Podcast Rukun Beragama

Video

Sunday, December 20, 2020

Hak Individu dalam Masyarakat Komunal






Semua individu diciptakan merdeka oleh Tuhan, dan tidak seorang pun boleh merampas hak individu tersebut dengan dalih apa pun. 

Hak asasi tersebut dimiliki setiap orang, karena ia diciptakan sebagai manusia. Individu-individu ini membentuk komunitas sosial berdasarkan kerelaannya, dan karena itu haknya tidak pernah hilang walaupun ia berada dalam komunitas apa pun. 

Secara internasional Hak-hak individu ini dijaga oleh Deklarasi Universal HAM. Deklarasi Universal HAM yang menghormati hak-hak individu tersebut bukan merupakan produk Barat,  sehingga timbul kecurigaan. 

Bagaimana mungkin Barat yang terkenal dengan kekejamannya sebagai negara penjajah yang tidak pernah menghargai HAM, sekarang berbalik  memperjuangkan HAM? 

Selain itu Barat identik dengan individualisme yang melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme. Karena itu, negara yang pernah dijajah seperti Indonesia, pada awal kemerdekaan menolak HAM yang dianggap buah karya manusia indivualisme yang harus dijauhkan. 

Penolakan terhadap hak-hak individu dalam HAM di Indonesia bermula dari kesalahpahaman atas individualisme yang menjadi momok bagi Soekarno, di mana HAM dianggapnya produk Barat, sehingga hak-hak individu diabaikan dan keutuhan kelompok menjadi hal yang utama. 

Apalagi memang pada waktu itu Indonesia membutuhkan persatuan untuk tetap dapat mempertahankan kemerdekaan. 

Penerimaan terhadap hak-hak individu dikhawatirkan akan membuat negara tidak mempunyai kekuatan dalam menghadapi agresi Belanda. 

Sayangnya, Soekarno lupa bahwa pengabaian hak-hak individu ini akan membuat negara mempunyai kekuasaan tanpa batas. Dengan dalih untuk mempertahankan keutuhan bangsa, maka negara akan mengabaikan hak individu yang tak pernah hilang walaupun ia menyatu dalam komunitas yang namanya negara.

Walaupun Pancasila mengakui HAM dan juga hak kebebasan beragama, tetapi pada awalnya Soekarno tidak menyetujui dimasukkannya HAM dalam UUD 1945, karena bagi Soekarno, HAM merupakan gagasan yang bersumber pada individualisme, yang melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme. Sehingga segala sesuatu yang menyangkut individualisme harus dibuang.  

Penolakan Soekarno terhadap segala sesuatu yang berbau individualisme ini juga menutup kemungkinan pengembangan konstitusional dalam perumusan UUD 1945. Tahun 1968, pada awal Orde Baru, MPR memang telah membentuk suatu panitia yang khusus menyusun sebuah konsep HAM, namun tidak pernah disahkan. 

Baru tahun 1978 rumusan mengenai sila kemanusiaan yang adil dan beradab dinyatakan dalam rumusan yang jelas seperti berikut:

Manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Mahaesa, yang sama derajat, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebaginya. Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa salira”. 


Perjalanan panjang pengakuan HAM yang bersifat universal menyebabkan kebingungan bagi banyak orang di Indonesia, sehingga tidaklah mengherankan pengakuan hukum yang sangat lemah, seperti SKB 2 Menteri dapat menimbulkan konflik yang sangat parah. Salah satu bukti, ribuan gereja di Indonesia hancur. Dan penghancuran itu mendapat pengesahan dari peraturan yang ada, kalau boleh dikatakan demikian, karena faktanya para pelaku perusakan tempat ibadah tidak pernah tertangkap. 

