menganggap kalau perbedaan itu ancaman bagi agamanya. Dan ini merupakan salah satu faktor penyebab intoleransi. Saraswati juga mengakui, di beberapa daerah masih ada warga yang bisa menerima perbedaan dengan baik. Orang yang tidak bisa menerima perbedaan biasanya karena menganggap agamanya lebih baik. Maka dia selalu berusaha mengajak orang untuk ikut agamanya. Menurutnya, dalam prakteknya sulit menerima pemimpin dari agama lain, ini terlihat khususnya dalam pilkada, sering muncul suara yang melarang memilih pemimpin yang beda agama. Bahkan ada ungkapan, ‚haram hukumnya memilih pemimpin yang beragama lain.‛ Padahal belum tentu pemimpin yang ditolak itu tidak baik, sebab mungkin dialah yang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Menurutnya intoleransi

17 Wawancara dengan ketua umum HIKMAHBUDHI


 

muncul karena adanya kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat agama. Dia juga mengakui, bentrokan antaragama sudah yang sering terjadi tidak murni karena agama. Sebab bisa saja ada pihak ketiga yang menungganginya.

Saraswati mengungkapkan, menggunakan isu agama untuk suatu kepentingan di luar agama itu juga salah satu penyebab intoleransi, sebab banyak pihak atau oknum yang mengatasnamakan agama untuk mencapai tujuan atau kepentingan diri dan golongan, meskipun merugikan orang lain. Tingkat toleransi di Indonesia saat ini berada pada titik rendah. Banyak pihak yang mestinya mendorong toleransi masih terkesan diam, acuh kalau ada fakta intoleransi. Menurutnya, yang paling bertaggung jawab untuk meningkatkan toleransi adalah: tokoh agama. Sebab dia harus mengedukasi umat tentang memahami agama dengan benar, termasuk mengajarkan bagaimana bertoleransi, dan menerima perbedaan. Yang kedua tokoh daerah. Sebab tokoh agama tidak bisa bekerja tanpa dukungan tokoh daerah. Tokoh daerah biasanya dihormati dan dituakan. Kata-katanya sering didengar. Dan perilakunya jadi cerminan. Maka kedua pihak ini, tokoh agama dan tokoh  daerah harus didukung pemerintah. Dalam arti pemerintah tidak tingal diam bila ada kejadian yang berkaitan dengan isu SARA. Ketiga pihak ini yang harus berperan penting dalam menjaga dan meningkatkan toleransi.18

Ketua umum PMKRI, Angelo menyatakan bahwa karakter aslinya orang Indonesia dapat saling menerima perbedaan. Maka Angelo pun yakin bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya bisa menerima seorang pemimpin yang berasal dari agama lain. Angelo yakin bahwa orang yang tidak bisa menerima pemimpin yang tidak seagama, presentasenya lebih kecil. Pasti lebih banyak warga yang mau menerima pemimpin yang

18 Wawancara dengan presidium KMHDI


 

berbeda agama. Sebagai bukti bahwa masyarakat bisa menerima perbedaan adalah bahwa kita bangsa Indonesia hingga kini bisa hidup berdampingan dengan damai. Gotong-royong dan kerja sama antara warga yang berbeda agama itu masih bisa terlihat di berbagai daerah. Kalaupun ada terjadi gesekan di berbagai tempat, itu hal yang biasa saja. Kalau ada bentrokan- bentrokan bermotif agama, menurut Angelo itu bukan karakter asli orang Indonesia. Dia berpendapat kalau di balik bentrokan bentrokan yang membawa-bawa agama itu pasti ada kepentingan lain yang tidak sejalan dengan agama.

Soal demonstrasi karena agamanya didiskriminasi, itu pun wajar saja terjadi atas nama demokrasi. Sebab semua orang ingin diakomodasi kepentingannya. Dan merupakan hal yang biasa jika ada kebijakan yang diambil pemimpin berbenturan dengan kepentingan banyak orang, dan merasa dirugikan. Tetapi dalam alam demokrasi, protes dan demonstrasi itu biasa. Sebab kalau tidak demikian, namanya bukan demokrasi. Angelo juga sependapat bahwa sifat orang yang merasa agamanya lebih benar, bisa menyebabkan intoleransi. Namun menurut Angelo, yang paling berbahaya itu adalah sifat fundamentalisme dalam beragama. Kalau sekadar fanatisme dalam beragama, masih bisa diterima, sebab semua orang berhak meyakini agamanyalah yang  paling baik. Sedangkan fundamentalisme sudah menganggap diri dan agamanya paling benar,  dan ini menyebabkan intoleransi.19


 

Masa depan Indonesia sesungguhnya ditentukan oleh bagaimana negeri ini dapat memelihara dan meningkatkan toleransi antarumat beragama. Meningkatkan toleransi sangat penting untuk menjaga persatuan


19 Wawancara dengan ketua umum PMKRI


 

dan kesatuan bangsa, bahkan dengan toleransi yang  terjaga kuat, keragaman Indonesia bukan menjadi ancaman, sebaliknya menjadi berkat. Berdasarkan hasil penelitian di atas jelaslah bahwa  pemerintah dan masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa tingkat toleransi antaragama di Indonesia berada dalam keadaan yang memprihatinkan, terus mengalami penurunan, dan berada pada tingkat yang bisa dikatakan rendah.

Intoleransi antaragama di Indonesia terjadi bukan karena dalam diri agama itu terdapat kekerasan, tetapi karena pemerintah dan tokoh-tokoh agama khususnya tidak menjalankan fungsinya dengan baik sebagai aktor yang seharusnya bertanggung jawab untuk meningkatkan toleransi agama. Maka dengan demikian pemerintah dan tokoh-tokoh agama khususnya harus berjuang keras untuk meningkatkan toleransi antaragama di Indonesia. Sekalipun demikian, elemen-eleman bangsa lainnya juga harus aktif berperan serta menjaga dan melestarikan kehidupan yang diwarnai toleransi antarumat beragama.

https://www.binsarhutabarat.com/2021/02/toleransi-antaragama.html


Peraturan Pendirian Rumah Ibadah Perlu Dicabut

 





PENDAPAT PIMPINAN-PIMPINAN GEREJA DI BEKASI TENTANG IZIN PENDIRIAN RUMAH IBADAH DALAM PERATURAN BERSAMA MENTERI TAHUN 2006
Binsar A. Hutabarat


