BAB III
TINJAUAN KRITIS KEBEBASAN
BERAGAMA DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG IMAN KRISTIANI DALAM KONTEKS DEKLARASI
UNIVERSAL HAM
Berdasarkan fakta-fakta yang
telah dipaparkan dalam Bab I, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan
negara yang sarat dengan pelanggaran hak kebebasan beragama. Dalam Bab II juga
telah dijelaskan mengenai pandangan kristiani mengenai HAM secara khusus
tentang kebebasan beragama. Dan di Bab III ini penulis akan memberikan tinjauan
kristis terhadap pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia
berdasarkan pemahaman kristiani.
A. Nasionalisme Indonesia.
Lahirnya NKRI
merupakan suatu mujizat yang luar biasa. Sebagai negara yang paling
terpecah-pecah di bumi ini, mustahil untuk dapat mempersatukannya. Indonesia memiliki
ribuan buah pulau. Belum lagi kemajemukan agama, budaya dan bahasa. Dari segi
budaya dan bahasa Indonesia adalah negara yang paling majemuk di dunia.
Indonesia memiliki 250 bahasa dan kira-kira 30 kelompok etnis. Wajarlah apabila
terjadinya proses penyatuan dari pulau-pulau yang sangat terserak dan memiliki
agama, budaya, dan bahasa yang sangat bergama, dianggap sebagai suatu mujijat.
Karena ia melampaui kenyataan yang biasa ada di dunia, seperti India yang
terpecah menjadi dua misalnya.
Mengenai keberadaan
Indonesia yang sangat beragam dan penuh kontradiksi dilukiskan oleh simatupang
sebagai berikut:
Indonesia adalah negara yang penuh dengan kontradiksi. Ia adalah
sebuah “negeri Islam” terbesar di dunia, dalam arti mempunyai jumlah penduduk
beragama Islam yang terbanyak di dunia – lebih dari seratus juta orang. Namun,
pada pihak lain, sebelum tahun 1965, Indonesia pernah mempunyai partai Komunis
yang terkuat setelah Cina dan Rusia. Dan, jangan lupa, gereja-gerejanya.
Beberapa di antaranya berkembang dengan pesat. Mengamati ketiga unsur di atas
sekaligus, pasti membuat anda bertanya di dalam hati: negeri macam apakah itu?”
Lahirnya NKRI dapat
disebut lahirnya negara Nusantara ke 3 (lihat bab I), karna NKRI adalah negara
yang ke 3 yang ada di bumi Nusantara. Namun NKRI bukan merupakan lanjutan dari
negara Sriwijaya (negara nusantara ke 1), atau majapahit (negara nusantara ke
2), karena lahirnya NKRI merupakan penyatuan dari kelompok-kelompok yang ada di
Indonesia, yang pada mulanya adalah kumpulan bangsa-bangsa setelah runtuhnya
negara Majapahit.
Keajaiban tentang
lahirnya NKRI juga terlihat dari banyaknya kelompok-kelompok yang bersifat
kedaerahan yang mengatur daerahnya sendiri. Daerah-daearah yang mengatur
daerahnya dapat disebut sebagai negara-negara kecil. Negara-negara kecil ini
lahir karena kehancuran kerajaanMajapahit. Jadi lahirnya Indonesia dianggap
sebagai penyatuan negara-negara kecil tersebut, atau dapat disebut penyatuan
bangsa-bangsa.
Menurut Simatupang
(lihat bab I), semangat nasionalisme tidak lahir dari dalam rakyat Indonesia
tetapi merupakan reaksi terhadap kolonialisme Barat. Kegagalan negara-negara
tradisional Indonesia yang bersifat kedaerahan untuk melawan penjajahan
Belanda, menumbuhkan semangat persatuan antar kelompok tradisional tersebut
untuk mengusir Penjajah. Karena itu nasionalisme Indonesia dapat dianggap lahir
sebagai reaksi terhadap kolonialisme Barat.
Mengenai jalan
panjang lahirnya nasionalisme Indonesia yang bermuara pada lahirnya NKRI, A.S.
Hikam menjelaskan sebagi berikut:
Jika kita perhatikan dengan seksama pertumbuhan wawasan kebangsaan
kita, maka kita akan melihat proses pencarian yang cukup lama dan bertahap
sebelum kemudian diformulasikan secara resmi oleh para pendiri bangsa, baik
dalam bentuk ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Okober 1928 maupun dalam bentuk
Proklamasi Kemerdekaan RI dan UUD 1945. dengan perkataan lain, proses pencarian
identitas yang bermuara pada ditemukannya wawasan kebangsaan (nationalism)
dilakukan melalui beberapa fase di dalam sejarah. Pada masa paling dini, agama,
kebudayaan lokal, dan etnisitaslah yang mula-mula menyemangati dan menjadi
sumber terpenting bagi munculnya kesadaran identitas baru yang oleh para
sejarawan disebut sebagi protonasionalisme.
Kolonialisme yang masuk ke Indonesia membuat raja-raja kehilangan
kekuasaan riilnya, jadilah raja-raja tersebut hanya sebagai perpanjangan tangan
penjajah. Ekspansi kolononialisme bukan hanya berdampak pada krisis legitimasi
politik dan ideologis dengan hancurnya kekuasaan tradisonal, tetapi juga
melahirkan sistem politik-ekonomi baru. Dengan hancurnya kekuasaan tradisional
tersebut maka terjadilah kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut
kemudian menyebabkan kepemimpinan jatuh ketangan elit di luar istana, termasuk
pemimpin-pemimpin agama.
Pada fase kepemimpinan tokoh-tokoh agama dan gerakan perlawanan
terhadap perlawanan terhadap penjajah yang juga berasal dari pemimpin-pemimpin
kelompok yang berada di luar istana, kolonialisme di beri cap sebagai orang lain yang memiliki identitas berbeda seperti dalam
soal agama (kafir), etnis, ras, kebiasaan dan bahasa. Dalam
perjuangan-perjuangan tersebut kita kenal nama-nama seperti Diponegoro (Jawa),
Patimura (Ambon), Sultan Hasanudin (Makasar), Cut Nya dien (Aceh), Sunan Bonang
dan kalijaga (tokoh Islam) dll. Perjuangan kelompok ini memang mengalami
kegagalan namun hal tersebut menumbuhkan keasadaran identitas kelompok baru
yang indigenous yang berhadapan dengan kolonialisme Belanda.
Pada fase berikutnya walaupun etnisitas dan agama masih dominant,
ditemukan jati diri yang lebih memiliki jangkaun luas, seperti terlihat dalam
Oraganisasi Budi Utomo, dan Sarekat Islam (SI), dimana Budi utomo berangkat
dari etnik Jawa, dan SI menggunakan landasan Islam, tetapi keduanya memiliki
klaim universal, karena itu disebut sebagai fase baru. Setelah fase kedaerahan,
fase ini disebut Proto nasionalisme.
Pada fase selanjutnya muncullah sintesa baru yang lahir dari para
pemimpin pergerakan yang mengecap pendidikan dan peradaban Barat. Merekalah
yang kemudian menanamkan benih wawasan kebangsaan yang modern. Wawasan
kebangsaan yang bertumbuh menjadi wawasan kebangsaan Indonesia modern. Wawasan
kebangsaan ini mentransenden ke dalam eksklusivisme etnis, ras agama dan
golongan. Wawasan kebangsaan ini tetap membiarkan keragaman etnis, agama, ras
dan golongan. Jadi wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh Indonesia lahir dari
proses dialektik antara yang partikular dan universal, nilai-nilai yang
transendental dengan sekuler, antara Barat dan Timur.
Pada fase ini nasionalisme telah bertumbuh dengan subur.
Tumbuhnya semangat nasionalisme yang semakin menguat sebagaimana di
jelaskan diatas disebabkan oleh dua hal. Pertama pengaruh perkembangan
kebangkitan bangsa-bangsa terjajah untuk mendapatkan kemardekaan. Peristiwa penting
yang sangat mempengaruhi tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia adalah
kemenangan Jepang (Asia) atas Rusia (eropa) tahun 1905. Dalam peristiwa
tersebut Asia yang umumnya adalah bangsa jajahan Eropa membuktikan diri sebagai
negara yang juga mempunyai kemampuan yang sama. Terbukti Rusia mengalami
kekalahan dengan Jepang. Kedua, politik etis pemerintah Belanda yang
menciptakan terjadinya peningkatan pendidikan pribumi dan melahirkan kaum
terpelajar di Indonesia, yang kemudian menjadi pembawa benih wawasan kebangsaan
ke Indonesia tanpa membunuh keragaman etnis, agama, ras dan golongan.
Dalam pergerakan nasionalisme Indonesia tersebut muncul dua kekuatan
besar yaitu, gerakan Kebangsaan yang memperjuangkan lahirnya negara Indonesia
sekuler yang memberi tempat pada agama, dan kubu Islam yang menginginkan
Indonesia menjadi negara Islam. Sedang kelompok Komunis yang juga sempat
bertumbuh pada menjelang kemerdekaan tidak mempunyai kekuatan yang besar karena
pada tahun 1926/1927 kelompok Komunis disingkirkan oleh pemerintahan
kolonialisme. Tidaklah mengherankan jika pada pergulatan mengenai dasar negara
pertentangan yang kuat hanya terjadi antara kubu kebangsaan yang menginginkan
negara sekuler dan kubu Islam yang menginginkan Islam menjadi dasar negara.
Nasionalisme Indonesia kemudian tumbuh dengan subur pada masa
perang-perang gerilya mempertahankan kedaulatan negara. Menurut simatupang
(lihat babI), pengalaman perang-perang Gerilya dimana rakyat Indonesia
bersama-sama, bahu membahu melawan penjajah, menumbuhkan semangat nasionalisme
yang telah bertumbuh menjelang kemerdekaan. Semangat inilah yang memungkinkan
Indonesia yang sangat majemuk dapat bertahan sebagai negara NKRI.
Nasionalisme Indonesia yang melahirkan Indonesia sebagai negara
merdeka yang baru dibawah Pancasila melahirkan masyarakat baru. Masyarakata
Pancasila ini bukan lagi masyarakat-masyarakat lama yang terpisah-pisah
sebagaimana yang ada sebelum kemerdekaan. Namun masyarakat Pancasila yang baru
ini tidak dengan sendirinya dapat tercipta. Masyarakat Pancasila ini masih
harus mengalami proses mewujud. Proses perwujudan masyarakat Pancasila ini
berjalan lambat sehingga konflik suku,
budaya dan agama sering kali terjadi. Karena memang masyarakat Pancasila yang satu
tersebut belum memiliki wujud yang jelas.
Terhambatnya proses mewujudkan masyarakat Pancasila juga disebabkan
oleh karena setelah perang kemerdekaan usaha untuk menumbuhkan semangat
nasionalisme tidak lagi dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam setiap lapisan
masyarakat Indonesia. Mengenai hal ini Tamrin Amal Tomagola menerangkan
demikian:
Nasionalisme negara kemudian hanya subur dikalangan penyelenggara
negara dan disebarkan serta dibela dengan gigh oleh perangkat birokrasi sipil
dan militer, serta disebagian kalangan terdidik yang menjadi pegawai negeri.
Sedangkan di lapisan masyarakat yang lain dan dibanyak wilayah Indonesia yang
tumbuh subur justru nasionalisme agama dan nasionalisme etnis.
Nasionalisme Indonesia yang tidak berakar dalam masyarakat Indonesia
seharusnya terus ditumbuhkan dalam
masyarakat Indonesia. Namun ternyata Nasionalisme itu justru ditelan oleh
menguatnya komunalisme suku dan agama, karena memang nasionalisme hanya
ditanamkan dalam sekompok kecil masyarakat. Akibatnya Indonesia sebagai negara
baru tetap terdiri dari masyarakat lama yang mewujudkan masyarakat Pancasila.
Konflik antar suku dan agama menjadi sesuatu yang terus menghiasai sejarah
bangsa Indonesia.
Usaha untuk menyebarkan semangat nasionalisme tidak sebanding dengan
usaha-usaha yang ingin menelan semangat nasionalisme yang terjadi secara terus
menerus dan tidak pernah berhenti. Apalagi pemerintahan yang ada sering kali
hanya memikirkan untuk melestarikan kekuasaan tanpa berpegang pada cita-cita
bangsa Indonesia. Sehingga pembangunan masyarakat Pancasila sebagai perwujudan
dari lahirnya negara Indonesia mengalami hambatan.
Beberapa peritiwa yang menjadi hambatan terwujudnya masyarakat
Pancasila anatara lain adalah, adanya usaha untuk menggantikan Indonesia dengan
Ideologi lain. Yaitu Komunis dan Islam. Menjelang kemerdekaan terjadi
pemberontakan DI dan pada tahun 1965 terjadi pemberontakan Komunis untuk
menumbangkan negara Republik Indonesia. Usaha memadamkan perlawanan dari DI dan
Komunis membutuhkan waktu yang panjang. Keadaan ini tentu saja menjadi hambatan
yang cukup berat untuk mewujudkan masyarakat Pancasila. Karena Pancasila terus
menerus dirong-rong dari dalam dengan cara kekerasan.
Setelah pemberontakan-pemberontakan tersebut dipadamkan usaha
perlawanan terhadap Pancasila juga tidak terhenti. Yang terjadi adalah
perubahan bentuk perlawanan, tidak lagi dengan cara kekerasan, tetapi
perlawanan dilakukan dengan cara terselubung, yaitu melalui penetrasi
nilai-nilai agama dan kelompok yang eksklusif dan menimbulkan heterogenitas
Pancasila. Sayangnya dalam kondisi Indonesia tersebut usaha untuk menyuburkan
semangat nasionalisme tidak dilakukan dalam sebagian besar masyarakat
Indonesia. Akibatnya bukan hanya komunalisme agama yang terus bertumbuh tetapi
juga dibarengi dengan komunalisme budaya. Kelompok Komunis tidak lagi
memberikan perlawanan berarti karena pada jaman orde baru pemerintah
mengahancurkannya dan menjadikannya partai terlarang dan paham terlarang.
Mengenai penyimpangan yang terjadi dalam proses pembangunan
masyarakat Pancasila Darmaputera menjelaskan seperti berikut:
Dalam praktik kita bangun memang bukan masyarakat Pancasila.
Masing-masing kelompok sibuk membangun masyarakatnya sendiri. Alhasil, yang
terbangun bukanlah masyarakat Pancasila, melainkan satu masyarakat (Pancasila)
yang merupakan kumpulan atau penjumlahan dari masyarakat-masyarakat tadi. Satu
masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat. Bagaikan sebuah kepulauan yang
terdiri dari ratusan pulau, yang satu sama lain tersekat-sekat oleh ribuan
selat. Dari sinilah orang dengan tanpa risih dan terganggu mengucapkan atau
mendengar: negara agama, No, masyarakat agama, Yes!.
Karena usaha pembangunan Nasionalisme tidak berjalan dengan baik,
maka pemabangunan masyarakta Pancasila mengalami penyimpangan. Menurut
Darmaputera yang terbangun bukan masyarakat Pancasila yang satu, tetapi
kumpulan masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat, yang berusaha untuk
membangun dan membesarkan kumpulan umatnya sendiri dan menelan kumpulan umat
lainnya. Dan kemudian menguasai negara.
Terciptanya komunalisme agama dan budaya yang menghambat lahirnya
masyarakat Pancasila juga sangat dipengaruhi oelh sikap pemerintah.
Pemerintahan yang tidak adil menyebabkan terjadinya diskriminasi suku budaya
dan agama. Pembangunan yang tidak merata, membuat Indonesia menjadi beragam
dalam kehidupan sosial ekonomi. Akibatnya pertumbuhan suku, budaya dan agama
yang pada awalnya merupakan perlawanan terhadap sikap pemerintah yang tidak
adil, kemudian mengarah pada konflik antar kelompok yang ada. Dan kondisi
tersebut sering kali disuburkan oleh pemerintah dengan politik akomodasinya
(lihat bab I), demi mempertahankan kekuasaannya.
Bukti politisasi agama yang dilakukan pemerintah yang membuat
Indonesia semakin terkotak-kotak nyata pada pertengahan 1980-an sampai awal
1990-an. Pada waktu itu rezim orde baru
menjadikan Pancasila sebagi ideologi pembangunan. Pancasila menjadi asas
tunggal. Pancasila menjadi ideologi tertutup yang memiliki nilai
operasional. Pancasila dijadikan alat
politik orde baru untuk membungkam semua lawan politiknya. Pada masa ini
Soehato menggunakan istilah tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila bagi
lawan-lawannya. Pada masa ini juga sikap otoritarianisme orde baru semakin
telanjang. Kemudian pada waktu Soeharto mengalami pertentangan dengan militer
disini Soeharto mulai merangkul kelompok Islam formalis yang pada tahun 1970-an
ditindas. Soeharto mensponsori pembentukan ICMI demi merangkul
kelompok-kelompok Islam. Mas-masa ini disebut masa-masa bulan madu rezim orde
baru dengan Islam (Islam Formalis), (lihat bab I). Pemerintah melakukan
politisasi agama yang sangat berbahaya bagi persatuan Indonesia. Karena pada
saat itu benturan antaragama menjadi sangat memprihatinkan.
Pertumbuhan agama-agama dan budaya yang tidak dibarengi dengan
bertumbuhnya semangat nasionalisme menjadikan pertumbuhan agama-agama dan
budaya justru menelan semangat nasionalisme. Jadilah Indonesia sebagai negara
dengan banyak konflik antar etnis dan agama. Kerusuhan antar etnis madura dan
dayak di Kalimantan yang merenggut
banyak korban jiwa merupakn bukti nasionalisme Indonesia tidak bertumbuh dengan
subur. Belum lagi konflik di Ambon, Poso yang belum juga berakhir saat ini dan
bernuansa agama, tidak dapat dipungkiri bahwa, komunalisme agama dan budaya
telah menelan nasionalisme Indonesia.
Dari sudut pandang kristiani, kondisi Indonesia tersebut tidak perlu
terjadi. Umat kristiani adalah warga negara Indonesia dan secara bersamaan
warga gereja. Pertumbuhan Gereja yang ditandai dengan banyaknya orang yang
menjadi Kristen tidak boleh menjadikan umat kristiani melepaskan kewarganegaran
Indonesia. Pertumbuhan Gereja juga tidak boleh menimbulkan diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Karena perjuangan Gereja adalah
perjuangan untuk keadilan Allah dan tidak diskriminatif.
Umat kristiani harus berperan
dalam pembangunan masyarakat Pancasila, karena pembangunan masyarakat Pancasila
merupakan wujud pengakuan bahwa Indonesia adalah bangsa yang satu yang berasal
dari bangsa yang beragam dan memiliki masyarakat yang beragam. Usaha untuik
mewujudkan masyarakat Pancasila merupakan wujud dari pada pelaksanaan komitmen
terhadap Pancasila. Yang tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah.
Penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah, merupakan penyimpangan
oknum yang berkuasa. Karena itu sikap kritis terhadap oknum yang berkuasa tidak
serta merta menjadi perlawanan terhadap negara atau pengingkaran janji setia
untuk membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila. Demikian juga sikap kritis terhadap oknum
yang berkuasa tidak serta merta menjadi alat legitimasi untuk berbuat
diskriminatif terhadap kelompok lain, yang lebih lemah. Sebaliknya bersama-sama
dengan agama-agama yang ada, umat Kristen harus kritis terhadap pemerintah
untuk dapat terus membangun Indonesia.
Pembangunan nasionalisme Indonesia yang mengalami hambatan,
seharusnya menjadi tanggung jawab semua orang di Indonesia yang telah
menyatakan ikrar untuk membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.
Menurut Pandangan Kristen, Pancasila adalah jalan terbaik, karena ia dapat menerima
semua, karena itu pembangunan masyarakat Pancasila harus didasari oleh semangat
untuk kebahagian semua orang yang ada di Indonesia. Perjuangan untuk membangun
kebesamaan demi kesejahteraan bersama adalah benar menurut pandang kristiani.
B. Heterogenitas Pancasila.
Pancasila
merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki ribuan
pulau dengan berbagai macam suku, bahasa serta agama. Perang agama adalah suatu
peristiwa yang hampir tidak terdengar dalam sejarah Indonesia, sampai pada masa
kemerdekaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masuknya agama-agama baru ke
Indonesia berlangsung dengan cara damai. Agama-agama suku sudah ada jauh
sebelumnya, bahkan banyak yang bercampur dengan agama-agama yang datang.
Percampuran agama dengan agama suku itu melahirkan apa
yang disebut dengan aliran kepercayaan. Namun demikian, hubungan antaragama di
Indonesia tetap berjalan dengan baik. Dan meski penduduk negeri ini terdiri
dari suku bangsa yang berbeda, berbeda bahasa, dan agama, namun bisa bersatu
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Kemudian Pancasila dipilih sebagai sesuatu yang dianggap
menjadi alat perekat bangsa, karena ia memang merupakan kristalisasi bangsa
Indonesia. Kenyataan tersebut seharusnya mendorong setiap elemen bangsa
mengusahakan agar Pancasila dapat tetap terpelihara, dijaga, dan setiap
kelompok, suku dan agama senantiasa memberikan sumbangsihnya bagi pemikiran
yang bersifat pancasilais, untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai alat
perekat bangsa yang sangat beragam tersebut.
Kesadaran bahwa Pancasila merupakan alat perekat bangsa
Indonesia, dan telah teruji dalam membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka
dan berdaulat penuh, menimbulkan semangat dalam setiap insan di Indonesia untuk
terus menggali nilai-nilai dari Pancasila.
Mengenai usaha-usaha ini, Eka Darmaputera menjelaskan sebagai berikut:
Sejak ia diperkenalkan oleh Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945, sampai kepada ketetapan MPR pada tanggal 22 Maret
1978, Pancasila telah mengalami berbagai perubahan dan dalam urutan, perumusan
dan penekanan makna, selama kurun waktu itu banyak buku telah ditulis, dan
berbagai sebutan telah diberikan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu,
salah satu ciri khas Pancasila ialah, bahwa ia memberikan tempat bagi bermacam-macam
pendekatan.
Usaha untuk terus menggali nilai-nilai Pancasila sebagai
alat perekat bangsa, juga mendapatkan tandingan dari usaha-usaha untuk
memasukkan pemikiran kelompok tertentu ke dalam Pancasila, apalagi Pancasila
memang memberikan tempat bagi bermacam-macam pendekatan sebagaimana dijelaskan
oleh Eka di atas. Maka terciptalah heterogenitas Pancasila yang bukan hanya
mengandung aspek positif tetapi juga aspek negatif.
Ketika usaha-usaha dengan kekerasan untuk menggantikan
Pancasila sebagi ideologi negara mengalami kegagalan, maka penetrasi
nilai-nilai kelompok yang ingin menggantikan Pancasila terjadi dengan amat
derasnya. Semangat komunalisme agama terus bertumbuh dengan subur sebagai
saingan dari negara yang terus berusaha untuk menumbuhkan semangat
nasionalisme, walaupun tidak kepada seluruh lapisan masyarakat. Hubungan
“partnership” yang seharusnya terjadi antara negara dan kelompok etnis serta
agama, berubah menjadi hubungan yang saling menelan satu sama lain.
Persaingan antara negara dan kelompok agama menimbulkan
tafsir yang beragam dari Pancasila, karena kelompok-kelompok agama berusaha
melakukan penetrasi nilai-nilainya. Mereka tidak perduli apakah nilai tersebut
dapat memenuhi syarat sebagai jati diri Pancasila atau tidak, sebab tujuan
utama mereka adalah mengganti Pancasila
dengan nilai-nilai kelompok agama mereka.
Tidak jarang Pancasila melahirkan pemikiran-pemikiran
yang bertentangan dengan jati dirinya dan tidak dapat berfungsi sebagaimana
adanya. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tafsir tentang pemikiran Pancasila
terus bergeser dan tidak lagi menjadi sesuatu yang merekatkan bangsa,
sebaliknya menjadi sumber konflik karena ke dalam Pancasila telah dimasukkan
hal-hal yang bukan merupakan hakikat dirinya. Hal ini terjadi karena usaha
untuk menggali pemikiran Pancasila didasarkan pada usaha untuk melakukan
penetrasi ajaran agama atau kelompok tertentu ke dalam Pancasila semata, dan
jika perlu mengesampingkan kelompok lain. Akibatnya diskriminasi menjadi
sesuatu yang biasa.
Untuk memahami lebih jelas mengenai heterogenitas
Pancasila ini penulis akan memaparkan secara terperinci daalam uraian mengenai
keunggulan dan kelemahan pancasila.