Penolakan terhadap segala sesuatu yang ada dalam kemas individualisme secara ekstrem sebenarnya tidak ada gunanya. Karena jika dengan bijak dipilah-pilah akan banyak keuntungan yang didapat. Mengenai kontroversi tersebut Gunawan Setiardja menjelaskan sebagai berikut:

Individualisme yang disebut-sebut oleh Soekarno adalah individualisme yang ekstrem, yang negatif. Individualisme yang ekstrem memisahkan orang dari masyarakat sama sekali. Individualisme ekstrem inilah  yang melahirkan liberalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Ada individualisme lain, yang positif, yang dapat saja kita terima dan tidak bertentangan dengan sila II kita, kemanusiaan yang adil dan beradab. Individualisme yang positif menghargai manusia sebagai makhluk pribadi. Yang melepaskan manusia dari kungkungan kolektif. Yang memberi kesempatan kepada manusia untuk dapat mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh, menjadi manusia yang berkepribadian. Atau dengan istilahnya sekarang menjadi manusia yang berkualitas. 


Penolakan  Soekarno secara ekstrem terhadap individualisme mengakibatkan hak-hak individu dalam negara Pancasila sering kali ditentukan oleh kelompok atau komunitas di mana individu itu berada. Padahal, hak individu bukanlah pemberian kelompok. Jadi, dalam komunitas apa pun manusia berada, setiap individu tetap mempunyai hak-hak yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun, termasuk juga oleh kelompok atau negara di mana individu itu berada.

Pengakuan  bahwa Indonesia adalah bangsa komunal yang bukan individualis bukanlah pembenaran untuk menghapuskan hak individu. Pemahaman yang salah tentang hal tersebut mengakibatkan tidak jarang individu-individu di Indonesia merasa terancam ketika individu tersebut harus berbeda dari kelompoknya. Tidak heran perpindahan agama dari seorang individu dalam komunitas yang homogen membuat individu tersebut terancam. Karena perbedaan individu dengan kelompoknya dianggap usaha untuk menghacurkan kelompok yang ada, sehingga tidak heran individu tersebut harus diperangi oleh kelompok di mana ia berada.

Penolakan hak individu ini pada masa Soeharto menciptakan lahan yang subur bagi pembangunan rezim yang sangat despotis. Mengenai hal ini Ignas Kleden menjelaskan demikian:

Nilai individualisme yang sering dianggap sebagai sikap yang mengutamakan kepentingan sendiri, dalam praktek justru membuat orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam praktek justru membuat orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, menghormati hak-hak dan privasi orang lain, dan tidak mau membebani orang lain dengan persoalan dan kesulitan sendiri. Sebaliknya, kolektivisme dan kekeluargaan yang didukung oleh patriarkhi yang otoritarian dan dipuja-puja oleh rezim Soeharto, dalam prakteknya justru berkembang menjadi suatu egosentrisme kolektif yang hanya memperhatikan suatu kelompok terbatas (seperti keluarga atau kroni-kroni sendiri) dan membuat orang tak acuh terhadap mereka yang berada di luar lingkungan tersebut. 


Pada masa Soeharto, diskriminasi terhadap individu dan kelompok dikemas dengan dalih untuk kepentingan bersama. Jadi, hak-hak komunitas dapat mengabaikan hak-hak individu. Dan yang muncul justru ketidakadilan. Jelaslah, mengabaikan hak-hak individu akan menimbulkan luka yang suatu saat menimbulkan perlawanan baru, ketika individu-individu yang sama mengalami luka tersebut bergabung untuk melawan kelompok yang mengesampingkannya. Itulah yang terjadi dalam tumbangnya kekuasaan Soeharto. 

Pemerintah tidak boleh menolak pengakuan HAM yang bersifat internasional dengan menyatakan bahwa HAM yang berdasarkan Pancasila berbeda dari HAM internasional. Karena HAM internasional dipengaruhi pandangan Barat, sedang HAM menurut Pancasila didasarkan atas kehidupan komunal masyarakat Indonesia. Pengakuan Indonesia sebagai anggota PBB seharusnya menyadarkan bahwa HAM bersifat universal. 

Penolakan terhadap HAM karena ia adalah produk Barat tidak mempunyai alasan yang jelas, karena bukankah di Indonesia ini banyak produk-produk Barat yang digunakan namun tidak ada yang mempermasalahkannya? Karena tidak semua yang berbau Barat pasti tidak baik, apalagi Deklarasi Universal HAM dapat disebut sebagai Magna Charta (Piagam Mulia), yang adalah suara dari miliaran manusia yang ada di Bumi ini.