ABSTRACT: The article, entitled "Opinion The church Leaders in Bekasi on the Permit Construction of Houses of Worship in the Joint Regulation of the Minister of the Year 2006, will be explained about the implementation of policies permit the establishment of houses of worship in Joint Regulation of the Minister (PBM) in 2006 in Bekasi, as well as the implications for church in that place, through the opinion of the church leaders in Bekasi. First, authors will describe the Guarantee Rights of Religion, Belief, Worship and Establish Home Worship  based on Pancasila and the Indonesian Constitution, the Universal Declaration of Human Rights, The Covenant, and documents declarations of the United Nations (UN), and also explained about permit the establishment of houses of worship of Letters Joint Decree (SKB) until the PBM. After that, will be presented regarding the results of the opinion of the church leaders in Bekasi on the implementation of the policy permits a house of worship in Bekasi. Opinion leaders in Bekasi Church will be grouped in four categories, namely: A) The church which has a license, and not problematic. B) The church is having problems obtaining a license, a problem with the public, but finish. C)



The church that does not have a license but has no  problem with the community. D) The church that does not have permissions and have problem with the community, and did not finish. The findings obtained are church leaders in the four categories above found PBM on authorizing the establishment of houses of worship contrary to Pancasila and the Indonesian Constitution and the values of human rights are universal, and implementation of government policies that adversely affect the lives of religious believers in Bekasi, both in the internal relations of religion, as well as in interreligious relations.


KEYWORDS: permit the establishment of houses of worship, Joint Ministerial Decree, Pancasila, the Indonesian constitution, human rights.


ABSTRAK: Artikel yang berjudul Pendapat Pimpinan- pimpinan Gereja di Bekasi tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 ini akan memaparkan mengenai implementasi kebijakan pengurusan izin pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Tahun 2006 di Bekasi, serta dampaknya bagi gereja- gereja di Bekasi menurut pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi. Pertama-tama penulis akan memaparkan mengenai Jaminan Hak Beragama, Berkeyakinan, Beribadah dan Mendirikan Rumah Ibadah berdasarkan Pancasila dan UUD 45, Deklarasi Universal HAM, Kovenan dan dokumen deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian juga memaparkan mengenai izin pendirian rumah ibadah dari SKB



sampai dengan PBM. Setelah itu akan dipaparkan mengenai pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi tentang implementasi kebijakan pengurusan izin rumah ibadah di Bekasi. Pendapat pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi ini akan dikelompokkan pada empat kategori yakni: A) Gereja yang memiliki izin dan tidak bermasalah. B) Gereja yang mengalami masalah pengurusan izin, bermasalah dengan masyarakat, tetapi selesai. C) Gereja yang tidak memiliki izin namun tidak bermasalah dengan masyarakat. D) Gereja yang tidak memiliki izin, bermasalah dengan masyarakat, dan  tidak  selesai. Temuan yang didapatkan adalah pemimpin-pemimpin gereja dalam empat kategori di atas berpendapat bahwa PBM tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta nilai-nilai hak-hak asasi yang universal, dan implementasi kebijakan pemerintah tersebut berdampak buruk dalam kehidupan antarumat beragama di Bekasi, baik dalam hubungan internal agama, maupun dalam hubungan antaragama.


KATA KUNCI: izin pendirian rumah ibadah, Peraturan Bersama Menteri, Pancasila, UUD 45, Hak-hak Asasi Manusia


PENDAHULUAN

Kebebasan beragama dan berkeyakinan secara langsung juga mensyaratkan adanya hak kebebasan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan ini tergolong ke dalam kategori hak yang harus dilindungi dan tidak dapat



dibatasi atau bahkan dilanggar dalam kondisi apapun (Non- Derogable Right), dan hak ini secara langsung mensyaratkan adanya kebebasan menjalankan ibadah, atau beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Hak menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah ini tergolong kategori hak yang dapat dibatasi (Derogable Right). Pembatasan hak ini hanya bisa diberlakukan terkait dengan kondisi darurat di sebuah negara.1 Arti penting sebuah rumah ibadah untuk menjalankan ibadah secara bersama-sama itulah yang membuat pemerintah Indonesia pada awalnya tidak mewajibkan pengurusan izin pendirian rumah ibadah, apalagi pada awalnya daerah-daerah di Indonesia umumnya bersifat homogen. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dan perpindahan penduduk yang makin tinggi, maka daerah-daerah di Indonesia menjadi lebih heterogen, dan hadirlah persoalan terkait dengan pendirian

rumah ibadah.

Untuk mengatasi konflik tentang pendirian rumah ibadah, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang


1 Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-hak sipil mengatakan: Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal usul sosial.

Papang Hidayat dan Puri Kencana Putri, Panduan Pemolisian dan Hak Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jakarta: Kontras, 2012), 31.



pendirian rumah ibadah. Peraturan tentang pendirian rumah ibadah ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1969 dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat oleh Pemeluk-pemeluknya.

Implementasi SKB tersebut ternyata kemudian terindikasikan dijadikan instrumen bagi penutupan gereja di berbagai tempat. Dengan alasan itu kemudian pemerintah merevisi SKB tersebut menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) No 9/2006 dan 8/2006, dan di dalamnya juga mengatur pendirian rumah ibadah. PBM memang memiliki perbedaan dengan SKB, namun keduanya memiliki persamaan, yakni mensyaratkan keharusan pengurusan izin rumah ibadah.

Pada awal ditetapkannya peraturan tersebut, April 2006, Gomar Gultom, waktu itu duduk sebagai Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI, pernah mengatakan, Kendati PBM tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, terutama kebebasan beribadah, PBM diharapkan bisa membantu masyarakat Indonesia yang sangat majemuk untuk menjalankan ibadah dengan baik.2 Mengutip apa yang diungkapkan Andreas A. Yewangoe, yang pada saat diterbitkannya PBM duduk sebagai Ketua  Umum  PGI,  Gomar  Gultom  selanjutnya  menegaskan,

‚Kalau ternyata PBM ini lebih melancarkan pembangunan gedung-gedung  ibadah  sebagai  wujud  kerukunan   otentik di


2 Gomar Gultom (ed.), Dari SKB ke PBM (Jakarta: PGI, 2006), 10.



antara warga, maka ia telah menjadi berkat bagi negeri ini. Kalau sebaliknya, maka PBM ini mesti ditinjau kembali, bahkan dicabut.‛3

Tulisan ini akan meneliti apakah PBM telah menjadi solusi bagi penyelesaian konflik terkait perizinan pendirian rumah ibadah di Indonesia? Tulisan ini secara khusus juga meneliti dampak PBM terhadap hubungan internal agama dan hubungan antaragama yang berbeda di Bekasi.


