BAB III
TINJAUAN KRITIS KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG IMAN KRISTIANI DALAM KONTEKS DEKLARASI UNIVERSAL HAM
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan dalam Bab I, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang sarat dengan pelanggaran hak kebebasan beragama. Dalam Bab II juga telah dijelaskan mengenai pandangan kristiani mengenai HAM secara khusus tentang kebebasan beragama. Dan di Bab III ini penulis akan memberikan tinjauan kristis terhadap pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia berdasarkan pemahaman kristiani.
A. Nasionalisme Indonesia.
Lahirnya NKRI merupakan suatu mujizat yang luar biasa. Sebagai negara yang paling terpecah-pecah di bumi ini, mustahil untuk dapat mempersatukannya. Indonesia memiliki ribuan buah pulau. Belum lagi kemajemukan agama, budaya dan bahasa. Dari segi budaya dan bahasa Indonesia adalah negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia memiliki 250 bahasa dan kira-kira 30 kelompok etnis. Wajarlah apabila terjadinya proses penyatuan dari pulau-pulau yang sangat terserak dan memiliki agama, budaya, dan bahasa yang sangat bergama, dianggap sebagai suatu mujijat. Karena ia melampaui kenyataan yang biasa ada di dunia, seperti India yang terpecah menjadi dua misalnya.[1]
Mengenai keberadaan Indonesia yang sangat beragam dan penuh kontradiksi dilukiskan oleh simatupang sebagai berikut:
Indonesia adalah negara yang penuh dengan kontradiksi. Ia adalah sebuah “negeri Islam” terbesar di dunia, dalam arti mempunyai jumlah penduduk beragama Islam yang terbanyak di dunia – lebih dari seratus juta orang. Namun, pada pihak lain, sebelum tahun 1965, Indonesia pernah mempunyai partai Komunis yang terkuat setelah Cina dan Rusia. Dan, jangan lupa, gereja-gerejanya. Beberapa di antaranya berkembang dengan pesat. Mengamati ketiga unsur di atas sekaligus, pasti membuat anda bertanya di dalam hati: negeri macam apakah itu?”[2]
Lahirnya NKRI dapat disebut lahirnya negara Nusantara ke 3 (lihat bab I), karna NKRI adalah negara yang ke 3 yang ada di bumi Nusantara. Namun NKRI bukan merupakan lanjutan dari negara Sriwijaya (negara nusantara ke 1), atau majapahit (negara nusantara ke 2), karena lahirnya NKRI merupakan penyatuan dari kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, yang pada mulanya adalah kumpulan bangsa-bangsa setelah runtuhnya negara Majapahit.
Keajaiban tentang lahirnya NKRI juga terlihat dari banyaknya kelompok-kelompok yang bersifat kedaerahan yang mengatur daerahnya sendiri. Daerah-daearah yang mengatur daerahnya dapat disebut sebagai negara-negara kecil. Negara-negara kecil ini lahir karena kehancuran kerajaanMajapahit. Jadi lahirnya Indonesia dianggap sebagai penyatuan negara-negara kecil tersebut, atau dapat disebut penyatuan bangsa-bangsa.
Menurut Simatupang (lihat bab I), semangat nasionalisme tidak lahir dari dalam rakyat Indonesia tetapi merupakan reaksi terhadap kolonialisme Barat. Kegagalan negara-negara tradisional Indonesia yang bersifat kedaerahan untuk melawan penjajahan Belanda, menumbuhkan semangat persatuan antar kelompok tradisional tersebut untuk mengusir Penjajah. Karena itu nasionalisme Indonesia dapat dianggap lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme Barat.
Mengenai jalan panjang lahirnya nasionalisme Indonesia yang bermuara pada lahirnya NKRI, A.S. Hikam menjelaskan sebagi berikut:
Jika kita perhatikan dengan seksama pertumbuhan wawasan kebangsaan kita, maka kita akan melihat proses pencarian yang cukup lama dan bertahap sebelum kemudian diformulasikan secara resmi oleh para pendiri bangsa, baik dalam bentuk ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Okober 1928 maupun dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan RI dan UUD 1945. dengan perkataan lain, proses pencarian identitas yang bermuara pada ditemukannya wawasan kebangsaan (nationalism) dilakukan melalui beberapa fase di dalam sejarah. Pada masa paling dini, agama, kebudayaan lokal, dan etnisitaslah yang mula-mula menyemangati dan menjadi sumber terpenting bagi munculnya kesadaran identitas baru yang oleh para sejarawan disebut sebagi protonasionalisme.[3]
Kolonialisme yang masuk ke Indonesia membuat raja-raja kehilangan kekuasaan riilnya, jadilah raja-raja tersebut hanya sebagai perpanjangan tangan penjajah. Ekspansi kolononialisme bukan hanya berdampak pada krisis legitimasi politik dan ideologis dengan hancurnya kekuasaan tradisonal, tetapi juga melahirkan sistem politik-ekonomi baru. Dengan hancurnya kekuasaan tradisional tersebut maka terjadilah kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut kemudian menyebabkan kepemimpinan jatuh ketangan elit di luar istana, termasuk pemimpin-pemimpin agama.[4]
Pada fase kepemimpinan tokoh-tokoh agama dan gerakan perlawanan terhadap perlawanan terhadap penjajah yang juga berasal dari pemimpin-pemimpin kelompok yang berada di luar istana, kolonialisme di beri cap sebagai orang lain yang memiliki identitas berbeda seperti dalam soal agama (kafir), etnis, ras, kebiasaan dan bahasa. Dalam perjuangan-perjuangan tersebut kita kenal nama-nama seperti Diponegoro (Jawa), Patimura (Ambon), Sultan Hasanudin (Makasar), Cut Nya dien (Aceh), Sunan Bonang dan kalijaga (tokoh Islam) dll. Perjuangan kelompok ini memang mengalami kegagalan namun hal tersebut menumbuhkan keasadaran identitas kelompok baru yang indigenous yang berhadapan dengan kolonialisme Belanda.
Pada fase berikutnya walaupun etnisitas dan agama masih dominant, ditemukan jati diri yang lebih memiliki jangkaun luas, seperti terlihat dalam Oraganisasi Budi Utomo, dan Sarekat Islam (SI), dimana Budi utomo berangkat dari etnik Jawa, dan SI menggunakan landasan Islam, tetapi keduanya memiliki klaim universal, karena itu disebut sebagai fase baru. Setelah fase kedaerahan, fase ini disebut Proto nasionalisme.[5]
Pada fase selanjutnya muncullah sintesa baru yang lahir dari para pemimpin pergerakan yang mengecap pendidikan dan peradaban Barat. Merekalah yang kemudian menanamkan benih wawasan kebangsaan yang modern. Wawasan kebangsaan yang bertumbuh menjadi wawasan kebangsaan Indonesia modern. Wawasan kebangsaan ini mentransenden ke dalam eksklusivisme etnis, ras agama dan golongan. Wawasan kebangsaan ini tetap membiarkan keragaman etnis, agama, ras dan golongan. Jadi wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh Indonesia lahir dari proses dialektik antara yang partikular dan universal, nilai-nilai yang transendental dengan sekuler, antara Barat dan Timur.[6] Pada fase ini nasionalisme telah bertumbuh dengan subur.