1. Keunggulan Heterogenitas Pancasila.
Heterogenitas Pancasila pada hakekatnya merupakan wujud dari
keberagaman yang ada di Indonesia. Keberagaman suku, budaya dan agama-agama,
melahirkan heterogenitas pemikiran tentang
Pancasila. Heterogenitas Pancasila disatu sisi menunjukan keunggulan
dari Pancasila karena hal tersebut menjadi bukti bahwa semua orang yang berada
dalam payung Pancasila identitasnya tetap dihargai. Kelompok suku, budaya dan
agama-agama dapat bertumbuh dengan subur di bumi Indonesia dalam naungan
Pancasila. Keberadaan tersebut menciptakan partisipasi yang tinggi dari setiap
kelompok yang ada di Indonesia untuk memberikan sumbangsih pemikiran terhadap
Pancasila.
Terjaganya
hak-hak individu dan kelompok di dalam Pancasila merupakan kekuatan Pancasila
sebagai kompromi bersama. Karena itu tidak mengherankan jika Darmaputera
mengatakan bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik satu-satunya untuk Indonesia.
Pancasila sebagai pilihan terbaik menjadi harapan
seluruh bangsa Indonesai untuk membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat
penuh. Dalam perjuangan bangsa Pancasila terbukti mampu mempersatukan seluruh
rakyat Indonesia untuk bahu membahu melawan penjajah. Pancasila mampu menjadi
perekat bangsa.
Walaupun Pancasila dalam perjalanan menjadi ideologi dan
dasar negara melewati proses perdebatan yang panjang antar kelompok-kelompok
yang berbeda-beda. Pancasila sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945
telah dianggap sebagai sesuatu yang final. Keberadaan Pancasila ini merupakan
kekuatan dimana bangsa yang baru merdeka tersebut memiliki arah dalam
perjuangan bangsa.
Perdebatan antar kelompok yang ada semasa menjelang
kemerdekaan dalam hal Pancasila juga mengindikasikan bahwa Pancasila sebelum
menjadi ideologi dan dasar negara Indonesia telah mengalami proses kritik dari
berbagai kalangan yang berbeda. Berarti sila-sila dari Pancasila merupakan
rumusan yang lahir dari keterlibatan banyak orang di Indonesia, dengan segala
keragamannya, yang memperkaya isi dari sila-sila di dalam Pancasila. Pancasila
merupakan sintesa dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Sintesa tersebut berisi nilai-nilai yang universal dan diterima oleh
semua kelompok yang ada di Indonesia.
Nilai-nilai yang dituangkan dalam sila-sila dari
Pancasila sebagai sintesa yang bersifat universal bukan hanya kerinduan bangsa
Indonesia, tetapi menjadi kerinduan semua umat manusia. Sehingga Pancasila
memiliki keunggulan karena tidak ada orang yang menolaknya.
Keterlibatan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia
dalam memberikan sumbangsihnya terhadap pemikiran Pancasila nyata dalam
munculnya heterogenitas tafsir Pancasila. Adanya keberagaman tafsir
memungkinkan timbulnya sintesa-sintesa pemikiran yang lebih baik dari
kelompok-kelompok yang ada.
Apabila terjadi perbedaan tafsir terhadap Pancasila, perbedaan
tersebut tidak akan menimbulkan konflik. Perbedaan antara tafsir yang ada akan
selalu menciptakan sintesa-sintesa, dan akan memberikan rumusan nilai-nilai
bersama bagi hidup bersama.Usaha penafsiran yang demikian disebut penafsiran
terhadap Pancasila yang dijiwai dengan semangat Pancasila yaitu kebhinekatunggalikaaan.
Sebaliknya sumbangsih kelompok dan agama-agama yang ada akan menjadi negatif
apabila didasarkan pada pengingkaraan Pancasila sebagai ideologi negara. Karena
pada waktu perbedaan tafsir terjadi, kelompok-kelompok yang ada akan terus
mempertahankan penafsirannya sebagai sessuatu yang benar. Akibatnya, perbedaan
tafsir akan menimbulkan koflik, karena tidak dijiwai oleh semangat Pancasila.
Pancasila sebagai sesuatu yang menaungi semua memang
hanya berisi hal-hal yang bersifat pokok saja, namun ini tidak boleh diartikan
sebagi suatu kelemahan semata-mata. Keberadaan Pancasila yang memerlukan
penjabaran lebih jelas tersebut disatu sisi memiliki kekuatan. Sehubungan
dengan hal ini Simatupang menerangkan bahwa: “Kelima sila itu merupakan payung
yang cukup lebar untuk semua orang. Tiada seorangpun mempunyai alasan apapun
untuk menentangnya. Rakyat dapat menerimanya. Kami dapat hidup bersama-sama
dibawahnya”.
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat
Indonesia terbukti mampu menaungi semua, karena ia adalah isi dari jiwanya
bangsa Indonesia. Mengenai hal ini Soekarno menerangkan seperti berikut:
Saudara-saudara, … buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya
bukanlah pencipta Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekedar
memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan
beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat
Pancasila itu buatan Soekarno … saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia
dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat
menghiasi tanah air kita ini dengan cara seindah-indahnya, … Aku menggali di
dalam buminya rakyat Indonesia dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa
Indonesia itu hidup lima perasaan.
Sebagai Kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia nilai-nilai dari
Pancasila tidak berarti hanya menjadi milik monopoli masyarakat Indonesia,
karena nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia tersebut dapat berupa nilai-nilai
yang universal. Dan sifat universal dari Pancasila dapat dilihat dari sila-sila
dalam Pancasila, yaitu ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan, kedaulatan rakyat dan keadilan, merupakan nilai-nilai yang
universal, karena nilai-nilai tersebut menjadi kerinduan semua masyarakat di
dunia, maka ia juga berarti kerinduan masyarakat Indonesia. Dengan dasar
pemahaman itu juga penafsiran terhadap Pancasila harus berisi nilai-nilai yang
universal. Pemikiran Pancasila yang berasal dari tafsir dari kelompok dan agama
yang ada di Indonesia haruslah bersifat inklusif dan nondiskriminatif.
Tidaklah mengherankan jika Pancasila sebagai nilai-nilai yang
universal diterima sebagai kompromi kelompok-kelompok yang ada di Indonesia,
karena Pancasila yang berisi nilai-nilai yang universal tersebut dimiliki oleh
setiap kelompok dan agama yang ada, sehingga penerimaan Pancasila tidak akan
menghapuskan identitas yang ada. Tetapi juga sesuatu yang benar apabila
pertumbuhan kelompok yang ada tidak boleh menelan rasa persatuan sebagai bangsa
di bawah Pancasila, karena Pancasila tidak menghambat perkembangan
kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat
Indonesia memiliki kekuatan. Kristalisasi nilai-nilai yang tertanam dalam
perasaan-perasaan masyarakat Indonesia memiliki keunggulan, karena ia berisi
nilai-nilai yang universal, dengan demikian Pancasila adalah ideologi terbuka.
Artinya sebagai ideologi terbuka Pancasila mampu menerima kontribusi semua
nilai-nilai yang berada dalam kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, serta
ideologi-ideologi lain. Walaupun Pancasila tetap tidak dapat menerima apa saja.
Penerimaan Pancasila memiliki batasan-batasan tertentu.
Sebagai ideologi terbuka Pancasila memang tidak memiliki
nilai operasional, namun transformasi Pancasila ke dalam hukum dan perundang-undangan
memungkinkan Pancasila dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undangan membutuhkan
keterlibatan semua kelompok yang ada, sehingga hukum dan perundang-undangan
tidak hanya berisi nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau agama tertentu.
Sehingga diskriminasi suku dan budaya, serta agama-agama sesuatu yang ditentang
oleh Pancasila.
Pancasila yang adalah nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia
tersebut dapat disebut sebagai ideologi terbuka,
karena setiap orang boleh memberikan tafsir kepada Pancasila, dan penafsiran
tunggal merupakan sesuatu yang tidak memiliki tempat dalam Pancasila. Sedang
dalam ideologi tertutup penafsiran yang berbeda tidak memiliki tempat. Karena
itu Heterogenitas Pancasila secara positif merupakan gambaran bahwa Pancasila
adalah ideologi terbuka, dimana setiap kelompok yang ada dalam negara Indonesia
memiliki tempat dalam memberikan kontribusinya dalam mengisi Pancasila. Namun
penerimaan dari pemikiran yang disumbangkan tersebut harus mengalami proses
dialog, dimana setiap kelompok boleh memberikan kritik dari pemikiran tersebut,
barulah pemikiran tersebut dapat dianggap menjadi nilai-nilai dari Pancasila
yang dapat menampung keberbedaan masyarakat Indonesia. Usaha untuk memasukan
pemikiran terhadap Pancasila tidak boleh dilakukan dengan cara paksa.
Sebagai Ideologi terbuka Pancasila tidak memiliki nilai operasional
sehingga tingkah laku orang Indonesia tidak dapat dinilai dengan penerapan
ideologi Pancasila secara langsung. Pengoperasian dari Pancasila sebagai
ideologi terbuka harus melalui perangkat hukum dan perundang-undangan. Jadi
pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia berarti Pancasila menjadi
sumber hukum dari setiap hukum yang ada
di Indonesia yang penjabarannya dinyatakan dalam undang-undang. Peraturan
perundang-undangan inilah yang dapat menjadi tolok ukur apakah tingkah laku
masyarakat Indonesia sesuai dengan Pancasila atau tidak. Namun tidak berarti
bahwa setiap pelanggaran terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada merupakan perlawanan terhadap Pancasila.
Dalam usaha untuk menciptakan perangkat hukum dan perundang-undangan
yang bersumber dari Pancasila, semua kelompok yang ada harus berpartisipasi
aktif. Dan partisipasi itu menjadi sesuatu yang positif apabila setiap kelompok
yang ada berpegang kepada Pancasila sebagai ideologi negara yang mempersatukan
bangsa Indonesia, bukan pada ideologi yang lain.
Heterogenitas Pancasila merupakan gambaran bahwa
Pancasila diakui sebagai ideologi. terbuka. Pancasila dapat menerima semua
keberagaman yang ada. Sebagai ideologi terbuka Pancasila memiliki kekuatan
karena ia berisi nilai-nilai yang universal dan terbuka bagi perubahan untuk
menjadikannya tetap relevan sepanjang jaman.
Selama Tafsir
tentang Pancasila dijiwai oleh semangat kbehinekatunggalikaan yang adalah
realitas bangsa Indonesia, maka Pancasila akan mampu menampung semua, walaupun
tidak berarti Pancasila boleh diisi apa saja.
Pancasila sebagai pilihan terbaik selalu diusung oleh
pemerintah yang ada, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Kegagalan
Indonesia untuk mengatasi konflik dalam negara Indonesia, bukan karena
Pancasila tidak mampu memberikan solusi bagi penyelesain konflik tersebut,
tetapi dikarenakan Pancasila mengalami perkembangan pemikiran. Perkembangan
pemikiran Pancasila pada realitanya berisi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
Pancasila itu sendiri. Jadi dalam dirinya Pancasila senantiasa menjadi alat
yang mempersatukan bangsa Indonesia, karena Pancasila adalah payung yang lebar
dan dapat menampung semua keragaman yang ada di Indonesia. Apabila Pancasila
ditafsirkan secara inklusif dan nondiskriminatif, maka pemikiran Pancasila akan
berisi nilai-nilai yang memberi keadilan bagi semua.
2. Kelemahan Heterogenitas Pancasila.
Pada sisi lain heterogenitas Pancasila mempunyai
kelemahan. Perbedaan tafsir terhadap Pancasila dapat menimbulkan konflik
apabila tidak disikapi dengan tepat. karena keberbedaan pada hakekatnya bukan
hanya menjadi kekayaan bangsa, tetapi juga dapat menjadi potensi konflik dalam
kehidupan bersama, secara khusus munculnya perbedaan tafsir terhadap Pancasila
yang didasarkan pada pemahaman agama-agama yang berbeda-beda.
Heterogenitas Pancasila setidaknya terjadi dalam tiga
hal. Pertama heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila, kedua, heterogenitas
terhadap pengakuan sumber dari Pancasila, ketiga, heterogenitas tafsir
Pancasila. Hetereogenitas Apresiasi, sumber dan tafsir terhadap Pancasila
tersebut kemudian membuat Transformasi Pancasila tidak berjalan dengan mulus
dalam hukum dan perundang –undangan.
a. Heterogenitas Apresiasi Pancasila.
Heterogenitas
apresiasi terhadap Pancasila ini terjadi karena kelompok-kelompok yang ada di
Indonesia tidak berpegang pada konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar
kemerdekaan. Status Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak diakui
sebagai sesuatu yang final oleh semua individu atau kelompok yang ada di
Indonesia. Kelompok-kelompok yang ada tersebut (Marxisme dan ideologi Islam)
mengingkari sumpah setianya untuk membangun negara Indonesia dibawah Pancasila.
Dan terus memegang harapan-harapan lain (Marxisme dan Ideologi Islam).Hal
tersebut nampak dengan adanya keinginan menggantikan Pancasila sebagai ideologi
negara, baik melalui penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam Pancasila,
maupun dengan cara kekerasan.
Mengenai penerimaan Islam formalis terhadap Pancasila
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, Darmaputera menjelaskan demikian:
Penerimaan Islam pada waktu itu adalah bersifat
“sementara” dan “taktis”, dengan pertimbangan mereka akan memperjuangkannya
kembali secara konstitusional kelak, yaitu yang terjadi pada sidang-sidang
konstituante dan sebagian mengambil langkah perjuangan bersenjata…penerimaan
Islam pada waktu itu diikuti oleh beberapa “konsesi” penting, misalnya adanya
Departemen Agama, berlakunya hukum pengadilan agama Islam.
Penerimaan Islam formalis (lihat bab I) yang
menginginkan negara berdasarkan ideologi Islam ini juga terjadi pada penerimaan
terhadap Pancasila sebagaimana di lakukan oleh kaum Marxisme, kelompok komunis
pada menjelang kemerdekaan belum mempunyai kekuatan yang menonjol dibandingkana
kubu kebangsaan dan Islam. Sehingga Komunis memilih untuk mendukung kubu
kebangsaan pada semenetara waktu. Akibatnya Pancasila mengalami kemajemukan
status, dan terjadilah apresiasi terhadap Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila dapat dimengerti
karena Pancasila merupakan kompromi politik (Kebangsaan, Islam dan Marxisme).
Pada waktu kelompok-kelompok politik yang ada tidak lagi berpegang pada
pengakuan bahwa Pancasila adalah ideologi negara, maka kelompok-kelompok
tersebut berusaha untuk melakukan penetrasi nilai- nilai mereka secara paksa
kedalam Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila seharusnya telah
selesai sejak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi negara, karena
Pancasila merupakan konsensus dari
seluruh rakyat Indonesia. Dan Pancasila yang telah dituangkan dalam pembukaan
UUD 1945 harus diterima oleh setiap kelompok yang ada di bumi Indonesia sebagai
sessuatu yang final.
Pancasila sebagai suatu kompromi dari kelompok-kelompok
politik yang ada di Indonesia tidak dapat memuaskan semua pihak, namun
Pancasila merupakan jalan terbaik untuk memelihara kebhinekaaan Indonesia.
Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak
mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi
kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara,
apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945.
Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian
mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya
kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk
menumbangkan kekuasaan negara.
Ironisnya usaha untuk menggantikan Pancasila dengan
ideologi lain dengan cara kekerasan terjadi pada tahun 1949, saat dimana
Indonesia akan mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka, yang seharusnya
disyukuri bersama. Usaha menggantikan Pancasila dengan pemberontakan yang
terjadi menjelang pengakuan kedaulatan RI merupakan penghianatan terhadap
komitmen untuk mempertahankan Indonesia, sebagai negara merdeka.
Mengenai
tumbuhnya harapan-harapan lain diluar Pancasila yang menciptakan heterogenitas
apresiasi Pancasila dan bermuara pada usaha menggantikan Pancasila dengan
ideologi lain dengan cara kekerasan, Simatupang mengatakan demikian:
Dalam pada itu sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh Belanda pada tahun 1949, maka telah muncul dua harapan tandingan terhadap
Pancasila dan UUD 45. Yaitu, pada satu pihak, harapan tandingan untuk
mendirikan negara Komunis yang dicetuskan oleh pemberontakan PKI di Madiun pada
bulan September 1948. Dan pada pihak lain harapan tandingan untuk mendirikan
negara Islam yang dicetuskan oleh Darul Islam atau DI. Berlainan dengan harapan
bersama bangsa kita yang bersifat inklusif dan nondiskriminatif. Perbedaan di
antara keduanya ialah bahwa yang satu bersifat eksklusif dan diskriminatif
berdasarkan kelas, sedangkan yang lain bersifat eksklusif dan diskriminatif
bersarkan agama. Yang satu kita kenal sebagai ekstrem kiri, sedangkan yang lain
kita kenal dengan nama ekstrem kanan.
Harapan-harapan tandingan yang muncul menjelang tahun
1949 yang menciptakan kemajemukan status Pancasila merupakan buah dari
penerimaan sementara terhadap Pancasila oleh Islam Formalis dan Komunis.
Identitas-identitas yang dihargai dan dilindungi oleh Pancasila kemudian berusaha
untuk menggantikan Pancasila. Karena pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada
kemudian menelan rasa persatuan di bawah Pancasila. Hal ini merupakan kelemahan
Pancasila yang dapat menerima semua, sebagai suatu kompromi..
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sebagaimana
telah diikrarkan secara bersama dalam pembukaan UUD 1945, baik oleh kelompok
yang mengharapakan ideologi Marxisme maupun kelompok yang mengharapakan
ideologi Islam, tidak lagi dihargai sebagai harapan tunggal. Dan timbullah
pemberontakan untuk menggantikan Pancasila sebagi dasar negara.
Heterogenitas Pancasila memiliki kelemahan karena adanya
heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila. Pancasila tidak menjadi harapan
satu-satunya semua individu atau kelompok yang ada di Indonesia. Kelompok yang
menginginkan ideologi Islam, terus berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan
ideologi Islam. Pancasila hanya diterima karena ideologi Islam belum berhasil
menjadi ideologi negara Indonesia, secara khusus oleh Islam formalis yang terus
berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Demikian juga dengan Komunis. Ideologi Komunis selalu dipegang
sebagai harapan tandingan Pancasila, sehingga senantiasa diusahakan untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Heterogenitas Pancasila tersebut
menimbulkan konflik, baik secara terbuka, maupun tertutup. Konflik yang timbul
karena perbedaan apresiasi terhadap Pancasila tersebut seringkali menjadi
ancaman bagi Pancasila sebagai harapan bersama rakyat Indonesia (lihat bab I).
Mengenai konflik yang terjadi karena adanya heterogenitas Pancasila
ini A.M.W Pranarka menerangkan demikian :
Pada awalnya konflik ideologi mengenai Pancasila itu tidak terjadi
secara terbuka dan sistematik. Pancasila tumbuh secara iuxta positif dengan
ideologi-ideologi lain. Dalam dasawarsa 1950-an interaksi antara berbagai
ideologi itu menjadi terbuka dan konfliktif, sebagaimana terjadi di dalam
perdebatan mengenai dasar negara di dalam sidang Konstituante. Ada dua sikap
terhadap Pancasila: ada yang menolak Pancasila (ideologi Islam, ideologi Barat
modern sekuler), ada yang menerima Pancasila. Selanjutnya terdapat pula
pemikiran yang memodifikasikan Pancasila, baik dari kalangan aliran ideologi
Islam maupun aliran ideologi Barat modern sekuler. Pergumulan ideologi itu masih
berjalan terus sesudah dinyatakan Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli
1959. Sejak saat itu tidak terjadi konflik terbuka, akan tetapi pergumulan
ideologi berjalan melalui tafsir: Pancasila ditafsirkan dengan berbagai aliran
ideologi terutama ideologi keagamaan, dan ideologi Barat modern sekuler.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, Pancasila terbukti mampu
mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil
mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Tahun 1949 Belanda
mengakui kedaulatan negara RI. Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia
seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan
Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan
negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di
Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final
sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya
pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain.
Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah
pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai
pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang
dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun (lihat bab I).
Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan
bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan
terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran
konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya
harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua
individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen
bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman
apresiasi terhadap pancasila.
Jika pada awalnya keragaman
apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk
pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga
perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan
pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang
menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai
yang bertentangan dengan Pancasila.
Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang
mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya
tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas
kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada
serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di
Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama.
Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh
bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok
yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan
kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai
bangsa yang satu, yaitu Indonesia.
b. Heterogenitas Pendapat tentang Sumber Pancasila.
Pancasila sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan UUD
1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang final sebagai ideologi dan dasar
negara. Namun secara de fakto masih memerlukan penyadaran dalam setiap
kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda terhadap Pancasila
seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila merupakan konsensus bersama, maka
semua orang Indonesia harus memiliki pengharapan yang sama, yaitu membangun
Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.
Adanya apressiasi terhadap Pancasila kemudian
menimbulkan perbedaan pendapat mengenai sumber dari Pancasila, dan menciptakan
heterogenitas pendapat tentang sumber Pancasila.
Heterogenitas terhadap sumber dari Pancasila melahirkan
setidaknya 7 pendapat yang berbeda.
Heterogenitas pendapat mengenai sumber Pancasila ini
terdiri dari:
1.
Sumber Pancasila adalah Pidato
lahirnya Pancasila yang diucapkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
2.
Sumber Pancasila adalah rumusan
Muhamad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.
3.
Sumber Pancasila adalah
kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam mengenai dasar negara,
yang hasilnya dituangkan di dalam Piagam Jakarta.
4.
Sumber Pancasila adalah
pembukaan UUD 1945, dimana terdapat perumusan mengenai dasar negara.
5.
Sumber Pancasila adalah Tap
XX/MPRS/1966.
6.
Sumber Pancasila adalah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959
7.
Sumber Pancasila adalah
kepribadian Indonesia.
Heterogenitas pemahaman mengenai sumber Pancasila tersebut di atas
menimbulkan problematik yang tidak mudah diselesaikan, apalagi sebelum
penetapan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila mengalami
perkembangan sebagaimana dijelaskan dalam sumber-sumber dari Pancasila di atas.
Heterogenitas Pendapat mengenai sumber Pancasila merupakan kelemahan
dari Pancasila, karena dalam proses Pancasila ditetapkan dalam UUD 1945 melalui
proses yang panjang, dan terjadi perdebatan antar kelompok yang berbeda.
Apalagi ternyata Pancasila yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, juga mengalami
perbedaan dengan UUD sementara, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS).
c. Heterogenitas Tafsir Pancasila.
Perbedaan pandangan mengenai sumber dari Pancasila ini kemudian
menimbulkan heterogenitas tafsir terhadap Pancasila. Heterogenitas tafsir
terhadap Pancasila ini, tidak hanya menyangkut struktur Pancasila, tetapi juga
menyangkut isi dari sila-sila di dalam Pancasila.
Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila yang berkaitan dengan
struktur Pancasila lahir karena adanya heterogenitas sumber dari Pancasila.
Timbulnya keragaman tafsir mengenai struktur Pancasila disebabkan adanya
pemahaman bahwa didalam sila-sila dari Pancasila ada sila yang utama dan menjadi
sumber dari semua sila dalam Pancasila.
Pandangan yang menekankan bahwa sila pertama adalah sila utama dari
Pancasila dan menjadi sumber bagi sila-sila yang lain dari Pancasila didasarkan
pada pandangan agama Islam. Pandangan ini mendasarkan pandangannya bahwa
Pancasila lahir dari pemikiran M.Yamin yang beragama Islam. Sila pertama dari
Pancasila kemudian ditafsirkan berdasarkan kepercayaan agama monotheisme.
Pandangan tersebut muncul karena menurut pendapat Muhamad Yamin, agama
Indonesia pada waktu menjelang kemerdekaan adalah agama-agama yang monotheisme,
bukan agama-agama nenek moyang.
Pemahaman bahwa sila pertama dari Pancasila hanya dapat ditafsirkan
menurut pandangan agama motheisme, menjadikan sila ketuhanan yang maha esa
menjadi sila utama dari Pancasila dan menjadi titik tolak penafsiran dari
sila-sila di dalam Pancasila.
