Podcast Rukun Beragama

Video

Saturday, November 20, 2021

Membangun Kompetensi Nasional



Membangun Kompetensi Nasional


Oleh Binsar A Hutabarat


Harapan agar mutu pendidikan secepatnya diperbaiki guna meningkatkan kompetensi nasional rupanya masih harus menunggu waktu lama lagi. Target anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 sebesar lebih Rp 700 triliun sebagaimana diamanatkan UUD 1945 sudah dipastikan tak bisa dipenuhi.


Tahun depan pemerintah mengalokasikan dana pendidikan sebesar Rp 48,72 triliun, yang berarti jauh dari target yang diamanatkan konstitusi. Dengan total APBN untuk tahun depan mencapai sekitar Rp 700 triliun, alokasi anggaran untuk pendidikan mestinya mencapai Rp 140 triliun.


Sudah bisa dibayangkan bahwa dengan tersedianya anggaran yang terbatas, dunia pendidikan masih akan menghadapi persoalan yang sama yakni kesulitan mendongkrak mutu lulusannya. Pendidikan bukannya makin maju, malah mengalami kemunduran.


Memang ada usaha untuk membuka pintu investasi asing dalam bidang pendidikan, namun hal itu tidak mudah. Berbagai kontroversi menyangkut masuknya modal asing dalam dunia pendidikan menunjukkan hal itu. Tambahan pula, indutrialisasi pendidikan yang makin transparan akhir-akhir ini dikhawatirkan akan lebih mempersempit ruang untuk orang miskin untuk menikmati pendidikan layak.


Melihat realitas tersebut di atas, Indonesia barangkali perlu belajar dari Korea Selatan. Negeri Ginseng yang merdeka belakangan dari Indonesia ini justru mencatat kemajuan ekonomi yang luar biasa. Korea Selatan kini sudah masuk dalam jajaran negara maju, sedangkan Indonesia masih tetap terseok-seok.


Belajar dari Korsel


Syngman Rhee, presiden pertama Korea, tidak membawa kemajuan berarti dalam perekonomian negeri itu karena banyaknya korupsi dari rezim lama. Mayor Jenderal Park Chung Hee yang mengambil alih kekuasaan dari tangan Rhee melalui suatu kup akhirnya mampu mengubah Korea Selatan dalam waktu singkat. Korea Selatan yang tergolong negara miskin dengan pendapatan per kapita US$ 72 segera berubah dengan geliat ekonomi yang luar biasa.


Park berperan sangat besar dalam membangun perekonomian Korea Selatan dengan melakukan perombakan besar-besaran dalam cabinet. Park bersama sejumlah ekonom merancang program Perencanaan Pembangunan Ekonomi Lima Tahun Pertama (First Five Years Economic Development Plan) yaitu mengembangkan Korea menjadi negara industri, dengan didahului peningkatan pendidikan yang luar biasa.


Pada periode lima tahun pertama pemerintahannya (1962-1967), Park memfokuskan pada pembangunan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Park Chung Hee membangun gedung-gedung sekolah serta pengadaan tenaga-tenaga guru yang andal. Pada masa kepemimpinannya, tak ada satu anak pun yang boleh tinggal di rumah.


Pendidikan di Korea meningkat secara luar biasa baik dari segi jumlah maupun kualitas. Jika pada tahun 1962 perbandingan ratio jumlah guru terhadap murid untuk primary school 1:54; tahun 1980 1:30, dan untuk secondary school tahun 1962, 1:34, tahun 1980 perbandingan yang ada menjadi 1:18, total biaya pendidikan sebesar 37% disubsidi oleh pemerintah.


Hal lain yang menarik adalah perusahaan di Korea memberlakukan pembayaran gaji yang berbeda, bergantung pada jenjang pendidikan yang diperoleh. Begitu pula kenaikan gaji sangat tergantung pada produktivitas, senioritas dan profesionalisme pegawai, bukan “perkongkoan”. Itulah yang membuat rakyat Korea dapat menerima pendidikan yang memadai sesuai dengan permintaan industri yang ada.


Perusahaan-perusahaan Korea seperti Hyundai, Faywoo, Samsung, mengirim ribuan pekerjanya untuk mendapatkan pendidikan S2, S3 di Amerika dan Eropa. Bagi mereka, investasi dalam bidang pendidikan adalah indentik dengan meningkatkan kemampuan pekerja untuk dapat berinteraksi dengan cepat dan menyesuaikan dengan perubahan pekerjaan dan teknologi yang ada. Itulah kunci yang membuat national competence Korea melejit jauh melampaui Indonesia.