Tumbuhnya semangat nasionalisme yang semakin menguat sebagaimana di jelaskan diatas disebabkan oleh dua hal. Pertama pengaruh perkembangan kebangkitan bangsa-bangsa terjajah untuk mendapatkan kemardekaan. Peristiwa penting yang sangat mempengaruhi tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia adalah kemenangan Jepang (Asia) atas Rusia (eropa) tahun 1905. Dalam peristiwa tersebut Asia yang umumnya adalah bangsa jajahan Eropa membuktikan diri sebagai negara yang juga mempunyai kemampuan yang sama. Terbukti Rusia mengalami kekalahan dengan Jepang. Kedua, politik etis pemerintah Belanda yang menciptakan terjadinya peningkatan pendidikan pribumi dan melahirkan kaum terpelajar di Indonesia, yang kemudian menjadi pembawa benih wawasan kebangsaan ke Indonesia tanpa membunuh keragaman etnis, agama, ras dan golongan.[7]
Dalam pergerakan nasionalisme Indonesia tersebut muncul dua kekuatan besar yaitu, gerakan Kebangsaan yang memperjuangkan lahirnya negara Indonesia sekuler yang memberi tempat pada agama, dan kubu Islam yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Sedang kelompok Komunis yang juga sempat bertumbuh pada menjelang kemerdekaan tidak mempunyai kekuatan yang besar karena pada tahun 1926/1927 kelompok Komunis disingkirkan oleh pemerintahan kolonialisme. Tidaklah mengherankan jika pada pergulatan mengenai dasar negara pertentangan yang kuat hanya terjadi antara kubu kebangsaan yang menginginkan negara sekuler dan kubu Islam yang menginginkan Islam menjadi dasar negara.[8]
Nasionalisme Indonesia kemudian tumbuh dengan subur pada masa perang-perang gerilya mempertahankan kedaulatan negara. Menurut simatupang (lihat babI), pengalaman perang-perang Gerilya dimana rakyat Indonesia bersama-sama, bahu membahu melawan penjajah, menumbuhkan semangat nasionalisme yang telah bertumbuh menjelang kemerdekaan. Semangat inilah yang memungkinkan Indonesia yang sangat majemuk dapat bertahan sebagai negara NKRI.
Nasionalisme Indonesia yang melahirkan Indonesia sebagai negara merdeka yang baru dibawah Pancasila melahirkan masyarakat baru. Masyarakata Pancasila ini bukan lagi masyarakat-masyarakat lama yang terpisah-pisah sebagaimana yang ada sebelum kemerdekaan. Namun masyarakat Pancasila yang baru ini tidak dengan sendirinya dapat tercipta. Masyarakat Pancasila ini masih harus mengalami proses mewujud. Proses perwujudan masyarakat Pancasila ini berjalan lambat sehingga konflik suku, budaya dan agama sering kali terjadi. Karena memang masyarakat Pancasila yang satu tersebut belum memiliki wujud yang jelas.
Terhambatnya proses mewujudkan masyarakat Pancasila juga disebabkan oleh karena setelah perang kemerdekaan usaha untuk menumbuhkan semangat nasionalisme tidak lagi dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam setiap lapisan masyarakat Indonesia. Mengenai hal ini Tamrin Amal Tomagola menerangkan demikian:
Nasionalisme negara kemudian hanya subur dikalangan penyelenggara negara dan disebarkan serta dibela dengan gigh oleh perangkat birokrasi sipil dan militer, serta disebagian kalangan terdidik yang menjadi pegawai negeri. Sedangkan di lapisan masyarakat yang lain dan dibanyak wilayah Indonesia yang tumbuh subur justru nasionalisme agama dan nasionalisme etnis.[9]
Nasionalisme Indonesia yang tidak berakar dalam masyarakat Indonesia seharusnya terus ditumbuhkan dalam masyarakat Indonesia. Namun ternyata Nasionalisme itu justru ditelan oleh menguatnya komunalisme suku dan agama, karena memang nasionalisme hanya ditanamkan dalam sekompok kecil masyarakat. Akibatnya Indonesia sebagai negara baru tetap terdiri dari masyarakat lama yang mewujudkan masyarakat Pancasila. Konflik antar suku dan agama menjadi sesuatu yang terus menghiasai sejarah bangsa Indonesia.
Usaha untuk menyebarkan semangat nasionalisme tidak sebanding dengan usaha-usaha yang ingin menelan semangat nasionalisme yang terjadi secara terus menerus dan tidak pernah berhenti. Apalagi pemerintahan yang ada sering kali hanya memikirkan untuk melestarikan kekuasaan tanpa berpegang pada cita-cita bangsa Indonesia. Sehingga pembangunan masyarakat Pancasila sebagai perwujudan dari lahirnya negara Indonesia mengalami hambatan.
Beberapa peritiwa yang menjadi hambatan terwujudnya masyarakat Pancasila anatara lain adalah, adanya usaha untuk menggantikan Indonesia dengan Ideologi lain. Yaitu Komunis dan Islam. Menjelang kemerdekaan terjadi pemberontakan DI dan pada tahun 1965 terjadi pemberontakan Komunis untuk menumbangkan negara Republik Indonesia. Usaha memadamkan perlawanan dari DI dan Komunis membutuhkan waktu yang panjang. Keadaan ini tentu saja menjadi hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan masyarakat Pancasila. Karena Pancasila terus menerus dirong-rong dari dalam dengan cara kekerasan.
Setelah pemberontakan-pemberontakan tersebut dipadamkan usaha perlawanan terhadap Pancasila juga tidak terhenti. Yang terjadi adalah perubahan bentuk perlawanan, tidak lagi dengan cara kekerasan, tetapi perlawanan dilakukan dengan cara terselubung, yaitu melalui penetrasi nilai-nilai agama dan kelompok yang eksklusif dan menimbulkan heterogenitas Pancasila. Sayangnya dalam kondisi Indonesia tersebut usaha untuk menyuburkan semangat nasionalisme tidak dilakukan dalam sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya bukan hanya komunalisme agama yang terus bertumbuh tetapi juga dibarengi dengan komunalisme budaya. Kelompok Komunis tidak lagi memberikan perlawanan berarti karena pada jaman orde baru pemerintah mengahancurkannya dan menjadikannya partai terlarang dan paham terlarang.
Mengenai penyimpangan yang terjadi dalam proses pembangunan masyarakat Pancasila Darmaputera menjelaskan seperti berikut:
Dalam praktik kita bangun memang bukan masyarakat Pancasila. Masing-masing kelompok sibuk membangun masyarakatnya sendiri. Alhasil, yang terbangun bukanlah masyarakat Pancasila, melainkan satu masyarakat (Pancasila) yang merupakan kumpulan atau penjumlahan dari masyarakat-masyarakat tadi. Satu masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat. Bagaikan sebuah kepulauan yang terdiri dari ratusan pulau, yang satu sama lain tersekat-sekat oleh ribuan selat. Dari sinilah orang dengan tanpa risih dan terganggu mengucapkan atau mendengar: negara agama, No, masyarakat agama, Yes!.[10]
Karena usaha pembangunan Nasionalisme tidak berjalan dengan baik, maka pemabangunan masyarakta Pancasila mengalami penyimpangan. Menurut Darmaputera yang terbangun bukan masyarakat Pancasila yang satu, tetapi kumpulan masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat, yang berusaha untuk membangun dan membesarkan kumpulan umatnya sendiri dan menelan kumpulan umat lainnya. Dan kemudian menguasai negara.
Terciptanya komunalisme agama dan budaya yang menghambat lahirnya masyarakat Pancasila juga sangat dipengaruhi oelh sikap pemerintah. Pemerintahan yang tidak adil menyebabkan terjadinya diskriminasi suku budaya dan agama. Pembangunan yang tidak merata, membuat Indonesia menjadi beragam dalam kehidupan sosial ekonomi. Akibatnya pertumbuhan suku, budaya dan agama yang pada awalnya merupakan perlawanan terhadap sikap pemerintah yang tidak adil, kemudian mengarah pada konflik antar kelompok yang ada. Dan kondisi tersebut sering kali disuburkan oleh pemerintah dengan politik akomodasinya (lihat bab I), demi mempertahankan kekuasaannya.