Demikian juga apabila sumber Pancasila dianggap berasal dari
pemikiran Piagam Jakarta, maka sila pertama akan ditafsirkan berdasarkan agama
Islam, akibatnya agama Islam dianggap menjadi dasar bagi penafsiran sila
pertama, dan agama-agama lain tidak mempunyai hak untuk menafsirkan sila
tersebut, karena sila pertama dari Pancasila di klaim sebagai sesuatu yang
bersumber dari agama Islam. Mengenai klaim bahwa sila pertama hanya dapat
secara tepat ditafsirkan dalam bingkai agama Islam Saefuddin mengutif Hazairin
menjelaskan seperti berikut:
Dari manakah datangnya sebutan “Ketuhanan YME” itu? Dari pihak
Nasranikah, atau pihak Hindukah, atau dari pihat “Timur Asing” (seorang keturunan
Cina)-kah, yang ikut bermusyawarah dalam panitia yang bertugas menyusun UUD
1945 itu? Tidak mungkin! Istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu hanya sanggup
diciptakan oleh otak, kebijaksanaan, dan Iman orang Indonesia Islam, yakni
sebagai terjemahan pengertian yang terhimpun dalam Allahu al-Wahidu al-Ahad
yang disalurkan dari QS 2:163 dan QS 112, dan dizikirkan dalam doa Kanzu’l-Arys
baris 17.
Pandangan Hazairin yang dikutip oleh Saefuddin nampak terlalu cepat,
pendapat tersebut diutarakan tanpa berusaha untuk mempelajari agama-agama yang
ada. Adanya nilai yang universal dalam suatu agama, tidak berarti hanya menjadi
miliki agama tertentu. Karena kebenaran yang universal berasal dari Tuhan, dan
tidak dapat di klaim milik agama tertentu. Kepercayaan adanya Allah yang esa,
ada dalam banyak agama. Bahkan kepercayaan animisme juga mempercayai adanya
pribadi yang lebih tinggi dari apa yang ada, dan dapat dianggap sebagai
kepercayaan kepada allah yang esa. Dari penjelasan di atas nampak bahwa
Pancasila memiliki kelemahan karena penafsiran Pancasila dapat bertentangan
dengan isi Pancasila sebagai suatu kompromi pada waktu ia ditetapkan. Terlebih
lagi jika penafsiran tersebut merupakan penetrasi nilai-nilai agama yang
eksklusif.
Disamping pemikiran yang didasarkan pada pemahaman agama, yang
menciptakan sila pertama sebagai sila utama dalam struktur Pancasila,
heterogenitas tafsir struktur Pancasila
juga dipengaruhi oleh ideologi lain. Menurut pandangan kelompok Komunis, sila persatuan harus menjadi sila yang utama
dari Pancasila. Sehingga sila-sila lain harus ditafsirkan dengan titik tolak
dari sila persatuan tersebut. Tafsiran yang inklusif dan nondiskriminatif
terhadap struktur Pancasila dikemukakan
oleh Kihadjar Dewantoro, dengan menekankan bahwa sila kemanusiaan harus menjadi
yang utama dari sila-sila dari Pancasila, dan Pancasila harus diartikan dengan
titik berangkat pada sila kemanusiaan. Dan ada
juga pandangan yang menekankan keadilan sebagai sila yang utama
Heterogenotas tafsir terhadap struktur Pancasila ini menimbulkan
perbedaan struktur hierarkis dari Pancasila. Maka timbullah struktur hierarkis
piramidal yang berbeda-beda.
Tafsir terhadap adanya struktur hierarkis terhadap Pancasila
bertentangan dengan pemikiran yang menekankan bahwa Pancasila merupakan suatu
keutuhan manunggal bulat dari sila satu dengan lainnya. Pemahaman bahwa
sila-sila dari Pancasila merupakan suatu kesatuan yang manunggal dan utuh
merupakan pemahaman yang lebih awal dari tafsir tentang struktur Pancasila yang
bersifat hierakis pyramidal.
Pemahaman bahwa sila sila dari Pancasila merupakan satu kesatuan
manunggal tersebut berangkat dari pemahaman bahwa Pancasila bersumber dari
kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila merupakan kristalisasi kehidupan
masyarakat Indonesia, yang disebut oleh Soekarno sebagai “isi jiwa bangsa
Indonesia”.
Heterogenitas tafsir Pancasila menimbulkan pemahaman yang berbeda
mengenai struktur Pancasila. Keberbedaan struktur Pancasila tidak hanya terjadi
dalam struktur hierarkis Pancasila itu sendiri, tetapi juga dengan pandangan
yang menganggap bahwa di dalam Pancasila tidak ada struktur hierarkis.
Sebaliknya sila-sila dari Pancasila saling kait mengkait, dan tidak ada yang
utama. Pancasila adalah satu kesatuan yang utuh manunggal. Perbedaan tafsir
mengenai struktur Pancasila ini kemudian menimbulkan perbedaan tafsir dari
sila-sila dalam Pancasila.
Heterogenitas tafsir Pancasila yang berkaitan dengan struktur
Pancasila memiliki kelemahan karena Pancasila dapat dianggap sebagi produk
kelompok agama tertentu, dan kemudian ditafsirkan secara eksklusif. Artinya
hanya agama atau kelompok tertentu yang memiliki hak tafsir terhadap silas-sila
dari Pancasila.
Disamping heterogenitas tafsir Pancasila yang menyangkut struktur
Pancasila, heterogenitas Pancasila juga terjadi dalam penafsiran sila-sila dari
Pancasila. Dalam sila pertama tercipta heterogenitas penafsiran. Ada penafsiran
yang mengatakan bahawa sila pertama merupakan pemikiran orang Islam sebagaimana
dijelaskan dalam tafsir tentang struktur Pancasila di atas.
Sila pertama yang seharusnya merupakan pengakuan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang bertuhan, yang dinyatakan dalam pengakuan
kepada “Tuhan Yang Maha Esa” suatu pengakuan yang tidak menunjuk kepada “Allah” atau “Tuhan”
dalam agama tertentu, melainkan kepada “konsep” atau satu “prinsip” yang umum
dan abstrak (lihat Bab I). Ditafsirkan menjadi kepercayaan kepada “Allah” dalam
agama tertentu. Penafsiran sila pertama sebagai pengakuan yang lahir dari agama
Islam menimbulkan diskriminasi terhadap agama lain, secara khusus agama-agama
suku dan aliran kebatinan yang tidak dapat menyesuaikan kepercayaannya untuk
mengakui adanya Allah dalam agama Islam.
Penafsiran sila-sila dari Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas
bertentangan dengan penafsiran Soekarno yang berpandangan bahwa Pancasila dapat
diperas menjadi tri sila yaitu sosio-nasionalisme, sosio demokrasi, dan ke
Tuhanan yang maha esa. Dan ketiganya dapat diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu
gotong royong.
Penafsiran Soekarno terhadap Pancasila menjadi gotong royong
dianggap menjadi ancaman bagi golongan Islam Formalis yang selalu ingin
melakukan penetrasi nilai-nilai Islam ke dalam Konstitusi.
Mengenai penolakan paham gotong royong Soekarno sebagai penamaan
dari Pancasila Saefuddin mengutip M. Roem menerangkan demikian:
Tentu tidak ada orang yang menolak dasar “gotong royong”. Gotong
Royong adalah ciri atau sila tersendiri yang hidup dalam masyarakat Indonesia
sejak berabad-abad. Tetapi saya rasa terlalu jauh untuk menggali lima sila itu
dengan gotong royong. Terutama sila Ketuhanan Yang Maha esa tidak dapat
dihilangkan atau diselipkan dalam “gotong royong” bagi orang-orang yang
memandang agamanya dengan sungguh-sungguh.
Penafsiran Soekarno yang memeras Pancasila menjadi gotong royong
bertentangan dengan pemikiran Piagam Jakarta, yang menjadikan sila ketuhanan
yang maha esa dalam bingkai agama Islam menjadi sila utama yang menjadi sumber
bagi sila-sila yang lain. Kedua pendangan yang berbeda tersebut juga
bertentangan dengan penafsiran Pancasila yang didasarkan pandangan bahwa
Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh manunggal dan di dalam sila-sila
Pancasila tidak ada sila yang utama, sebaliknya sila-sila di dalam Pancasila di
batasi oleh sila-sila yang lainnya.
Heterogenitas tafsir Pancasila tersebut kemudian berusaha
diselesaikan oleh Soekarno melalui pidato politiknya pada tanggal 17 Agustus
1959 yang kemudian diberi nama Manifesto Politik (MANIPOL) dimana didalamnya
Soekarno mengemukakan tentang gotong royong tiga kekuatan yaitu nasionalis, Islam
dan Komunis. Soekarno menyebutnya NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis). Jadi
Nasakom merupakan sintesa dari tiga ideologi menjadi satu jiwa. Bahkan Soekarno
juga mengatakan bahwa Pancasila adalah sintesa yang lebih tinggi antara
Deklarasi Kemerdekaan Amerika serikat dan Manifesto Komunisnya Rusia. Akibat
eksperimen Soekrno ini maka Indonesia mendekati pada kehancuran ekonomi serta
tercipta konflik-konflik ideologis dan primordial.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa heterogenitas tafsir Pancasila
memiliki kelemahan, karena Pancasila dapat ditafsirkan secara eksklusif dan
diskriminatif oleh kelompok dan agama-agama tertentu. Dari sisi pemerintah,
Pancasila juga dapat ditafsirkan untuk mempertahankan kekuasaan yaitu berusaha
untuk menyenangkan sekelompok orang untuk mempertahankan kekuasaannya.
Karena itu heterogenitas tafsir terhadap Pancasila tidak boleh
disertai pemaksaan untuk menjadikan penafsirannya sebagai sesuatu yang sungguh
sesuai dengan isi Pancasila, sebelum mengalami kritik dari kelompok-kelompok
lain. Demikian juga pemerintah tidak dapat mengklaim diri sebagai pemegang
tafsir tunggal terhadap Pancasila.
Pancasila sebagai Kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia,
dimana sila-sila dari Pancasila merupakan jiwanya bangsa Indonesia dapat dimengerti
bahwa dalam sila-sila tersebut tidak ada sila yang lebih utama. Sebaliknya
sila-sila dari pada Pancasila dibatasi oleh sila-sila yang lainnya. Karena itu
penafsiran Pancasila haruslah mengkaitkan antara sila yang satu dari Pancasila
dengan sila-sila lainnya.
Misalnya, sila ketuhanan yang maha esa tidak dapat dilihat lepas
dari sila persatuan Indonesia dan sila-sila lainnya dari Pancasila. Apabila
sila ke satu dari Pancasila ditafsirkan lepas dari sila-sila lainnya, maka sila
ini akan mengabaikan kelompok lain yang ada di Indonesia. Apabila sila
ketuhanan yang maha esa ditafsirkan dalam bingkai ideologi Islam, maka sila ini
dapat diartikan sebagai tauhid, kepercayaan kepada Tuhan yang esa. Maka
penafsiran tersebut akan mengabaikan agama
Hindu yang memiliki banyak dewa, demikian juga Budha yang tidak
berbicara tentang Allah, dan juga dengan
agama-agama suku serta aliran kebatinan. Namun apabila sila ini ditafsirkan
dalam bingkai persatuan Indonesia. Maka sila ketuhanan yang maha esa menaungi
semua agama yang ada di Indonesia. Sehingga pandangan Simatupang (lihat bab I)
yang menjelaskan bahwa sila pertama merupakan kepercayaan akan adanya allah
(hurup kecil) berarti suatu konsep tentang Allah yang dipercayai oleh semua
orang Indonesia, maka sila ini tidak akan membuat diskriminasi terhadap
penganut agama-agama suku dan aliran kepercayaan.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab yang merupakan penolakan
terhadap rasialisme dapat diartikan bahwa adanya persamaan derajat manusia yang
harus dihormati. Sila ini jika dikaitkan dengan sila pertama akan mempunyai
gambaran yang lebih jelas. Dimana manusia yang ada dalam kesederajatan tersebut
adalah mahkluk mulia yang adalah ciptaan Tuhan. Dan seharusnya hidup dalam
persatuan (sila ke 3) dan mempunyai kaitan yang erat dengan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan dengan
sila keadilan sosial.
Sila persatuan Indonesia sebagai sila yang ketiga dari Pancasila
merupakan sesuatu yang penting. Kedaulatan negara Indonesia dapat terwujud
karena semua elemen bangsa bahu-membahu berjuang dalam semangat persatuan untuk
mengusir penjajah. Dan dalam hubungan dengan sila pertama, sila persatuan
merupakan kerja-sama antar agama yang berbeda untuk saling memberikan tempat
bagi kebebasan beragama dari agama-agama yang beragam tersebut. Demikian juga
sila ini terkait dengan sila-sila lainnya.
Sila keempat merupakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikamt
kebijaksanaan/perwakilan. Sila ini di artikan sebagai demokrasi. Memang
kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia tidak mengenal demokrasi. Namun di
desa-desa terdapat unsur-unsur demokrasi yang asli. Dengan masuknya agama
Kristen dan Islam sangat berperan dalam memperbaiki pemerintahan yang ada.
Pernyataan bahwa sila keempat dapat diartikan sebagai demokrasi dengan melihat
pasal 1 UUD 1945 dimana dijelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Dan Kedaulatan yang berada di tangan rakyat ini dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Sila ini juga mesti dikaitkan dengan sila-sila lainnya.
Jadi demokrasi sebenarnya bukan khas Indonesia, walaupun demokrasi
sebagai nilai-nilai yang universal ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
namun ia bukanlah sesuatu yang berasal dari kehidupan masyarakat Indonesia,
melainkan dari Barat. Namun karena nilai-nila itu bersifat universal, maka
demokrasi bukanlah milik khusus masyarkat Barat, tetapi sesuatu yang bersifat
universal.
Sedang sila kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia juga harus ditafsirkan dengan mengaitkan dengan sila-sila lain dari
Pancasila. Apabila dikaitkan dengan sila kedua maka hal ini dapat diartikan
bahwa keadilan sosial berarti memberikan kesempatan yang sama terhadap semua
orang di Indonesia, untuk mengembangkan talentanya. Bagi pembangunan Indonesia.
Jika dikaitkan dengan sila ketuhanan yang maha esa, dapat diartikan bahwa
setiap kelompok agama yang ada harus memiliki tempat yang sama. Tidak boleh ada
diskriminasi agama.
Penafsiran Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas juga dapat
dilihat dalam batang tubuh UUD 1945 serta penjelasannya, walaupun tetap perlu
penjabaran yang lebih mendeteil. Ketuhanan Yang maha esa ada dalam pasal 29
yang menjelaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut kepercayaan masing-masing
dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Sila kedua Kemanusiaa yang
adil dan beradab dimuat dalam pasal 27, 28, 30, 31. Pasal 27 ayat satu
menjelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung Hukun dan Pemerintahan itu dengn tidak ada
kecualinya. Persatuan Indonesia termuat dalam pasal 1, 32, 35. Pasal1
menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republic, dan kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Sila ke 4 dimuat dalam sila1, 2,3, 28, 37. Pasal 37 menjelaskan cara
mengubah UUD 1945, yaitu 2/3 jumlah anggota MPR harus hadir. Dan sila keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia dimuat dalam pasal 23, 27, 28, 29, 31, 33,
34. Pasal 33 menjelaskan bahwa semua cabang-cabang produksi harus diusahakan
untuk kemakmuran bersama.
Penafsiran Pancasila di atas hanya memuat hal-hal yang penting dalam
Pancasila. Untuk dapat diamalkan Pancasila memerlukan penjabaran yang mendeteil.
Penjabaran tersebut ada dalam hukum dan perundang-undangan. Karena itu
Penafsiran Pancasila dalam perundang-undangan yang memiliki nilai operasional
harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh semua.
Namun pada realitanya heterogenitas tafsir Pancasila memilki kelemahan karena Pancasila
dapat ditafsirkan secara eksklusif dan diskriminatif. Terbukanya peluang bagi
kelompok-kelompok dan agama-agama untuk memasukan kedalam Pancasila nilai-nilai
yang bersifat eksklusif dan diskriminatif, merupakan kelemahan dari
heterogenitas Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila memiliki
kelemahan karena bukan hanya batas-batas eksternal yang dapat diabaikan tetapi
juga batas-batas internal. Semangat Pancasila yang adalah bhinekatunggalika tidak
lagi menjadi dasar bagi penafsiran terhadap Pancasila.
Kelemahan heterogenitas Pancasila terjadi karena semangat persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia belum kuat, sehingga semangat bhinekatunggalika
tidak mendasari usaha-usaha dalam memberikan tafsir terhadap Pancasila. Dampak
negatif dari apresiasi terhadap Pancasila ini melahirkan heterogenitas
pengakuan terhadap sumber dari Pancasila, dan berakibat pada heterogenitas
penafsiran Pancasila yang juga berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan hakekat
Pancasila. Kelemahan ini membahayakan kelangsungan negara Indonesia.
Heterogenitas Pancasila juga mempunyai kerugian karena menimbulkan
koflik yang sulit untuk di atasi serta mengancam keutuhan NKRI. Untuk menghentikan adanya
heterogenitas tafsir Pancasila orde baru menyusun penafsiran tunggal tentang
Pancasila. Keputusan ini walaupun didasarkan oleh niat yang baik, namun cara
yang dilakukan merupakan upaya mengambil jalan pintas. Dalam mengatasi konflik
biasanya selalu ada usaha untuk mencari jalan pintas penyelesaian. Pada jaman
orde baru pemerintah mengambil jalan pintas dalam mengatasi konflik dengan
menjadikan dirinya sebagai agen tunggal dalam penafsiran Pancasila. Jadilah
Pancasila sebagai ideologi tertutup sebagai pengesahan rezim yang otoriter.
5. Batasan Tafsir
Pancasila.
Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila merupakan suatu realita,
namun tidak berarti Pancasila tidak memiliki batas-batas sehingga dapat diisi
apa saja. Tetapi tafsir terhadap Pancasila memiliki batas-batas tertentu. Dalam
sejarah pemikiran tentang Pancasila Batasan tafsir terhadap Pancasila ini
memiliki kelemahan karena tidak semua orang di Indonesia memiliki semangat
kebhinekatunggalikaan yang adalah semangat Pancasila. Tidak adanya semangat
Pancasila tersebut membuat Pancasila dapat diisi dengan hal-hal yang
bertentangan dengan Pancasila. Pancasila dapat ditafsirkan dengan tanpa
memperdulikan batasan yang ada. Akibatnya di dalam Penjabarannya dalam hukum
dan perundang-undangan Pancasila mengalami perlawanan.
Pancasila bukanlah mangkok yang kosong meminjam istilah
Vander Kroft, yang dapat diisi dengan apa saja. Walaupun usaha untuk memasukan
Pancasila dengan apa saja dapat dilakukan dengan cara pemaksaan.
Mengenai batas-batas dalam memberikan isi terhadap
Pancasila ini, Darmaputera menjelaskan sebagai berikut:
Setiap kelompok boleh mempunyai penafsiran
sendiri-sendiri terhadap Pancasila, sampai pada batas tertentu bahkan harus,
sebab dengan begitulah orang dapat mengamalkannya. Dalam arti ini, penafsiran
tunggal tidaklah mungkin, apabila penafsiran tunggal itu akan dipaksakan juga,
maka akibatnya ialah ketegangan dan konflik, yang justru amat bertentangan
dengan maksud dan jiwa dari Pancasila itu sendiri.
Menurut Darmaputera kebebasan setiap kelompok dalam
menafsirkan Pancasila memiliki batas. Dan tidak boleh ada penafsiran tunggal.
Tafsiran sila-sila dari Pancasila dengan mengaitkan sila-sila dari Pancasila
dengan sila lainnya sebagai batasan merupakan hakekat Pancasila sebagai
kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia.
Batas-batas dalam menafsirkan Pancasila diperlukan
karena pada hakekatnya Pancasila merupakan penyatuan dari kebhinekaan
masyarakat Indonesia. Jadi dalam menafsirkan Pancasila setiap orang harus
melihat hakekat keragaman dalam kesatuan, sehingga setiap keragaman yang
merupakan hakekat bangsa Indonesia mendapatkan tempat yang sama. Penafsiran
terhadap Pancasila juga harus memiliki batasan, karena Pancasila merupakan
kompromi politik (yaitu menyatunya aliran kebangsaan/ Nasionalis, ideologi
Islam, dan ideologi barat sekuler.) yang melahirkan Pancasila sebagai dasar dan
Ideologi bangsa Indonesia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan batas-batas dari Pancasila secara eksternal adalah kesatuan dan
persatuan bangsa. Artinya pada waktu individu atau kelompok yang ada memiliki
penafsiran yang berbeda, individu atau kelompok tersebut tidak boleh memaksakan
penafsirannya terhadap Pancasila. Sebaliknya harus diusahakan sintesa-sintesa
baru untuk melahirkan nilai-nilai yang merangkum semuanya dalam hidup bersama
(batas eksternal). Karena Pancasila merupakan sintesa dari keragaman suku agama
dan aliran politik yang ada pada masa menjelang kemerdekaan. Namun yang
terutama setiap kelompok yang berusaha untuk menafsirkan Pancasila harus
membatasi diri dengan semangat kesatuan dan persatuan (pembatasan internal),
inilah yang disebut dengan semangat Pancasila. Semangat yang melahirkan
sila-sila dari Pancasila.
Setiap kelompok yang telah menerima Pancasila memiliki
tempat di dalam Pancasila, dan setiap kelompok tersebut memiliki kebebasan
untuk menafsirkan Pancasila, sehingga setiap kelompok boleh memberikan
sumbangsihnya dalam memberikan penafsiran terhadap Pancasila. Kemudian
heterogenitas dalam penafsiran Pancasila ini akan menciptakan proses dialog
terhadap keberbagaian dari apa yang menjadi pemikiran dari Pancasila. Dalam
proses dialog tersebut, tafsir tentang Pancasila yang berasal dari berbagai
kelompok dan agama mengalami proses penyaringan, apakah pemikiran Pancasila
yang disumbangkan oleh setiap kelompok memberi tempat kepada keberagaman
Indonesia. Dengan kata lain semangat Pancasila yang didasarkan pada Bhineka
Tunggal Ika harus menjadi filter terhadap setiap pemikiran Pancasila. Inilah
yang menjadi batasan dari penafsiran terhadap Pancasila.
Cara menafsirkan Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas akan
membuat setiap kelompok yang ada di Indonesia tetap memiliki kebebasan dalam
Pancasila dengan tidak mengorbankan identitas dari setiap kelompok yang ada.
Sebaliknya kelompok-kelompok yang ada akan bertumbuh bersama-sama dan saling
diperkaya oleh keberagaman yang ada, tanpa menghancurkan persatuan yang telah
diikrarkan.
Dalam sejarah pemikiran Pancasila, tafsir tentang Pancasila ada
kalanya tidak memperdulikan batasan -batasan tersebut. Lahirnya Undang-undang
Pendidikan Nasional (UUPN) yang mendapat penolakan dari umat Kristen merupakan
contoh pelanggaran batas tersebut. Demikian juga UU perkawinan yang sarat
dengan muatan agama, merupakan bukti bagaimana Pancasila dapat ditafsirkan
secara eksklusif dan diskrikimnatif.
6. Transformasi Pancasila.
Penafsiran Pancasila yang benar sangat berpengaruh dalam
transformasi Pancasila di dalam hukum dan perundang-undangan yang mempunyai
nilai operasional. Kegagalan untuk mengamalkan Pancasila dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sangat terkait dengan transformasi Pancasila.
Apabila Pancasila ingin ditafsirkan secara benar, sesuai dengan
keberadaan Pancasila yang adalah kristalisasi masyarakat Indonesia. Penafsiran
sila-sila dari Pancasila haruslah saling kait mengkait. Tidak boleh ada salah
satu sila yang menjadi utama dan menjiwai semua sila-sila dari Pancasila.
Apalagi dengan menetapkan adanya sila utama dari Pancasila berdasarkan
pandangan kelompok atau agama tertentu. Lebih berbahaya lagi jika kemudian sila utama tersebut di klaim sebagai
milik kelompok atau agama tertentu, serta menjadikan pemahaman kelompok atau
agama tertentu sebagai agen tunggal
pemilik penafsiran terhadap sila-sila dari Pancasila.
Batasan sila-sila di dalam Pancasila dalam penafsiran sebagaimana
dijelaskan di atas sangat penting untuk menghindari timbulnya faktor-faktor
negatif dari heterogenitas Pancasila yang mempengaruhi transformasi Pancasila
dalam undang-undang yang memiliki nilai operasional. Batasan tersebut
diperlukan untuk membedakan mana yang bersifat Pancasilais dan mana yang tidak.
Pancasila merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat
Indonesia, namun tidak berarti bahwa Pancasila tersebut telah ada dalam bentuk
yang sempurna. Sebaliknya Pancasila yang
berisi sila-sila yang begitu umum dan luas, memerlukan penjabaran yang lebih
jelas untuk dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, penjabaran
tersebut memerlukan partisipasi semua elemen bangsa yang beragam. Pancasila
yang memiliki penjabaran lebih detail dalam hukum dan perundang-undangan, atau
biasa disebut sebagi proses transformasi Pancasila ini memiliki kelemahan.