Di Korea ada 26 public vocational training institutes, dan setiap tahun pekerja yang dilatih di sana minimum mencapai 350,000 pekerja, kurang lebih 3% dari labour force di seluruh Korea.


Jadi human capital, terbukti sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi, kultur dan masa depan negara. Korea adalah buktinya. Negeri ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi bersamaan peningkatan sumber daya manusianya yang luar biasa. Ketika Park mati tertembak oleh Direktur KCIA Kim-jae-kyu pada Oktober 1979, pendapatan per kapita negeri itu meningkat secara luar biasa, US$ 2.420 dari US$ 72 pada tahun 1962.


Bagaimana dengan Indonesia


Mengapa Indonesia tak ingin belajar dari Korea? Menurut data Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme, UNDP), hampir 55% dari laki-laki berumur 12-17 tahun di Indonesia hanya mengecap pendidikan sampai SMP, dan 30% hanya sampai dengan SD, itupun pada sekolah dengan mutu rendah.


Jumlah guru yang memenuhi standar mutu di Indonesia kira-kira tidak lebih dari 20%, selebihnya sama sekali tidak memadai, apalagi untuk era globalisasi saat ini. Sertifikasi guru untuk mendongkrak kualitas para pendidik pun tak berjalan mulus, tentu akan lebih terhambat lagi dengan anggaran pendidikan yang makin kecil. Berbagai kondisi itulah yang membuat tingkat kompetensi Indonesia makin tenggelam.


Indonesia memang membutuhkan revolusi bidang pendidikan jika ingin membangun perekonomian nasional. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat dan bangsa akan tetap berada di jalur impian belaka.


Belajarlah sejenak dari Korea. Negeri yang minim sumber daya alam dibandingkan Indonesia itu kini tergolong maju, hanya karena pemerintah, swasta dan rakyat sama-sama berjuang untuk memulainya dengan memfokuskan diri pada pembangunan sumber daya manusia yang kompetitif, competitiveness human development.


Kini Korea menjadi negara maju dengan berbagai produk elektronik dan otomotif yang mulai merajai pasaran dunia. Saat ini Korea menjadi salah satu negara yang sumber daya manusianya paling siap memasuki era globalisasi. Tindakan luar biasa Korea Selatan dengan mereformasi bidang pendidikan mestinya patut dicontoh Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.

Pelatihan Menulis Karya Ilmiah Akademik



 Pelatihan Menulis Karya Ilmiah Akademik


Hari pertama pelatihan menulis karya ilmiah akademik online membuktikan bahwa pada masa covid-19 , dengan menjaga jarak fisik berdasarkan protokol kesehatan, tidak membatasi kita untuk berkarya.
 

Peserta yang berasal dari beragam lulusan, baik lulusan sarjana, magister, maupun doktor tampak antusias mengikuti acara itu.

 

Narasumber Dr. Binsar A. Hutabarat membawakan tema Kiat menentukan topik tulisan dengan sangat baik, peserta dibukakan wawasan baru bahwa menentukan topik tulisan memerlukan strategi tertentu.

 

Diawali dengan menjelaskan perbedaan menulis dan mengarang, narasumber menjelaskan bahwa untuk menentukan topik yang tepat, penulis juga perlu menguasai topik yang akan ditulis secara baik.

Tentu saja penulis juga harus mampu melihat bahwa teori dari topik yang dikuasainya  berelasi dengan pemecahan masalah yang ditawarkan dalam karya tulis ilmiah akademik itu.

 

Hal utama yang perlu diketahui dalam menentukan topik tulisan adalah penulis telah memahami bagian-bagian yang akan dibahasnya secara umum sudah dipahami melalui riset awal. 

Untuk membuktikan penguasaan bahan itu penulis perlu memiliki sumber-sumber bacaan yang berisi teori, realitas dan problem yang akan dipecahkannya melalui penerapan teori yang dikuasainya. 

Disamping itu, data-data penelitian yang relevan, secacara khusus hasil-hasil penelitian pakar juga mudah di dapat, atau tersedia. Dengan demikian sebuah topik karya ilmiah bisa dipilih jika penulis meminati topik itu, menguasainya, dan penguasaan itu dibuktikan dengan sumber-sumber bacaan yang bermutu.

 

Dalam semua jenis penelitian, baik itu berupa kajian teori, penelitian kualitatif, dan kuantitatif secara global telah dipahami penulis, sehingga penulis bisa masuk ke detail masalah untuk melakukan penelitian secara mendalam.