Bukti politisasi agama yang dilakukan pemerintah yang membuat Indonesia semakin terkotak-kotak nyata pada pertengahan 1980-an sampai awal 1990-an. Pada waktu itu rezim orde baru menjadikan Pancasila sebagi ideologi pembangunan. Pancasila menjadi asas tunggal. Pancasila menjadi ideologi tertutup yang memiliki nilai operasional. Pancasila dijadikan alat politik orde baru untuk membungkam semua lawan politiknya. Pada masa ini Soehato menggunakan istilah tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila bagi lawan-lawannya. Pada masa ini juga sikap otoritarianisme orde baru semakin telanjang. Kemudian pada waktu Soeharto mengalami pertentangan dengan militer disini Soeharto mulai merangkul kelompok Islam formalis yang pada tahun 1970-an ditindas. Soeharto mensponsori pembentukan ICMI demi merangkul kelompok-kelompok Islam. Mas-masa ini disebut masa-masa bulan madu rezim orde baru dengan Islam (Islam Formalis), (lihat bab I). Pemerintah melakukan politisasi agama yang sangat berbahaya bagi persatuan Indonesia. Karena pada saat itu benturan antaragama menjadi sangat memprihatinkan.[11]
Pertumbuhan agama-agama dan budaya yang tidak dibarengi dengan bertumbuhnya semangat nasionalisme menjadikan pertumbuhan agama-agama dan budaya justru menelan semangat nasionalisme. Jadilah Indonesia sebagai negara dengan banyak konflik antar etnis dan agama. Kerusuhan antar etnis madura dan dayak di Kalimantan yang merenggut banyak korban jiwa merupakn bukti nasionalisme Indonesia tidak bertumbuh dengan subur. Belum lagi konflik di Ambon, Poso yang belum juga berakhir saat ini dan bernuansa agama, tidak dapat dipungkiri bahwa, komunalisme agama dan budaya telah menelan nasionalisme Indonesia.
Dari sudut pandang kristiani, kondisi Indonesia tersebut tidak perlu terjadi. Umat kristiani adalah warga negara Indonesia dan secara bersamaan warga gereja. Pertumbuhan Gereja yang ditandai dengan banyaknya orang yang menjadi Kristen tidak boleh menjadikan umat kristiani melepaskan kewarganegaran Indonesia. Pertumbuhan Gereja juga tidak boleh menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Karena perjuangan Gereja adalah perjuangan untuk keadilan Allah dan tidak diskriminatif.
Umat kristiani harus berperan dalam pembangunan masyarakat Pancasila, karena pembangunan masyarakat Pancasila merupakan wujud pengakuan bahwa Indonesia adalah bangsa yang satu yang berasal dari bangsa yang beragam dan memiliki masyarakat yang beragam. Usaha untuik mewujudkan masyarakat Pancasila merupakan wujud dari pada pelaksanaan komitmen terhadap Pancasila. Yang tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah.
Penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah, merupakan penyimpangan oknum yang berkuasa. Karena itu sikap kritis terhadap oknum yang berkuasa tidak serta merta menjadi perlawanan terhadap negara atau pengingkaran janji setia untuk membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila. Demikian juga sikap kritis terhadap oknum yang berkuasa tidak serta merta menjadi alat legitimasi untuk berbuat diskriminatif terhadap kelompok lain, yang lebih lemah. Sebaliknya bersama-sama dengan agama-agama yang ada, umat Kristen harus kritis terhadap pemerintah untuk dapat terus membangun Indonesia.
Pembangunan nasionalisme Indonesia yang mengalami hambatan, seharusnya menjadi tanggung jawab semua orang di Indonesia yang telah menyatakan ikrar untuk membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila. Menurut Pandangan Kristen, Pancasila adalah jalan terbaik, karena ia dapat menerima semua, karena itu pembangunan masyarakat Pancasila harus didasari oleh semangat untuk kebahagian semua orang yang ada di Indonesia. Perjuangan untuk membangun kebesamaan demi kesejahteraan bersama adalah benar menurut pandang kristiani.
B. Heterogenitas Pancasila.
Pancasila merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki ribuan pulau dengan berbagai macam suku, bahasa serta agama. Perang agama adalah suatu peristiwa yang hampir tidak terdengar dalam sejarah Indonesia, sampai pada masa kemerdekaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masuknya agama-agama baru ke Indonesia berlangsung dengan cara damai. Agama-agama suku sudah ada jauh sebelumnya, bahkan banyak yang bercampur dengan agama-agama yang datang.
Percampuran agama dengan agama suku itu melahirkan apa yang disebut dengan aliran kepercayaan. Namun demikian, hubungan antaragama di Indonesia tetap berjalan dengan baik. Dan meski penduduk negeri ini terdiri dari suku bangsa yang berbeda, berbeda bahasa, dan agama, namun bisa bersatu memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Kemudian Pancasila dipilih sebagai sesuatu yang dianggap menjadi alat perekat bangsa, karena ia memang merupakan kristalisasi bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut seharusnya mendorong setiap elemen bangsa mengusahakan agar Pancasila dapat tetap terpelihara, dijaga, dan setiap kelompok, suku dan agama senantiasa memberikan sumbangsihnya bagi pemikiran yang bersifat pancasilais, untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai alat perekat bangsa yang sangat beragam tersebut.
Kesadaran bahwa Pancasila merupakan alat perekat bangsa Indonesia, dan telah teruji dalam membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat penuh, menimbulkan semangat dalam setiap insan di Indonesia untuk terus menggali nilai-nilai dari Pancasila. Mengenai usaha-usaha ini, Eka Darmaputera menjelaskan sebagai berikut:
Sejak ia diperkenalkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, sampai kepada ketetapan MPR pada tanggal 22 Maret 1978, Pancasila telah mengalami berbagai perubahan dan dalam urutan, perumusan dan penekanan makna, selama kurun waktu itu banyak buku telah ditulis, dan berbagai sebutan telah diberikan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, salah satu ciri khas Pancasila ialah, bahwa ia memberikan tempat bagi bermacam-macam pendekatan.[12]
Usaha untuk terus menggali nilai-nilai Pancasila sebagai alat perekat bangsa, juga mendapatkan tandingan dari usaha-usaha untuk memasukkan pemikiran kelompok tertentu ke dalam Pancasila, apalagi Pancasila memang memberikan tempat bagi bermacam-macam pendekatan sebagaimana dijelaskan oleh Eka di atas. Maka terciptalah heterogenitas Pancasila yang bukan hanya mengandung aspek positif tetapi juga aspek negatif.
Ketika usaha-usaha dengan kekerasan untuk menggantikan Pancasila sebagi ideologi negara mengalami kegagalan, maka penetrasi nilai-nilai kelompok yang ingin menggantikan Pancasila terjadi dengan amat derasnya. Semangat komunalisme agama terus bertumbuh dengan subur sebagai saingan dari negara yang terus berusaha untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, walaupun tidak kepada seluruh lapisan masyarakat. Hubungan “partnership” yang seharusnya terjadi antara negara dan kelompok etnis serta agama, berubah menjadi hubungan yang saling menelan satu sama lain.
Persaingan antara negara dan kelompok agama menimbulkan tafsir yang beragam dari Pancasila, karena kelompok-kelompok agama berusaha melakukan penetrasi nilai-nilainya. Mereka tidak perduli apakah nilai tersebut dapat memenuhi syarat sebagai jati diri Pancasila atau tidak, sebab tujuan utama mereka adalah mengganti Pancasila dengan nilai-nilai kelompok agama mereka.
Tidak jarang Pancasila melahirkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan jati dirinya dan tidak dapat berfungsi sebagaimana adanya. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tafsir tentang pemikiran Pancasila terus bergeser dan tidak lagi menjadi sesuatu yang merekatkan bangsa, sebaliknya menjadi sumber konflik karena ke dalam Pancasila telah dimasukkan hal-hal yang bukan merupakan hakikat dirinya. Hal ini terjadi karena usaha untuk menggali pemikiran Pancasila didasarkan pada usaha untuk melakukan penetrasi ajaran agama atau kelompok tertentu ke dalam Pancasila semata, dan jika perlu mengesampingkan kelompok lain. Akibatnya diskriminasi menjadi sesuatu yang biasa.
Untuk memahami lebih jelas mengenai heterogenitas Pancasila ini penulis akan memaparkan secara terperinci daalam uraian mengenai keunggulan dan kelemahan pancasila.
1. Keunggulan Heterogenitas Pancasila.
Heterogenitas Pancasila pada hakekatnya merupakan wujud dari keberagaman yang ada di Indonesia. Keberagaman suku, budaya dan agama-agama, melahirkan heterogenitas pemikiran tentang Pancasila. Heterogenitas Pancasila disatu sisi menunjukan keunggulan dari Pancasila karena hal tersebut menjadi bukti bahwa semua orang yang berada dalam payung Pancasila identitasnya tetap dihargai. Kelompok suku, budaya dan agama-agama dapat bertumbuh dengan subur di bumi Indonesia dalam naungan Pancasila. Keberadaan tersebut menciptakan partisipasi yang tinggi dari setiap kelompok yang ada di Indonesia untuk memberikan sumbangsih pemikiran terhadap Pancasila.