Kelemahan tersebut terjadi karena adanya perkembangan pemikiran Pancasila.
Pancasila bukan saja mengalami kemajemukan status, yang
kemudian menimbulkan perdebatan mengenai sumber Pancasila, tetapi juga
mengalami heterogenitas tafsir terhadap Pancasila yang menyangkut struktur dan
sila-sila dari Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila ini memiliki
kelemahan karena kelompok dan agama yang ada tidak hidup dalam semangat
Pancasila, sebaliknya mengadakan usaha-usaha untuk melakukan penetrasi
nilai-nilai agama dan budayanya. Akibatnya terjadi dominasi dan hegemoni budaya
dan agama dalam proses transformasi Pancasila. Tidaklah mengherankan jika hukum
dan perundang-undangan yang lahir di Indonesia kemudian bertentangan dengan isi
dan jiwa dari Pancasila. Dominasi dan hegemoni budaya ini membuat transformasi
Pancasila tidak berjalan dengan mulus.
7. Pancasila Sebagai Asas Tunggal.
Bentuk kelemahan Pancasila nyata dengan dijadikannya
Pancasila sebagai asas tunggal. Heterogenitas Pancasila di satu sisi
menimbulkan ketakutan bagi pemerintah yang berkuasa. Heterogenitas Pancasila
melahirkan konflik yang tidak mudah dan berkepanjangan. Seperti yang dilakukan
DI dan Komunis.
Dalam usaha untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintah
menciptakan tafsir tunggal terhadap Pancasila. Tafsir tunggal terhadap
Pancasila ini kemudian melahirkan Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila
menjadi ideologi tertutup dan tidak dapat lagi menerima nilai-nilai di luar
pemilik tafsir Pancasila. Pancasila menajdi ideologi tertutup karena adanya
dominasi dan hegemoni kelompok dan budaya tertentu, dan kemudian menyatu dengan
pemerintah.
Mengenai penyimpangan yang terjadi dalam usaha menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal Darmaputera melihat hal tersebut sebagai adanya
dominasi dan hegemoni agama. Secara khusus yang dilakukan oleh Islam Formalis
yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Asas tunggal merupakan proses
pengislaman semua segi kehidupan di Indonesia (lihat bab I).
. Pancasila menjadi idelogi tertutup, karena hanya
pemerintah yang memiliki hak untuk menafsirkan Pancasila. Tafsir lain di luar
apa yang dikatakan pemerintah dianggap sebagai perlawanan kepada Pancasila.
Pancasila di sakralkan. Pancasila dijadikan ideologi tertutup karena Pancasila menolak baik ideologi tertutup
maupun terbuka. Beralihnya Pancasila dari ideologi terbuka menjadi ideologi
tertutup karena Pancasila ditafsirkan secara eksklusif dan diskriminatif. Akibatnya
timbullah konflik, karena Pancasila
tidak dapat menerima pandangan kelompok manapun, kecuali apa yang dikatakan
pemerintah, sebagai agen tunggal tafsir terhadap Pancasila.
Pengesahan dari Pancasila sebagai asas tunggal yang
Darmaputera sebut pengislaman semua segi kehidupan di Indonesia menunjukan
bahwa usaha menjadikan Pancasila terjadi karena adanya kerja sama antara negara
dan agama. Entah siapa yang mencari keuntungan dalam hubungan tersebut, namun
akibatnya diskriminasi agama menjadi ancaman serius. Dari sisi pemerintah
politik akomodasi merupakan gambaran kekuasaan menjadi sesuatu yang utama
dibandingkan penghargaan terhadap sesama. Politik akomodasi yang sangat
diskriminatif dari pemerintah menjadikan agama-agama berada dalam pemasungan (lihat
bab I). Pancasila sebagai azas tunggal merupakan wujud dari jalan pintas
penyelesaian konflik.
Pada mulanya konflik yang terjadi karena pemaksaan Pancasila sebagai
azas tunggal tidak terjadi secara terbuka. Hal ini terjadi karena pemerintah
pada masa orde baru terlalu kuat, dan sangat otoriter. Karena negara terlalu
kuat maka konflik tersebut dapat di atasi dengan kekuatan senjata, namun tidak
berarti pandangan yang berbeda tersebut terkubur dan mati. Tetapi
kelompok-kelompok yang dianggap sebagai musuh Pancasila terus ada dan
bertumbuh. Setiap saat menjadi ancaman bagi pemerintah ororiter. Fakta tersebut
nyata setelah tumbangnya Soeharto.
Usaha mengubah Pancasila dari ideologi terbuka menjadi ideolog
tertutup bukan hanya dilakukan kelompok kelompok budaya dan agama yang berbeda,
namun juga oleh pemerintah. Penetapan Pancasila sebagi azas tunggal dalam
kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan Pancasila memiliki nilai operasional.
Tidaklah mengherankan jika pada periode tersebut orang sangat takut jika dianggap
tingkah lakunya tidak sesuai dengan Pancasila. Ketakutan itu terjadi karena
setiap orang yang memiliki pandangan
yang berbeda dengan tafsir pemerintah
tentang Pancasila, dianggap melawan pemerintah, dan secara bersamaan berarti
melawan negara.
8..Pandangan Iman Kristiani tentang pancasila.
Umat Kristen menerima Pancasila bukan karena Pancasila menguntungkan
bagi umat Kristen. Juga bukan karena Pancasila adalah sesuatu yang sudah
diformalkan, sehingga dengan terpaksa umat Kristen menerimannya. Bagi umat
Kristen Pancasila bukan wahyu Allah, Pancasila terbatas, karena itu walaupun
umat Kristen menerima Pancasila sikap kritis terhadap Pancasila tidak boleh
dihilangkan, karena Pancasila bukan sesuatu yang mutlak. Sakralisasi Pancasila
bukanlah sesuatu yang benar, justru akan menjadikan Pancasila sebagi sesuatu
yang kaku dan beku yang tidak mempunyai fungsi operasional dalam prakteknya.
Penerimaan umat Kristen pada Pancasila karena pancasila menaungi semua, karena
itu berarti Pancasila memiliki nilai-nilai yang berkeadilan. Suatu nilai-nilai
yang universal. Dan nilai-nilai keadilan yang universal dari Pancasila tersebut
ada dalam sila-sila dari Pancasila.
Mengenai penerimaan umat Kristen terhadap pancasila Darmaputera
menjelaskan demikian:
Secara teologis kristiani, kita dapat mengatakan dengan penuh
tanggung jawab bahwa apa yang paling baik bagi semua orang adalah baik untuk
kita. Kita berupaya sungguh-sungguh untuk mengamankan dan mengamalkan
Pancasila, olah karena tanpa hal itu bangsa kita akan hancur. Kita berupaya
sungguh-sungguh bukan hanya untuk kepentingan kita tetapi untuk kepentingan
seluruh bangsa, sekalipun Pancasila bukan wahyu ilahi yang kekal dan sempurna,
tetapi paling sedikit tidak bertentangan dengan iman kristiani.
Perjuangan umat Kristen bukanlah perjuangan yang eksklusif bagi umat
Kristen, sebaliknya perjuangan umat Kristen adalah perjuangan untuk keadilan
yang bersifat inklusif, perjuangan untuk semua. Pada waktu umat kristiani
mengakui bahwa semua manusia adalah gambar Allah dan semua manusia sederjat,
maka perjuangan umat Kristen adalah perjuangan bagi kemanusiaan. Pancasila
menerima semua kemajemukan yang ada, Pancasila memberikan keadilan bagi semua,
karena itu umat Kristen menerimanya.
Iman Kristen memiliki nilai-nilai yang eksklusif dan inklusif.
Pancasila bagi umat Kristen memberikan perlindungan bagi nilai-nilai eksklusif
yang ada dalam setiap agama. Pancasila menaungi semua agama termasuk
kekristenan. Pancasila yang berisi nilai-nilai yang bersifat universal dan
dapat diterima oleh semua, berisi nilai-nilai yang inklusif dari kekristenan,
sehingga apada waktu umat Kristen menerima Pancasila, umat Kristen tidak perlu
mengorbankan identitasnya.
Bagi umat Kristen sebagaimana dikatakan oleh Darmaputera seorang
teolog Kristen di atas, Pancasila merupakan pilihan yang terbaik untuk bangsa
Indonesia. Karena semua keberagamana yang ada termasuk kekristenan terlindungi
di dalam Pancasila.
Pancasila memang memiliki kelemahan, namun ia tetap merupakan pilihan yang terbaik.
Karena itu Pancasila perlu dijaga agar tidak diisi oleh hal-hal yang bukan
merupakan hakekat Pancasila. Secara khusus dalam menyikapi heterogenitas
terhadap Pancasila.
Dari sudut pandang iman kristiani heterogenitas Pancasila merupakan
suatu realitas dari keberagaman yang ada di Indonesia. Namun heterogenitas
Pancasila tidaklah menjadi alasan bagi timbulnya konflik antar pandangan yang
berbeda. Heterogenitas Pancasila merupakan bukti bahwa semua orang yang berada
dalam payung Pancasila diterima keberadaannya sebagaimana adanya. Heterogenitas
Pancasila seharusnya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk belajar mengenal
identitas yang berbeda dari setiap kelompok yang ada di Indonesia, baik suku
maupun agama-agama.
Kekristenan percaya bahwa manusia yang beragam pada hakekatnya
sederajat yaitu sesama umat manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Keberagaman
merupakan sesuatu yang diberikan oleh Allah. Karena itu keberagamana tidak
boleh diseragamkan. Usaha untuk mendapatkan manfaat dari keberagaman dapat
dicapai dengan adanya persatuan. Tetapi persatuan tersebut tidak dapat
menghilangkan identitas keberagaaman.
Usaha memeilihara persatuan tanpa menghapus keberagaman berarti
meliputi usaha untuk mencari titik temu dari nilai-nila yang universal, yang
ada dalam setiap individu atau kelompok yang ada, tanpa menghapus nilai-nilai
yang eksklusif dari individu atau kelompok yang ada. Nilai-nilai yang universal
dalam setiap individu atau kelompok inilah yang kemudian terkristalisasi dalam
Pancasila. Untuk itu maka setiap individu harus terus berusaha bersama-sama
mengisi Pancasila dengan nilai-nilai dari identitas-identitas yang ada di
Indonesia yang bersifat universal.
Apabila setiap kelompok yang
ada di Indonesia mendasari tafsir terhadap Pancasila dengan semangat
kebhinekatunggalikaan maka dalam Heterogenitas tersebut pasti ada nilai-nilai
yang universal. Yaitu nilai-nilai yang inklusif dan nondiskriminatif. Usaha
untuk mengedepankan nilai-nilai yang inklusif dan nondiskriminatif dari setiap
suku dan agama-agama tidak harus menghilangkan identitasnya. Nilai-nilai
bersama yang inklusif dan nondiskriminatif ini dapat dijadikan titik perjumpaan
bagi setiap kelompok yang berbeda dalam hidup bersama, sebagaimana Pancasila
telah menjadi suatu kompromi yang menerima semua kelompok yang ada di Indonesia
tanpa menghapus identitas-identitas tersebut.
Dari sudut pandang iman kristiani, sila-sila dari Pancasila berisi
nilai-nilai yang universal. Karena itu orang Kristen menerima Pancasila.
Nilai-nilai yang universal dari Pancasila memungkinkan semua orang di bumi
Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama. Nilai-nila universal ini adalah
nilai-nilai yang memberikan keadilan bersama. Jadi umat kristiani menerima
Pancasila bukan karena Pancasila menguntungkan bagi umat kristiani, tetapi
karena memang Pancasila berisi nilai-nilai yang berkeadilan. Baik bagi orang
Kristen, maupun bagi agama-agama lain.
Nilai-nilai Pancasila yang bersifat universal ini bagi umat
kristiani sesuatu yang harus terus diperjuangkan. Karena itu penafsiran
terhadap Pancasila harus memperhatikan nilai-nilai keadilan bersama. Bagi umat
kristiani apa yang baik bagi semua, pasti baik untuk umat kristiani. Karena
keadilan bersifat universal. Jadi semangat untuk memberikan tafsir terhadap
Pancasila tidak boleh mengabaikan keadilan bagi kelompok lain. Apabila terjadi
tafsir yang berbeda terhadap Pancasila, maka setiap kelompok yang ada harus
mengijinkan penafsiran tersebut mendapatkan kritik dari kelompok-kelompok lain,
dan hanya nilai-nilai yang diakui sebagai nilai-nilai yang universal yang harus
dianggap sebagi isi dari Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi terbuka menurut pandangan kristiani
sangat tepat, karena sebagai ideologi terbuka ia dapat menerima masukan
nilai-nilai yang ada dalam setiap kelompopk yang ada. Pancasila harus tetap
menjadi ideologi terbuka untuk dapat menerima keberagaman yang ada. Juga untuk
tetap dapat diisi dengan nilai-nilai yang berkeadilan untuk semua.
Pancasila sebagi asas tunggal merupakan penyimpangan tafsir
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila sebagi
asas tunggal mengakibatkan Pancasila tidak lagi dapat menerima nila-nilai di
luar dirinya. Karena Pancasila sebagi asas tunggal merupakan gambaran dominasi
dan hegemoni agama-agama. Dan sebagai
Azas tunggal maka Pancasial dengan sendirinya telah di dominasi oleh
nilai-nilai yang eksklusif. Keberadaan Pancasila sebagi asas tunggal menjadikan
Pancasila bukan lagi payung yang menaungi semua, tetapi menjadi ideoogi yang
akan menolak semua ideologi yang ada. Bahkan akhirnya Pancasila di bekukan dan
tidak lagi dapat berfungsi sebagai perekat bangsa.
Puncaknya, Pancasila mengalami pembekuan pada masa Orde
Baru. Masa itu Pancasila dibuat hanya menjadi slogan kosong. Pancasila
dijadikan alat pengesahan rejim yang berkuasa untuk tetap berkuasa. Akibatnya
Pancasila tidak lagi mampu menjadi alat perekat bangsa, karena ia telah
dibekukan. Pancasila tidak lagi menjadi
populer, bahkan kemudian dianggap sebagai simbol kehancuran suatu bangsa oleh
sebagian orang yang ingin menggantilkan Pancasila dengan ideologi lain ( lihat
Bab I).
Pada kenyataannya dapat dipahami bahwa kehancuran
Indonesia bukanlah dikarenakan Pancasila tidak mampu untuk tetap mempersatukan
Indonesia yang terdiri atas berbagai agama tersebut, tetapi karena Pancasila telah
dibekukan sehingga ia tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai alat perekat
bangsa. Karena itu kehancuran bangsa Indonesia harus dilihat sebagai
kegagalannya untuk tetap menjaga Pancasila berfungsi sebagai pemersatu bangsa.
Untuk itu maka jawaban yang tepat bagi permasalahan konflik antarumat beragama
di Indonesia adalah kembali kepada Pancasila sebagaimana dideklarasikan oleh founding
fathers Indonesia.
Pancasila yang berisi nilai-nilai yang universal adalah ideologi
terbuka, karena itu ia tidak memiliki nilai operasional. Sehingga Pancasila
perlu mengalami transformasi didalam hukum dan perundang-undangan yang ada di
Indonesia. Usaha transformasi Pancasila ini memerlukan semangat
kebhinekatunggalikaan untuk dapat menjaga hukum dan perundang-undangan yang ada
sungguh merupakan hasil dari transformasi Pancasila. Bukti transformasi
Pancasila berjalan dengan mulus adalah apabila hukum dan perundang-undangan
yang merupakan transformasi Pancasila tersebut tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945.
Bagi umat kristiani usaha transformasi Pancasila harus didasarkan
pada semangat keadilan Allah yang adalah
nilai-nilai yang universal dan dibutuhkan semua, karena memberikan keadilan
bagi semua. Keadilan merupakan suatu keharusan untuk manusia dapat bertumbuh
sesuai dengan harkat dan martabatnya yang mulia. Pancasila yang berisi
nilai-nilai yang berkeadilan ini harus ditransformasikan dalam hukum yang
berkeadilan. Sehingga produk hukum yang ada di Indonesia seharusnya berisi
nila-nilai yang berkeadilan.
Transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undangan bagi
umat kristiani bukan usaha untuk memaksakan masuknya nilai-nilai yang eksklusif
dalam kekristenan, sebaliknya umat Kristen harus bersama-sama mengisi hukum dan
perundang-undanagn yang memberikan keadilan bagi semua. Apabila semua kelompok
di Indonesia melaukan tugasnya dengan baik, maka transformasi Pancasila kedalam
hukum dan perundang-undangan seharusnya dapat berjalan dengan mulus.
Dalam sejarah pemikiran Pancasila terjadi kemajemukan status Pancasila,
serta sumber dan tafsir terhadap Pancasila yang mengarah pada tindakan
disakriminatif terhadap individu atau kelompok lain, akibatnya Transformasi
Pancasila tidak berjalan dengan mulus. Kenyataan tersebut tidak disebabkan oleh
Pancasila, tetapi individu atau kelompok yang ada tidak berpegang peda komitmen
yang sama.
Bukti tidak mulusnya transformasi Pancasila terlihat dengan adanya
produk-produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila. Undang-undang
perkawinan Indonesia yang sangat dipengaruhi nilai-nilai agama yang berbeda dan
selalu berusaha untuk menciptakan undang-undang yang hanya sesuai dengan agama
tertentu menciptakan diskriminasi terhadap individu dan kelompok yang lain.
Keharusan menikah dengan agama yang sama membuat orang harus melepaskan
agamanya dengan terpaksa. Bahkan keharusn memeluk agama resmi menjadikan
seseorang harus rela melepaskan agamanya dan masuk memeluk agama resmi hanya
untuk menikah. Jika tidak maka mereka harus hidup tanpa surat nikah. Demikian
juga dengan keputusan-keputusan Menteri agama (akan dijelaskan kemudian) yang
tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bukti bahwa transformasi
Pancasila tidak berjalan dengan mulus.
- Kebebasan Beragama Dalam Negara Pancasila.
Dalam bab I telah diuraikan bahwa Pancasila adalah dasar
bagi kebebasan bergama di Indonesia. Adanya pengakuan tentang kebebasan
beragama, seharusnya menjadi jaminan bahwa semua orang bergama di Indonesia
mendapatkan penghormatan dalam menjalankan ibadatnya sesuai dengan
kepercayaannya masing-masing. Tetapi dalam sejarah bangsa Indonesia pelanggaran
hak kebebasan beragama menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan, terlebih
pada masa menjelang berakhirnya rezim orde baru yang otoriter.
Kebebasan beragama di Indonesia mengalami ancaman yang
serius karena perangkat hukum yang memberikan perlindungan terhadap kebebasan
beragama tidak memadai, serta kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia tentang
hukum dan perundang-undangan secara khusus yang berkaitan dengan kebebasan
beragama.
Pancasila memang memuat perlindungan terhadap hak
kebebasan beragama, dan dalam batang tubuh UUD 1945, perlindungan tentang
kebebasan beragama mendapatkan penjabaran yang lebih detail. Namun sebagai
konstitusi negara keduanya hanya memuat hal yang pokok-pokok saja. Untuk dapat
memiliki nilai operasional, Pancasila harus dituangkan dalam hukum dan
perundang-undangan. Pada waktu transformasi Pancasila berlangsung dalam hukum
dan perundang undangan disini terjadi dominasi dan hegemoni agama, akibatnya
hukum dan perundang-undangan bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan
nonodiskriminatif.
Indonesia pernah dikenal sebagai negara yang memiliki
toleransi yang tinggi antar agama-agama yang berbeda. Dalam sejarah masuknya
agama-agama di Indonesia tidak pernah terjadi peperangan yang memaksakan suatu
kelompok tertentu untuk masuk memeluk agama lain/berganti agama. Baik masuknya
agama Hindu dan Budha, maupun agama Kristen dan Islam yang masuk kemudian
setelah Hindu dan Budha.
Pengalaman yang terjadi dalam penyebaran agama-agama
Hindu Budha, Kristen dan Islam, juga Konghucu, membuat semua orang di Indonesia
menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan sesuatu yang harus di berikan
kepada setiap orang. Pengakuan bahwa
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menghormati keberbedaan agama di
tuangkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kehidupan beragama di Indonesia pada awalnya berjalan
dengan mulus. Sejak kemerdekaan NKRI tahun 1945 – 1964 tidak ada insiden yang
berarti dalam hubungan antar umat beragama. Insiden pengrusakan rumah ibadah
(gereja) baru terjadi pada masa orde baru. Dan pada tahun 1985-1997 terjadi 237
kasus penutupan, pengrusakan dan pembakaran gereja, sekitar 63 %.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa Pancasila sebagai
dasar bagi kebebasan beragama mempunyai peran yang amat penting bagi
terciptanya perlindungan kebebasan beragama. Pelanggaran hak kebebasan beragama
terbesar di Indonesia terjadi pada masa orde baru, hal tersebut dapat
dimengerti karena pada masa itu Pancasila tidak lagi dapat berfungsi dengan
benar, karena telah menjadi alat pengesahan rezim yang berkuasa.
. Terjadinya pemasungan kebebebasan beragama yang
mengakibatkan konflik antar umat bergama bukan karena Pancasila tidak
menghargai hak kebebasan beragama, tetapi sebaliknya semangat persatuan yang belum
tertanam kuat, dan semangat persatuan yang terus meluntur akibat komunalisme
budaya dan agama. Agama-agama saling berusaha untuk membangun kekuatannya,
tanpa perduli dengan dampak negatif yang ditandai dengan menghilangnya semangat
nasionalisme.
Carut-marutnya wajah Indonesia yang dipenuhi dengan
pelanggaran hak kebebasan beragama juga semakin diperkeruh dengan sikap
pemerintah yang sering kali tidak konsisten dalam berpegang pada Pancasila,
demi mempertahankan kekuasaannya (lihat Bab I)
Nilai-nilai dari sila-sila di dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang universal.
Berarti Pancasila selaras dengan Deklarasi Universal HAM, secara khusus dalam
penghormatan terhadap hak kebebasan beragama. Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia yang merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia, mengakui
hak kebebasan beragama sebagaimana dijelaskan dalam sila kedua dari Pancasila.
Namun sila kedua ini harus ditafsirkan dengan mengaitkannya dengan sila-sila
lain di dalam Pancasila
Kebebasan beragama dalam negara Indonesia dapat
diartikan sebagai kebebasan untuk berganti dan berpindah agama. Karena
kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia, suatu hak yang diberikan oleh
Tuhan, bukan negara, namun negara Indonesia didirikan oleh orang-orang yang
beragama. Karena semua orang Indonesia
mengakui adanya Tuhan yang maha esa. Pengakuan akan kepercayaan pada Tuhan yang
esa ini tidak boleh ditafsirkan secara teologis, seperti tauhid dalam agama
Islam. Pengakuan akan kepercayaan kepada ketuhanan yang maha esa harus diartikan
bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan (allah hurup kecil), yaitu konsep
tentang “tuhan”, tuhan berdasarkan pengakuan agama-agama yang ada. Jadi sila
pertama juga tidak boleh diartikan bahwa Indonesia hanya mengakui agama yang
memiliki pengakuan Tuhan yang maha esa, menurut agama-agama tertentu.
Sebaliknya merupakan pengakuan bahwa semua agama mengakui adanya “tuhan”. Dan
semua agama adalah agama resmi negara.
Tetapi dalam
prakteknya tidak semua agama dapat disebut agama resmi. Bahkan agama Konghucu
yang pada jaman Soekarno di akui sebagai agama resmi, di jaman Soeharto tidak
diakui sebagai agama resmi. Kemudian pada era Reformasi kembali diakui sebagai
agama resmi. Dari hal di atas dapat dipahami bahwa diskriminasi agama yang
terjadi di Indonesia disebabkan karena adanya dominasi agama dan hegemoni agama
dalam NKRI, yang berusaha memasukan nilai-nilai agamanya kedalam sila-sila dari
Pancasila, sehingga menjadikan Pancasila sesuatu yang bersifat diskriminatif
terhadap agama-agama di luar agama resmi,
bahakan juga antar agama resmi.
