Heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila ini terjadi karena kelompok-kelompok yang ada di Indonesia tidak berpegang pada konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan.
Status Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak diakui sebagai sesuatu yang final oleh semua individu atau kelompok yang ada di Indonesia.
Kelompok-kelompok yang ada tersebut (Marxisme dan ideologi Islam) mengingkari sumpah setianya untuk membangun negara Indonesia dibawah Pancasila. Dan terus memegang harapan-harapan lain (Marxisme dan Ideologi Islam).Hal tersebut nampak dengan adanya keinginan menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara, baik melalui penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam Pancasila, maupun dengan cara kekerasan.
Mengenai penerimaan Islam formalis terhadap Pancasila sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, Darmaputera menjelaskan demikian:
Penerimaan Islam pada waktu itu adalah bersifat “sementara” dan “taktis”, dengan pertimbangan mereka akan memperjuangkannya kembali secara konstitusional kelak, yaitu yang terjadi pada sidang-sidang konstituante dan sebagian mengambil langkah perjuangan bersenjata…penerimaan Islam pada waktu itu diikuti oleh beberapa “konsesi” penting, misalnya adanya Departemen Agama, berlakunya hukum pengadilan agama Islam.[ Eka Darmaputera, “Pancasila sebagai satu-satunya Asas Dalam Kehidupan Bermasyarakat , Berbangsa Dan Bernegara,” dalam Agama-agama Memasuki Millinium Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 2000), h.141.]
Penerimaan Islam formalis yang menginginkan negara berdasarkan ideologi Islam ini juga terjadi pada penerimaan terhadap Pancasila sebagaimana di lakukan oleh kaum Marxisme, kelompok komunis pada menjelang kemerdekaan belum mempunyai kekuatan yang menonjol dibandingkan kubu kebangsaan dan Islam. Sehingga Komunis memilih untuk mendukung kubu kebangsaan pada semenetara waktu. Akibatnya Pancasila mengalami kemajemukan status, dan terjadilah apresiasi terhadap Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila dapat dimengerti karena Pancasila merupakan kompromi politik (Kebangsaan, Islam dan Marxisme). Pada waktu kelompok-kelompok politik yang ada tidak lagi berpegang pada pengakuan bahwa Pancasila adalah ideologi negara, maka kelompok-kelompok tersebut berusaha untuk melakukan penetrasi nilai- nilai mereka secara paksa kedalam Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila seharusnya telah selesai sejak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi negara, karena Pancasila merupakan konsensus dari seluruh rakyat Indonesia. Dan Pancasila yang telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 harus diterima oleh setiap kelompok yang ada di bumi Indonesia sebagai sessuatu yang final.
Pancasila sebagai suatu kompromi dari kelompok-kelompok politik yang ada di Indonesia tidak dapat memuaskan semua pihak, namun Pancasila merupakan jalan terbaik untuk memelihara kebhinekaaan Indonesia.
Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara, apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.
Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan negara.
Ironisnya usaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain dengan cara kekerasan terjadi pada tahun 1949, saat dimana Indonesia akan mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka, yang seharusnya disyukuri bersama.
Usaha menggantikan Pancasila dengan pemberontakan yang terjadi menjelang pengakuan kedaulatan RI merupakan penghianatan terhadap komitmen untuk mempertahankan Indonesia, sebagai negara merdeka.
Mengenai tumbuhnya harapan-harapan lain diluar Pancasila yang menciptakan heterogenitas apresiasi Pancasila dan bermuara pada usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain dengan cara kekerasan, Simatupang mengatakan demikian:
Dalam pada itu sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949, maka telah muncul dua harapan tandingan terhadap Pancasila dan UUD 45. Yaitu, pada satu pihak, harapan tandingan untuk mendirikan negara Komunis yang dicetuskan oleh pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948. Dan pada pihak lain harapan tandingan untuk mendirikan negara Islam yang dicetuskan oleh Darul Islam atau DI. Berlainan dengan harapan bersama bangsa kita yang bersifat inklusif dan nondiskriminatif. Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa yang satu bersifat eksklusif dan diskriminatif berdasarkan kelas, sedangkan yang lain bersifat eksklusif dan diskriminatif bersarkan agama. Yang satu kita kenal sebagai ekstrem kiri, sedangkan yang lain kita kenal dengan nama ekstrem kanan.[ T.B. Simatupang, Harapan, Keprihatinan dan Tekad, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1998), h. 59.]
Harapan-harapan tandingan yang muncul menjelang tahun 1949 yang menciptakan kemajemukan status Pancasila merupakan buah dari penerimaan sementara terhadap Pancasila oleh Islam Formalis dan Komunis. Identitas-identitas yang dihargai dan dilindungi oleh Pancasila kemudian berusaha untuk menggantikan Pancasila. Karena pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada kemudian menelan rasa persatuan di bawah Pancasila. Hal ini merupakan kelemahan Pancasila yang dapat menerima semua, sebagai suatu kompromi..
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sebagaimana telah diikrarkan secara bersama dalam pembukaan UUD 1945, baik oleh kelompok yang mengharapakan ideologi Marxisme maupun kelompok yang mengharapakan ideologi Islam, tidak lagi dihargai sebagai harapan tunggal. Dan timbullah pemberontakan untuk menggantikan Pancasila sebagi dasar negara.
Heterogenitas Pancasila memiliki kelemahan karena adanya heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila. Pancasila tidak menjadi harapan satu-satunya semua individu atau kelompok yang ada di Indonesia. Kelompok yang menginginkan ideologi Islam, terus berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam. Pancasila hanya diterima karena ideologi Islam belum berhasil menjadi ideologi negara Indonesia, secara khusus oleh Islam formalis yang terus berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Demikian juga dengan Komunis. Ideologi Komunis selalu dipegang sebagai harapan tandingan Pancasila, sehingga senantiasa diusahakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Heterogenitas Pancasila tersebut menimbulkan konflik, baik secara terbuka, maupun tertutup. Konflik yang timbul karena perbedaan apresiasi terhadap Pancasila tersebut seringkali menjadi ancaman bagi Pancasila sebagai harapan bersama rakyat Indonesia.
Mengenai konflik yang terjadi karena adanya heterogenitas Pancasila ini A.M.W Pranarka menerangkan demikian :
Pada awalnya konflik ideologi mengenai Pancasila itu tidak terjadi secara terbuka dan sistematik. Pancasila tumbuh secara iuxta positif dengan ideologi-ideologi lain. Dalam dasawarsa 1950-an interaksi antara berbagai ideologi itu menjadi terbuka dan konfliktif, sebagaimana terjadi di dalam perdebatan mengenai dasar negara di dalam sidang Konstituante. Ada dua sikap terhadap Pancasila: ada yang menolak Pancasila (ideologi Islam, ideologi Barat modern sekuler), ada yang menerima Pancasila. Selanjutnya terdapat pula pemikiran yang memodifikasikan Pancasila, baik dari kalangan aliran ideologi Islam maupun aliran ideologi Barat modern sekuler. Pergumulan ideologi itu masih berjalan terus sesudah dinyatakan Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak saat itu tidak terjadi konflik terbuka, akan tetapi pergumulan ideologi berjalan melalui tafsir: Pancasila ditafsirkan dengan berbagai aliran ideologi terutama ideologi keagamaan, dan ideologi Barat modern sekuler.[ A.M.W. Pranarkha, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, h. 140.]
Dalam sejarah perjuangan bangsa, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun.
Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.
Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.
Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia.
https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/heterogenitas-apresiasi-terhadap.html
No comments:
Post a Comment