Terjaganya hak-hak individu dan kelompok di dalam Pancasila merupakan kekuatan Pancasila sebagai kompromi bersama. Karena itu tidak mengherankan jika Darmaputera mengatakan bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik satu-satunya untuk Indonesia.[13]
Pancasila sebagai pilihan terbaik menjadi harapan seluruh bangsa Indonesai untuk membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjuangan bangsa Pancasila terbukti mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia untuk bahu membahu melawan penjajah. Pancasila mampu menjadi perekat bangsa.
Walaupun Pancasila dalam perjalanan menjadi ideologi dan dasar negara melewati proses perdebatan yang panjang antar kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Pancasila sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 telah dianggap sebagai sesuatu yang final. Keberadaan Pancasila ini merupakan kekuatan dimana bangsa yang baru merdeka tersebut memiliki arah dalam perjuangan bangsa.
Perdebatan antar kelompok yang ada semasa menjelang kemerdekaan dalam hal Pancasila juga mengindikasikan bahwa Pancasila sebelum menjadi ideologi dan dasar negara Indonesia telah mengalami proses kritik dari berbagai kalangan yang berbeda. Berarti sila-sila dari Pancasila merupakan rumusan yang lahir dari keterlibatan banyak orang di Indonesia, dengan segala keragamannya, yang memperkaya isi dari sila-sila di dalam Pancasila. Pancasila merupakan sintesa dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sintesa tersebut berisi nilai-nilai yang universal dan diterima oleh semua kelompok yang ada di Indonesia.
Nilai-nilai yang dituangkan dalam sila-sila dari Pancasila sebagai sintesa yang bersifat universal bukan hanya kerinduan bangsa Indonesia, tetapi menjadi kerinduan semua umat manusia. Sehingga Pancasila memiliki keunggulan karena tidak ada orang yang menolaknya.
Keterlibatan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia dalam memberikan sumbangsihnya terhadap pemikiran Pancasila nyata dalam munculnya heterogenitas tafsir Pancasila. Adanya keberagaman tafsir memungkinkan timbulnya sintesa-sintesa pemikiran yang lebih baik dari kelompok-kelompok yang ada.
Apabila terjadi perbedaan tafsir terhadap Pancasila, perbedaan tersebut tidak akan menimbulkan konflik. Perbedaan antara tafsir yang ada akan selalu menciptakan sintesa-sintesa, dan akan memberikan rumusan nilai-nilai bersama bagi hidup bersama.Usaha penafsiran yang demikian disebut penafsiran terhadap Pancasila yang dijiwai dengan semangat Pancasila yaitu kebhinekatunggalikaaan. Sebaliknya sumbangsih kelompok dan agama-agama yang ada akan menjadi negatif apabila didasarkan pada pengingkaraan Pancasila sebagai ideologi negara. Karena pada waktu perbedaan tafsir terjadi, kelompok-kelompok yang ada akan terus mempertahankan penafsirannya sebagai sessuatu yang benar. Akibatnya, perbedaan tafsir akan menimbulkan koflik, karena tidak dijiwai oleh semangat Pancasila.
Pancasila sebagai sesuatu yang menaungi semua memang hanya berisi hal-hal yang bersifat pokok saja, namun ini tidak boleh diartikan sebagi suatu kelemahan semata-mata. Keberadaan Pancasila yang memerlukan penjabaran lebih jelas tersebut disatu sisi memiliki kekuatan. Sehubungan dengan hal ini Simatupang menerangkan bahwa: “Kelima sila itu merupakan payung yang cukup lebar untuk semua orang. Tiada seorangpun mempunyai alasan apapun untuk menentangnya. Rakyat dapat menerimanya. Kami dapat hidup bersama-sama dibawahnya”.[14]
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia terbukti mampu menaungi semua, karena ia adalah isi dari jiwanya bangsa Indonesia. Mengenai hal ini Soekarno menerangkan seperti berikut:
Saudara-saudara, … buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekedar memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila itu buatan Soekarno … saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara seindah-indahnya, … Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu hidup lima perasaan.
Sebagai Kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia nilai-nilai dari Pancasila tidak berarti hanya menjadi milik monopoli masyarakat Indonesia, karena nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia tersebut dapat berupa nilai-nilai yang universal. Dan sifat universal dari Pancasila dapat dilihat dari sila-sila dalam Pancasila, yaitu ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kedaulatan rakyat dan keadilan, merupakan nilai-nilai yang universal, karena nilai-nilai tersebut menjadi kerinduan semua masyarakat di dunia, maka ia juga berarti kerinduan masyarakat Indonesia. Dengan dasar pemahaman itu juga penafsiran terhadap Pancasila harus berisi nilai-nilai yang universal. Pemikiran Pancasila yang berasal dari tafsir dari kelompok dan agama yang ada di Indonesia haruslah bersifat inklusif dan nondiskriminatif.
Tidaklah mengherankan jika Pancasila sebagai nilai-nilai yang universal diterima sebagai kompromi kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, karena Pancasila yang berisi nilai-nilai yang universal tersebut dimiliki oleh setiap kelompok dan agama yang ada, sehingga penerimaan Pancasila tidak akan menghapuskan identitas yang ada. Tetapi juga sesuatu yang benar apabila pertumbuhan kelompok yang ada tidak boleh menelan rasa persatuan sebagai bangsa di bawah Pancasila, karena Pancasila tidak menghambat perkembangan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia memiliki kekuatan. Kristalisasi nilai-nilai yang tertanam dalam perasaan-perasaan masyarakat Indonesia memiliki keunggulan, karena ia berisi nilai-nilai yang universal, dengan demikian Pancasila adalah ideologi terbuka. Artinya sebagai ideologi terbuka Pancasila mampu menerima kontribusi semua nilai-nilai yang berada dalam kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, serta ideologi-ideologi lain. Walaupun Pancasila tetap tidak dapat menerima apa saja. Penerimaan Pancasila memiliki batasan-batasan tertentu.
Sebagai ideologi terbuka Pancasila memang tidak memiliki nilai operasional, namun transformasi Pancasila ke dalam hukum dan perundang-undangan memungkinkan Pancasila dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undangan membutuhkan keterlibatan semua kelompok yang ada, sehingga hukum dan perundang-undangan tidak hanya berisi nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau agama tertentu. Sehingga diskriminasi suku dan budaya, serta agama-agama sesuatu yang ditentang oleh Pancasila.
Pancasila yang adalah nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia tersebut dapat disebut sebagai ideologi terbuka[15], karena setiap orang boleh memberikan tafsir kepada Pancasila, dan penafsiran tunggal merupakan sesuatu yang tidak memiliki tempat dalam Pancasila. Sedang dalam ideologi tertutup penafsiran yang berbeda tidak memiliki tempat. Karena itu Heterogenitas Pancasila secara positif merupakan gambaran bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, dimana setiap kelompok yang ada dalam negara Indonesia memiliki tempat dalam memberikan kontribusinya dalam mengisi Pancasila. Namun penerimaan dari pemikiran yang disumbangkan tersebut harus mengalami proses dialog, dimana setiap kelompok boleh memberikan kritik dari pemikiran tersebut, barulah pemikiran tersebut dapat dianggap menjadi nilai-nilai dari Pancasila yang dapat menampung keberbedaan masyarakat Indonesia. Usaha untuk memasukan pemikiran terhadap Pancasila tidak boleh dilakukan dengan cara paksa.
Sebagai Ideologi terbuka Pancasila tidak memiliki nilai operasional sehingga tingkah laku orang Indonesia tidak dapat dinilai dengan penerapan ideologi Pancasila secara langsung. Pengoperasian dari Pancasila sebagai ideologi terbuka harus melalui perangkat hukum dan perundang-undangan. Jadi pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia berarti Pancasila menjadi sumber hukum dari setiap hukum yang ada di Indonesia yang penjabarannya dinyatakan dalam undang-undang. Peraturan perundang-undangan inilah yang dapat menjadi tolok ukur apakah tingkah laku masyarakat Indonesia sesuai dengan Pancasila atau tidak. Namun tidak berarti bahwa setiap pelanggaran terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada merupakan perlawanan terhadap Pancasila.