Pengakuan kebebasan beragama dalam sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab. Dimana manusia mendapatkan hak kebebasan
memilih agama yang ingin dipeluknya karena kodratnya sebagai manusia. Tidak
boleh dibatasi oleh sila pertama, yang menentukan agama mana yang dapat dipeluk
oleh rakyat Indonesia. Sila kedua tersebut harus dilaksanakan dalam penghargaan
terhadap-agama-agama yang berbeda. Karena walaupun Indonesia adalah negara
banyak agama, mereka semua adalah satu bangsa (sila ke tiga). Jadi pada waktu
sila kedua ditafsirkan dalam hubungan dengan sila pertama, hal ini juga berarti
bahwa Indonesia yang bersatu adalah Indonesia yang terdiri banyak agama,
termasuk agama suku dan aliran kebatinan. Agama-agama suku dan kebatinan harus
memiliki tempat yang sama sebagimana agama-agama resmi lainnya.
Perbedaan agama
tidak boleh menimbulkan perpecahan sebagai suatu bangsa. Pertumbuhan
kelompok-kelompok agama yang ada tidak boleh menelan nasionalisme. Pemeluk
agama-agama yang berbeda tidak boleh kehilangan kecintaannya kepada negara.
Sebagai warga agama, secara bersamaan juga sebagai warga bangsa. Keduanya harus
tumbuh secara berdampingan tidak boleh yang satu menelan yang lain. Artinya
tidak boleh pertumbuhan kecintaan terhadap komunitas suku atau agama menurunkan
kecintaan kepada negara.
Apabila sila
kebebasan beragama yang dinyatakan dalam sila kedua dari Pancasila dikaitkan
dengan sila keempat. Maka kehidupan beragama harus tumbuh dalam iklim yang
demokratis. Artinya semua kelompok agama yang berbeda memiliki kesempatan yang
sama untuk bertumbuh atau berkembang. Dan agama-agama itu mempunyai akses yang
sama di dalam pemerintahan. Demikian juga dalam kaitan dengan sila ke lima.
Kebebasan beragama harus tumbuh dalam suasana yang berkeadilan. Semua agama
memiliki kesamaan dihadapan hukum dan pemerintahan.
Pancasila diakui
sebagai dasar bagi hak kebebasan beragama di Indonesia. Karena itu sila-sila
dari Pancasila harus menjiwai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dengan
demikian, Batang tubuh UUD 1945 seharusnya tidak bertentangan dengan Pancasila.
Jadi, apabila Pancasila adalah dasar bagi hak kebebasan beragama di Indonesia,
maka batang tubuh UUD 1945 secara bersamaan juga harus memberikan tempat bagi
hak kebebasan beragama.
Pancasila sebagai dasar bagi hak kebebasan beragama di
Indonesia merupakan jaminan bahwa Indonesia memberi tempat bagi setiap individu
untuk menganut agama dan kepercayaannya. dalam UUD 1945 (pasal 29) yang
berbunyi: Negara berdasar atas ketuhanan yang mahaesa, dan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaanya masing-masing. Pengakuan atas
kebebasan beragama dituangkan secara eksplisit dalam pasal 29 UUD 1945.
Pengakuan kebebasan beragama yang dituangkan dalam
Pancasila dan juga dalam pasal 29 UUD 1945 merupakan komitmen bangsa Indonesia,
secara khusus pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap hak kebebasan
beragama sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM pasal satu dan
18. Komitmen tersebut juga dituangkan dalam Tap. No.II/MPR/1978.Karena
itu sepantasnyalah proteksi terhadap kebebasan beragama menjadi agenda penting
pemerintah. Pemerintah harus senantiasa bertindak tegas kepada setiap orang
yang dengan sengaja melanggar kebebasan beragama orang lain.
Kesediaan bangsa Indonesia untuk menerima Deklarasi
Universal HAM, yang diyakini sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, juga
dinyatakan dengan masuknya Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Sebagai anggota PBB, secara
bersamaan Indonesia juga mengakui bahwa nilai-nilai HAM yang bersifat universal
tersebut dibutuhkan oleh Indonesia.
Hak kebebasan beragama di Indonesia dinyatakan dengan
tegas dalam konstitusi negara, artinya bahwa negara memang mengakui bahwa hak
kebebasan beragama merupakan hak manusia yang paling asasi.
Adanya pengakuan hak-hak asasi manusia inilah yang
menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang menghormati keberagaman agama. Dari
awal, Indonesia memang merupakan negara yang dihuni warga dengan beragam agama.
Penyebaran agama-agama di Indonesia pun terjadi dengan cara damai. Jadi, jika
Pancasila mengakui bahwa semua agama memiliki tempat yang sama, hal itu
merupakan realitas bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut membuat orang Indonesia
mempunyai dasar dalam kerja sama antarumat beragama.
Perbedaan tafsir dari pemikiran Pancasila sebagaimana
dijelaskan oleh Pranarkha di atas, terus terjadi hingga saat ini. Parahnya,
ketika kepentingan-kepentingan kelompok ikut bermain dalam menafsirkan isi
Pancasila, timbullah diskriminasi terhadap kelompok atau golongan
tertentu. Akhirnya praktek diskriminasi
itu bermuara pada konflik yang menghiasi sejarah carut-marutnya bangsa
Indonesia, khususnya dalam hubungan antaragama. Hal tersebut tidak mengherankan
karena heterogenitas tafsir terhadap pemikiran Pancasila juga terjadi dalam
diskusi tentang HAM dan hakikat agama.
Akibat adanya
heterogenitas pemikiran Pancasila tentang HAM dan hakikat agama, maka
implementasi dari hak kebebasan beragama menjadi tidak mudah, dan selalu ada
kelompok agama yang mengalami diskriminasi yang akhirnya mengakibatkan hubungan
antarumat beragama tidak berjalan dengan mulus.
Pada hakikatnya Pancasila dan UUD 1945 tidak salah
karena ia merupakan konstitusi negara, sebagai konstitusi negara ia hanya
memuat hal-hal yang penting-penting saja. Namun ketika ada
kepentingan-kepentingan yang bermain dalam pengambilan keputusan, isi Pancasila
ditafsirkan sesuai kepentingan yang bisa saja merugikan pihak lain, hal
tersebut nyata dalam proses transformasi Pancasila kedalam hukum dan
perundang-undanagn. Hukum dan perundang-undangan yang menyangkut kebebasan
beragama ternyata tidak sejalan dengan Pancasila yang adalah dasar bagi
kebebasan beragama di Indonesia. Memang selalu ada perasaan tidak puas, namun
hal itu seharusnya tidak perlu dikobarkan. Karena dalam pengambilan keputusan
bersama selalu ada yang tidak terpuaskan. Selama itu merupakan sesuatu yang
dibuat untuk kepentingan bersama, seharusnya harus dihargai secara bersama, dan
tidak seorang pun boleh memaksakan kehendaknya.
Demikian juga usaha sistematis untuk mendapatkan
kekuasaan demi akses kepada pemerintahan, tidak boleh didorong oleh keinginan
suatu kelompok tertentu, sebagaimana terjadi dalam jaman orde baru. Saat itu
pemerintah turut memperkeruh situasi, atau dengan kata lain, sengaja
mempersubur kondisi yang keruh untuk dapat dikendalikan dengan mudah.
Pada dasarnya Pancasila adalah konsensus bersama, dan
Pancasila telah diterima sebagai sesuatu yang memberi tempat yang sama terhadap
semua kelompok yang ada di Indonesia. Maka seandainya realitas ini dilihat
secara bersama, yang timbul seharusnya adalah keberagaman yang akan memperkaya
wawasan bangsa Indonesia, dan sangat berguna bagi pembangunan masyarakat
Indonesia. Tetapi sayangnya, yang terjadi adalah Indonesia semakin terpecah
karena lupa dengan pengalaman sejarah di mana Pancasila telah berjasa dalam
perjuangan bangsa dalam mempertahankan kedaulatan negara yang merdeka.
Pergeseran tafsir dari Pancasila tersebut menyebabkan
pengakuan kebebasan beragama mengalami reduksi. Misalnya, pengakuan kebebasan
beragama yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 ini tidak serta-merta
berarti bahwa orang Indonesia boleh tidak menganut agama resmi yang diakui pemerintah
(seperti yang diidentikan dengan agama-agama suku, yang berusaha untuk
dimasukkan ke dalam agama-agama resmi versi kementerian agama), dan semua
kelompok menerima bahwa persoalan berganti agama merupakan hak setiap pribadi,
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 18 Deklarasi Universal HAM. Sebaliknya
sila pertama dari Pancasila yang ditafsirkan hanya sebagai pengakuan adanya hak
kebebasan beragama namun tidak mengakui bahwa ada kebebasan menyiarkan agama
kepada orang yang sudah beragama, dan kemudian pada pergantian agama. (lihat
Bab I)
Dasar bahwa Pancasila hanya mengakui kebebasan beragama,
namun tidak mengijinkan manusia Indonesia menjadi manusia yang tidak beragama
(ateis) lebih tepatnya tidak memeluk agama di luar agama resmi negara adalah
karena dalam menafsirkan sila kedua tidak boleh dilepaskan dari sila pertama,
atau sila pertama menjadi titik tolak bagi penafsiran sila kedua. Sila pertama
menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, karena itu hak
kebebasan beragama yang tertuang dalam sila ke-2, biasanya diartikan bahwa
negara menjamin kebebasan beragama, namun tidak untuk tidak beragama.yang
kemudian diartikan tidak boleh memeluk agama lain kecuali sebagaimana yang
dinyatakan sebagai agama resmi, karena sila pertama diartikan sebagai Tuhan
dalam agama monotheisme (lihat pandangan M yamin tentang sila pertama dan
Piagam Jakarta).
Dalam hubungan Kristen dengan Islam
terjadi pembatasan bahwa apabila seorang penganut agama Kristen berpindah
menjadi pemeluk agama Islam, dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Tetapi bila
seorang beragama Islam berpindah menjadi pemeluk agama Kristen, hal tersebut
dianggap sebagai kemurtadan dan dapat diancam hukuman mati.
Penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam Pancasila
tanpa memperhatikan hakekat Pancasila yng sesungguhnya menjadi salah satu
faktor yang memberi peluang terhadap tragedi yang mengakibatkan pembantaian
besar-besaran terhadap orang yang disebut komunis, secara khusus Islam abangan
yang dianggap kafir, oleh Islam Santri. Paling tidak hal itu ikut andil dalam
tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran hitam kebebasan beragama di Indonesia
yang hingga saat ini belum juga terselesaikan.
Kemudian lahirnya
pemikiran tentang hakikat agama versi kementerian agama menimbulkan adanya diskriminasi terhadap
keberadaan aliran kepercayaan. Aliran kepercayaan yang pada mulanya hidup
berdampingan dengan agama-agama, karena memang dalam aliran kepercayaan ini
terjadi percampuran antara agama-agama suku yang telah ada di Indonesia dengan
agama-agama besar yang masuk ke Indonesia. Aliran kepercayaan yang pada mulanya
diakui keberadaannya seperti dituangkan dalam pasal 29 UUD 1945, oleh suatu
interpretasi baru tentang agama, versi Kementerian Agama, tidak lagi setara
dengan agama-agama. Dan aliran kepercayaan ini diarahkan untuk masuk kepada
agama-agama resmi versi Departemen Agama yang lebih memperjuangkan kelompok
tertentu. Dan terjadilah diskriminasi terhadap aliran kepercayaan.
Pengakuan pemerintah akan adanya agama resmi negara
membuat agama-agama tersebut merasa memiliki kekuasaan untuk menentukan mana
yang dianggap agama Islam, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha yang asli. Secara
khusus dalam agama Islam dan Kristen muncul perasaan sebagai agama mainstream
(arus utama) yang bertindak seperti pemerintah menentukan mana Islam sejati dan
mana Kristen yang benar. Dalam usaha mempertahankan eksistensi mereka sebagai
agama mainstream, maka muncullah penolakan terhadap bidat, yang dianggap
menyimpang dari ajaran yang dipegang oleh aliran-aliran mainstream.
Karena mereka (mainstream) mempunyai pendukung yang amat banyak dan
sangat berpengaruh untuk mengamankan pemerintah yang berkuasa, maka larangan
terhadap bidat pun diberlakukan. Contoh bidat dalam Kristen adalah Saksi
Yehuwa, sedang dalam Islam ada Islam Ahmadiyah, darul Arqam dll.
Agama-agama yang ada telah melakukan pelanggaran hak
kebebasan beragama, terlebih lagi dengan menerapkan larangan atas kelompok
bidat untuk beribadah sesuai dengan hati nuraninya. Tidak ada alasan kelompok
agama mainstream memaksakan tafsirannya kepada semua anggota agamanya,
karena itu pelanggaran terhadap kebebasan hati nurani, namun mencontoh
pemerintah yang mendapatkan keuntungan dengan penetapan agama resmi di mana
pemerintah mendapatkan dukungan dari kelompok agama mainstream tanpa
perduli apakah tindakan tersebut memenuhi asas keadilan bersama atau tidak,
yang penting eksisitensi mereka tetap terjamin. Demikianlah kelompok agama
melakukan tindakan yang sama dengan pemerintah. Agama-agama memakai tangan
pemerintah untuk merampas kebebasan hati nurani seseorang.
Pengabaian terhadap aliran kepercayaan dan bidat secara
otomatis merupakan pengabaian terhadap kedaulatan hati nurani. Dalam Deklarasi
Universal HAM dijelaskan bahwa manusia, dalam hati nuraninya memiliki kebebasan
untuk memeluk agama tertentu, juga memiliki kebebasan untuk menyembah yang ia
ingin sembah. Namun dengan adanya penetapan bahwa aliran keprcayaan bukan agama
dan diarahkan untuk memilih agama resmi yang ada, maka kebebasan hati nurani
tidak punya tempat di Indonesia. Akibat lahirnya pemahaman hakikat agama yang
bertentangan dengan tafsir dari sila pertama yang dinyatakan oleh bapak-bapak
pendiri Indonesia, maka semua kepercayaan yang tidak mengakui adanya Tuhan yang
mahaesa (monotheis) dan semua yang dianggap bidat tidak dianggap sebagai agama.
Diskriminasi terhadap umat aliran kepercayaan dan bidat selalu menghiasi
perjalanan sejarah Indonesia, dan tidak jarang kehidupan mereka sering kali
terancam.
Tindakan
pemerintah yang bersifat diskriminatif nyata dengan lahirnya pernyataan agama
resmi yang diakui oleh negara dan yang tidak diakui. Jadi, negara sudah masuk
ke dalam daerah kekuasaan agama. Tindakan diskriminatif pemerintah juga
dimungkinkan karena pengakuan kebebasan beragama yang diakui dalam Pancasila
dan UUD 1945 belum ada hitam-putihnya, sehingga pada waktu ada kepentingan
politis maka usaha menafsirkan Pancasila bagi pengesahan tindakan politis
tersebut merupakan jalan pintas untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Hal
tersebut nyata dalam kelahiran (pembentukan) departemen agama. (lihat Bab I)
Pemerintah yang berkuasa selalu berpihak kepada siapa
yang mendukungnya. Apalagi keinginan menjadi pemimpin dan memiliki kedudukan
dalam pemerintahan bukan lagi didasarkan pada keinginan luhur untuk membawa
negara dan bangsa menuju cita-cita proklamasi: menciptakan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi lebih ditunggangi kepentingan
untuk mempertahankan eksisitensi kelompok atau individu. Untuk mencapai
tujuannya ini, dia tidak peduli sekalipun harus mengabaikan kelompok atau
individu yang pada mulanya hidup berdampingan dengan damai. Inilah yang
menimbulkan tragedi yang tak pernah selesai dalam sejarah perjalanan bangsa.
Penetrasi nilai-nilai agama kedalam Pancasila mengakibatkan
transformasi Pancasila dalam undang-undang yang berhubungan dengan kebebasan
beragama menghasilkan keputusan hukum yang bertentangan dengan Pancasila.
Lahirnya produk hukum yang bersifat diskriminatif, seperti pernyataan bahwa
Konghucu bukan agama, padahal sebelumnya Konghucu dimasukkan ke dalam agama
resmi, merupakn bukti tidak mulusnya proses tarnsformasi Pancasila dalam bidang
hukum yang menyangkut keagamaan. Kasus Konghucu dapat menjadi suatu indikasi
bahwa penentuan agama atau bukan agama di Indonesia sarat dengan kepentingan
individu atau kelompok yang berkuasa, dan nilai-nial tersebut dipaksakan
sebagai sesuatu yang sesuai dengan Pancasila. Padahal hukum tersebut
sesungguhnya bukan hanya tidak produktif, sebaliknya menimbulkan diskriminasi
dan mengarah pada konflik yang tidak jarang menelan korban manusia.
Demikian juga
dengan Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB Dua Menteri) no.1 tahun 1969, yang menjadi
dasar bagi penutupan dan perusakan tempat-tempat ibadah. Peraturan tersebut
dikeluarkan dengan alasan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Padahal
usaha untuk menjaga kerukunan antarumat beragama tidak serta-merta dapat
mencabut hak kebebasan beragama yang bersumber dari Allah. Usaha menjaga
kerukunan tidak berarti mengkompromikan
ajaran suatu kelompok agama, sehingga usaha menciptakan kerukunan antarumat
beragama seharusnya tetap menjunjung tinggi kebebasan beragama.
SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang
dikeluarkan pada tanggal 13 September 1969 ini dijadikan dasar untuk menutup
gereja-gereja yang didirikan tanpa ijin. Diakui, banyak gereja yang berdiri
tanpa memiliki ijin karena mengurus ijin pendirian rumah ibadah umat Kristen
ini sangat sulit, ironisnya tindakan anarkis dalam aksi-aksi penutupan bahkan
perusakan rumah ibadah, secara khusus gereja seakan mendapatkan legitimasi dari
SKB tersebut.
Dilihat dari perundang-undangan yang ada di Indonesia,
sebenarnya SKB 2 Menteri tersebut tidak mempunyai pijakan yang kuat. Dalam
peraturan perundang-undangan RI dikenal ada 4 tingkatan, yang pertama adalah
UUD 1945, kedua Ketetapam MPR (Tap MPR), ketiga undang-undang, kemudian
peraturan pelaksanaan undang-undang seperti peraturan pemerintah, keputusan
presiden.
Dari hierarkhi hukum yang ada di Indonesia, seharusnya SKB 2 Menteri tahun 1969
gugur demi hukum. Tetapi herannya hal tersebut tetap menjadi perdebatan umum.
Dan ada saja yang tetap beranggapan bahwa SKB tersebut merupakan niat baik
pemerintah, dan menganggap suatu hal yang biasa jika terjadi tindakan anarkis
merusak gereja dan menghalangi umat melaksanakan ibadah.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena memang pemahaman hukum yang ada dalam
masyarakat Indonesia masih amat sangat terbatas.
Fakta pemahaman hukum rakyat Indonesia yang masih rendah
nyata dengan penafsiran yang salah dari SKB tersebut. Pernyataan pasal 4 ayat 3
dari SKB sebenarnya hanya berbunyi, “Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau
pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat organisasi-oraganisasi
keagamaan dan ulama/rokhaniwan setempat”, Kalimat “dianggap perlu”, yang hanya
merupakan anjuran, bukan merupakan kewajiban, ditafsirkan oleh pihak-pihak yang
tidak senang dengan tempat peribadatan agama lain menjadi suatu kewajiban.
Apabila negara mengakui bahwa kebebasan beragama merupakan suatu hak yang
paling asasi, tidak perlu ada larangan penutupan rumah ibadah selama pengurusan
ijin sedang berlangsung.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah
politisasi agama yang menghambat transformasi Pancasila yang terus terjadi
dalam sejarah Indonesia. Agama telah menjadi kuda tunggangan yang paling
menjanjikan untuk dapat mencapai kedudukan dalam pemerintahan di Indonesia. Di
sini benarlah apa yang dikatakan oleh Viktor Silaen mengutip pandangan Paul
Scholten, seorang profesor ilmu hukum di Universitas Amsterdam yang mengatakan:
“Ilmu hukum menjadi tidak bermakna di kala aturan-aturan yang dibentuk oleh
para pembentuk aturan itu murni berasal dari kesewenang-wenangan atau
sekehendak hati pembentuk aturan itu sendiri.”
Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukumdari setiap sumber hukum yang ada di
Indonesia, menjadi tidak berfungsi didalam tangan kekuasan yang despotis,
secara khusus pada era orde baru, era dimana pelanggaran kebebasan beragama
terjadi dengan sangat memprihatinkan, dimana Indonesia menjadi juara daalam
pembakaran dan pengrusakan gereja.
Wajah Indonesia yang penuh carut-marut pelanggaran
kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dari sikap pemerintah yang tidak
konsisten berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan sumber hukum
dari setiap hukum di Indonesia. Pemerintah bahkan membiarkan setiap
keputusan-keputusan yang melawan Pancasila dan UUD 1945, asalkan tetap dapat
mengamankan kekuasaannya. Demikian juga sikap tidak peduli sebagian rakyat
Indonesia, termasuk juga kelompok-kelompok agama yang ada untuk dapat memahami
aturan perundang-undangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadikan
Indonesia sebagai negara yang penuh dengan konflik.
Pada jaman Presiden Soekarno, negara tidak konsisten
berpegang kepada konsensus bersama dengan mengijinkan lahirnya kementerian
agama yang ditentang oleh banyak orang yang mencintai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) seperti Latuharhary. Sebab dengan adanya lembaga yang
mengurusi masalah kepercayaan itu, mengakibatkan terjadinya diskriminasi
terhadap agama-agama yang ada di Indonesia. Ketidakkonsitenan pemerintah yang
memberikan kementerian agama sebagai konsesi atas tidak dimasukkannya tujuh
kata yang ada dalam Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan
sesuatu yang tidak berdasar, kecuali semangat untuk tetap berkuasa.
Demikian juga Orde Baru yang melakukan hal serupa,
bahkan lebih jauh lagi yaitu memakai Pancasila sebagai alat legitimasi
kekuasaan. Konsesi-konsesi yang diberikan pemerintah terhadap pihak tertentu
merupakan wujud pengkhianatan terhadap konsensus nasional. Akibatnya, sebagian
pihak selalu ada yang harus dikorbankan.
Usaha untuk menafsirkan Pancasila dengan tujuan
melanggengkan kekuasaan, mengakibatkan saat ini Pancasila menjadi tidak
populer, karena Pancasila dianggap gagal membawa rakyat Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka dan bermartabat. Sebaliknya, Indonesia yang pernah dianggap
sebagai surganya agama-agama oleh Arnold Toynbee, karena Indonesia dianggap
negeri yang relatif rukun,
kini telah dinobatkan sebagai negara yang memiliki peringkat pertama dalam
perusakan rumah-rumah ibadah. Surga itu
menjadi hilang karena perbedaan tafsir Pancasila, serta adanya
politisasi agama-agama yang mengakibatkan timbulnya konflik antaragama yang
hingga kini belum juga terselesaikan.
Belum lagi sejak awal kemerdekaan lahirnya Pancasila
diwarnai proses tarik-menarik antara kelompok yang menginginkan negara
nasionalis sekuler, Islam sebagai dasar negara dan komunis. Kelompok-kelompok
yang ada selalu berusaha untuk mendapatkan akses dalam pemerintahan. Akibatnya,
hukum yang berkeadilan tidak berada di atas segala-galanya. Akhirnya
implementasi HAM menjadi pergulatan serius, yang dalam rangka meraihnya, tidak jarang harus mengorbankan
nyawa manusia.
Lahirnya undang-undang dan keputusan-keputusan
pemerintah yang tidak bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 menimbulkan
ketidakjelasan mengenai hal-hal yang mendeteil tentang pengakuan hak kebebasan
beragama. Hal ini ikut berperan terhadap tingginya pelanggaran kebebasan
beragama, terutama memasuki periode Orde Baru yang memang merupakan rezim yang
paling otoriter dalam sejarah Indonesia. Puncaknya terjadi ketika disahkan UU
No.8 Tahun 1985 yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang wajib
diterima oleh setiap lembaga yang ada di Indonesia termasuk lembaga keagamaan.
Mengenai undang-undang ini Eka menjelaskan seperti berikut:
UU No. 8/1985 sejak awal memang tidak boleh dipahami
sebagai upaya kultural. UU ini adalah murni produk politik dan mempunyai agenda
serta tujuan politik. Salahlah bila orang menafsirkan bahwa UU tersebut
mempunyai misi suci mempancasilakan seluruh kehidupan bermasyarakat, barbangsa
dan bernegara. Yang benar ialah (dan inilah yang disebut Affan Gafar sebagai
“nasionalisme budaya” itu) mengeksploitasi simbol Pancasila untuk menegaskan
kekuasaan pemerintah negara atas seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Bagi Darmaputera usaha untuk menjadikan Pancasila
sebagai asas tunggal adalah depolitisasi Islam serta deislamisasi yang adalah
usaha mengislamkan seluruh sektor kehidupan, termasuk Pancasila itu sendiri.