JAMINAN HAK BERAGAMA, BERKEYAKINAN, BERIBADAH DAN MENDIRIKAN RUMAH IBADAH

Hak beragama, berkeyakinan dan beribadah secara tegas dinyatakan dalam Pancasila, khususnya sila pertama. Mengenai pengertian dari sila Ketuhanan yang Maha Esa, Soekarno pencetus istilah Pancasila menjelaskan seperti berikut:


Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan, bukan saja karena bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, sesuai keyakinan masing-masing. Orang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang Buddha menjalankan ibadahnya menurut petunjuk kitab-kitab mereka, dan seterusnya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat


3 Ibid.



menyembah tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat Indonesia hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‚egoisme agama‛ dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan.4


Dalam pidato tersebut, Soekarno menyatakan supaya semua warga negara memeluk agama yang sesuai dengan keyakinannya, dan negara menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan ibadah agamanya masing-masing. Jaminan kebebasan beribadah ini juga dinyatakan dalam pasal 29 UUD 1945 ayat 2, di mana dijelaskan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Senada dengan Soekarno, TB Simatupang mengatakan secara tegas bahwa :


Sila pertama bukanlah ‚kepercayaan kepada Allah‛ tetapi lebih berarti kepercayaan kepada ‚ide ketuhanan‛, oleh karena kata yang dipakai di sini bukanlah ‚Allah‛ tetapi istilah yang lebih netral, ‚Ketuhanan‛. Kepada istilah tersebut ditambahkan pula keesaan dan kemahaan. Demikianlah sila yang pertama tidak berbicara tentang Allah, tetapi tentang ke-allahan. Ia berbicara tentang keilahian. Juga orang-orang yang tidak mempercayai Allah yang bersifat pribadi, misalnya beberapa kalangan dalam



4 Ruslan Abdulgani, Pancasila Perjalanan Sebuah Ideologi (Jakarta: Grasindo, 1998), 15.



agama Budha, dapat menerima sila tersebut. Ia berbicara tentang kepercayaan kepada sesuatu yang maha transenden. Sesuatu yang maha esa, mungkin ini terdengar sebagai suatu konsep yang amat samar-samar, tetapi ia berhasil merangkul semuanya.5


Uraian Soekarno dan Simatupang mengenai Pancasila sangat jelas. Bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa tidak boleh diartikan secara teologis. Yang dimaksud dengan penafsiran secara teologis misalnya adalah menafsirkan kata Ketuhanan yang Maha Esa sebagai tauhid dalam agama Islam,6 karena ia adalah gambaran pengakuan bahwa semua agama mempunyai tempat di bumi Indonesia. Sila tersebut juga merupakan suatu pengakuan bahwa negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak agama, dan memberi tempat yang sama terhadap semua agama. Karena itu semua agama, termasuk aliran kepercayaan memiliki hak untuk beribadah baik secara individu maupun secara berkelompok.

Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 jelaslah bahwa UU nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khusus dalam pasal 8 ayat (4) yang  menerangkan bahwa Pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama resmi yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu harus dicabut, karena ayat tersebut jelas-jelas


5 T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 4.

6 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Gema Insan Press, 1997), xxiii.



mendiskriminasikan aliran kebatinan yang jumlah ratusan di Indonesia, demikian juga agama-agama lokal yang berkembang ditengah masyarakat Indonesia.7

Terkait dengan aliran kebatinan atau kepercayaan Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan demikian:


Menimbang< Demikian juga terhadap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sejak awal lahir dan bertumbuh di bumi Indonesia tetap diakui dan dihormati. Adapun mengenai bukti surat edaran dari Departemen Dalam negeri yang diajukan oleh para pemohon<Menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2)UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945.‛8


Jaminan kebebasan beragama dan beribadah secara jelas dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM 1948 pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan



7 Panduan Pemolisian (Jakarta: Kontras, 2012), 36.

8 Ibid., 11-12.



agama. Dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. Kebebasan beragama dan berkeyakinan ini tergolong ke dalam kategori hak yang harus dilindungi dan tidak dapat dibatasi atau bahkan dilanggar dalam kondisi apapun (Non-Derogable Right). Dan hak ini secara langsung mensyaratkan adanya kebebasan menjalankan ibadah, atau beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Dan hak menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah ini tergolong kategori hak yang dapat dibatasi  (Derogable Right). Pembatasan tersebut menurut DUHAM Pasal 18 ayat (2) berbunyi seperti berikut:


Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak kebebasan mendasar orang lain. Perserikatan Bangsa- Bangsa secara khusus menjamin adanya perlindungan atas rumah-rumah ibadah yang digunakan oleh warga. Hak untuk membangun rumah ibadah merupakan perwujudan dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebagaimana hak untuk menggunakan dan memasang simbol agama/keyakinan, dan menjalankan hari libur keagamaan/keyakinan.9



9 Ibid., 19.



Selain dokumen DUHAM 1948, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ada dua dokumen lain yang dideklarasikan PBB, dan dokumen-dokumen tersebut menyediakan standar-standar internasional yang diakui secara luas, serta dapat digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM. Pertama adalah dokumen Deklarasi untuk Mengeliminasi Segala  Bentuk Praktik Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on Elimination of All Forms Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief). Pasal 2 Deklarasi ini mewajibkan negara untuk mengambil tindakan efektif dalam mencegah atau menghapus praktik diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Bahkan negara juga memiliki kewajiban untuk membatalkan setiap produk perundang-undangan yang berisi pesan dikriminasi. Kedua, dokumen Deklarasi untuk Melindungi Hak-hak Individu Minoritas untuk Bidang Nasionalitas/Etnis, Agama, dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities). Pasal 4 ayat (2) Deklarasi tersebut menyatakan negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan bagi individu-individu minoritas agar mereka bisa  menjalankan ritual agamanya dengan bebas. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan efektif untuk menciptakan iklim kondusif agar individu-individu minoritas dapat menjalankan ibadahnya dengan baik. 10