Dalam usaha untuk menciptakan perangkat hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari Pancasila, semua kelompok yang ada harus berpartisipasi aktif. Dan partisipasi itu menjadi sesuatu yang positif apabila setiap kelompok yang ada berpegang kepada Pancasila sebagai ideologi negara yang mempersatukan bangsa Indonesia, bukan pada ideologi yang lain.
Heterogenitas Pancasila merupakan gambaran bahwa Pancasila diakui sebagai ideologi. terbuka. Pancasila dapat menerima semua keberagaman yang ada. Sebagai ideologi terbuka Pancasila memiliki kekuatan karena ia berisi nilai-nilai yang universal dan terbuka bagi perubahan untuk menjadikannya tetap relevan sepanjang jaman.
Selama Tafsir tentang Pancasila dijiwai oleh semangat kbehinekatunggalikaan yang adalah realitas bangsa Indonesia, maka Pancasila akan mampu menampung semua, walaupun tidak berarti Pancasila boleh diisi apa saja.
Pancasila sebagai pilihan terbaik selalu diusung oleh pemerintah yang ada, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Kegagalan Indonesia untuk mengatasi konflik dalam negara Indonesia, bukan karena Pancasila tidak mampu memberikan solusi bagi penyelesain konflik tersebut, tetapi dikarenakan Pancasila mengalami perkembangan pemikiran. Perkembangan pemikiran Pancasila pada realitanya berisi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila itu sendiri. Jadi dalam dirinya Pancasila senantiasa menjadi alat yang mempersatukan bangsa Indonesia, karena Pancasila adalah payung yang lebar dan dapat menampung semua keragaman yang ada di Indonesia. Apabila Pancasila ditafsirkan secara inklusif dan nondiskriminatif, maka pemikiran Pancasila akan berisi nilai-nilai yang memberi keadilan bagi semua.
2. Kelemahan Heterogenitas Pancasila.
Pada sisi lain heterogenitas Pancasila mempunyai kelemahan. Perbedaan tafsir terhadap Pancasila dapat menimbulkan konflik apabila tidak disikapi dengan tepat. karena keberbedaan pada hakekatnya bukan hanya menjadi kekayaan bangsa, tetapi juga dapat menjadi potensi konflik dalam kehidupan bersama, secara khusus munculnya perbedaan tafsir terhadap Pancasila yang didasarkan pada pemahaman agama-agama yang berbeda-beda.
Heterogenitas Pancasila setidaknya terjadi dalam tiga hal. Pertama heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila, kedua, heterogenitas terhadap pengakuan sumber dari Pancasila, ketiga, heterogenitas tafsir Pancasila. Hetereogenitas Apresiasi, sumber dan tafsir terhadap Pancasila tersebut kemudian membuat Transformasi Pancasila tidak berjalan dengan mulus dalam hukum dan perundang –undangan.
a. Heterogenitas Apresiasi Pancasila.
Heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila ini terjadi karena kelompok-kelompok yang ada di Indonesia tidak berpegang pada konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Status Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak diakui sebagai sesuatu yang final oleh semua individu atau kelompok yang ada di Indonesia. Kelompok-kelompok yang ada tersebut (Marxisme dan ideologi Islam) mengingkari sumpah setianya untuk membangun negara Indonesia dibawah Pancasila. Dan terus memegang harapan-harapan lain (Marxisme dan Ideologi Islam).Hal tersebut nampak dengan adanya keinginan menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara, baik melalui penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam Pancasila, maupun dengan cara kekerasan.
Mengenai penerimaan Islam formalis terhadap Pancasila sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, Darmaputera menjelaskan demikian:
Penerimaan Islam pada waktu itu adalah bersifat “sementara” dan “taktis”, dengan pertimbangan mereka akan memperjuangkannya kembali secara konstitusional kelak, yaitu yang terjadi pada sidang-sidang konstituante dan sebagian mengambil langkah perjuangan bersenjata…penerimaan Islam pada waktu itu diikuti oleh beberapa “konsesi” penting, misalnya adanya Departemen Agama, berlakunya hukum pengadilan agama Islam.[16]
Penerimaan Islam formalis (lihat bab I) yang menginginkan negara berdasarkan ideologi Islam ini juga terjadi pada penerimaan terhadap Pancasila sebagaimana di lakukan oleh kaum Marxisme, kelompok komunis pada menjelang kemerdekaan belum mempunyai kekuatan yang menonjol dibandingkana kubu kebangsaan dan Islam. Sehingga Komunis memilih untuk mendukung kubu kebangsaan pada semenetara waktu. Akibatnya Pancasila mengalami kemajemukan status, dan terjadilah apresiasi terhadap Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila dapat dimengerti karena Pancasila merupakan kompromi politik (Kebangsaan, Islam dan Marxisme). Pada waktu kelompok-kelompok politik yang ada tidak lagi berpegang pada pengakuan bahwa Pancasila adalah ideologi negara, maka kelompok-kelompok tersebut berusaha untuk melakukan penetrasi nilai- nilai mereka secara paksa kedalam Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila seharusnya telah selesai sejak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi negara, karena Pancasila merupakan konsensus dari seluruh rakyat Indonesia. Dan Pancasila yang telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 harus diterima oleh setiap kelompok yang ada di bumi Indonesia sebagai sessuatu yang final.
Pancasila sebagai suatu kompromi dari kelompok-kelompok politik yang ada di Indonesia tidak dapat memuaskan semua pihak, namun Pancasila merupakan jalan terbaik untuk memelihara kebhinekaaan Indonesia. Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara, apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.
Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan negara.
Ironisnya usaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain dengan cara kekerasan terjadi pada tahun 1949, saat dimana Indonesia akan mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka, yang seharusnya disyukuri bersama. Usaha menggantikan Pancasila dengan pemberontakan yang terjadi menjelang pengakuan kedaulatan RI merupakan penghianatan terhadap komitmen untuk mempertahankan Indonesia, sebagai negara merdeka.
Mengenai tumbuhnya harapan-harapan lain diluar Pancasila yang menciptakan heterogenitas apresiasi Pancasila dan bermuara pada usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain dengan cara kekerasan, Simatupang mengatakan demikian:
Dalam pada itu sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949, maka telah muncul dua harapan tandingan terhadap Pancasila dan UUD 45. Yaitu, pada satu pihak, harapan tandingan untuk mendirikan negara Komunis yang dicetuskan oleh pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948. Dan pada pihak lain harapan tandingan untuk mendirikan negara Islam yang dicetuskan oleh Darul Islam atau DI. Berlainan dengan harapan bersama bangsa kita yang bersifat inklusif dan nondiskriminatif. Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa yang satu bersifat eksklusif dan diskriminatif berdasarkan kelas, sedangkan yang lain bersifat eksklusif dan diskriminatif bersarkan agama. Yang satu kita kenal sebagai ekstrem kiri, sedangkan yang lain kita kenal dengan nama ekstrem kanan.[17]
Harapan-harapan tandingan yang muncul menjelang tahun 1949 yang menciptakan kemajemukan status Pancasila merupakan buah dari penerimaan sementara terhadap Pancasila oleh Islam Formalis dan Komunis. Identitas-identitas yang dihargai dan dilindungi oleh Pancasila kemudian berusaha untuk menggantikan Pancasila. Karena pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada kemudian menelan rasa persatuan di bawah Pancasila. Hal ini merupakan kelemahan Pancasila yang dapat menerima semua, sebagai suatu kompromi..
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sebagaimana telah diikrarkan secara bersama dalam pembukaan UUD 1945, baik oleh kelompok yang mengharapakan ideologi Marxisme maupun kelompok yang mengharapakan ideologi Islam, tidak lagi dihargai sebagai harapan tunggal. Dan timbullah pemberontakan untuk menggantikan Pancasila sebagi dasar negara.