Pemerintah yang berkuasa menjadi agen tunggal pemberi
tafsir terhadap Pancasila, dan Pancasila menjadi alat pengesahan yang berkuasa,
walaupun isi dari Pancasila jauh dari yang dipaparkan oleh bapak-bapak pendiri
Indonesia. Penolakan yang timbul ditepis dengan kekuatan senjata sang penguasa.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa transformasi
Pancasila kedalam hukum dan perundang-undangan merupakan sesuatu yang sangat
berkaitan erat bagi terciptanya hukum yang sesuai dengan Pancsila dan UUD 1945.
Demikian juga sosialisasi aturan-aturan yang ada haruslah merupakan sesuatu
yang terus dikerjakan, karena pengakuan penerimaan hak kebebasan beragama dalam
bentuk yang kurang jelas paling tidak ikut memberikan andil terjadinya konflik
antarumat beragama.
Peristiwa pembakaran Yayasan Doulos tanggal 15 Desember
yang menelan korban jiwa dan korban luka-luka yang tidak sedikit, merupakan
gambaran bahwa hak kebebasan beragama telah ditelantarkan. Pembakaran yang
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dan trauma yang cukup panjang dari
orang-orang yang terluka parah sampai saat ini tidak pernah tersentuh tangan
aparat kepolisian. Tindakan kekerasan atas nama agama seakan mendapat
legitimasi pemerintah.
Dalam perspektif kristiani, implementasi HAM terikat
dengan keadilan, sehingga usaha untuk menegakkan hukum-hukum yang adil
merupakan perjuangan untuk adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Kenyataan Indonesia sebagai negeri yang sarat dengan pelanggaran hak-hak asasi
manusia mengindikasikan bahwa ada hukum-hukum yang tidak adil, karena keadilan
belum menjadi tekanan utama dalam pembuatan undang-undang. Adanya tarik-menarik
untuk mendapatkan akses dalam pemerintahan, menciptakan hukum hanya cocok untuk
kalangan tertentu. Kenyataan ini
merupakan perlawanan terhadap martabat manusia yang pada hakekatnya sederajat.
Demikian juga dari sudut pandang kristiani, semua usaha
untuk memberikan pemikiran terhadap Pancasila harus merupakan suatu perjuangan
untuk memberikan keadilan bersama. Umat Kristen tidak boleh berjuang hanya
untuk kepentingan Kristen. Perjuangan untuk mengakkan kedilan harus dinikmati
oleh setiap manusia yang adalah ciptaan Tuhan.
Berkaitan dengan tafsir terhadap Pancasila secara khusus
yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama, seharusnya usaha untuk memberikan
keadilan bersama menjadi tekanan dalam usaha memberikan tafsir tersebut,
sehingga Pancasila tetap menjadi sesuatu yang menyatukan bangsa Indonesia tanpa
diskriminasi agama, karena ia memang berisi nilai-nilai yang berkeadilan yang
dapat diterima oleh semua kelompok.
Hak kebebasan beragama di Indonesia dinyatakan dengan
tegas dalam konstitusi negara, artinya bahwa negara memang mengakui bahwa hak
kebebasan beragama merupakan hak manusia yang paling asasi.
Pengakuan Pancasila bahwa hak kebebasan
beragama adalah hak setiap individu yang paling asasi, sesuai dengan iman
Kristen.
Allah memberi
kebebasan kepada manusia ciptaan-Nya itu untuk menyembah atau tidak
menyembah-Nya. Kebebasan yang diberikan Allah ini adalah kebebasan yang tidak
tanapa batas. Artinya pada waktu kebebasan manusia dilakukan tanpa mentaati
Allah, maka manusia akan kehilangan kebebasannya (lihat Bab II).
Meski demikian,
bukan berarti manusia dapat menempatkan diri sama dengan Allah, yaitu menjadi
hakim atas penyembahan yang benar dan yang tidak benar. Penyembahan kepada
Allah adalah kedaulatan hati nurani, dan berasal dari Allah, sehingga tidak
boleh ada seorangpun manusia yang berhak untuk membatasi hak kebebasan
beragama.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pandangan iman
kristiani mengenai kebebasan beragama. Bagi umat Kristen hak kebebasan hati
nurani yang menjadi dasar kebebasan untuk memilih agama apa yang harus
dianut seseorang berasal dari Allah dan dalam hati nuraninya manusia adalah
raja. Dalam bagian ini tidak ada yang boleh menempatkan manusia sebagai raja
atas sesamanya, kecuali Allah sendiri. Dan Allah tidak pernah memberikan hak
penghakiman tersebut kepada manusia.
Menurut pandangan
iman kristiani kebebasan beargama sebagaimana dinyatakan dalam Pancasila dan
UUD 1945 merupakan sesuatu yang harus diterima. Kebebasan beragama merupakan
hak setiap individu. Allah memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk
menyembah-Nya atau tidak Namun kebebasan yang Allah berikan bukan tanpa akibat.
Pada waktu manusia memilih untuk tidal menyembah Allah maka ia akan kehilangan
kebebasannya. Manusia adalah ciptaan Allah, manusia harus bergantung pada
penciptanya, karena ia terbatas. Pada waktu manusia yang terbatas melaksanakan
kebebasannya tanpa bergantung pada Allah, maka ia akan kehilangan kebebasannya
Menurut pandangan iman kristiani, semua manusia beragama, karena
hidup itu sendiri adalah agama. Allah yang memberikan/menanamkan kebenarannya
kepada setiap manusia secara umum (sensus divinitatis) membuat manusia selalu
ingin mencari Tuhan. Namun pencarian manusia akan Tuhan secara bersamaan
merupakan pelarian manusia dari Allah. Manusia tidak mampu mengenal Allah dengan
panca inderanya. Hanya orang-orang yang ditanamkan benih iman oleh Allah yang
akan memberika respons terhadap berita Injil. Jadi walaupun tidak semua orang
menemukan Tuhan yang benar, tetapi semua orang beragama. Karena agama merupakan
rumusan manusia tentang Tuhan (ciptaan Tuhan) walaupun itu belum tentu benar.
Namun semua orang adalah beragama.
Dalam konteks
Indonesia, penentuan bahwa agama resmi hanya enam (Islam, Kristen, Katolik,
Budha, Hindu, Konghucu) merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Semua manusia
pasti beragama, karena itu penolakan terhdap agama resmi negara tidak berarti
bahwa seseorang hidup tanpa agama. Tidak seorangpun hidup tanpa agama. Karena
itu agama-agama suku dan aliran kepoercayaan harus diakui keberadaannya
sebagaimana agama-agama resmi negara.
Demikian juga
dengan bidat. Bagi Luther kebebasan beragama berarti juga kebebasan seorang
Kristen untuk menafsirkan Alkitab sesuai dengan keinginannya. Penafsiran yang
dianggap salah oleh kelompok tertentu tidak menjadi alasan pelarangan kelompok
agama yang ada. Selama tindakan para penganut bidat tidak melanggar hukum dan
perundang-undangan negara, serta ketertiban umum, keberadaannya harus dihargai.
Gereja tidak boleh melarang kebebasan penganut bidat, demikian juga bidat-bidat
di luar kekristenan.
Dalam sejarah
gereja memang pernah terjadi penganiayaan terhadap bidat (lihat bab II), namun
itu merupakan reaksi terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap orang
Kristen. Tindakan kekerasan orang Kristen terhadap penganut bidat tidaklah
berdasarkan ajaran Alkitab, karena itu tindakan tersebut tidak boleh dilakukan
oleh orang Kristen. Sehingga sikap Gereja terhadap bidat-bidat Kristen seperti
saksi Yehuwa atau bidat-bidat lainnya tidak boleh bersikap menghambat kebebasan
bergama. Demikian juga bidat-bidat lain di luar kekristenan harus mendapatkan
jaminan perlindungan yang sama. Karena hak kebebasan beragama berasal dari
Tuhan.
Orang Kristen
setuju bahwa aplikasi HAM harus berdasarkan keadilan, karena itu undang-undang
kebebasan beragama haruslah memenuhi syarat keadilan. Tindakan diskriminasi
terhadap agama tertentu merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai yang
berkeadilan.
Undang-undang
tentang kebebasan beragama yang tidak memenuhi syarat keadilan seharusnya
dicabut. Apalagi jika nyata-nyata undang-undang tersebut bersifat tidak
produktif dan bertentangan dengan Pancasila yang berisi nilai-nilai universal
yang berkeadilan.
D. Pengabaian Hak Individu dalam Masyarakat Komunal.
Semua individu/pribadi diciptakan merdeka oleh Tuhan,
dan tidak seorang pun boleh merampas hak individu tersebut dengan dalih apa
pun. Hak tersebut dimiliki setiap orang, karena ia diciptakan sebagai manusia.
Individu-individu ini membentuk komunitas sosial berdasarkan kerelaannya, dan
karena itu haknya tidak pernah hilang walaupun ia berada dalam komunitas apa
pun. Secara internasional Hak-hak individu ini dijaga oleh Deklarasi Universal
HAM. Namun, Deklarasi Universal HAM yang menghormati hak-hak individu tersebut
dianggap merupakan karya Barat,
sehingga timbul kecurigaan. Bagaimana mungkin Barat yang terkenal dengan
kekejamannya sebagai negara penjajah yang tidak pernah menghargai HAM, sekarang
berbalik memperjuangkan HAM?
Selain itu Barat identik dengan individualisme yang
melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme. Karena itu, negara yang
pernah dijajah seperti Indonesia, pada awal kemerdekaan menolak HAM yang
dianggap buah karya manusia indivualisme yang harus dijauhkan.
Penolakan terhadap hak-hak individu dalam HAM di
Indonesia bermula dari kesalahpahaman atas individualisme yang menjadi momok
bagi Soekarno, di mana HAM dianggapnya produk Barat, sehingga hak-hak individu
diabaikan dan keutuhan kelompok menjadi hal yang utama. Apalagi memang pada
waktu itu Indonesia membutuhkan persatuan untuk tetap dapat mempertahankan
kemerdekaan. Penerimaan terhadap hak-hak individu dikhawatirkan akan membuat
negara tidak mempunyai kekuatan dalam menghadapi agresi Belanda. Sayangnya,
Soekarno lupa bahwa pengabaian hak-hak individu ini akan membuat negara mempunyai
kekuasaan tanpa batas. Dengan dalih untuk mempertahankan keutuhan bangsa, maka
negara akan mengabaikan hak individu yang tak pernah hilang walaupun ia menyatu
dalam komunitas yang namanya negara.
Walaupun Pancasila mengakui HAM dan juga hak kebebasan
beragama, tetapi pada awalnya Soekarno tidak menyetujui dimasukkannya HAM dalam
UUD 1945, karena bagi Soekarno, HAM merupakan gagasan yang bersumber pada
individualisme, yang melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme.
Sehingga segala sesuatu yang menyangkut individualisme harus dibuang.
Penolakan Soekarno terhadap segala sesuatu yang berbau
individualisme ini juga menutup kemungkinan pengembangan konstitusional dalam
perumusan UUD 1945. Tahun 1968, pada awal Orde Baru, MPR memang telah membentuk
suatu panitia yang khusus menyusun sebuah konsep HAM, namun tidak pernah
disahkan. Baru tahun 1978 rumusan mengenai sila kemanusiaan yang adil dan
beradab dinyatakan dalam rumusan yang jelas seperti berikut:
Manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Mahaesa, yang sama derajat, yang sama hak dan
kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebaginya. Karena
itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan
“tepa salira”.
Perjalanan panjang pengakuan HAM yang bersifat universal menyebabkan
kebingungan bagi banyak orang di Indonesia, sehingga tidaklah mengherankan
pengakuan hukum yang sangat lemah, seperti SKB 2 Menteri dapat menimbulkan
konflik yang sangat parah. Salah satu bukti, ribuan gereja di Indonesia hancur.
Dan penghancuran itu mendapat pengesahan dari peraturan yang ada, kalau boleh
dikatakan demikian, karena faktanya para pelaku perusakan tempat ibadah tidak
pernah tertangkap.
Penolakan terhadap segala sesuatu yang ada dalam kemas
individualisme secara ekstrem sebenarnya tidak ada gunanya. Karena jika dengan
bijak dipilah-pilah akan banyak keuntungan yang didapat. Mengenai kontroversi
tersebut Gunawan Setiardja menjelaskan sebagai berikut:
Individualisme yang
disebut-sebut oleh Soekarno adalah individualisme yang ekstrem, yang negatif.
Individualisme yang ekstrem memisahkan orang dari masyarakat sama sekali.
Individualisme ekstrem inilah yang
melahirkan liberalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Ada individualisme lain,
yang positif, yang dapat saja kita terima dan tidak bertentangan dengan sila II
kita, kemanusiaan yang adil dan beradab. Individualisme yang positif menghargai
manusia sebagai makhluk pribadi. Yang melepaskan manusia dari kungkungan
kolektif. Yang memberi kesempatan kepada manusia untuk dapat mengembangkan diri
menjadi manusia yang utuh, menjadi manusia yang berkepribadian. Atau dengan
istilahnya sekarang menjadi manusia yang berkualitas.
Penolakan Soekarno secara ekstrem terhadap
individualisme, mengakibatkan hak-hak individu dalam negara Pancasila sering
kali ditentukan oleh kelompok atau komunitas di mana ia berada. Padahal hak
individu bukanlah pemberian kelompok. Jadi, dalam komunitas apa pun manusia
berada, ia tetap mempunyai hak-hak yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun,
termasuk juga kelompok atau negara di mana ia berada.
Pengakuan bahwa Indonesia adalah bangsa komunal yang
bukan individualis, tidak berarti boleh menghapuskan hak individu. Pemahaman
yang salah tentang hal tersebut, mengakibatkan tidak jarang individu-individu
di Indonesia merasa terancam ketika individu tersebut harus berbeda dari
kelompoknya. Tidak heran perpindahan agama dari seorang individu dalam
komunitas yang homogen membuat individu tersebut terancam. Karena perbedaan
individu dengan kelompoknya dianggap uasaha untuk menghacurkan kelompok yang
ada, sehingga tidak heran individu tersebut harus diperangi oleh kelompok di
mana ia ada.
Penolakan hak
individu ini pada masa Soeharto menciptakan lahan yang subur bagi pembangunan
rezim yang sangat despotis. Mengenai hal ini Ignas Kleden menjelaskan demikian:
Nilai individualisme yang sering dianggap sebagai sikap
yang mengutamakan kepentingan sendiri, dalam praktek justru membuat orang
bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam praktek justru membuat orang
bertanggung jawab terhadap diri sendiri, menghormati hak-hak dan privasi orang
lain, dan tidak mau membebani orang lain dengan persoalan dan kesulitan
sendiri. Sebaliknya, kolektivisme dan kekeluargaan yang didukung oleh
patriarkhi yang otoritarian dan dipuja-puja oleh rezim Soeharto, dalam
prakteknya justru berkembang menjadi suatu egosentrisme kolektif yang hanya memperhatikan
suatu kelompok terbatas (seperti keluarga atau kroni-kroni sendiri) dan membuat
orang tak acuh terhadap mereka yang berada di luar lingkungan tersebut.
Pada masa Soeharto, diskriminasi terhadap individu dan
kelompok dikemas dengan dalih untuk kepentingan bersama. Jadi, hak-hak
komunitas dapat mengabaikan hak-hak individu. Dan yang muncul justru
ketidakadilan. Jelaslah, mengabaikan hak-hak individu akan menimbulkan luka
yang suatu saat menimbulkan perlawanan baru, ketika individu-individu yang sama
mengalami luka tersebut bergabung untuk melawan kelompok yang
mengesampingkannya. Itulah yang terjadi dalam tumbangnya kekuasaan Soeharto.
Pemerintah tidak boleh menolak pengakuan HAM yang
bersifat internasional dengan menyatakan bahwa HAM yang berdasarkan Pancasila
berbeda dari HAM internasional. Karena HAM internasional dipengaruhi pandangan
Barat, sedang HAM menurut Pancasila didasarkan atas kehidupan komunal
masyarakat Indonesia. Pengakuan Indonesia sebagai anggota PBB seharusnya
menyadarkan bahwa HAM bersifat universal.
Penolakan terhadap HAM karena ia adalah produk Barat
tidak mempunyai alasan yang jelas, karena bukankah di Indonesia ini banyak
produk-produk Barat yang digunakan namun tidak ada yang mempermasalahkannya?
Karena tidak semua yang berbau Barat pasti tidak baik, apalagi Deklarasi
Universal HAM dapat disebut sebagai Magna Charta (Piagam Mulia), yang adalah
suara dari miliaran manusia yang ada di Bumi ini.
Memang dapat dipahami bahwa usaha mengimplementasikan
HAM dalam hal ini kebebasan beragama dalam komunitas sosial yang sangat
heterogen merupakan sesuatu yang tidak mudah, apalagi ketika komunitas, atau
kelompok-kelompok tertentu berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan
eksistensinya, dalam dunia agama terjadilah politisasi agama.
Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa kurangnya
pengakuan terhadap hak individu dalam masyarakat komunitarian di Indonesia
menyebabkan banyak pelanggaran kebebasan beragama terjadi. Penghormatan hak-hak
individu tidak harus ditakuti sebagai kehancuran masyarakat komunal. Sebaliknya
usaha untuk menjaga masyarkat yang komunal tidak boleh menghapuskan hak-hal
individu. Karena itu, deklarasi HAM yang mengakui hak-hak individu tidak boleh
ditolak, karena penolakannya berarti juga membangun HAM yang bersifat relatif.
Dan pada dasarnya tidak ada HAM yang bersifat relatif, walaupun dengan dalih
menurut pandangan agama tertentu.
Mengenai pemahaman HAM yang harus bersifat
universal, B.S. Mardiatmaja mengatakan
seperti berikut:
Saya merasa jengah membicarakan hak asasi manusia
menurut agama tertentu. Sebab HAM adalah suatu bahan pembicaraan yang sangat
unggul dan sekarang ini praktis merupakan satu-satunya bidang yang
mempersatukan bangsa kita. Kita tahu bahwa dokumen “Hak Asasi Manusia”
dimaklumkan secara resmi sebagai ungkapan persatuan seluruh bangsa manusia pada
tanggal 10 Desember 1948. Sejak itu, setiap negara yang ingin bergabung dengan
PBB harus memperhitungkan, bahwa tindakannya secara internasional diukur antara
lain dari pelaksanaan HAM. Namun sesungguhnya
maksud utama pemakluman HAM, adalah untuk, antara lain, mengatasi perbedaan
antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. Jadi, justru
kalau kita berbicara mengenai HAM, seharusnya kita membedakan pandangan yng
satu dari agama yang lain.
Dari penjelasan
di atas tampaklah bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia karena
pengabaian hak-hak individu merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan sudut
pandang Kristen. Allah menciptakan manusia/individu itu sederajat, dan Allah
juga yang menempatkan individu-individu itu dalam komunitas berdasarkan
kerelaannya. Karena itu, hak-hak individu tidak boleh diabaikan karena ia
adalah bagian dari kelompok atau komunitas tertentu.
Pengabaian hak individu demi menjaga satabilitas politi
adalah sesuatu yang tidak benar dalam sudut pandang kristiani. Setiap individu
memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Memberikan
kebebasan kepada manusia/individu karena itu adalah haknya merupakan kewajiban
negara. Hal individu tidak perlu menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena hak
tersebut harus ditempatkan pada tempatnya. Demikian juga memberikan hak yang
terlalu besar terhadap negara tidak akan membuat negara menjadi aman. Dalam
pandangan Kristen negara dibentuk setelah kejatuhan. negara dilihat dari sisi
yang negative. Artinya walaupun negara memiliki banyak kelemahan, namun ia
tetap berguna. Dan untuk menutupi kelemahan negara maka negara tidak boleh
tidak tanpa batas. Jadi mencurigai kedaulatan individu tidak boleh melepaskan
kecurigaan pada negara. Melepaskan kecurigaan kepada negara akan membuat negara
menjadi otoriter.
Hak-hak individu ini tetap melekat pada indivu tersebut
dan tak boleh dicabut oleh siapa pun. Penegakan HAM yang mengabaikan hak-hak
individu, secara bersamaan merupakan penyangkalan atas HAM itu sendiri, karena
HAM itu bersifat individu, dan hak itu bersumber dari Allah. Karena HAM
bersumber dari Tuhan maka ia tidak bisa
tidak mesti universal. Dan implementasi HAM hanya mungkin ada dalam hukum-hukum
yang adil, karena keadilan sejatinya tidak mengandung diskriminasi, maka
keadilan yang terabaikan mengakibatkan hak-hak kebebasan beragama juga
terabaikan. Itulah yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
- Hubungan Agama dan negara.
Hubungan negara dan agama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia
merupakan sesuatu yang terus mengalami perdebatan. Sejak awal kemerdekaan ada
dua kekuatan yang terus saling berusaha untuk menancapkan taring kekuasaannya
atas negara. Yang pertama adalah kelompok yang menginginkan adanya pemisahan
total antara agama dan negara, yang akan melahirkan negara sekuler yang anti
agama. Yang kedua, dominasi agama terhadap negara, yang menjadikan nilai-nilai
agama tertentu sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara. Untuk menghindari benturan
keduanya maka Pancasila menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama,
karena tidak ada satu agama pun yang boleh mendominasi negara. Namun, Indonesia
juga bukan negara sekuler, karena pendiri Indonesia adalah orang-orang yang
beragama dan menghimbau semua rakyat Indonesia supaya beragama. Pernyataan
negara Indonesia bukan negara sekuler juga ditegaskan dalam sila pertama dari
Pancasila, yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan.
Penolakan terhadap negara sekuler juga tidak berarti
bahwa Indonesia bisa dibangun di atas dasar agama tertentu, karena agama-agama
lain di luar Islam tentu saja tidak dapat menerimanya.
Usaha untuk menggantikan Pancasila dengan mendirikan
negara Islam telah terjadi berulang kali dan usaha-usaha tersebut selalu
mengalami kegagalan. Mengenai Islam yang tidak pernah berhasil mempersatukan
Indononesia Eka mengutip Simatupang sebagai berikut:
Tidak pernah ada sebuah kerajaan Islam
yang mempersatukan seluruh Indonesia di bawah kekuasaannya. Ada wilayah-wilayah
yang tak pernah dicapai oleh Islam, dan di beberapa wilayah Indonesia Lapisan
pra-Islam tetap mempunyai pengaruh yang besar. Ketika Majapahit sedang mundur
dan Islam belum berhasil mencapai seluruh Indonesia, ketika itulah pengaruh
Barat diperkenalkan. Bersamaan dengan itu, kekristenan meluas dan menjadi agama
dari wilayah-wilayah yang belum dapat dicapai sebelumnya oleh pengaruh-pengaruh
kultural dan religius baik India maupun Islam.
Indonesia pantas disebut sebagai bukan negara sekuler
karena rakyat yakin bahwa kemerdekaan yang diperoleh 17 Agustus 195 semata-mata
karunia Tuhan. Namun Indonesia juga bukan negara agama, karena agama Islam yang
terbesar sekalipun tidak pernah menyatukan Indonesia, sehingga tidak mungkin
menempatkan Indonesia sebagai negara Islam.
Pemahaman Indonesia sebagai bukan negara agama dan bukan
negara sekuler telah diakui sejak lama. Namun dalam perjalanan sejarah, usaha
untuk menjadikan Indonesia negara sekuler dan negara agama terus berlangsung.
Munculnya partai-partai agama di Indonesia secara tidak langsung juga merupakan
usaha untuk menggantikan ideologi negara. Memang partai-partai agama tersebut
ada yang menyatakan diri berasaskan Pancasila. Meski demikian, kerinduan untuk
mendirikan partai-partai yang bernafaskan keagamaan lebih didorong oleh
semangat agama untuk menguasai negara. Hal ini terlihat bahwa partai-partai
keagamaan tersebut lebih memperjuangkan kelompok agama tertentu serta
mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Akibatnya timbulah perlawanan dari
pihak-pihak yang merasa dikesampingkan.
Salah satu perjuangan partai keagamaan yang nyata-nyata
berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai kelompok agama tertentu adalah Partai
Masyumi. Mengenai hal ini Affan Gaffar mengatakan:
Masyumi merupakan partai politik terbesar yang terlihat
dalam pemilihan umum 1955 dengan memperoleh suara terbanyak, akan tetapi tidak
berhasil membentuk koalisi yang menghasilkan pemerintahan yang kuat sehingga
agenda-agenda politik tidak dapat dijalankan, di samping persoalan internal
dalam tubuh partai itu sendiri. Sebagai partai Islam yang besar, Masyumi
mencoba memperjuangkan agar Islam merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam
kehidupan bernegara di Indonesia melalui forum konstituante. Akan tetapi
Masyumi mendapat tantangan yang sangat kuat dari kalangan nasionalis, komunis,
serta Kristen/Katolik.