10 Ibid., 20.



IZIN MENDIRIKAN RUMAH IBADAH DALAM PBM

Perlunya izin khusus pendirian rumah ibadah di Indonesia berawal dengan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk- pemeluknya. Dalam pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah perlu mendapat izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah itu hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen.11 Karena memang latar belakang dikeluarkannya SK tersebut karena ada gejala-gejala bahwa di beberapa daerah jumlah umat Kristen bertambah dengan pesat, dan di beberapa tempat terjadi perusakan terhadap gedung gereja.12

Hadirnya SKB Dua Menteri yang mengatur perizinan rumah ibadah pada awal ditetapkannya mendapat penolakan dari gereja-gereja di Indonesia. PGI (waktu itu masih bernama DGI) membuat sebuah memorandum, tertanggal 10 Oktober 1969, yang meminta pemerintah untuk meninjau kembali SKB itu. Memorandum yang ditandatangani oleh Ds. W.J. Rumambi (Sekretaris Departemen Gereja dan Masyarakat DGI) dan Pastor

F.X.     Danuwinata,     SJ.     (MAWI)     tidak     ditanggapi,    dan


11 T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 240.

12 Ibid.



diberlakukan selama 37 tahun meski secara jelas terbukti telah mendiskriminasikan agama Kristen khususnya dalam pendirian rumah ibadah.13

Pada pasal 4 SKB No. 1/1969 aturan pendirian rumah ibadah sebagai berikut:14

1.Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.

2.Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat

(1)pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan:

a.Pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat.

b.Planologi

c.Kondisi dan keadaan setempat

3.Apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.

Implementasi SKB dua menteri tentang perizinan rumah ibadah ternyata tidak produktif, dan kemudian dengan alasan yang sama dengan penerbitan SKB, dilakukanlah revisi terhadap peraturan tersebut. Pada revisi peraturan tersebut pendirian rumah ibadah dinyatakan lebih detail seperti dalam Bab IV Pasal 13-17. Pasal 14 menyebutkan: (1) Pendirian rumah


13 Gultom (ed.), Dari SKB ke PBM, 10.

14 Ibid., 12.



ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

A) daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); B) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; C) Rekomendasi tertulis  kepala  kantor departemen agama  kabupaten/kota; dan

D)Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. Pasal 18 , 19, dan 20 dalam PBM memuat ketentuan izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara, ketentuan ini tidak terdapat dalam SKB 1969.15


METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah melukiskan keadaan sesuatu atau yang sedang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Pengumpulan data antara lain melalui kepustakaan terpilih, observasi langsung, wawancara, dan dokumentasi. Hasil wawancara tersebut kemudian ditranskripsikan, dan kemudian dilakukan reduksi


15 Ibid.



data dengan fokus pada pendapat gereja-gereja di Bekasi terhadap izin mendirikan rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM). Penelitian dilakukan terhadap 16 gereja yang ada di Bekasi dengan melakukan observasi, wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja tersebut, dalam hal ini pendeta dan majelis gereja. Gereja-gereja tersebut adalah: 1) HKBP Jatiasih, 2) GKP Kampung Sawah, 3) GMII Anugerah, 4) GPIB Galilea, 5) POUK Graha Prima, 6) Gemindo, 7) Gekari, 8) GPPS Talitakumi, 9) GKII Solideo, 10) GKSI Setia, 11) GBI Mawar Sharon, 12) GKI Jatibening, 13) Gekindo Jatimulya, 14) HKBP Filadelfia, 15) HKBP Ciketing, 16) GPIB Harapan Indah. Dan juga tokoh-tokoh masyarakat di Bekasi untuk konfirmasi atas data yang telah dikumpulkan.16 Gereja-gereja tersebut dikelompokkan kedalam empat kategori:

A)Gereja yang memiliki izin dan tidak bermasalah.

B)Gereja yang mengalami masalah pengurusan izin, bermasalah dengan masyarakat, tetapi selesai.

C)Gereja yang tidak memiliki izin namun tidak bermasalah dengan masyarakat.

D)Gereja yang tidak memiliki izin, bermasalah dengan masyarakat, dan tidak selesai.

Gereja dalam kategori A, adalah gereja yang memiliki kriteria seperti berikut: telah memiliki izin, tidak dipermasalahkan atau diganggu oleh masyarakat. Gereja dalam Kategori B, adalah gereja yang belum memiliki izin, dan


16 Wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di

Bekasi.



keberadaannya dipersoalkan oleh masyarakat setempat karena pengurusan izin yang memakan waktu lama, dan kemudian gereja itu berhasil mendapatkan izin tesebut, dan gangguan dari masyarakat dapat diselesaikan dengan baik. Gereja dalam kategori C, tidak memiliki izin namun aman. Gereja dalam kategori D adalah gereja-gereja yang tidak berhasil mengurus izin. Gereja-gereja tersebut mendapat penolakan dari masyarakat, dan tidak dapat memenuhi persyaratan lingkungan sebagaimana dipersyaratkan oleh PBM 2006. Gereja-gereja tersebut akhirnya ditutup atau pindah ke tempat lain.


SEKILAS TENTANG PERSEBARAN RUMAH IBADAH DI BEKASI

Bekasi adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta. Bekasi terbagi atas dua daerah tingkat dua, yakni Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Sebagai daerah yang bertetangga dengan Ibu Kota Jakarta, tentu saja Bekasi memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Misalnya, Bekasi—bersama Kota Depok, Bogor, Tangerang, yang selama ini  disebut-sebut sebagai ‚kota-kota satelit‛ menjadi penyangga bagi Kota  Jakarta. Karena posisinya yang berbatasan langsung dengan Jakarta tersebut, Bekasi tidak dapat menghindar dari limpahan penduduk dari Jakarta dan sekitarnya. Para pendatang itu terdiri dari bermacam latar belakang agama, suku, bahasa, dan



adat-istiadat yang berbeda-beda.17

Secara geografis Kota Bekasi posisinya berdekatan dengan Jakarta sebagai ibukota negara. Dan melihat sejarahnya, masyarakat Bekasi tidak terlalu jauh beda dari masyarakat Jakarta. Tradisi, adat-istiadat dan budayanya banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, khususnya Islam. Masyarakat Kota Bekasi yang per-Juli 2009, penduduknya telah mencapai 2.457.585 jiwa, mayoritas menganut agama Islam. Jumlahnya mencapai 2.145.447 jiwa atau 87,30%. Dan sisanya,