Memang dapat dipahami bahwa usaha mengimplementasikan HAM dalam hal ini kebebasan beragama dalam komunitas sosial yang sangat heterogen merupakan sesuatu yang tidak mudah, apalagi ketika komunitas, atau kelompok-kelompok tertentu berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan eksistensinya, dalam dunia agama hal ini biasa disebut politisasi agama. 

Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa kurangnya pengakuan terhadap hak individu dalam masyarakat komunitarian di Indonesia menyebabkan banyak pelanggaran kebebasan beragama terjadi. Penghormatan hak-hak individu tidak harus ditakuti sebagai kehancuran masyarakat komunal. Sebaliknya usaha untuk menjaga masyarkat yang komunal tidak boleh menghapuskan hak-hal individu. Karena itu, deklarasi HAM yang mengakui hak-hak individu tidak boleh ditolak, karena penolakannya berarti juga membangun HAM yang bersifat relatif. Dan pada dasarnya tidak ada HAM yang bersifat relatif, walaupun dengan dalih menurut pandangan agama tertentu. 

Mengenai pemahaman HAM yang harus bersifat universal,  B.S. Mardiatmaja mengatakan seperti berikut:

Saya merasa jengah membicarakan hak asasi manusia menurut agama tertentu. Sebab HAM adalah suatu bahan pembicaraan yang sangat unggul dan sekarang ini praktis merupakan satu-satunya bidang yang mempersatukan bangsa kita. Kita tahu bahwa dokumen “Hak Asasi Manusia” dimaklumkan secara resmi sebagai ungkapan persatuan seluruh bangsa manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Sejak itu, setiap negara yang ingin bergabung dengan PBB harus memperhitungkan, bahwa tindakannya secara internasional diukur antara lain dari pelaksanaan HAM. Namun  sesungguhnya maksud utama pemakluman HAM, adalah untuk, antara lain, mengatasi perbedaan antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. Jadi, justru kalau kita berbicara mengenai HAM, seharusnya kita membedakan pandangan yng satu dari agama yang lain. 


 Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia karena pengabaian hak-hak individu merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan sudut pandang Kristen. Allah menciptakan manusia/individu itu sederajat, dan Allah juga yang menempatkan individu-individu itu dalam komunitas berdasarkan kerelaannya. Karena itu, hak-hak individu tidak boleh diabaikan karena ia adalah bagian dari kelompok atau komunitas tertentu. 

Pengabaian hak individu demi menjaga satabilitas politi adalah sesuatu yang tidak benar dalam sudut pandang kristiani. Setiap individu memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Memberikan kebebasan kepada manusia/individu karena itu adalah haknya merupakan kewajiban negara. Hal individu tidak perlu menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena hak tersebut harus ditempatkan pada tempatnya. Demikian juga memberikan hak yang terlalu besar terhadap negara tidak akan membuat negara menjadi aman. Dalam pandangan Kristen negara dibentuk setelah kejatuhan. negara dilihat dari sisi yang negative. Artinya walaupun negara memiliki banyak kelemahan, namun ia tetap berguna. Dan untuk menutupi kelemahan negara maka negara tidak boleh tidak tanpa batas. Jadi mencurigai kedaulatan individu tidak boleh melepaskan kecurigaan pada negara. Melepaskan kecurigaan kepada negara akan membuat negara menjadi otoriter.

Hak-hak individu ini tetap melekat pada indivu tersebut dan tak boleh dicabut oleh siapa pun. Penegakan HAM yang mengabaikan hak-hak individu, secara bersamaan merupakan penyangkalan atas HAM itu sendiri, karena HAM itu bersifat individu, dan hak itu bersumber dari Allah. Karena HAM bersumber dari  Tuhan maka ia tidak bisa tidak mesti universal. Dan implementasi HAM hanya mungkin ada dalam hukum-hukum yang adil, karena keadilan sejatinya tidak mengandung diskriminasi, maka keadilan yang terabaikan mengakibatkan hak-hak kebebasan beragama juga terabaikan. Itulah yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/hak-individu-dalam-masyarakat-komunal.html

Monday, December 14, 2020

Hukum Berkeadilan

 



 

 

 

Hukum sejatinya perlu memenuhi keadilan publik. Manakala hukum tak memenuhi keadilan publik karena dalam perumusan hukum dan undang-undang kerap terjadi Tarik menarik antar kepentingan kelompok, maka hukum atau peraturan-peraturan itu perlu direvisi untuk memenuhi keadilan publik.