Heterogenitas Pancasila memiliki kelemahan karena adanya heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila. Pancasila tidak menjadi harapan satu-satunya semua individu atau kelompok yang ada di Indonesia. Kelompok yang menginginkan ideologi Islam, terus berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam. Pancasila hanya diterima karena ideologi Islam belum berhasil menjadi ideologi negara Indonesia, secara khusus oleh Islam formalis yang terus berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Demikian juga dengan Komunis. Ideologi Komunis selalu dipegang sebagai harapan tandingan Pancasila, sehingga senantiasa diusahakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Heterogenitas Pancasila tersebut menimbulkan konflik, baik secara terbuka, maupun tertutup. Konflik yang timbul karena perbedaan apresiasi terhadap Pancasila tersebut seringkali menjadi ancaman bagi Pancasila sebagai harapan bersama rakyat Indonesia (lihat bab I).
Mengenai konflik yang terjadi karena adanya heterogenitas Pancasila ini A.M.W Pranarka menerangkan demikian :
Pada awalnya konflik ideologi mengenai Pancasila itu tidak terjadi secara terbuka dan sistematik. Pancasila tumbuh secara iuxta positif dengan ideologi-ideologi lain. Dalam dasawarsa 1950-an interaksi antara berbagai ideologi itu menjadi terbuka dan konfliktif, sebagaimana terjadi di dalam perdebatan mengenai dasar negara di dalam sidang Konstituante. Ada dua sikap terhadap Pancasila: ada yang menolak Pancasila (ideologi Islam, ideologi Barat modern sekuler), ada yang menerima Pancasila. Selanjutnya terdapat pula pemikiran yang memodifikasikan Pancasila, baik dari kalangan aliran ideologi Islam maupun aliran ideologi Barat modern sekuler. Pergumulan ideologi itu masih berjalan terus sesudah dinyatakan Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak saat itu tidak terjadi konflik terbuka, akan tetapi pergumulan ideologi berjalan melalui tafsir: Pancasila ditafsirkan dengan berbagai aliran ideologi terutama ideologi keagamaan, dan ideologi Barat modern sekuler.[18]
Dalam sejarah perjuangan bangsa, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun (lihat bab I).
Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.
Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.
Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia.
b. Heterogenitas Pendapat tentang Sumber Pancasila.
Pancasila sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan UUD 1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang final sebagai ideologi dan dasar negara. Namun secara de fakto masih memerlukan penyadaran dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda terhadap Pancasila seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila merupakan konsensus bersama, maka semua orang Indonesia harus memiliki pengharapan yang sama, yaitu membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.
Adanya apressiasi terhadap Pancasila kemudian menimbulkan perbedaan pendapat mengenai sumber dari Pancasila, dan menciptakan heterogenitas pendapat tentang sumber Pancasila.
Heterogenitas terhadap sumber dari Pancasila melahirkan setidaknya 7 pendapat yang berbeda.
Heterogenitas pendapat mengenai sumber Pancasila ini terdiri dari:[19]
1. Sumber Pancasila adalah Pidato lahirnya Pancasila yang diucapkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
2. Sumber Pancasila adalah rumusan Muhamad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.
3. Sumber Pancasila adalah kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam mengenai dasar negara, yang hasilnya dituangkan di dalam Piagam Jakarta.
4. Sumber Pancasila adalah pembukaan UUD 1945, dimana terdapat perumusan mengenai dasar negara.
5. Sumber Pancasila adalah Tap XX/MPRS/1966.
6. Sumber Pancasila adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
7. Sumber Pancasila adalah kepribadian Indonesia.
Heterogenitas pemahaman mengenai sumber Pancasila tersebut di atas menimbulkan problematik yang tidak mudah diselesaikan, apalagi sebelum penetapan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila mengalami perkembangan sebagaimana dijelaskan dalam sumber-sumber dari Pancasila di atas.
Heterogenitas Pendapat mengenai sumber Pancasila merupakan kelemahan dari Pancasila, karena dalam proses Pancasila ditetapkan dalam UUD 1945 melalui proses yang panjang, dan terjadi perdebatan antar kelompok yang berbeda. Apalagi ternyata Pancasila yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, juga mengalami perbedaan dengan UUD sementara, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS).
c. Heterogenitas Tafsir Pancasila.
Perbedaan pandangan mengenai sumber dari Pancasila ini kemudian menimbulkan heterogenitas tafsir terhadap Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila ini, tidak hanya menyangkut struktur Pancasila, tetapi juga menyangkut isi dari sila-sila di dalam Pancasila.
Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila yang berkaitan dengan struktur Pancasila lahir karena adanya heterogenitas sumber dari Pancasila. Timbulnya keragaman tafsir mengenai struktur Pancasila disebabkan adanya pemahaman bahwa didalam sila-sila dari Pancasila ada sila yang utama dan menjadi sumber dari semua sila dalam Pancasila.
Pandangan yang menekankan bahwa sila pertama adalah sila utama dari Pancasila dan menjadi sumber bagi sila-sila yang lain dari Pancasila didasarkan pada pandangan agama Islam. Pandangan ini mendasarkan pandangannya bahwa Pancasila lahir dari pemikiran M.Yamin yang beragama Islam. Sila pertama dari Pancasila kemudian ditafsirkan berdasarkan kepercayaan agama monotheisme. Pandangan tersebut muncul karena menurut pendapat Muhamad Yamin, agama Indonesia pada waktu menjelang kemerdekaan adalah agama-agama yang monotheisme, bukan agama-agama nenek moyang.[20]
Pemahaman bahwa sila pertama dari Pancasila hanya dapat ditafsirkan menurut pandangan agama motheisme, menjadikan sila ketuhanan yang maha esa menjadi sila utama dari Pancasila dan menjadi titik tolak penafsiran dari sila-sila di dalam Pancasila.
Demikian juga apabila sumber Pancasila dianggap berasal dari pemikiran Piagam Jakarta, maka sila pertama akan ditafsirkan berdasarkan agama Islam, akibatnya agama Islam dianggap menjadi dasar bagi penafsiran sila pertama, dan agama-agama lain tidak mempunyai hak untuk menafsirkan sila tersebut, karena sila pertama dari Pancasila di klaim sebagai sesuatu yang bersumber dari agama Islam. Mengenai klaim bahwa sila pertama hanya dapat secara tepat ditafsirkan dalam bingkai agama Islam Saefuddin mengutif Hazairin menjelaskan seperti berikut:
Dari manakah datangnya sebutan “Ketuhanan YME” itu? Dari pihak Nasranikah, atau pihak Hindukah, atau dari pihat “Timur Asing” (seorang keturunan Cina)-kah, yang ikut bermusyawarah dalam panitia yang bertugas menyusun UUD 1945 itu? Tidak mungkin! Istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu hanya sanggup diciptakan oleh otak, kebijaksanaan, dan Iman orang Indonesia Islam, yakni sebagai terjemahan pengertian yang terhimpun dalam Allahu al-Wahidu al-Ahad yang disalurkan dari QS 2:163 dan QS 112, dan dizikirkan dalam doa Kanzu’l-Arys baris 17.[21]
Pandangan Hazairin yang dikutip oleh Saefuddin nampak terlalu cepat, pendapat tersebut diutarakan tanpa berusaha untuk mempelajari agama-agama yang ada. Adanya nilai yang universal dalam suatu agama, tidak berarti hanya menjadi miliki agama tertentu. Karena kebenaran yang universal berasal dari Tuhan, dan tidak dapat di klaim milik agama tertentu. Kepercayaan adanya Allah yang esa, ada dalam banyak agama. Bahkan kepercayaan animisme juga mempercayai adanya pribadi yang lebih tinggi dari apa yang ada, dan dapat dianggap sebagai kepercayaan kepada allah yang esa. Dari penjelasan di atas nampak bahwa Pancasila memiliki kelemahan karena penafsiran Pancasila dapat bertentangan dengan isi Pancasila sebagai suatu kompromi pada waktu ia ditetapkan. Terlebih lagi jika penafsiran tersebut merupakan penetrasi nilai-nilai agama yang eksklusif.