 

Karena antusias peserta mengikuti acara itu, pembahasan juga sempat mengarah lebih jauh kepada metode penelitian yang akan dibahas pada acara berikut. Namun kepiawaian narasumber membuat acara tetap fokus pada tema yang ditentukan.

 

Kita berharap pertemuan selanjutnya akan berjalan dengan baik, dan peserta bisa menghasilkan karya-karya ilmiah akademik bermutu, sehingga dapat mendorong hadirnya jurnal-jurnal ilmiah bermutu.

 

Untuk anda yang ingin bergabung dalam Pelatihan menulis karya Ilmiah Akademik, dapat menghubungi yvindonesia@gmail.com

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Mariana Hp. 081210641245, 081219700134

 

 

Binsar Hutabarat Institute

https://www.binsarhutabarat.com/2020/09/pelatihan-menulis-karya-ilmiah-akademik_28.html



Friday, November 19, 2021

Pelatihan Menulis Karya Ilmiah Akademik

Pelatihan Menulis Karya Ilmiah Akademik

\



Persiapan apakah yang diperlukan untuk menulis sebuah karya akhir seperti Skripsi, Tesis, dan Disertasi?


Bagaimanakah menentukan topik karya ilmiah akademik?

Bagaimanakah membuat pembatasan Topik?

Bagaimanakah membuat pembatasan masalah?

Bagaimanakah menetapkan Rumusan Masalah atau Pertanyaan Penelitian?

Bagaimanakah menetapkan "State of the art " sebuah karya tulis ilmiah?

Bagaimanakah merumuskan metode penelitian?

Bagaimanakah menyusun instrumen penelitian?

Bagaimanakah membuat Laporan hasil penelitian?

Bagaimanakah menulis bagian pembahasan?

Semua pertanyaan tersebut akan dibahas dalam Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Akademik yang diselenggarakan oleh

BINSAR HUTABARAT INSTITUTE


PERSYARATAN PESERTA

1. Membayar kontribusi peserta  sebelum pelatihan ke. Rekening. BCA 7400166760, atas Nama Binsar Antoni Hutabarat

 

3. Untuk efektivitas pelatihan, jumlah peserta maksimal 20 orang. Pendafataran ditutup setelah jumlah peserta mencapai 20 peserta.

 

4. Peserta yang telah mentransfer biaya pendaftaran harap sms ke nomor berikut: Mariana, Hp. 081210641245



https://www.binsarhutabarat.com/2021/07/pelatihan-menulis-karya-ilmiah.html

Pancasila Ibarat Payung Besar


Pancasila Ibarat Payung Besar






Pancasila ibarat sebuah payung besar yang cukup untuk memberikan perlindungan terhadap keragaman di Indonesia. Keragaman suku, budaya dan agama mendapatkan tempat persemaiannya di bumi Pancasila yang memosisikan agama pada tempat terhormat.

 

 Negara yang berdasarkan Pancasila, mengembalikan domain agama kepada pemeluknya, tetapi juga memberikan suasana yang kondusif bagi agama memberikan sumbangsih yang berharga bagi bangsa. Pancasila yang menjiwai UUD 45 menghadirkan kebijakan yang anti deskriminatif untuk semua.


Pancasila Sebagai Kompromi 

Pancasila diterima sebagai sebuah kompromi politik karena Pancasila bermanfaat bagi semua agama-agama yang ada di Indonesia. Pancasila bukan hanya mengijinkan tetapi juga mendukung apa yang disebut bukan negara sekuler dan bukan negara agama yang mendasarinya pada agama tertentu.

 

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah untuk mendorong agama memainkan peran yang penting di dalam urusan-urusan publik Indonesia.  Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, harus memainkan peran yang menentukan yang menjadi dasar keempat sila yang lain, yaitu sila kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial.Namun, tidak berarti Pancasila harus ditafsirkan secara vertikalisme, karena agama harus menghadirkan perikemanusiaan. 

 

Namun, mengijinkan agama-agama untuk hadir dalam ruang  publik bukan persoalan mudah bagi negara-negara sekuler yang melihat agama bukan sebagai kebutuhan, bahkan telah memarginalkannya begitu lama. Apalagi pemisahan mana yang menjadi domain privat dan domain publik itu sendiri tidaklah mudah. Agama-agama perlu secara bersama membangun konsensus bersama untuk menghadirkan etika bersama yang dilandasi oleh nilai-nilai dari Pancasila.