Pengalaman Partai Masyumi sebagai partai yang bernapaskan keagamaan
dengan meraih suara terbesar, paling tidak memberikan gairah bagi tumbuhnya
partai-partai keagamaan untuk mendapatkan suara dalam pemilu untuk mendapatkan
kekuasaan. Sayangnya, pengalaman Masyumi sebagai partai yang pernah meraih
suara terbanyak namun tidak berhasil melakukan penetrasi nilai-nilai Islam
untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara, tidak pernah dijadikan pelajaran
berharga oleh semua kelompok agama yang ada di Indonesia. Sehingga motivasi
pendirian partai-partai yang bernapaskan keagamaan tetap sama hingga saat ini.
Hal itu terlihat jelas dalam janji-janji kampanye yang diberikan.
Usaha tokoh-tokoh agama untuk memecahkan masalah etika
politik yang melanda Indonesia dengan mendirikan partai-partai agama bisa saja
didasarkan pada niat suci. Namun usaha tersebut tidak perlu ditunggangi oleh
keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Ideologisasi agama
jenis ini bisa jadi akan menghantam balik agama-agama yang pada dasarnya
memiliki niat suci tadi, jika nilai-nilai agama yang dipenetrasikannya justru
tidak dapat membawa Indonesia pada kehidupan yang lebih baik. Kondisi ini akan
membuat agama-agama kehilangan justifikasi moralnya.
Kenyataan di Indonesia saat ini tampak bahwa negara dan
agama saling bersaing. Agama tidak lagi menjadi partner yang baik bagi
negara, begitu sebaliknya Hal ini
terjadi karena memang agama-agama sering kali mengalami pemasungan dari
pemerintah yang berusaha untuk memanfaatkannya demi kepentingan untuk
mempertahankan kekuasaan. Namun pemerintah yang demikian bukanlah pemerintah
yang dicita-citakan Pancasila, atau cita-cita seluruh rakyat Indonesia, sebab
pemerintah yang ada, dalam arti oknum/individu tersebut telah berusaha menyelewengkan kekuasaan yang
berada di tangannya. Kesalahan ada pada oknum atau individu yang melakukan
penyelewengan., namun negara sebagai institusi tidak bersalah. Oknum
penyelenggara negaralah yang salah dan menggunakan kekuasaan yang diberikan
oleh rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Karena itu negara yang berdasarkan Pancasila tidak
bersalah. Dan agama-agama tidak perlu berusaha untuk menggantikan negara
sebagai institusi. Seharusnya agama-agama mendudukkan pemimpin-pemimpin dalam
pemerintahan berdasarkan pada kerinduan pemimpin tersebut menjalankan tugasnya
dengan adil dan bertanggung jawab sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang
adalah dasar bagi keadilan bersama.
Agama-agama seharusnya tidak perlu takut terhadap negara
yang tidak memberikan perlakuan khusus untuk dapat berkembang lebih baik
dibandingkan dengan agama-agama lain, karena memang perlakuan khusus adalah
sesuatu yang tidak boleh terjadi. Negara
tidak wajib menjaga keutuhan suatu komunitas yang ada, karena dasar bagi
setiap individu untuk masuk dalam komunitas tersebut adalah kerelaan setiap
individu. Maka apabila komunitas agama mengalami kemerosotan, dalam arti jumlah
pengikutnya berkurang, kondisi tersebut tidak harus menimbulkan perasaan bahwa
agama yang bersangkutan telah menerima ketidakadilan. Sebaliknya agama-agama
dapat belajar mengapa kondisi tersebut
terjadi. Apalagi, kebenaran suatu agama tidak didasarkan pada banyak
atau sedikitnya pengikut. Yang diperjuangkan agama-agama mestinya adalah
nilai-nilai keadilan dan kebenaran, bukan berapa banyak orang yang menjadi
umatnya.
Karena perjuangan
tokoh-tokoh agama adalah nilai-nilai moral, maka cukuplah jika nilai-nilai
keadilan dan kebenaran tersebut mendapat tempat dalam dunia di mana ia berada,
tanpa perlu berharap menikmati kekuasaan, yang justru akan membawanya lari dari
panggilan suci.
Pemisahan antara negara dan agama merupakan gambaran
hubungan antara negara dan agama dalam negara RI. Pernyataan bahwa negara
Indonesia memisahkan antara negara dan agama merupakan keputusan yang diambil
“founding father” Indonesia.
Islam bukanlah agama yang dianut oleh seluruh daerah di
Indonesia, walaupun Islam adalah agama terbesar di Indonesia. Adanya
daearah-daearah yang mayoritas pemeluk agamanya bukan Islam, membuat Islam
tidak mungkin, menjadi agama negara. Jadi disamping Pancasila memisahkan agama
dari negara, Pancasila juga mengakui bahwa tidak ada satu agamapun yang dapat
di jadikan agama negara, yang akhirnya agama bisa meguasai negara.
Pemisahan antara agama dan negara dalam NKRI juga
berarti bahwa negara dan agama di akui memiliki kodrat yang berbeda sehingga
negara tidak boleh mencampuri urusan negara dan agama tidak boleh menguasai
negara.
Dalam kaitan antara negara dan agama Indah putrid
Indriani mengutip A. Busch membedakan bentuk negara kedalam empat model:
- Negara Ateis Ekstrem. Dasar negara
ini tidak percaya pada keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Sikap terhadap
agama teoritis diakui kebebasannya, tetapi tidak diperbolehkan adanya
propaganda secara resmi menyebarkan agama. Dengan kata lain, kebebasan
suatu agama dibatasi. Contohnya negara Komunis. 2. negara Ateis
Sekularistik. Bentuk negara ini berdasarkan ketuhanan dan tidak
berdasarkan agama. Sikap terhadap agama praktis diakui kebebasnnya dan
mengakui pula kebebasan warga negaranya dalam memeluk atau tidak memeluk
suatu agama, dan bebas dalam pelaksanaannya. Contohnya negara Liberal. 3.
Negara Theis Demokratis. negara ini berdasarkan ketuhanan, tetapi tidak berdasrkan
agama. Sikapnya terhadap agama melindungi dab menjamin agama-agama yang
diberi kesempatan yang sama. Negara tidak diatur oleh syariat agama
manapun. Contohnya negara Pancasila. 4. Negara Teis Teokratis/negara
Agama. negara berdasarkan ketuhanan menurut agama tertentu. negara ikut
mengatur urusan agama dan mewajibkan warganegarnya untuk melaksanakannya.
Sebaliknya negara di atur oleh syariat agama tersebut. Contohnya negara
Vatikan.
Berdasarkan penjelasan Busch di atas nampak bahwa
Indonesia adalah negara Theis Demokratis. Negara yang berdasarkan ketuhanan,
sebagaimana dijelaskan dalam sila pertama dari Pancasila. Dan negara melindungi
agama-agama yang ada serta memberikan kesempatan yang sama.
Hubungan antara agama dan negara di Indonesia nampak
telah dirumuskan dengan jelas. Ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan
negara sekuler yang unik bukan merupakan penyimpangan dari Pancasila. Namun
adanya harapan lain di luar Pancasila mengakibatkan hubungan antar agama dan
negara tersebut menjadi kabur.
Pelarangan penyiaran agama yang terjadi di Indonesia
hanya terjadi dalam negara-negara yang menganut model Ateis Ekstrem. Karena itu
pelarangan penyiaran agama bukan merupakan jiwa dari Pancasila. Demikian juga
usaha untuk melakukan penetrasi nilai-nilai agama yang eksklusif kedalam
isnstitusi untuk menjadikan syariah sebagai UUD negara, merupakan usaha
menjadikan Indonesia negara Theis Theokratis/negara agama.
Usaha untuk memasukkan Piagam Jakarta kedalam UUD negara
yang dilakukan Islam formalis (lihat bab I) merupakan usaha menjadikan
Indonesia negara agama. Demikian juga usaha menumbangkan NKRI melalui
pemberontakan PKI merupakan usaha untuk menggantikan Indonesia menjadi negara
yang Atheis ekstrem. Kedua usaha merubah bentuk negara seperti yang dilakukan
DI dan Komunis merupakan perlawanan terhadap negara.
Setelah kegagalan merubah bentuk negara dengan cara
kekerasan, pada fase selanjutnya usaha untuk merubah bentuk negara Indonesia
dilakukan dengan penetrasi nilai-nilai agama, dan kelompok kedalam Pancasila.
Usaha ini terus dilakukan oleh Islam formalis yang menerima Pancasila karena
tidak mampu memaksakan kehendaknya untuk menguasai negara. Ketidakmampuan Islam
formalis menguasai negara karena jumlah mereka sebenarnya hanya sedikit (lihat
bab I). Demikian juga dengan kelompok Komunis, usaha menjadikan Pancasila
sebagai NASAKOM merupakan bukti bahwa penetrasi nilai-nilai agama dan kelompok
yang eksklusif terus berlanjut.
Ketekunan Islam formalis untuk menjadikan Indonesia
negara agama setelah penolakan Piagan Jakarta, membuahkan harapan baru setelah
dibentuknya Kementrian agama pada tanggal 3 Januari 1946. Konsesi tersebut
diberikan sebagai akibat penolakan terhadap Piagam Jakarta. Disatu sisi
Departemen Agama tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama, namun usaha
untuk menjadikan Indonesia sebagi negara agama menjadi terbuka, dimana Islam
dijadikan agama resmi yang memiliki kekhususan, karena memiliki Departemen
Agama sendiri, sedang agama-agama lain tidak. Pendirian Departemen Agama memang
tidak menjadikan Islam sebagi satu-satunya agama resmi negara. Tetapi Agama
Islam memiliki kekhususan.
Pendirian Depertemen Agama juga tidak menjadikan
Indonesia negara Islam, namun hubungan antara agama dan negara di Indonesia
telah mengarah kepada hubungan negara agama, seperti di Malaysia. Bukan negara
Islam, namun Islam menjadi agama resmi. Karena itu kehadiran Kemenerian Agama
pada awalnya mendapat penolakan dari umat Kristen.Karena
dalam negara yang menetapkan agama tertentu sebagi agama resmi campur tangan
pemerintah sangat kuat yaitu dengan adanya kewajiban untuk menjalankan aturan
agama tertentu. Sebagaimana terjadi dalam negara agama.
Lahirnya kementerian agama pada tanggal 3 Januari 1946
merupakan kompromi antara kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara
sekuler dan Islam yang menginginkan Islam menjadi ideologi negara. Lahirnya
kementerian agama merupakan konsesi untuk Islam formalis yang berusaha
memasukan syariah ke dalam konstitusi.
Kementerian agama dianggap sebagi konsesi terhadaap
Islam formalis karena Agama Islam mendapat perlakuan khusus sebagai agama
resmi, berbeda dengan agama-agama resmi lainnya seperti Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Konghucu yang pada mulanya tidak memiliki kementerian agama.
Selanjutnya memang ditambahkan seksi-seksi dari agama-agama resmi lainnya, seperti Kristen,katolik, Hindu
dan Budha dalam Kementerian agama. Namun tetap merupakan diskriminasi agama,
apalagi secara struktur tidak mengalami perubahan (lihat BabI).
Pemisahan antara agama dan negara tidak berawal dari
berdirinya Kementerian Agama, karena pada mulanya Hatta dan Soekarno telah
memutuskan bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama.
Walaupun tarik menarik untuk menjadi negara sekuler dan negara agama terus
terjadi.
Bentuk negara Pancasila yang memisahkan antara agama dan
negara, namun negara memberikan perlindungan terhadap agama, serta
memperlakukan agama-agama secara sama seharusnya juga diwujudkan dalam hukum
dan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Namun pemisahan itu bukan merupakan pemisahan total, karena semua orang
Indonesia adalah orang yang beragama, maka hukum dan perundang-undangan yang
ada haruslah didasarkan agama-agama yang ada. Kementerian agama yang sarat
dengan semangat Piagam Jakarta, juga tidak menjadikan Indonesia negara Islam.
Karena memang dalam negara Islam tidak memiliki Departemen agama. Namun
departemen agama ini merupakan warisan dari jaman Belanda dan Jepang, dan
keterlibatan negara terhadap agama sangat besar. Karena itu penolakan
kementerian agama pada mulanya dibangun diatas keinginan agar negara tidak
terlibat jauh kedalam urusan agama.
Kementerian agama ini juga sarat dengan diskriminasi
karena pada awalnya adalah kementerian agama Islam, walaupun dimasukan
seksi-seksi agama-agama resmi negara. Namun perjuangannya lebih mengutamakan
pelayanan terhadap agama Islam.
Sejak berdirinya kementerian agama, kontroversi selalu
menghiasi perjalanan departemen ini. Kementerian agama yang berawal dari
Kementerian Agama Islam, dan kemudian mengalami perluasan di mana agama-agama
lain mendapatkan tempat, namun dengan struktur yang tidak pernah berubah sejak
pendiriannya, jadilah departemen agama, hingga saat ini hanya memperjuangkan
hal-hal mengenai agama Islam.
Departemen ini, karena memang pada hakikatnya masih
tetap sejak berdirinya sebagai departemen yang memperjuangkan kepentingan agama
Islam maka yang menjadi menteri selalu yang beragama Islam, dan tidak mungkin
mampu mengurus tentang hal-hal yang berkenaan dengan agama lain. Akibatnya
selalu terjadi diskriminasi agama yang timbul
melalui departemen agama. Tentang hal ini Simatupang menerangkan sebagai
berikut.
Apabila Departemen Agama itu dimaksud untuk melayani
agama-agama dalam Republik Indonesia mengapa peraturan-peraturan yang hendak
dikeluarkan dalam rangka pelayanan terhadap agama-agama itu tidak terlebih
dahulu dirundingkan dengan agama-agama? Bukankah isi dari SK-SK yang hendak
melayani agama-agama itu akan jauh lebih efektif andaikata isinya itu terlebih
dahulu setelah dimusyawarahkan secara tuntas dengan agama-agama lain. Lain
halnya itu apabila pelayanan yang hendak dijalankan melalui SK-SK itu
sebetulnya berarti pengawasan dan pembatasan yang merugikan bagi agama-agama.
Keputusan-keputusan departemen agama menurut Simatupang
sering merugikan agama-agama lain. Tetapi herannya keputusan tersebut tidak
pernah dibicarakan dahulu dengan penganut agama-agama yang ada.
Pada jaman reformasi, departemen ini hendak dibubarkan.
Namun sampai saat ini, lembaga ini tetap ada meski tidak produktif dalam
mengurusi masalah hubungan antarumat beragama. Contoh paling akhir adalah
ketidakmampuannya untuk menjaga hak-hak kaum Ahmadiyah yang sejak lama dilarang
oleh departemen ini. Demikian juga dalam hal perusakan dan
penutupan terhadap ratusan rumah ibadah, departemen ini tidak bersuara, bahkan
seakan tidak perduli.
Mengingat departemen agama memang tidak produktif, jika
ia tidak dibubarkan, departemen ini seharusnya diubah menjadi “departemen
agama-agama” yang bukan hanya menaungi agama yang disebut agama resmi, tetapi
juga aliran yang disebut bidat dan aliran kebatinan, karena pada hakikatnya
aliran kebatinan dan bidat juga agama, sebagaimana diusulkan oleh Simatupang
dengan istilah “departemen keagamaan” yang dapat diterima oleh semua pihak.
Parahnya, departemen agama ini oleh sebagian orang juga
dianggap sebagai perwujudan negara Islam Indonesia. Karena pendirian departemen
ini merupakan konsesi atas ditolaknya Piagam Jakarta, apalagi memang yang
diperjuangkan hanya kepentingan agama Islam, maka departemen ini selalu
menimbulkan kontroversi yang tidak mudah
diselesaikan.
Perubahan struktur dalam Departemen Agama menjadi
Departemen Agama Agama (Departemen
Keagamaan) di mana semua agama mendapatkan kedudukan yang sama merupakan
sesuatu yang menjadi kebutuhan untuk menghentikan terjadinya diskriminasi agama
dengan cara yang kasat mata.
Departemen Agama Agama ini dapat menampung opini
agama-agama yang ada, dan opini dari agama-agama yang ada harus sedia untuk diperdebatkan,
dalam arti menerima kritik dari berbagai pemikiran keagamaan yang ada, untuk
kemudian melahirkan nilai-nilai yang diterima oleh semua umat beragama yang
ada. Adanya Depertemen agama-agama ini dapat menjadi wadah bagi proses belajar
bagi pengenalan agama-agama, sehingga akan menimbulkan pengertian bersama, yang
sangat berguna bagi pembangunan bangsa. Kemudian tugas utama dari departemen
ini adalah menyusun undang-undang kebebasan beragama berdasarkan pasal 29 UUD
1945 yang telah lama dirindukan banyak orang di Indonesia, yaitu suatu
undang-undang kebebasan beragama yang juga telah diusulkan oleh Simatupang
sejak lampau.
Sebetulnya terdapat kevakuman yang besar dalam kehidupan
keagamaan seperti di Indonesia, yaitu belum adanya Undang-Undang Pokok Kebebasan
Beragama. Pasal 29 UUD 1945 yang begitu penting itu belum pernah dijabarkan
dalam undang-undang sehingga banyak yang diisi secara darurat dengan berbagai
SK dengan dasar hukum yang tidak selalu begitu jelas untuk menghadapi
masalah-masalah yang muncul dan harus diatur tanpa adanya UU pokok Kebebasan
Beragama.
Kerinduan
Simatupang dan juga kerinduan banyak orang Indonesia untuk adanya Undang-Undang
Kebebasan Beragama adalah wajar, karena terlalu banyak SK-SK yang bertentangan
dengan pasal 29 UUD 1945 yang dikeluarkan. Anehnya walaupun SK-SK itu bersifat
sementara namun masa berlakunya tidak pernah habis. Karena itu adanya
Undang-Undang Kebebasan Beragama paling tidak akan secara otomatis menggugurkan
peraturan-peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan kebebasan beragama.
Pemberontakan DI dan Komunis merupakan bukti bahwa
kebingungan antara hubungan antara agama dan negara membuat kelompok-kelompok
yang ada mengambil jalan pintas, yaitu menjadikan Indonesia negara sekuler atau
negara agama.
Setelah padamnya pemberontakan-pemberontakan yang ingin
membangun negara sekuler yang anti agama gagal (komunis), demikian juga
menjadikan agama menguasai negara (DI), maka konflik terjadi di dalam
pembentukan hukum dan perundang-undangan.
Kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar
negara melakukan penetrasi nilai-nila agamanya ke dalam Pancasila, tidak
perduli apakah hal tersebut akan melukai sesamanya, atau tidak.akibatnya
perundang-undangan yang tercipta banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945negara.
Politik akomodasi pemerintah yang memberikan kemudahan
kepada kelompok-kelompok agama tertentu merupakan tanda bahwa agama menguasai
negara, dimana para pemimpin negara berusaha untuk menyenangkan kelompok agama
yang ada demi memperoleh dukungan.
Pelanggaran terhadap kedaulatan agama yang dilakukan
oleh negara nampak dalam penetapan agama resmi. Negara tidak berhak menentukan
agama resmi, karena semua manusia memiliki kebebasan untuk beragama. Dan tidak
boleh seorapun dipaksa untuk memeluk keenam agama resmi yang ada.
Demikian juga pemerintah tidak boleh megadakan hambatan
kepada bidat-bidat. Selama ajaran bidat-bidat yang ada tidak mengganggu
ketertiban umum, seperti Mormon, Kristen Science, ataupun aliran Ahmadiyah dan
Darul Arqam. Pemerintah harus menghargai keberadaan bidat-bidat yang ada.
Pemisahan antara agama dan negara sebagaiman ditetapkan
oleh Founding Fathers Indonesia merupakan sesuatu yang sejalan dengan pandangan
kristiani. Demikian juga posisi Indonesia sebagai bukan negara sekuler dan
bukan negara agama merupakan sesuatu yang tepat. Namu kesulitan yang terjadi
adalah dalam hubungan natur agama dan negara belum sejelas pandangan Kristen.
Agama terpisah dari negara karena pada kodratnya negara
memang berbeda dengan gama. Wewenang keduanya berbeda. Namun negara tidak boleh
menguasai negara, demikian juga agama tidak boleh meguasai negara. Apabila
negara ingin menguasai negara atau sebaliknya negara ingin mengusai agama,
sebagaimana terjadi di Indonesia. Maka keduanya, baik agama maupun negara tidak
berjalan pada kodratnya. Akibatnya kedua-duanya tidak maksimal berkarya bagi
kemanusiaan.
Agama-agama juga tidak boleh tidak perduli dengan
tindakan salah pemerintah. negara dan agama harus memiliki hubungan koordinasi
yang memungkinkan keduanya berjalan sesuai dengan kodratnya. Pada waktu negara
tidak melakukan wewenangnya dengan tepat, atau tidak menjalankan keadilan
Allah, dalam mengusahakan kesejahteraan rakyat, maka agama harus berani
mengarahkan pemerintah untuk kembali pada kodratnya.
Indonesia dengan Pancasila-nya menyatakan diri sebagai
negara demokrasi yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Mengenai
keunikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, Simatupang menerangkan
demikian:
Negara modern yang bukan negara sekuler, bukan negara
agama, dalam arti diidentikkan dengan salah satu agama, tetapi di mana dalam
rangka Pancasila, beberapa agama mempunyai kedudukan resmi dan hidup
berdampingan bahkan memikul tanggung jawab bersama dalam upaya untuk mendirikan
suatu model yang tidak sekuler tetapi tetap menjunjung tinggi nilai moral, etik
dan spiritual. Eksperimen yang berlangsung di Indonesia ini tidak ada duanya di
negara lain dan sepanjang sejarah umat manusia, dan oleh sebab itu tidak usah
mengherankan bahwa upaya untuk menjalankan hal yang belum pernah terjadi itu,
tidak selalu mudah. Pihak-pihak yang bersangkutan sendiri yaitu
golongan-golongan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa,
kadang-kadang cenderung untuk kembali ke dalil-dalil yang mereka bawa dari
negara asalnya ke Indonesia dan menghadapi masalah-masaalah baru.
Perbedaan pandangan agama-agama yang ada tidak harus
menyangkali negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai negara yang
memisahkan agama dengan negara. Tetapi sebagaimana dijelaskan dalam bagian
terdahulu terjadi heterogenitas tafsir Pancasila yang didasarkan oleh pandangan
agama-agama. Heterogenitas tafsir tersebut juga mencakup tentang demokrasi yang
menjadi pemikiran Pancasila.
Perbedaan tafsir ini, menurut T.B. Simatupang,
disebabkan karena agama-agama yang ada belum memahami konteks di mana mereka
berada, karena agama-agama yang ada, menurutnya, masih berpijak pada tempat asal di mana agama
itu berada sebelum dibawa ke Indonesia.
Pernyataan
Indonesia sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang sebelumnya
tidak pernah ada, juga menimbulkan pergulatan antargolongan nasionalis sekuler
yang menginginkan adanya negara Indonesia yang sekuler dengan Islam politik
yang menginginkan negara berdasarkan Islam. Yang disebut terakhir ini terus
berusaha untuk memberikan pengaruh, jika mungkin ingin menggantikan Pancasila
sebagai dasar negara dan menggantikannya dengan ideologi lain. Di sini
terjadilah politisasi agama. Agama yang dalam dirinya tidak mengandung unsur
konflik menjadi sesuatu yang mudah menimbulkan konflik.
Pergulatan antarkelompok-kelompok yang ada di Indonesia
seharusnya tidak akan membawa persoalan jika kelompok-kelompok yang bergulat
tersebut menyadari bahwa Indonesia sebagai negara yang memisahkan antara agama
dan negara sebagai sesuatu yang final. Lagi pula, perjuangan semua kelompok
untuk memberikan pemikiran secara khusus antarhubungan negara dengan agama
haruslah memerhatikan heterogenitas kelompok sosial yang ada di Indonesia.
Kecintaan terhadap kelompok yang ada tidak harus mengabaikan kecintaan kepada
negara yang merupakan hasil perjuangan bersama.
Dari sudut pandang kristiani hubungan antara agama
memiliki hubungan yang jelas. Negara dan agama merupakan kodrat yang berbeda,
namun keduanya berasal dari sumber yang sama. Wewenang negara dan agama
(gereja) berasal dari Tuhan. Karena itu keduanya harus diabdikan kepada
kemanusiaan.