312.138 jiwa atau 12,70% menganut agama lain, yakni Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, Konghuchu, dan berbagai aliran/agama lain di luar agama-agama yang disebut di atas. Penyebaran penganut agama cukup merata pada 12 kecamatan yang ada di Kota Bekasi. Dan indikasi keberagamaan masyarakat Kota Bekasi dapat dilihat dari banyaknya rumah ibadah, baik berupa masjid (882), musholla dan langgar (1.320), gereja (207), vihara, pura, dan kelenteng (13).18

Sementara wilayah Kabupaten Bekasi terbagi ke dalam 23 kecamatan, dan setiap kecamatan meliputi 5 kelurahan dan 182 desa. Penduduk Kabupaten Bekasi (tahun 2012) berjumlah 2.786.638 jiwa. Di Kabupaten Bekasi, mesjid 1.567, musholla 614, dan langgar 2.759. Sedangkan jumlah gereja di Kabupaten Bekasi ada sebanyak 24, vihara 8, dan pura 3.19


17 Badruzzaman Busyani, Rumah Ibadat di Kota Bekasi (Bekasi: FKUB, 2009), 5-6.

18 Ibid., 21- 22.

19 Kabupaten Bekasi dalam Angka, 2013, Agama/Religion, 56,

portal.bekasi.go.id, diakses 1 Agustus 2015, pkl. 20.00



Berdasarkan data tersebut jelaslah bahwa ketersediaan rumah ibadah umat Islam jauh lebih besar dibandingkan agama-agama lain, termasuk Kristen, apalagi rumah ibadah umat Islam dalam bentuk mushola dan langgar tidak memerlukan izin seperti masjid. Itulah sebabnya komunitas Kristen yang belum memenuhi syarat untuk mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah pada umumnya menggunakan rumah atau ruko (rumah toko), atau fasilitas lain untuk tempat beribadah. Sebagai tempat ibadah sementara. Biasanya komunitas tersebut mengajukan permohonan untuk menggunakan gedung atau rumah tertentu sebagai tempat ibadah sementara, sampai saatnya mereka memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Sulitnya mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah mengakibatkan komunitas agama yang telah memenuhi syarat jumlah jemaat, namun belum mendapatkan persetujuan dari 60 orang dewasa warga sekitar, terpaksa terus beribadah di gedung-gedung yang dijadikan tempat ibadah sementara. Dalam laporan tahunannya (2014), Wahid Institute menempatkan Jawa Barat sebagai daerah yang paling intoleran. Dari berbagai daerah di Jawa Barat, Bekasi disebut-sebut sebagai yang paling intoleran.20

Menariknya, sekalipun Bekasi disebut paling intoleran dari seluruh daerah yang ada di Jawa Barat, Kota Bekasi juga


20 The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014, WahidInstitute.org. http://www.wahidinstitute.org/wi-id, diakses 14 April 2014, pkl. 16.15.



memiliki daerah yang tersohor dengan toleransi beragamanya, yakni daerah Kampung Sawah. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan tiga rumah ibadah yang berdiri megah dan letaknya berdekatan yakni Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katolik Santo Servatius, dan sebuah masjid besar dan Pondok Pesantren Fisabillilah. Ini juga menjadi lambang kehidupan toleransi yang tinggi bagi daerah tersebut.


PENDAPAT GEREJA-GEREJA DI BEKASI TERHADAP PBM

Pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi terkait implementasi kebijakan izin pendirian gereja menurut PBM setidaknya mencakup dua hal, yakni mengenai hubungan penetapan izin gereja terhadap pemenuhan hak membangun rumah ibadah di Bekasi, dan dampak implementasi kebijakan PBM dalam hubungan internal dan hubungan antaragama di Bekasi.


PBM Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45

Menurut pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi, penetapan izin gereja, baik dalam SKB maupun PBM telah membelenggu hak masyarakat untuk mendirikan rumah ibadah. Sejak ditetapkannya, bahwa setiap pendirian rumah ibadah harus mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Dan kepala daerah atau pejabat memberikan izin pendirian rumah ibadah didasarkan pertimbangan: pendapat kepala perwakilan Kementerian Agama setempat, planologi, dan kondisi dan



keadaan setempat. Menurut tokoh-tokoh gereja di Bekasi, persyaratan keharusan mendapatkan izin dari pemerintah daerah, ataupun dari masyarakat, sama saja membatasi hak mendirikan rumah ibadah. Bahkan di Bekasi, SKB dan PBM merupakan senjata untuk memberedel tempat-tempat peribadatan non-muslim.21

PBM menurut pimpinan gereja-gereja di Bekasi bukan hanya tidak mampu memfasilitasi gereja-gereja di Bekasi untuk mendapatkan izin membangun rumah ibadah, tetapi juga telah menjadi instrumen penutupan gereja, khususnya terhadap gereja-gereja yang tidak memiliki IMB. Pendataan FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) terhadap rumah ibadah di Kota Bekasi yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul ‚Rumah Ibadat di Kota Bekasi‛, yang disunting oleh Badruzzaman Busyani, dan diterbitkan oleh FKUB Bekasi, dan di dalamnya dicantumkan nama rumah-rumah ibadah yang berizin, dan tak berizin di Kota Bekasi, khususnya gereja, menjadi tidak produktif, karena rekomendasi FKUB tidak menjamin diberikannya IMB terhadap sebuah gereja yang belum memiliki IMB, namun untuk mendapatkan IMB, sebuah gereja harus mendapatkan rekomendasi FKUB.22









Bekasi.