 

Hak dan Kebebasan

 

Pasal 28 J ayat 2, UUD 1945, secara tegas menetapkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Ayat tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga negara Indonesia tunduk kepada undang-undang atau peraturan-peraturan pemerintah meskipun aturan tersebut diskriminatif. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap melawan konstitusi. Padahal, bila mengacu pada kata “adil,”maka aturan-aturan yang bersifat diskriminatif sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi.

 

Kita tentu setuju adanya pembatasan yang menjamin kebebasan, tapi pembatasan kebebasan secara tidak adil adalah tidak tepat, dan mencederai keadilan. Kebebasan masih bisa disebut kebebasan meski ada pembatasan-pembatasan, asal saja pembatasan tersebut diberlakukan secara adil.

 

Sebaliknya, kebebasan tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan yang kuat.

 

Kebebasan sesungguhnya  tak bisa dimaknai sebagai kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum. Hukum yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara wajib ditaati.

 

Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum. Penggunaan kebebasan seseorang tak boleh mengancam kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.

 

Namun, pembatasan kebebasan menjadi diskriminatif  jika pembatasan itu dihadirkan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan berdasarkan konstitusi harus memenuhi azas keadilan, pembatasan dilakukan agar setiap orang ketika melaksanakan kebebasannya tidak mengganggu ketertiban umum atau melanggar hukum.

 

Jadi, pembatasan kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan (equal liberty).

 

Dengan demikian jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri ini  tak memiliki pijakannya dalam konstitusi. Peraturan-peraturan yang diskriminatif mengakibatkan pemerintah bersikap tidak adil, dan secara bersamaan itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi. Undang-undang seperti itu harus direvisi atau dicabut.

 
Tentang kebebasan beragama

Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.

 

Pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beragama dalam negara banyak agama seperti Indonesia tetap diperlukan. Undang-undang jaminan kebebasan beragama merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kondisi yang kondusip dalam perjumpaan agama-agama yang berbeda dan beragam.

 

Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan.

 

Kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

 

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.

 

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.

 

Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-sgama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama. Karena itu inkonsistensi pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran konstitusi.

 

Apabila pada waktu transformasi Pancasila  kedalam  perundang-undangan terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka  perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Hukum yang berkeadilan

Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan.

 

Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.

 

Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya.

 

Lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan. 

 


Dr. Binsar Antoni Hutabarat, M.Th.

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/hukum-berkeadilan.html

Thursday, December 10, 2020

Kebebasan Beragama Dasar Bagi Kerukunan Agama-agama




 


 

Pada tes wawancara  seleksi tahap IV  calon Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) 2012-2017  (tes psikologi, uji publik, wawancara),  penulis sebagai salah seorang calon diminta menjelaskan pasal 28J ayat 2, UUD 1945, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Sebelum pertanyaan tersebut penulis mengungkapkan bahwa peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif tak sesuai dengan konstitusi negeri ini dan harus dicabut. 

Peraturan-peraturan yang diskriminatif  itu antara lain seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006, hasil revisi SKB 2 Menteri tahun 1969 yang kini dijadikan instrumen penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, dan juga HKBP Filadelfia, dan  hingga kini belum mendapatkan jalan keluar penyelesaian.

 

Peraturan-peraturan dan undang-undang yang diskriminatif di negeri ini seakan mendapatkan pembenaran konstitusi karena konstitusi menetapkan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan dengan undang-undang. 

Apabila pemerintah membuat pembatasan-pembatasan yang dituangkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan, meskipun itu terindikasi bersifat diskriminatif, ayat tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga untuk tunduk kepada undang-undang atau peraturan-peraturan tersebut. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap melawan konstitusi.

 

 

 Pembatasan kebebasan

 

Apabila kebebasan memiliki pembatasan-pembatasan, masih bisakah kebebasan dimaknai sebagai kebebasan?