Mengenai hubungan antara agama dan negara dalam
Pancasila yang sesuai dengan pandangan kristiani Darmaputera seorang teolog
Kristen yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Calvin menjelaskan demikian:
Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui
otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas
yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional.
Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara
mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua
agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup
beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan
kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa),
agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan
kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara terus
menerus dan bersama-sama, artrinya, kerangka landasan moral etik dan spiritual
itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.
Agama dan negara berbeda, negara tidak boleh menguasai
negara, demikian juga agama tidak boleh menguasai negara. Agama dan negara
mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk
mengingatkan negara pabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana
kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi landasan moral, demikian juga pada
waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar
undang-undang dan keteriban umum. Maka negar wajib untuk melakukan tindakan
hukum untuk penertiban hubungn bersama antar agama dan kelompok yang ada.
Agama harus senantiasa kritis terhadap negara, karena
negara sebagai institusi yang diciptakan setelah kejatuhan memiliki kelemahan.
Negara cenderung bertindak diluar kewenangannya. Pada saat negara tidak
berjalan sesuai dengan kewenangannya, bukan saja gereja tidak harus
mentaatinya, tetapi Gereja harus memberikan kritik untuk mengembalikan negara
pada kodratnya.
Pada hakikatnya agama-agama memang harus memberikan
kritik kepada negara yang tidak lagi dapat menjalankan fungsi pemerintahannya
dengan benar. Namun agama-agama tersebut tidak boleh menguasai negara. Karena
apabila agama-agama itu menguasai negara yang terjadi adalah dominasi agama
tertentu dan menimbulkan pemerintahan yang otoriter kembali, karena agama yang
menguasai pemerintahan tidak akan dapat menerima kritik dari agama-agama yang
berbeda. Terjadilah hegemoni agama, sehingga agama-agama yang berbeda harus
mengalami diskriminasi
Dari sudut pandang Kristen, perjuangan kelompok-kelompok
seharusnya tetap berpegang pada keadilan yang telah ditetapkan pada keputusan
untuk memisahkan negara dan agama. Pada hakekatnya, agama memiliki daerah
kekuasaan yang berbeda dengan negara. Walaupun agama-agama membutuhkan negara,
kepentingan agama tidak boleh diwujudnyatakan dengan memakai tangan negara. Dan
perjuangan agama-agama untuk mendapatkan kedudukan harus merupakan perjuangan
universal tanpa diskriminasi terhadap agama-agama yang lain.
Seorang Kristen yang menduduki kekuasaan pemerintahan
tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan agama atau kelompoknya,
walaupun ia dipilih dengan mendapatkan suara terbanyak yang berasal dari
kelompok tertentu. Karena tugas seorang pejabat negara adalah menjalankan
hukum-hukum yang adil dalam pemerintahan, demi kebaikan semua elemen masyarakat
yang ada di dalamnya. Jadi, siapa pun yang memegang kepemimpinan tertinggi
dalam pemerintahan, seharusnyalah bersikap adil tanpa harus mengutamakan
kepentingan kelompok agama tertentu, karena perjuangannya adalah perjuangan
demi menegakkan keadilan yang bersifat universal, bukan kepentingan kelompok
tertentu.
Dalam proses transformasi Pancasila kedalam hukum dan
perundang-undanagn umat Kristen tidak boleh melakukan dominasi atau hegemoni
yang berkibat pada penciptaan hukum dan perundang-undangan yang diskriminatif.
Sebaliknya perjuangan Kristen dalam transformasi Pancasila dalam hukum dan
perundang-undangan didorong oleh semangat untuk memberi keadilan bersama.
Umat Kristen juga harus mendorong umat bergama lain untuk
menyumbangkan nilai-nilai yang inklusif dalam transformasi Pancasila.
Nilai-nilai inklusif agama-agama ini akan menjadi landasan moral bagi bangsa
Indonesia. Bagi umat Kristen moralitas merupakan sesuatu yang bersifat
universal, karena itu penciptaan undang-undang yang berlandaskan moral yang
bersifat universal menjadi semangat kekristenan dalam partisipasi pambangunan
bangsa.
Apabila agama tetap berada dalam kodratnya maka agama
dalam dunia publik akan sangat berperan bagi terciptanya negara yang berjalan
sesuai dengan kodratnya. Mengenai peran agama dalam negara Martin Lukito Sinaga
mengutip rumusan Jose Casanova sebagai berikut:
1.Agama memasuki dunia-dunia
publik haruslah membela, tidak hanya kebebasannya, tetapi juga kebebasan
kelompok agama yang lain (jadi agama dihayati secara majemuk): dengan demikian
agama-agama akan mencegah juga lahirnya absolutisme negara. 2. Agama-agama
tersebut secara aktif mempersoalkan absolutisme otonomi sekuler, namun kali ini
tidak dengan keinginan menggantikan atau pun menetukan jalannya negara
sedemikian (sebab nanti ia akan menjadi absolut lagi), tetapi menggugat
realitas secara etis. 3. Dalam ia membela “traditional life world”
terhadap penetrasi ataupun kolonialisasi dunia teknis dan administrasi negara
modern (yang anonim itu), ia tidak perlu melamun, mengimpikan suatu “gemeinschaft”
negeri ideal agamanya yang mau dibawa hadir saat ini, tetapi menjadikan “dunia”
kehidupan tradisi yang khas agamis itu sebagi sebuah wacana yang terbuka dan
didebatkan secara publik: dan menjadikannya suatu semangat dalam “religious
social movement”
Apabila agama-agama
dapat berperan seperti yang dijelaskan di atas, maka terbentuklah masyarakat
sipil yang kuat yang mempunyai daerah kekuasaannya sendiri. Di sini tampak
bahwa pandangan kristiani mengenai hubungan antara negara dan agama menjadi
jelas (lihat bab II). Namun tidak berarti bahwa hal tersebut hanya baik untuk
umat Kristen, karena dalam masyarakat sipil yang terbentuk ini diperjuangkan
yang namanya kedaulatan publik (public sphere). Di sini, opini yang
berasal dari berbagai agama dibentuk dan kemudian menimbulkan kedaulatan baru,
yaitu daerah kedaulatan masyarakat sipil yang merupakan syarat penting untuk
adanya negara demokrasi.
Dalam pembentukan opini-opini
ini agama harus memainkan peranannya, agama-agama dapat menyumbangkan
nilai-nilai moral etiknya dengan bebas. Proses pembentukan opini yang
dihasilkan dari sumbangsih agama-agama ini dapat berjalan dengan baik apabila
negara memberikan proteksi terhadap hak-hak sipil, kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan berserikat, beragama dan perlindungan akan ruang pribadi
dan intimitas.
Dengan adanya peran
agama-agama dalam memberikan arah moral dan etik bagi negara melalui
pembentukan opini yang merupakan sumbangsih agama-agama, maka agama-agama tidak
akan melepaskan kontrolnya dari pemerintah. Dan pemerintah secara bersamaan
juga harus menjaga proses pembentukan masyarakat sipil tersebut berjalan dengan
baik melalui proteksi terhadap hak-hak sipil. Kemudian politisasi agama yang
timbul karena diskriminasi agama dapat ditekan. Pemakaian agama untuk
mendapatkan kekuasaan pribadi juga akan menjadi sulit karena agama-agama telah
turut berperan dalam pembangunan bangsa. Jadi agama-agama menjadi agama publik
yang terbuka.
Agama tidak dipisahkan total dari negara, namun agama tidak boleh
berkeinginan menguasai negara. Agama bukan hanya ada dalam dunia privat, tetapi
ada dalam dunia publik, yang memiliki peran dalam dunia publik.
Pertimbangan
dilemparnya agama dari dunia privat kedalam dunia publik, untuk Indonesia
merupakan sesuatu yang amat penting. Setidaknya, agama-agama bisa saling
mengenal, sehingga menghapuskan kecurigaan antarumat beragama yang telah lama
ditabur dalam proses politisasi agama.
Pengenalan yang lebih baik akan agama-agama lain, secara khusus juga
akan menolong agama-agama misioner dalam memahami misi agama-agama lain,
sehingga konflik dapat dihindari. Dengan pemahaman atas agama lain, usaha-usaha
misi agama-agama dapat dijalankan secara kontekstual tanpa harus mengkompromikan
ajaran agamanya.
Bagi penganut
kepercayaan, hubungan antara agama dan
negara menjadi penting, karena di sini mereka juga dapat ikut serta dalam
pembentukan opini publik yang dapat memberikan tempat bagi eksistensi mereka,
karena perlindungan hak-hak sipil memungkinkan mereka dapat memberikan
opininya. Demikian juga aliran bidat yang sering kali salah dimengerti oleh
banyak orang di Indonesia, karena yang mengetahui tentang bidat umumnya
hanyalah tokoh-tokoh agama. Mereka dapat memberikan opini mereka bagi
pembangunan bangsa. Di sini terjadi interaksi sosial antara bidat dan
agama-agama. Kemudian akan terjadi saling pengertian bersama dan akhirnya memberi tempat dalam pembentukan moral dan
etik.
Apalagi umumnya bidat adalah kelompok-kelompok yang memisahkan diri
dari agama karena adanya hutang agama yang belum terpenuhi dalam mengemban
tanggung jawab perwujudan keyakinan agamanya. Secara khusus, kedekatan
antarindividu yang sering kali sangat menonjol dalam kehidupan penganut bidat,
dan yang terabaikan dalam kelompok-kelompok agama yang ada.
Demikian juga penyebutan agama mainstream (aliran yang baku)
yang menuntut hak monopoli atas kebenaran, tidak lagi mendapatkan tempat,
karena hal itu sering kali dipergunakan sebagai alat untuk menindas kepercayaan
lain, yang berbeda dengan aliran mainstream. Di sini akan terjadi kebebasan
dalam menafsirkan kitab suci agama-agama,
yang sering kali tidak mendapatkan ruang dari agama-agama mainstream
yang diakui sebagai agama resmi.
Hubungan antara
agama dan negara memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Kekerasan yang
biasa menghiasai hubungan antaragama dengan kecurigaan antarpemeluk agama yang
tidak mudah dihapuskan ini, menjadi tantangan tersendiri bagi hubungan antara
agama dan negara. Oknum-oknum yang
terlalu lama menikmati kekuasaan dengan memanfaatkan agama-agama tidak dengan
sendirinya akan melepaskan nikmatnya kekuasaan tersebut. Namun perjuangan semua
rakyat Indonesia yang menyadari arti pentingnya negara Indonesia bagi mereka
menjadi modal dalam usaha mencapai Indonesia yang lebih baik. Bagi orang
Kristen di Indonesia, inilah perjuangan yang sesungguhnya, sebagaimana
dikatakan oleh Darmaputera:
Kita seharusnya berjuang bagi pengamalan Pancasila yang murni dan
konsekuen, yakni pengamalan semangatnya yang inklusif dan non-diskriminasi itu,
kita seharusnya berjuang bagi kesatuan dalm keberagaman Indonesia dan
seharusnya berjuang bagi terbentuknya dan realisasi demokrasi dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah
perjuangan untuk pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat
yang inklusif bagi terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran
agama-agama tidak akan berubah menjadi usaha untuk saling menguasai dengan
memakai negara sebagai senjata untuk meredam sesamanya. Perjuangan tersebut
seharusnya menjadi perjuangan yang suci.
- Toleransi sebagai Alat Pasung
Kebebasan Beragama.
Heterogenitas agama-agama yang ada pada mulanya memang
tidak banyak menimbulkan konflik antarumat beragama. Karena itu tidaklah
mengherankan jika pada awalnya Indonesia menjadi negara yang dianggap sebagai
teladan dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis antarumat
beragama. Tetapi dalam perjalanan waktu, ketidakkonsistenan pemerintah
berpegang pada Pancasila dan UUD 1945, serta timbulnya apresiasi terhadap
Pancasila melahirkan hukum dan perundang undangan yang bertentangan dengan
Pancasila
Adanya hukum dan perundang-undangan yang tidak sejalan
dengan Pancasila serta sikap pemerintah yang lebih mementingkan kekuasaan
dibandingkan berpegang pada Pancasila yang membuat hubungan antar umat beragama
menjadi hubungan yang peka dan dapat dengan mudah menimbulkan konflik, yang
tidak jarang menbawa korban manusia.
Mengenai pekanya hubungan antarumat beragama ini,
Alamsyah Ratuprawira Negara, yang pernah menjadi menteri agama di era Soeharto
menjelaskan demikian:
Masalah kehidupan beragama di kalangan masyarakat kita
merupakan masalah yang amat peka, bahkan paling peka di antara berbagai masalah
sosial budaya lainnya. Sebab terjadinya sesuatu masalah sosial akan menjadi
semakin ruwet jika masalah tersebut menyangkut masalah agama dan kehidupan
beragama.
Pekanya hubungan
antarumat beragama juga terkait erat dengan sistem penaklukan agama-agama
sebagaimana terjadi dalam sejarah perjumpaan agama-agama di negara asal
agama-agama itu berada, sebelum dibawa ke Indonesia. Di negara-negara Kristen
yang ditaklukkan oleh Islam, orang Kristen menjadi warga negara kelas dua.
Demikian juga dalam perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan,
hukum penaklukan ini berlaku.
Usaha mendapatkan kekuasaan dengan dukungan kelompok agama, membuat
kelompok agama yang berhasil menempatkan kadernya dalam pemerintahan.
mendapatkan kekhususan dibandingkan agama lain.
Akibatnya toleransi agama yang murni sangat sulit untuk dibangun. Perjumpaan
antartokoh-tokoh agama dalam suasana yang sejuk dan penuh perdamaian menjadi
sesuatu yang amat langka.
Apalagi yang dijumpai dalam usaha-usaha untuk menciptakan kerukunan antarumat
beragama dengan mengusung kata toleransi antarumat beragama sebagai sesuatu
yang utama berbungkus pengekangan terhadap kebebasan umat beragama. Jadilah
kata toleransi sebagi alat pasung kebebasan beragama.
Fakta kata
toleransi telah menjadi alat pasung dalam kebebasan beragama adalah dengan
adanya pembatasan hak-hak beribadah terhadap umat beragama. Adanya keharusan
ijin pembangunan tempat ibadah secara khusus bagi agama Kristen sebenarnya
tidak boleh menjadi alasan dirobohkannya gedung-gedung gereja yang telah
berdiri. Paling tidak, toleransi seharusnya mendorong umat beragama bisa tetap
beribadah dengan bersama-sama mendukung pemberian ijin pendirian ibadah. Hal
ini terjadi, tentu kalau memang bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila
menempatkan hak kebebasan beragama sebagai HAM yang paling asasi.
Pada hakekatnya, ibadah bukanlah sesuatu yang memerlukan ijin.
Karena hak beribadah adalah pemberian Tuhan,
dan pembangunan rumah ibadah bukanlah sesuatu yang menimbulkan masalah
seperti pembangunan kompleks perjudian atau pambangunan rumah tempat praktek
wanita asusila.
Pemasungan atas
kebebasan umat beragama dengan mengusung kata toleransi juga terjadi dalam
usulan penandatanganan untuk tidak memberitakan agama kepada yang sudah beragama.
Namun walaupun penandatanganan itu ditolak, larangan penyiaran agama kepada
yang sudah beragama tetap dilakukan, dengan alasan untuk menjaga kerukunan.
Toleransi dianggap sebagai suatu pemaksaan terhadap agama-agama untuk
melepaskan hak-haknya yang sebenarnya tidak dapat dicabut oleh siapa pun.
Hak kebebasan beragama pada
hakekatnya juga termasuk semua hak yang diperlukan untuk menjalankan perintah
agamanya. Karena itu apabila kata toleransi berarti mengkompromikan ajaran
agama, maka toleransi bukan lagi menjadi toleransi, melainkan suatu pembatasan
kebebasan beragama. Atau dengan kata lain, toleransi telah menjadi alat pasung
bagi kebebasan beragama.
Kata toleransi yang berasal dari kata toleran itu sendiri berarti
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan),
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda atau
yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata toleransi juga dapat
berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Dalam dunia kerja, toleransi berarti penyimpangan yang masih dapat diterima.
Jadi dalam hubungan dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai,
membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun
berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa
seseorang harus melepaskan kepercayaan atau ajaran agamanya karena berbeda
dengan yang lain, tetapi tetap mengijinkan perbedaan itu tetap ada.
Penyebaran agama kepada orang yang berbeda agama, seharusnya tidak
menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kelompok agama lain, walaupun mungkin
individu dalam kelompok tertentu dapat saja berpindah menjadi penganut agama
lain, begitu sebaliknya.Apalagi semua agama yang saat ini disebut agaam resmi
oleh negara adalah agama pendatang. Penyebaran agama-agama baik Hindu, Budha,
Islam, Kristen dan katolik terjadi dengan cara damai. Karena itu penyebaran
agama mereupakan sesuatu yang biasa dibumi Indonesia.
Penyebaran agama pada waktu kemudian menimbulkan konflik, bukan
karena dalam diri agama-agama itu mengandung konflik, tetapi penyebaran agama
sering kali dikaitkan dengan maslah lain diluar, agama. Misalnya masalah
ekonomi dan politik.
Tetapi komunitas agama tidak boleh mencabut hak individu yang berada
dalam komunitasnya. Perbedaan agama seharusnya memperkaya agama-agama yang ada,
jika penyebaran agama merupakan suatu kesaksian dari keyakinan agama-agama yang
ada.
Globalisasi budaya adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, tetapi
mengambil sisi positif dari keberagaman yang ada menjadi kebutuhan yang
mendesak, jika tidak ingin tertinggal. Demikian juga terciptanya dunia yang
semakin heterogen karena pluralitas agama-agama seharusnya dapat memberikan
sumbangan yang berarti bagi Indonesia, setidaknya jika agama-agama itu
menyadari bahwa dalam negara Pancasila ia mempunyai kedudukan yang sama.
Dalam perspektif Kristen, karena hak pemilihan agama adalah hak
kebebasan hati nurani, maka perbedaan agama bukan merupakan sesuatu yang harus
ditiadakan dengan segala cara. Sebaliknya, dalam keberagaman agama-agama
tersebut, umat Kristen diharuskan menjadi saksi dengan jalan memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Pemenuhan kewajiban ini secara bersamaan merupakan
penghormatan terhadap HAM. Pemberitaan Injil dengan semangat memindahkan orang
beragama lain ke agama Kristen bukanlah menjadi tujuan penginjilan. Seseorang
pindah ke agama Kristen akibat penerimaan yang bersangkutan pada Injil. Bukan
sebaliknya seseorang dipindahkan kedalam komunitas Kristen untuk menjadi
Kristen.
Apabila orang tidak dipilih oleh Tuhan, maka ia tidak akan menjadi
Kristen. Namun tidak berarti penginjilan mengalami kegagalan, karena memang
kewajiban orang Kristen hanya untuk memberitakan isi Injil yang dia terima dan
hidup sesuai dengan ajaran Injil tersebut. Sedangkan masalah orang menjadi
Kristen adalah hak Tuhan.
Demikian juga yang terjadi dalam perpindahan orang yang beragama
Kristen ke agama lain, tidak berarti bahwa ajaran Kristen itu salah, walaupun
mungkin interpretasi orang tersebut demikian. Karena Injil itu sendiri tidak bergantung pada
kesaksian manusia. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa toleransi seharusnya
bukan merupakan pembatasan hak kebebasan beragama yang berasal dari Tuhan. Jika
tidak, maka yang terjadi adalah pemasungan agama-agama. Itulah yang terjadi di
Indonesia..
Menurut pandangan Kristen, semua manusia beragama. Karena itu,
mempersaksikan agama Kristen kepada umat agama lain seperti juga yang terjadi
kepada umat Kristen, adalah sesuatu yang tidak diharamkan. Bahkan hal itu
merupakan kewajiban agama. Asal saja penyiaran agama tidak dilakukan dengan
cara memaksa, atau disertai bujukan dan iming-iming, pada hakekatnya usaha
penyiaran agama kepada yang sudah beragama tersebut dapat diijinkan. Toleransi
beragama dalam kekristenan didasrkan pada aturan golden rule, jadi semua orang
harus menerapkan kata toleransi tersebut pada dirinya, kata toleransi
diletakakan pada orang pertama untuk orang kedua , ketiga dan seterusnya. Jadi
jika seseorang ingin orang lain bertoleransi dengan dirinya, maka ia terlebih
dahulu harus bertoleransi dengan orang lain. Pada waktu semua orang berusaha
untuk bertoleransi pada orang lain, maka semua orang akan mendapatkan sikap
yang toleran dari sesamanya. Penerapan toleransi ini tidak akan menghambat
kebebasan orang lain. Dan tidak akan menjadi alat pasung bagi agama-agama.
G. Negara dan Hak Kebebasan Beragama.
Pelanggaran
kebebasan beragama yang menodai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia merupakan
sesuatu yang tidak bisa tidak berhubungan dengan negara, dalam hal ini
pemerintahan yang berkuasa. Memberi perlindungan bagi umat beragama termasuk
dalam kebebasan beribadah, seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Memang
benar, usaha menciptakan hubungan yang harmonis antarumat beragama harus
dilakukan secara bersama oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi
tindakan anarki individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok
lain harus menjadi tanggung jawab negara, dan tidak boleh ditolerir. Jika
tidak, maka tindak pelanggaran tersebut akan terus terjadi.
Persoalan timbul ketika negara bersifat diskriminatif dengan
berpihak kepada komunitas kuat yang mendukungnya. Pelanggaran yang dilakukan
oleh komunitas tersebut tetap tidak pernah diperdulikan, walaupun melanggar asas
keadilan. Deklarasi Universal HAM bukan hanya menjadi norma dalam kehidupan
internasional, tetapi menetapkan negara sebagai penanggung jawab dalam
implementasi hak-hak tersebut. Tidaklah mengherankan jika dalam suatu negara
pelanggaran HAM diabaikan, maka negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam
pergaulan internasional. Mengenai kewajiban negara dalam melindungi hak-hak
kebebasan beragama, termasuk dengan hak-hak sipil ini, Yewangoe menerangkan
sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan hak-hak sipil adalah hak warganegara yang
melekat pada warga negara karena ia adalah warga sebuah negara. Dengan
demikian, negara berkewajiban melindunginya. Tetapi juga penduduk yang bukan
warga negara tetapi bertempat tinggal dalam negara itu, mempunyai hak untuk dilindungi
oleh negara. Padanya melekat sejumlah hak, seperti hak untuk beribadah, hak
untuk berkumpul, hak untuk mengekspresikan apa yang diimaninya.
Pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia adalah pelanggaran yang
dilakukan oleh pemerintah. Karena negara wajib melindungi hak-hak individu yang
ada di Indonesia, pemerintah tidak dapat berdalih untuk menyalahkan kelompok
agama atau individu yang ada. Karena membiarkan pelanggaran kebebasan beragama
terjadi berarti pengabaian tugas kewajiban negara. Kelambanan aparat keamanan
untuk mengatasi kerusuhan-kerusuhan yang mengatasnamakan agama merupakan
kegagalan negara, secara khusus pemerintah yang berkuasa. Aparat keamanan tidak
boleh lebih setia kepada golongannya dan melepaskan kesetiaan pada negara
dengan cara melakukan tindakan diskriminasi dengan melindungi kelompok yang
bersalah, dan membiarkan kelompoknya
melanggar undang-undang tanpa berusaha menangkap pelaku.
Dalam pandangan Kristen, negara wajib menjaga hak-hak individu.
Negara diberikan pedang untuk menindak ketidak adilan. Pada waktu negara
membiarkan tindakan yang tidak adil, maka negar tidak menjalankan wewenangnya.
Berarti negara tidak berjalan pada kodratnya.
Negara terbentuk juga karena adanya pemberian dari hak-hak individu,
walaupun hak-hak individu itu tidak tercabut oleh negara. Kewajiban negara
dalam menjaga terlaksananya penghormatan terhadap hak-hak individu memungkinkan
setiap individu dapat hidup merdeka sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia. Timbulnya tindakan anarki dalam penutupan gereja maupun
pelarangan terhadap bidat-bidat menjadi tanggung jawab negara. Ketika negara
tidak peduli dengan semuanya itu, maka eskalasi kekerasan atas nama agama terus
meningkat. Dan itulah yang terjadi di Indonesia.
Munculnya kelompok-kelompok yang ingin membantu pemerintah untuk
mengakkan hukum dan undang-undang dalam negara Indonesia merupakan bukti
keterlibatan masyarakat untuk terciptanya supremasi hukum. Namun, tindakan main
hakim yang dilakukan kelompok-kelompok untuk menegakkan hukum dan undang-undang
yang satu dengan melanggar hukum dan perundang-undangan yang lain, merupakan
tindakan anarki yang harus dihentikan oleh pemerintah.