21 Wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di


22 Busyani, Rumah Ibadat di Kota Bekasi (Bekasi: FKUB, 2009), 21- 22.



Pendataan mengenai gereja-gereja yang memiliki IMB dan tidak memiliki IMB, yang kemudian dipublikasikan, mengakibatkan gereja-gereja yang tidak memiliki IMB, dan pada awalnya tidak mengalami gangguan masyarakat setempat, setelah publikasi itu justru bisa mengalami gangguan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Beberapa tokoh gereja mengatakan, ‚Di Bekasi telah hadir kelompok- kelompok radikal yang kehadirannya bertujuan menutup gereja-gereja yang tidak memiliki izin.‛23

Pemimpin gereja di Bekasi berpendapat bahwa publikasi FKUB sangat menolong kelompok-kelompok radikal untuk mendapatkan data gereja yang tidak berizin, dan kemudian melakukan penutupan terhadap gereja tersebut, baik melalui intimidasi, pemanggilan pendeta setempat agar menutup gereja yang tidak berizin tersebut, bahkan tidak jarang penutupan gereja di Bekasi dilakukan dengan cara kekerasan apabila gereja tersebut tetap melakukan peribadatan di bangunan yang belum memiliki IMB.

Gereja-gereja dalam kategori pertama (A), yakni memiliki izin dan tidak mengalami gangguan masyarakat ternyata juga menolak PBM, menurut sumber dari gereja-gereja tersebut peraturan khusus pendirian rumah ibadah (PBM) telah menghalangi komunitas Kristen untuk memiliki rumah ibadah. Penolakan terhadap PBM dari gereja-gereja yang telah memiliki izin dan tidak bermasalah dengan lingkungan


23 Wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di

Bekasi.



masyarakat ternyata terkait pengalaman masa lampau gereja- gereja tersebut. Ternyata gereja-gereja yang memiliki IMB dan tidak mengalami gangguan masyarakat, pada awal berdirinya juga mengalami gangguan masyarakat dengan alasan perizinan sejak diberlakukannya SKB dua menteri yang juga menetapkan keharusan mendapatkan izin pemerintah daerah dalam pendirian rumah ibadah. HKBP Jatiasih sebelum berdiri megah seperti saat ini, pernah dibakar oleh masyarakat. Namun, melalui pendekatan pihak gereja yang cukup intens terhadap masyarakat serta tokoh-tokoh masyarakat, gereja tersebut dapat didirikan kembali, dan mendapatkan izin.24 Persyaratan keharusan mendapatkan izin pemerintah yang dituangkan sejak SKB, telah mempersulit gereja, karena pertimbangan pemerintah untuk memberikan IMB gereja juga mengacu pada izin dari masyarakat setempat. Apabila masyarakat setempat ada yang tidak menginginkan hadirnya rumah ibadah agama lain, dengan alasan apapun, maka pendirian sebuah rumah ibadah akan sangat sulit didapat.

PBM tentang perizinan gereja juga menyasar Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah yang telah lama berdiri dan memiliki hubungan yang harmonis dengan lingkungan. Dapat dimaklumi sebagian besar masyarakat adalah jemaat gereja tersebut. Dan bahkan lingkungan masyarakat di sana itu bersifat multi-religi. Artinya dalam sebuah keluarga bisa saja ada anggota yang berbeda keyakinan: muslim dan Kristen. Suasana yang sangat kondusif itulah yang


24 Ibid.



membuat pengurus gereja tidak berpikiran untuk mengurus surat izin. Apalagi, menurut ketentuan PBM 2006, GKP Kampung Sawah yang keberadaannya sudah sangat lama berada di daerah itu, mestinya otomatis mendapatkan izin karena GKP Jemaat Kampung Sawah berdiri sejak tanggal 16 Juni 1874.

Meskipun GKP Kampung Sawah tersebut telah berdiri sejak Indonesia belum merdeka, pemerintah setempat tetap mengharuskan pihak gereja mengurus izin sebagaimana layaknya gereja-gereja yang akan dibangun. Kasus ini sekaligus membuktikan kurangnya pemahaman pemerintah atas peraturan yang dibuatnya. Syukurlah GKP Kampung Sawah tidak memiliki masalah dengan lingkungan. Masyarakat setempat yang terdiri dari berbagai agama, sudah lama hidup dalam kebersamaan yang rukun, sehingga keberadaan gereja tersebut relatif tidak pernah mengalami hambatan. Faktor yang sangat kondusif itulah yang membuat pengurus gereja

‚merasa tidak perlu‛ mengurus izin gereja, tanpa ada maksud untuk melawan pemerintah yang berkuasa, apalagi menurut mereka PBM jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

Kehadiran PBM bagi gereja yang masuk dalam kategori B yakni: ‚mengalami masalah pengurusan izin, bermasalah dengan masyarakat, tetapi selesai‛, tidak semuanya merespon negatif. Gemindo, adalah salah satu gereja yang merespon positif terhadap PBM. Gereja ini harus menyusuri jalan panjang dalam pengurusan izin. Bahkan ketika pembangunan gereja telah dilakukan, dan izin belum didapat, gereja tersebut pernah



dibakar massa. Pembangunan dapat dilakukan kembali setelah izin didapat. Dan respon positif terhadap PBM timbul karena gereja tersebut berharap PBM dapat menghindari pengalaman buruk masa lampau, yakni pembakaran gereja.

Harapan terhadap PBM itu jelas belum bisa memberikan kepastian, karena banyak gereja yang memiliki izin pun mengalami gangguan dan ada yang ditutup. Sumber dari gereja POUK Graha Prima, dan Gekari memberikan respon negatif terhadap PBM. Gereja Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK) Graha Prima, pernah dibakar massa meskipun gereja tersebut berdiri di atas tanah yang disediakan pengelola Kompleks Perumahan Graha Prima dan diperuntukkan bagi rumah ibadah Kristen. Gereja tersebut harus bekerja keras melakukan pendekatan terhadap masyarakat. Setelah melalui jalan yang cukup panjang akhirnya gereja itu bisa kembali dibangun, bahkan lengkap dengan plang nama gereja. Namun demikian, surat izin belum berhasil didapat. Hal yang sama juga dilakukan Gereja Gekari, pemimpin gereja dan jemaat terus-menerus mengadakan pendekatan sosial terutama ke tokoh-tokoh agama setempat. Akhirnya upaya ini berhasil juga, di mana keberadaan gereja bisa diterima oleh masyarakat, dan kepengurusan izin pun selesai. Di sini terlihat, regulasi masyarakat yang kerap bertentangan dengan aturan PBM mendapat tempat untuk menjadi instrumen penutupan rumah ibadah.25