 

Kebebasan tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan yang kuat.

 

Kebebasan sesungguhnya  tak bisa dimaknai sebagai kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum, yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara. Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum, karena kebebasannya dipergunakan untuk membatasi kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.

 

Namun, pembatasan kebebasan haram hukumnya jika dilakukan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan (equal liberty).

 

Dengan demikian jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri ini  tak memiliki pijakannya dalam konstitusi, sebaliknya itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi, karena itu harus direvisi agar sesuai dengan konstitusi,  atau dicabut.

 

Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. 

Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.

 

Pemerintah memang tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beraganma tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang  menjaminan kebebasan beragama dan anti diskriminasi agama. 

Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusip bagi perjumpaan agama-agama yang damai di ruang publik.

 

 

Kerukunan beragama

Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. 

Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan. 

Menurut Os Guiness, kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

 

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.

 

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.

 

Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-agama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama. 

Karena itu inkonsistensi pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran konstitusi.

 

Apabila pada waktu transformasi Pancasila  kedalam  perundang-undangan terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka  perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan. 

Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.

 

Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. 

Lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan. 

 

Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/kebebasan-beragama-dasar-bagi-kerukunan.html

Pahlawan dan Proyek Kebangsaan

 








Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 merupakan peristiwa penting lahirnya sebuah bangsa, yakni bangsa Indonesia.

 Sebagaimana isi salah satu dari butir sumpah tersebut, yaitu satu bangsa, yakni Bangsa Indonesia. 

Sejak itu rakyat Indonesia secara bersama-sama, bahu membahu, bersatu, berjuang dengan cara modern  mengerjakan proyek kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Pada perjuangan tersebut memang memang ada hambatan dari penghianat yang meghinakan diri menjadi kaki tangan penjajah, demi kepentingan individu yang bertentangan dengan proyek kebangsaan. 

Namun, rakyat Indonesia yang bersatu itu memosisikan para penghianat itu sebagai musuh bersama, sebagaimana layaknya para penjajah. Jadi, perjuangan kebangsaan melawan penjajahan secara bersamaan juga perjuangan melawan penghianat yang tidak memiliki komitmen pada proyek yang bersifat kebangsaan.

 

 

Meski Max Lane beranggapan bahwa, Indonesia adalah “bangsa yang belum selesai”. 

Tapi, itu tidak berarti bahwa kekuatan sumpah pemuda-pemudi Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia dapat dibatalkan.

Sebaliknya itu harusnya mengingatkan, betapa kita harus berjuang lebih keras mewujudkan keutuhan Bangsa Indonesia yang berulang kali mengalami gempuran dan bahaya disintegrasi.

 

Pada peringatan Sumpah Pemuda, rakyat di negeri ini perlu bertanya, apakah janji sebagai bangsa yang merdeka itu masih tersimpan dalam dada mereka, sumber ungkapan bahagia yang mestinya menjadi dasar utama, dan apakah janji itu telah direfleksikan dalam kehidupan berbangsa pada saat ini.

 

Seandainya saja janji sebagai bangsa itu kita pegang teguh dan kemudian diwariskan pada generasi muda, warna perayaan sumpah pemuda tentu akan penuh dengan tawa dan juga tangis bahagia rakyat negeri ini, meski ada banyak masalah yang menghadang negeri ini. 

Momentum sumpah pemuda bisa jadi akan melahirkan komitmen baru bagi perjuangan bersama untuk menyejahterakan rakyat yang sebagian besar berada dalam kemiskinan, dan penderitaan karena berbagai bencana, itulah harapan rakyat di negeri ini.

 

Kita tentu prihatin, pada  realitasnya, rakyat miskin di negeri ini masih saja belum mendapatkan perhatian memadai. 

Ditengah kemelaratan rakyat, sulitnya mencari kerja, menderita karena berbagai bencana yang belum juga teratasi, elite di negeri ini justru mempertontonkan kemewahannya dalam penyelenggaraan Pilkada yang menghamburkan banyak uang, meski disaat pandemi covid-19 sekalipun.

  Bukti bahwa rakyat  miskin belum mendapat perhatian utama. Mudah-mudahan pilkada damai menumbuhkan kesadaran elite bahwa rakyat amat merindukan implementasi janji-janji mereka.