 

Keyakinan bahwa agama dapat memberikan kontribusi penting bagi kehidupan bersama yang damai, merupakan pengalaman Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama, agama-agama budaya Indonesia hingga saat ini masih dapat dijumpai dengan mudah.


Pancasila memosisikan agama pada tempat terhormat

Sebaliknya, agama-agama besar yang masuk ke Indonesia, tidak sedikit yang kemudian mewarnai agama-agama suku itu. Masuknya agama-agama besar ke Indonesia secara damai itulah yang membuat keragama Indonesia terawat dengan baik. Jadi, Indonesia tidak pernah mengalami kehidupan tanpa agama, atau negara sekuler yang meminggirkan peran agama.

 

Indonesia yang toleran juga tidak pernah menghadirkan agama negara yang mengatur kehidupan masyarakat secara ketat. Pelajaran dari banyak negara agama menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa negara-negara yang mengatur kehidupan masyarakatnya dengan nilai-nilai agama yang amat ketat juga tidak mampu mengatasi persoalan sosial seperti korupsi, kemiskinan dan keborobrokan birokrasi.


Finalitas jalan Pancasila

Dengan demikian jelaslah bahwa Indonesia telah berada dalam jalan yang benar, yakni menjadi bukan negara agama yang mendasari pada agama tertentu, demikian juga bukan negara sekuler yang meminggirkan peran agama. Tidak ada komunitas agama apapun yang secara jumawa bahwa mereka mempunyai jawaban untuk memajukan Indonesia. Tetapi, semua elemen bangsa di negeri ini perlu bersatu untuk mendapatkan solusi terbaik untuk memajukan Indonesia. Secara khusus setelah negeri ini merayakan kemerdekaannya yang ke-75.

 

Sengkarut antara agama dan negara pada abad pertengahan masih menyisakan trauma dan ketakutan. Runtuhnya komunisme dan kembalinya sekularisme tetap membuat masyarakat berhati-hati saat membahas  agama untuk menghindari masuk ke ranah privat terlalu dalam. 

 

Negara-negara demokrasi kini menghadapi tantangan baru, karena sebagai negara demokrasi mereka harus mengijinkan agama-agama yang beragam itu  hadir dalam ruang publik, disini hubungan antara agama dan negara memasuki fase yang baru. 

 

Indonesia sebagai negara dengan banyak agama kini menghadapi persoalan yang tidak mudah seiring dengan kebangkitan agama-agama yang menuntut untuk hadir mendominasi ruang publik dengan alasan mayoritas. Padahal, Pancasila secara jelas telah mengingatkan bahwa Pancasila tidak mengenal mayoritas dan minoritas. Satu untuk semua, semua untuk satu begitu dikatakan Presiden Soekarno.

 

Timbul pertanyaan apakah Pancasila masih mampu menjadi payung yang lebar untuk menjadi landasan etis bersama agama-agama yang kerap tergoda untuk menunjukkan hegemoninya pada ruang publik? Kita berharap kedewasaan kita sebagai bangsa Indonesia akan tetap pada pilihan, bahwa Pancasila telah Final sebagai landasan bersama seluruh rakyat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/08/pancasila-ibarat-payung-besar.html


Tuesday, November 2, 2021

Negara Kesatuan Republik Indonesia




Negara Kesatuan Republik Indonesia


Hari lahirnya NKRI jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hari dimana proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Kemerdekaan yang di raih oleh bangsa Indonesia itu bukanlah hadiah dari bangsa Jepang, terlebih lagi Belanda yang tidak pernah ingin melepaskan cengkeramannya atas Indonesia. 

Jika mungkin, Belanda ingin terus menguasai Indonesia sebagai negara jajahan. Pasalnya, bagi Belanda, Indonesia mempunyai arti yang sangat penting. Setidaknya, selama berabad-abad Indonesia telah menjadi sumber penghasilan yang amat besar untuk Belanda. Terbukti, setelah kemenangan tentara sekutu atas Jepang, Belanda kembali ingin menancapkan taringnya di Indonesia. Pada akhirnya  Belanda mengakui kedaulatan NKRI, namun itu dilakukan setelah melewati peperangan-peperangan yang amat melelahkan dengan mengorbankan nyawa, harta yang tidak sedikit. 

Tekad dan perjuangan rakyat Indonesia lahir dari kesadaran bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pernyataan perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.[ Lihat A.A. Yewangoe, Iman Agama Dan Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002), h.217-218.]  