25 Wawancara dengan pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi.



Untuk kategori ketiga atau (C), yakni gereja yang tidak memiliki izin namun aman, PBM juga ditolak oleh semua gereja sampel. Antara lain, GPPS Talitakumi, gereja yang  tidak memiliki izin namun diterima msyarakat setempat, dan dapat memasang plang gereja di depan bangunan gereja. Menurut pemimpin-pemimpin gereja dalam kategori C ini, kehadiran PBM memaksa gereja tersebut mengurus izin, padahal IMB gereja tidak mudah didapat, dan pengurusannya membutuhkan waktu yang lama. Berbeda dari GPPS Talitakumi, GKII Solideo, GKSI Setia, dan GBI Mawar Saron, ketiga gereja tersebut bukan hanya tidak bisa mengurus izin karena mereka yakin tidak akan mendapatkan izin dari masyarakat meski berdasarkan aturan PBM mereka telah memenuhi syarat jumlah jemaat. Namun karena PBM juga mensyaratkan izin dari masyarakat sekitar gereja, yang pada umumnya bukan penganut agama Kristen, maka pihak gereja tidak mengurus izin karena yakin pasti akan mengalami penolakan. Penolakan masyarakat untuk menandatangani persetujuan pendirian gereja di lingkungan mereka berada dikarenakan bahwa memberikan persetujuan pendirian gereja, sama saja dengan mengizinkan penyesatan terjadi. Kehadiran ketiga gereja tersebut telah diketahui pemerintah setempat mulai dari RT, RW, kelurahan dan kecamatan. Namun karena masyarakat dan tokoh agama sekitar lokasi gereja tersebut bukan hanya tidak menyetujui pengurusan izin gereja, untuk memasang plang nama saja, ketiga gereja tersebut tidak diizinkan. Karena itu kaharusan mendapatkan izin dari masyarakat untuk pendirian gereja, pada tempat-tempat



tertentu di Bekasi adalah tidak mungkin. Kejadian ini secara khusus juga terjadi pada penolakan atas HKBP Filadelfia.

Untuk kategori keempat atau (D) ‚gereja yang tidak memiliki izin, dan bermasalah dengan masyarakat, dan tidak selesai‛, PBM diakui telah menjadi instrumen penutupan gereja dan menjadikan gereja sasaran kemarahan, dan kekerasan massa, tanpa pemerintah mampu melindungi gereja-gereja tersebut. Bahkan pada umumnya mereka harus meninggalkan lokasi tersebut, dan berpindah ke tempat lain. Pengalaman pahit ini dialami oleh HKBP Filadelfia, yang meskipun keberadaan mereka dimenangkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetap saja tempat ibadah mereka tidak dapat digunakan. Segel penutupan terhadap gereja tetap terpasang, dan mereka harus beribadah secara berpindah-pindah, termasuk di depan Istana Presiden, bersama jemaat  GKI Yasmin Bogor.

HKBP Ciketing tidak hanya diganggu dan diintimidasi massa yang mengaku sebagai warga setempat. Puncaknya adalah ketika gereja tersebut diserang, dan salah seorang anggota majelis gereja ditusuk hingga luka parah oleh kelompok yang menentang kehadiran gereja tersebut. Sejak peristiwa itu gereja pun tidak dapat digunakan, dan mereka harus berpindah tempat. Demikian juga halnya dengan Gekindo Jatimulya, gereja ini juga harus memindahkan tempat ibadah mereka, ketempat yang cukup jauh dari lokasi gereja awal, ini berarti jemaat harus mengalami kesulitan menjangkau tempat ibadah itu. Nasib yang sama juga dialami oleh GKI Jatibening, tempat ibadah itu ditutup dan tidak bisa digunakan



lagi.

Berdasarkan kejadian-kejadian tragis yang dialami gereja-

gereja di Bekasi atas kehadiran SKB yang kemudian direvisi menjadi PBM, dan keduanya mengharuskan adanya izin pemerintah daerah dan masyarakat atas sebuah rumah ibadah, wajar saja jika para pemimpin gereja di Bekasi pada umumnya berpendapat sama, yakni PBM yang mensyaratkan pendirian rumah ibadah berbeda dengan pendirian rumah tinggal telah mempersulit pendirian rumah ibadah. Pendirian rumah ibadah di Bekasi kerap lebih sulit dibandingkan pendirian sebuah tempat hiburan malam yang kehadirannya jelas-jelas bisa menimbulkan dampak negatif pada masyarakat setempat, apalagi dengan adanya penyimpangan pengoperasian hiburan malam, yang kerap menjadi tempat penjualan dan penggunaan narkoba.

Perizinan gereja yang dituangkan dalam PBM telah mengakibatkan beberapa gereja di Bekasi ditutup, seperti yang terjadi dengan HKBP, Gekindo, dan GPDI di Jati Mulya Bekasi, penutupan tersebut langsung dipimpin oleh camat setempat. Aturan keharusan adanya izin pemerintah telah melahirkan politisasi agama, di mana pejabat setempat memainkan agama untuk menarik simpati pendukungnya. Dan mempersulit atau menutup rumah ibadah yang berbeda dengan pendukungnya adalah jalan politisasi agama yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia.



PBM Berdampak Negatif dalam Hubungan Antaragama di Bekasi

Apabila dalam SKB dua menteri perizinan bergantung pada kepala daerah, dan ini pun terbukti dimanfaatkan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, maka syarat yang lebih detail tentang pendirian rumah ibadah justru menjadi lebih pelik. Pada daerah-daerah tertentu di Bekasi dijumpai, bahwa keharusan mendapatkan izin dari masyarakat setempat justru menimbulkan konflik baru dalam masyarakat. Individu atau kelompok masyarakat yang sebelumnya tak peduli dengan kehadiran rumah ibadah yang berbeda dengan agama yang mereka anut, kemudian secara tidak langsung merasa dipaksa untuk peduli dengan menyetujui kehadiran rumah ibadah agama yang berbeda. Permintaan persetujuan individu-individu yang berdomisili di sekitar rumah ibadah yang akan didirikan membuat penganut agama lain merasa dipaksa untuk menyetujui kehadiran rumah ibadah agama lain. Keharusan mendapatkan izin masyarakat setempat untuk