 

Makna janji

 

Janji, ikrar sebagai bangsa memiliki makna yang penting, karena itu perlu dipegang erat. Pentingnya sebuah janji terlihat jelas dalam suatu perkawinan. 

Janji melahirkan keberanian untuk menerima satu sama lain apa adanya. Dalam janji itu terkandung tekad untuk tetap bersama meski ada banyak tantangan yang mesti dihadapi dan tak terpikirkan sebelumnya. 

Karena berpegang pada janjilah sebuah rumah tangga dapat bertahan menghadapi badai cobaan bagaimanapun derasnya.

 

Demikian juga, Janji sebagai bangsa yang satu mestinya juga terus dipegang erat, meski kita tahu negeri ini telah amat menderita oleh gelombang krisis yang datang silih berganti. 

Konflik yang timbul diberbagai daerah, konflik partai politik, dll. Konflik itu bisa di musiumkan, jika kita berpegang pada janji sebagai bangsa.

 

Apabila janji sebagai bangsa itu kemudian diwariskan pada  generasi penerus bangsa ini, kekuatiran munculnya separatisme yang biasanya mudah menjalar di kalangan kaum muda,sebagaimana terjadi di berbagai daearah, tidak perlu terjadi. 

Seperti pada peristiwa Sumpah Pemuda, kaum muda akan berjuang keras demi kebesaran bangsa ini, seperti yang dilakukan team olimpiade fisika dan sains yang telah mengharumkan negeri ini.

 

Pengampunan

 

Jika kita setuju pada Hannah Arendt, bahwa tindakan manusia memiliki dua kelemahan yaitu unpredictable (tak dapat diramalkan) dan irreversible (tak bisa dikembalikan ke titik nol) maka niscaya komitmen untuk berpegang lebih erat pada janji kebangsaan akan lahir dalam peringatan kemerdekaaan Indonesia kali ini.

 

Perlakuan sesama warga bangsa yang menyakitkan tidak mesti ditafsirkan sebagai sesuatu yang lahir dari semangat membinasakan, karena kelemahan manusia bisa melahirkan interpretasi berbeda, perbuatan baik bisa direspons negative, dan bukan melulu karena nafsu ingin membinasakan, tetapi hanya karena salah pengertian, suatu tindakan yang unpredictable

 

Konflik yang terjadi dalam perjalanan bangsa ini juga mesti dilihat dari keterbatasan manusia Indonesia. Memang konflik itu telah menggoreskan luka, dan tak mungkin kembali seperti sedia kala. 

Luka yang disembuhkan tetap menyisakan bekas luka, tapi kesadaran akan keterbatasan manusia membuat kita mampu untuk saling memaafkan. Karena tak ada manusia yang luput dari salah.

 

Kekuatan pengampunan memang tidak akan melenyapkan bekas luka, namun, kekuatan pengampunan mampu menyembuhkan luka, dan memampukan yang terluka melihat sisi positif dari kejadian tersebut, tanpa perlu menghapuskan realitas yang pernah terjadi. 

Sebaliknya, itu menjadi pengalaman berharga untuk dapat hidup bersama lebih baik, mengalami kedewasaan sebagai warga bangsa.

 

Seandainya kita mengerti pentingnya makna sebuah janji, maka usaha menjaga janji itu untuk tetap lestari niscaya tertanam di lubuk hati kita yang terdalam. 

Keperihan menerima realitas menjadi kerelaan, karena kesadaran pentingnya janji itu aakan menghadirkan kesediaan untuk berkorban. 


Jika, rakyat di negeri ini dahulu rela menyerahkan jiwa raga mereka untuk kemerdekaan bangsa ini, sepatutnyalah kita rela mengampuni sesama warga bangsa untuk tetap berpegang pada janji sebagai bangsa yang merdeka.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/pahlawan-dan-proyek-kebangsaan.html

Anti Kristus Jaman Now

  Anti Kristus Jaman Now: PGI, PGLII, PGPI, Aras Nasional Gereja Perlu Waspada!   Gereja pada awalnya adalah sebuah komunitas misioner...