Perjuangan kemerdekaan Indonesia diraih dengan susah payah dan dibayar dengan harga yang mahal, yaitu darah para pejuang di seluruh pelosok tanah air. Oleh karena itu, tidak boleh ada individu atau kelompok yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tersebut semata-mata karena peran individu atau kelompok tertentu.

Lahirnya NKRI dapat pula disebut sebagai lahirnya Nusantara ketiga.[ Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 disini saya sengaja menggunakan istilah “dipersatukan” kembali tentu saja dengan pengertian bahwa bangsa kita sudah pernah bersatu dalam bentuk “persatuan” dan persatuan itu pernah berantakan, persatuan yang diproklamasikan pada tahun 1945 itu kita beri nama negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya ingin memandang negara kesatuan Republik Indonesia itu sebagai negara Nusantara yang ketiga. Nazarudin Syamsuddin, “Melestarikan Negara Nusantara Ketiga”, dalam Pembangunan Politik Situasi Global Dan Hak-Hak asasi Manusia di Indonesia, di edit oleh Haris Munandar, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 244.] Hal ini didasari dengan pandangan bahwa NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah “negara ketiga” yang ada di bumi Nusantara. Ada pun negara pertama yang pernah berjaya di Nusantara adalah Sriwijaya yang bertahan lebih kurang selama empat abad. Negara kedua adalah Majapahit yang berjaya selama hampir tiga abad. Dapat pula dikatakan bahwa wilayah Majapahit lebih-kurang sama dengan NKRI saat ini. Berdasarkan fakta-fakta sejarah tersebut, tidak salah jika dikatakan bahwa NKRI adalah Nusantara ketiga yang bersatu. Oleh sebab itu pula, maka seharusnya warga etnis Tionghoa dimasukkan sebagai salah satu suku di Indonesia, karena kehadirannya telah ada sejak tahun 1415. Pada waktu itu di Gunung Jati Cirebon telah ada pemukiman Tionghoa. Sehingga, warga etnis Tionghoa ini harus diperlakukan sama sebagaimana suku-suku pribumi lain di Indonesia, apalagi mereka juga ikut serta dalam perjuangan merebut kemerdekaan.[ Pemukiman Cina telah ada di Gunung Jati Cirebon tahun 1415, disana dilukiskan Laksmana Haji Kung Wu Ping, seorang keturunan dari penganut Konghucu mendirikan menara mercusuar di atas bukit gunung Jati. Tidak jauh dari situ dibangun pula komunitas Cina muslim Hanafi, yaitu di Sembung, Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan memelihara pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan memelihara mercusuar. Secara bersama-sama ketiga kampung Tionghoa Islam Hanafi itu ditugaskan pula memasak bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok Dinasti Ming, Chandra Setiawan, “Khonghucu Dalam Kemajemukan Agama-Agama di Indonesia”, dalam Struggling in Hope, diedit oleh, Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutama, A.Rajendra, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 465.] Bedanya, jika negara Nusantara pertama dan kedua disatukan dengan kekuatan senjata, maka negara Nusantara ketiga ini bersatu berdasarkan konsensus bersama. Dengan kata lain, persatuan tersebut tercipta tidak dengan kekuatan senjata, walaupun harus menghadapi perlawanan bersenjata dari pihak penjajah. Meski demikian, NKRI ini bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Sriwijaya atau pun Majapahit. Pernyataan bahwa rakyat yang berdiam di wilayah Nusantara ketiga sebagai bangsa yang bersatu, telah dicetuskan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Hal ini tertuang dalam pernyataan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa yakni Indonesia. Pengakuan tersebut lahir dari kesadaran bahwa rakyat Indonesia sejak dahulu memang telah hidup dalam kesatuan, baik pada jaman Sriwijaya maupun Majapahit.[ “Pengakuan bertumpah darah yang satu, berkebangsaan yang satu, berbahasa satu, tidak perlu disangsikan lagi baru merupakan konsensus nasional pada tingkat pengakuan masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan politis. Namun demikian, sebagai bangsa yang merdeka bangsa Indonesia baru lahir sejak tanggal 17 Agustus 1945”. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h. 74.] Dan pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat yang tinggal di bumi Nusantara sama-sama merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah. Rasa senasib dan sependeritaan tersebutlah yang mendorong rakyat Nusantara membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan suatu negara merdeka dan berdaulat penuh. Para pemimpin yang mewakili mereka pada waktu itu kemudian disebut sebagai “The founding fathers” Indonesia. Hanya dengan bersatu padu maka Indonesia dapat menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Dan persatuan Indonesia  tersebut merupakan reaksi terhadap kolononialisme Barat yang melahirkan nasionalisme. Perjuangan rakyat Indonesia pada mulanya dilakukan secara tradisonal, secara kedaerahan. Sehingga selalu mengalami kegagalan. Dalam proses modernisasi Indonesia belajar dari Barat, sehingga nasionalisme yang terbentuk di Indonesia adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar dari Barat, dan secara bersamaan merupakan reaksi terhadap kolonialisme Barat.[ Lihat T.B.Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998),  h. 7-8.] Kemudian rasa satu bangsa itu terus bertumbuh dalam perjuangan kemerdekaan, sehingga dapat dimengerti mengapa bangsa Indonesia yang sangat beragam tersebut akhirnya dapat menjadi bangsa yang bersatu. Dan tentunya untuk memelihara persatuan tersebut merupakan suatu usaha yang seharusnya di usahakan terus menerus. Mengenai tumbuhnya perasaan sebagai bangsa yang bersatu tersebut, T.B. Simatupang menjelaskan seperti berikut:

Negeri saya telah melalui perang kemerdekaan belum terlampau lama berselang. Dalam kehidupan bangsa-bangsa, perang semacam itu – bila berbentuk perang gerilya – merupakan pengalaman yang amat menentukan. Ia mendobrak banyak hal yng lama dan sekaligus memantapkan tali-temali baru, solidaritas-solidaritas baru. Ia membuka cakrawala-cakrawala baru, harapan-harapan baru. Negeri saya benar-benar lahir ditengah-tengah perang kemerdekaan tersebut. Sekiranya peperangan itu tidak ada, sekiranya kemerdekaan itu adalah hasil perundingan seperti misalnya terjadi dengan India, bangsa saya tak akan mungkin sebersatu seperti halnya sekarang ini.[ T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, h. 4.]


Nasionalisme Indonesia yang bertumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme Barat terus bertumbuh dalam perjuangan revolusi, itulah yang menyebabkan Indonesia tidak terpecah-pecah seperti negara-negara lain yang beragam, seperti perpecahan yang terjadi di India. Jadi tidaklah mengherankan jika rakyat Indonesia tidak menyadari keberadaan dirinya yang sangat beragam tersebut, maka disintegrasi bangsa merupakan ancaman yang sangat serius, karena banyak daerah di Indonesia berusaha untuk memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa sejak permulaan revolusi hingga Indonesia mencapai kedaulatan penuh, setiap warga negara yang terdiri dari berbagai suku dan agama telah menjalankan kewajibannya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.[ T.B. Simatupang, Kehadiran Kristen Dalam Perang Revolusi Dan Pembangunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 32.]

Pengakuan bahwa bangsa Indonesia telah ada sejak lama tercermin dengan diakuinya pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan dari berbagai pelosok tanah air. Mereka itu antara lain Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Pattimura dari Maluku, Raja Singamangaraja XII dari Tanah Batak, Teuku Umar dari Aceh, dan lain-lain. Pahlawan-pahlawan tersebut telah berjuang memimpin rakyat Indonesia di daerahnya masing-masing untuk mengusir penjajah sebelum proklamasi kemerdekaan dinyatakan. Pengakuan bahwa masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan politik telah ada sejak lama, kemudian diwujudkan dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara, juga merupakan pencerminan bahwa rakyat Indonesia tetap sebagai satu kesatuan meskipun terdiri dari berbagai suku bangsa (bhinneka tunggal ika).[ “Pancasila pada hakekatnya merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk mempersemaikan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Ia meliputi toleransi dan akomodasi timbal balik dalam bidang kesukuan, keagamaan, kedaerahan, dan lapisan sosial…Pancasila, pada hakekatnya, merupakan perumusan tekad bersama bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama bangsa Indonesia di atas dasar cita-cita Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila tersebut kemudian diturunkan, atau dijabarkan kedalam bentuk norma-norma hukum berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, maka Pancasila telah menjadi faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia”. Simatupang, kehadiran Kristen, h. 74-75.]



https://www.binsarhutabarat.com/2021/11/negara-kesatuan-republik-indonesia.html

Anti Kristus Jaman Now

  Anti Kristus Jaman Now: PGI, PGLII, PGPI, Aras Nasional Gereja Perlu Waspada!   Gereja pada awalnya adalah sebuah komunitas misioner...