Disamping pemikiran yang didasarkan pada pemahaman agama, yang menciptakan sila pertama sebagai sila utama dalam struktur Pancasila, heterogenitas tafsir struktur Pancasila juga dipengaruhi oleh ideologi lain. Menurut pandangan kelompok Komunis, sila persatuan harus menjadi sila yang utama dari Pancasila. Sehingga sila-sila lain harus ditafsirkan dengan titik tolak dari sila persatuan tersebut. Tafsiran yang inklusif dan nondiskriminatif terhadap struktur Pancasila dikemukakan oleh Kihadjar Dewantoro, dengan menekankan bahwa sila kemanusiaan harus menjadi yang utama dari sila-sila dari Pancasila, dan Pancasila harus diartikan dengan titik berangkat pada sila kemanusiaan. Dan ada juga pandangan yang menekankan keadilan sebagai sila yang utama [22]
Heterogenotas tafsir terhadap struktur Pancasila ini menimbulkan perbedaan struktur hierarkis dari Pancasila. Maka timbullah struktur hierarkis piramidal yang berbeda-beda.
Tafsir terhadap adanya struktur hierarkis terhadap Pancasila bertentangan dengan pemikiran yang menekankan bahwa Pancasila merupakan suatu keutuhan manunggal bulat dari sila satu dengan lainnya. Pemahaman bahwa sila-sila dari Pancasila merupakan suatu kesatuan yang manunggal dan utuh merupakan pemahaman yang lebih awal dari tafsir tentang struktur Pancasila yang bersifat hierakis pyramidal.
Pemahaman bahwa sila sila dari Pancasila merupakan satu kesatuan manunggal tersebut berangkat dari pemahaman bahwa Pancasila bersumber dari kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia, yang disebut oleh Soekarno sebagai “isi jiwa bangsa Indonesia”.[23]
Heterogenitas tafsir Pancasila menimbulkan pemahaman yang berbeda mengenai struktur Pancasila. Keberbedaan struktur Pancasila tidak hanya terjadi dalam struktur hierarkis Pancasila itu sendiri, tetapi juga dengan pandangan yang menganggap bahwa di dalam Pancasila tidak ada struktur hierarkis. Sebaliknya sila-sila dari Pancasila saling kait mengkait, dan tidak ada yang utama. Pancasila adalah satu kesatuan yang utuh manunggal. Perbedaan tafsir mengenai struktur Pancasila ini kemudian menimbulkan perbedaan tafsir dari sila-sila dalam Pancasila.
Heterogenitas tafsir Pancasila yang berkaitan dengan struktur Pancasila memiliki kelemahan karena Pancasila dapat dianggap sebagi produk kelompok agama tertentu, dan kemudian ditafsirkan secara eksklusif. Artinya hanya agama atau kelompok tertentu yang memiliki hak tafsir terhadap silas-sila dari Pancasila.
Disamping heterogenitas tafsir Pancasila yang menyangkut struktur Pancasila, heterogenitas Pancasila juga terjadi dalam penafsiran sila-sila dari Pancasila. Dalam sila pertama tercipta heterogenitas penafsiran. Ada penafsiran yang mengatakan bahawa sila pertama merupakan pemikiran orang Islam sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tentang struktur Pancasila di atas.
Sila pertama yang seharusnya merupakan pengakuan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan, yang dinyatakan dalam pengakuan kepada “Tuhan Yang Maha Esa” suatu pengakuan yang tidak menunjuk kepada “Allah” atau “Tuhan” dalam agama tertentu, melainkan kepada “konsep” atau satu “prinsip” yang umum dan abstrak (lihat Bab I). Ditafsirkan menjadi kepercayaan kepada “Allah” dalam agama tertentu. Penafsiran sila pertama sebagai pengakuan yang lahir dari agama Islam menimbulkan diskriminasi terhadap agama lain, secara khusus agama-agama suku dan aliran kebatinan yang tidak dapat menyesuaikan kepercayaannya untuk mengakui adanya Allah dalam agama Islam.
Penafsiran sila-sila dari Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas bertentangan dengan penafsiran Soekarno yang berpandangan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi tri sila yaitu sosio-nasionalisme, sosio demokrasi, dan ke Tuhanan yang maha esa. Dan ketiganya dapat diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong.[24]
Penafsiran Soekarno terhadap Pancasila menjadi gotong royong dianggap menjadi ancaman bagi golongan Islam Formalis yang selalu ingin melakukan penetrasi nilai-nilai Islam ke dalam Konstitusi.
Mengenai penolakan paham gotong royong Soekarno sebagai penamaan dari Pancasila Saefuddin mengutip M. Roem menerangkan demikian:
Tentu tidak ada orang yang menolak dasar “gotong royong”. Gotong Royong adalah ciri atau sila tersendiri yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad. Tetapi saya rasa terlalu jauh untuk menggali lima sila itu dengan gotong royong. Terutama sila Ketuhanan Yang Maha esa tidak dapat dihilangkan atau diselipkan dalam “gotong royong” bagi orang-orang yang memandang agamanya dengan sungguh-sungguh.[25]
Penafsiran Soekarno yang memeras Pancasila menjadi gotong royong bertentangan dengan pemikiran Piagam Jakarta, yang menjadikan sila ketuhanan yang maha esa dalam bingkai agama Islam menjadi sila utama yang menjadi sumber bagi sila-sila yang lain. Kedua pendangan yang berbeda tersebut juga bertentangan dengan penafsiran Pancasila yang didasarkan pandangan bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh manunggal dan di dalam sila-sila Pancasila tidak ada sila yang utama, sebaliknya sila-sila di dalam Pancasila di batasi oleh sila-sila yang lainnya.
Heterogenitas tafsir Pancasila tersebut kemudian berusaha diselesaikan oleh Soekarno melalui pidato politiknya pada tanggal 17 Agustus 1959 yang kemudian diberi nama Manifesto Politik (MANIPOL) dimana didalamnya Soekarno mengemukakan tentang gotong royong tiga kekuatan yaitu nasionalis, Islam dan Komunis. Soekarno menyebutnya NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis). Jadi Nasakom merupakan sintesa dari tiga ideologi menjadi satu jiwa. Bahkan Soekarno juga mengatakan bahwa Pancasila adalah sintesa yang lebih tinggi antara Deklarasi Kemerdekaan Amerika serikat dan Manifesto Komunisnya Rusia. Akibat eksperimen Soekrno ini maka Indonesia mendekati pada kehancuran ekonomi serta tercipta konflik-konflik ideologis dan primordial.[26]
Dari penjelasan di atas nampak bahwa heterogenitas tafsir Pancasila memiliki kelemahan, karena Pancasila dapat ditafsirkan secara eksklusif dan diskriminatif oleh kelompok dan agama-agama tertentu. Dari sisi pemerintah, Pancasila juga dapat ditafsirkan untuk mempertahankan kekuasaan yaitu berusaha untuk menyenangkan sekelompok orang untuk mempertahankan kekuasaannya.
Karena itu heterogenitas tafsir terhadap Pancasila tidak boleh disertai pemaksaan untuk menjadikan penafsirannya sebagai sesuatu yang sungguh sesuai dengan isi Pancasila, sebelum mengalami kritik dari kelompok-kelompok lain. Demikian juga pemerintah tidak dapat mengklaim diri sebagai pemegang tafsir tunggal terhadap Pancasila.
Pancasila sebagai Kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia, dimana sila-sila dari Pancasila merupakan jiwanya bangsa Indonesia dapat dimengerti bahwa dalam sila-sila tersebut tidak ada sila yang lebih utama. Sebaliknya sila-sila dari pada Pancasila dibatasi oleh sila-sila yang lainnya. Karena itu penafsiran Pancasila haruslah mengkaitkan antara sila yang satu dari Pancasila dengan sila-sila lainnya.