IMB pada beberapa gereja justru menjadi kontraproduktif, karena telah menimbulkan koflik baru dalam masyarakat antaragama. Apalagi, pada individu atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu, memberikan izin pendirian rumah ibadah yang berbeda agama, sama saja dengan mengkhianati agama mereka, karena membiarkan agama-agama yang berbeda berkembang dan mengancam perkembangan agama yang mereka anut. Realitas ini bukan hanya diakui oleh pemimpin- pemimpin gereja di Bekasi, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat di Bekasi, bahkan isu ini tersebar luas khususnya pada daerah-



daerah di mana terjadi konflik terkait pendirian rumah ibadah.26

Hadirnya PBM telah membuat hubungan antaragama di Bekasi penuh dengan kecurigaan. Kebaikan gereja terhadap masyarakat sekitar berupa keterlibatan dalam memberikan bantuan sosial kepada masyarakat sekitar yang tidak mampu, kerap dicurigai sebagai tindakan manipulatif, yaitu usaha untuk membujuk masyarakat agar bersedia memberikan izin pendirian gereja. Padahal, kebaikan gereja tersebut sebenarnya tidak bisa ditafsirkan demikian, karena bantuan sosial gereja terhadap masyarakat adalah salah satu penunaian tugas mandat sosial gereja.

Kehadiran PBM menurut pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi adalah ‚bukti kegagalan pemerintah untuk bersikap netral‛. Pemerintah jelas-jelas berpihak pada kelompok- kelompok tertentu yang tidak senang dengan perkembangan agama lain. Kegagalan pemerintah untuk bersikap netral terlihat jelas dengan membiarkan terjadinya penutupan dan perusakan gereja oleh polisi-polisi informal,  pemerintah tunduk pada polisi-polisi informal tersebut. Polisi-polisi informal itu umumnya bukan berasal dari masyarakat sekitar, tetapi berasal dari tempat yang jauh dari lokasi yang kerap menjadi sasaran amuk polisi-polisi informal itu.‛27 Kegagalan pemerintah di Bekasi terlihat jelas dalam kasus HKBP Filadelfia Bekasi, yang dari segi jumlah telah memenuhi syarat dan


26 Wawancara dengan pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi.

27 Ibid.



mendapatkan persetujuan masyarakat, serta diteguhkan keabsahannya oleh pengadilan. Namun hingga saat ini jemaat HKBP Filadelfia tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan izin IMB rumah ibadah. Bahkan ironisnya, pendeta jemaat HKBP Filadelfia yang adalah korban  itu, sempat dituduh sebagai pelaku kekerasan. Dan pada sisi lain, pelaku kekerasan yang sebenarnya, tak pernah tersentuh aparat keamanan.

Birokrasi yang amat panjang dalam pendirian gereja, telah membuat gereja-gereja di Bekasi harus menyusuri jalan panjang dalam pendirian gereja. Birokrasi yang panjang tersebut juga kemudian melahirkan mafia-mafia dalam pengurusan gereja. Repotnya, mafia-mafia pengurusan izin gereja ini juga melibatkan pemerintah. Hal itu sebenarnya sudah dapat diprediksi, karena dalam PBM ada dua regulasi yang harus dipenuhi dalam pengurusan izin gereja, yakni regulasi pemerintah dan regulasi masyarakat. Mafia-mafia dalam pengurusan izin gereja ini bisa hadir dari pemerintah dengan birokrasinya, dan juga masyarakat. Birokrasi yang panjang ini mengakibatkan biaya pendirian gereja sangat besar. Dan itu juga yang menyebabkan pengurusan izin gereja memerlukan waktu yang amat panjang. Di Bekasi, pengurusan izin tercepat berlangsung selama dua tahun. Pendirian gereja yang sangat mahal itu mengakibatkan hanya gereja-gereja dengan jumlah jemaat yang besarlah yang dapat memenuhinya, sedang gereja- gereja yang kecil hanya dapat menempati ruang ibadah sementara di ruko-ruko dan harus siap menjadi sasaran penutupan kelompok-kelompok tertentu, dan juga pemerintah



daerah yang tidak memahami PBM dengan baik. Kondisi ini juga menimbulkan hubungan yang tidak baik dalam internal gereja, khususnya antara gereja berjumlah jemaat besar dan gereja dengan jemaat kecil. Apalagi umumnya gereja-gereja yang telah memiliki izin itu ‚enggan‛ meminjamkan gedung gereja mereka, meski sedang tidak digunakan.

Berdasarkan hasil penelitian di atas jelaslah bahwa menurut pendapat pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi, PBM tidak produktif dan implementasinya berdampak buruk dalam kehidupan antaragama di Bekasi. PBM terbukti dimanfaatkan kelompok-kelompok diskriminatif untuk menutup rumah- rumah ibadah. Padahal ada banyak rumah ibadah yang telah berdiri cukup lama, dan diterima baik oleh masyarakat, namun dengan memperalat peraturan yang bersifat diskriminatif itu, rumah-rumah ibadah itu pun mengalami gangguan. Beberapa di antaranya bahkan tutup dan pindah tenpat. Dari berbagai fakta itu, terbuktilah bahwa PBM 2006 memberikan legitimasi terhadap tindakan diskriminatif. PBM juga terbukti telah menghalangi hak komunitas agama untuk memiliki tempat beribadah.


KESIMPULAN

Berdasarkan Pancasila dan UUD 45, dokumen DUHAM 1948, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dokumen Deklarasi untuk Mengeliminasi Segala Bentuk Praktik Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on Elimination of All Forms Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief), Dokumen



Deklarasi untuk Melindungi Hak-hak Individu Minoritas untuk Bidang Nasionalitas/Etnis, Agama, dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities), jelaslah bahwa PBM bersifat diskriminatif dan telah merampas hak masyarakat Bekasi untuk mendirikan rumah ibadah yang dijamin oleh undang-undang di atasnya, dalam hal ini UUD 1945. Kehadiran PBM juga berdampak buruk dalam kehidupan internal agama, dan hubungan antaragama di Bekasi. Berdasarkan pendapat pemimpin- pemimpin gereja di Bekasi, PBM harus dicabut, karena syarat- syarat pendirian gereja berdasarkan PBM jelas-jelas telah membatasi hak umat beragama di Bekasi untuk memiliki tempat ibadah.


https://www.binsarhutabarat.com/2021/02/peraturan-pendirian-rumah-ibadah-perlu-dibatalkan.html

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...