Misalnya, sila ketuhanan yang maha esa tidak dapat dilihat lepas dari sila persatuan Indonesia dan sila-sila lainnya dari Pancasila. Apabila sila ke satu dari Pancasila ditafsirkan lepas dari sila-sila lainnya, maka sila ini akan mengabaikan kelompok lain yang ada di Indonesia. Apabila sila ketuhanan yang maha esa ditafsirkan dalam bingkai ideologi Islam, maka sila ini dapat diartikan sebagai tauhid, kepercayaan kepada Tuhan yang esa. Maka penafsiran tersebut akan mengabaikan agama Hindu yang memiliki banyak dewa, demikian juga Budha yang tidak berbicara tentang Allah, dan juga dengan agama-agama suku serta aliran kebatinan. Namun apabila sila ini ditafsirkan dalam bingkai persatuan Indonesia. Maka sila ketuhanan yang maha esa menaungi semua agama yang ada di Indonesia. Sehingga pandangan Simatupang (lihat bab I) yang menjelaskan bahwa sila pertama merupakan kepercayaan akan adanya allah (hurup kecil) berarti suatu konsep tentang Allah yang dipercayai oleh semua orang Indonesia, maka sila ini tidak akan membuat diskriminasi terhadap penganut agama-agama suku dan aliran kepercayaan.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab yang merupakan penolakan terhadap rasialisme dapat diartikan bahwa adanya persamaan derajat manusia yang harus dihormati. Sila ini jika dikaitkan dengan sila pertama akan mempunyai gambaran yang lebih jelas. Dimana manusia yang ada dalam kesederajatan tersebut adalah mahkluk mulia yang adalah ciptaan Tuhan. Dan seharusnya hidup dalam persatuan (sila ke 3) dan mempunyai kaitan yang erat dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan dengan sila keadilan sosial.
Sila persatuan Indonesia sebagai sila yang ketiga dari Pancasila merupakan sesuatu yang penting. Kedaulatan negara Indonesia dapat terwujud karena semua elemen bangsa bahu-membahu berjuang dalam semangat persatuan untuk mengusir penjajah. Dan dalam hubungan dengan sila pertama, sila persatuan merupakan kerja-sama antar agama yang berbeda untuk saling memberikan tempat bagi kebebasan beragama dari agama-agama yang beragam tersebut. Demikian juga sila ini terkait dengan sila-sila lainnya.
Sila keempat merupakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikamt kebijaksanaan/perwakilan. Sila ini di artikan sebagai demokrasi. Memang kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia tidak mengenal demokrasi. Namun di desa-desa terdapat unsur-unsur demokrasi yang asli. Dengan masuknya agama Kristen dan Islam sangat berperan dalam memperbaiki pemerintahan yang ada. Pernyataan bahwa sila keempat dapat diartikan sebagai demokrasi dengan melihat pasal 1 UUD 1945 dimana dijelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dan Kedaulatan yang berada di tangan rakyat ini dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sila ini juga mesti dikaitkan dengan sila-sila lainnya.
Jadi demokrasi sebenarnya bukan khas Indonesia, walaupun demokrasi sebagai nilai-nilai yang universal ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia, namun ia bukanlah sesuatu yang berasal dari kehidupan masyarakat Indonesia, melainkan dari Barat. Namun karena nilai-nila itu bersifat universal, maka demokrasi bukanlah milik khusus masyarkat Barat, tetapi sesuatu yang bersifat universal.
Sedang sila kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga harus ditafsirkan dengan mengaitkan dengan sila-sila lain dari Pancasila. Apabila dikaitkan dengan sila kedua maka hal ini dapat diartikan bahwa keadilan sosial berarti memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang di Indonesia, untuk mengembangkan talentanya. Bagi pembangunan Indonesia. Jika dikaitkan dengan sila ketuhanan yang maha esa, dapat diartikan bahwa setiap kelompok agama yang ada harus memiliki tempat yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi agama.
Penafsiran Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas juga dapat dilihat dalam batang tubuh UUD 1945 serta penjelasannya, walaupun tetap perlu penjabaran yang lebih mendeteil. Ketuhanan Yang maha esa ada dalam pasal 29 yang menjelaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Sila kedua Kemanusiaa yang adil dan beradab dimuat dalam pasal 27, 28, 30, 31. Pasal 27 ayat satu menjelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung Hukun dan Pemerintahan itu dengn tidak ada kecualinya. Persatuan Indonesia termuat dalam pasal 1, 32, 35. Pasal1 menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic, dan kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sila ke 4 dimuat dalam sila1, 2,3, 28, 37. Pasal 37 menjelaskan cara mengubah UUD 1945, yaitu 2/3 jumlah anggota MPR harus hadir. Dan sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dimuat dalam pasal 23, 27, 28, 29, 31, 33, 34. Pasal 33 menjelaskan bahwa semua cabang-cabang produksi harus diusahakan untuk kemakmuran bersama.
Penafsiran Pancasila di atas hanya memuat hal-hal yang penting dalam Pancasila. Untuk dapat diamalkan Pancasila memerlukan penjabaran yang mendeteil. Penjabaran tersebut ada dalam hukum dan perundang-undangan. Karena itu Penafsiran Pancasila dalam perundang-undangan yang memiliki nilai operasional harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh semua.
Namun pada realitanya heterogenitas tafsir Pancasila memilki kelemahan karena Pancasila dapat ditafsirkan secara eksklusif dan diskriminatif. Terbukanya peluang bagi kelompok-kelompok dan agama-agama untuk memasukan kedalam Pancasila nilai-nilai yang bersifat eksklusif dan diskriminatif, merupakan kelemahan dari heterogenitas Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila memiliki kelemahan karena bukan hanya batas-batas eksternal yang dapat diabaikan tetapi juga batas-batas internal. Semangat Pancasila yang adalah bhinekatunggalika tidak lagi menjadi dasar bagi penafsiran terhadap Pancasila.
Kelemahan heterogenitas Pancasila terjadi karena semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia belum kuat, sehingga semangat bhinekatunggalika tidak mendasari usaha-usaha dalam memberikan tafsir terhadap Pancasila. Dampak negatif dari apresiasi terhadap Pancasila ini melahirkan heterogenitas pengakuan terhadap sumber dari Pancasila, dan berakibat pada heterogenitas penafsiran Pancasila yang juga berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan hakekat Pancasila. Kelemahan ini membahayakan kelangsungan negara Indonesia.
Heterogenitas Pancasila juga mempunyai kerugian karena menimbulkan koflik yang sulit untuk di atasi serta mengancam keutuhan NKRI. Untuk menghentikan adanya heterogenitas tafsir Pancasila orde baru menyusun penafsiran tunggal tentang Pancasila. Keputusan ini walaupun didasarkan oleh niat yang baik, namun cara yang dilakukan merupakan upaya mengambil jalan pintas. Dalam mengatasi konflik biasanya selalu ada usaha untuk mencari jalan pintas penyelesaian. Pada jaman orde baru pemerintah mengambil jalan pintas dalam mengatasi konflik dengan menjadikan dirinya sebagai agen tunggal dalam penafsiran Pancasila. Jadilah Pancasila sebagai ideologi tertutup sebagai pengesahan rezim yang otoriter.
5. Batasan Tafsir Pancasila.
Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila merupakan suatu realita, namun tidak berarti Pancasila tidak memiliki batas-batas sehingga dapat diisi apa saja. Tetapi tafsir terhadap Pancasila memiliki batas-batas tertentu. Dalam sejarah pemikiran tentang Pancasila Batasan tafsir terhadap Pancasila ini memiliki kelemahan karena tidak semua orang di Indonesia memiliki semangat kebhinekatunggalikaan yang adalah semangat Pancasila. Tidak adanya semangat Pancasila tersebut membuat Pancasila dapat diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila. Pancasila dapat ditafsirkan dengan tanpa memperdulikan batasan yang ada. Akibatnya di dalam Penjabarannya dalam hukum dan perundang-undangan Pancasila mengalami perlawanan.
Pancasila bukanlah mangkok yang kosong meminjam istilah Vander Kroft, yang dapat diisi dengan apa saja. Walaupun usaha untuk memasukan Pancasila dengan apa saja dapat dilakukan dengan cara pemaksaan.
Mengenai batas-batas dalam memberikan isi terhadap Pancasila ini, Darmaputera menjelaskan sebagai berikut:
Setiap kelompok boleh mempunyai penafsiran sendiri-sendiri terhadap Pancasila, sampai pada batas tertentu bahkan harus, sebab dengan begitulah orang dapat mengamalkannya. Dalam arti ini, penafsiran tunggal tidaklah mungkin, apabila penafsiran tunggal itu akan dipaksakan juga, maka akibatnya ialah ketegangan dan konflik, yang justru amat bertentangan dengan maksud dan jiwa dari Pancasila itu sendiri.[27]
Menurut Darmaputera kebebasan setiap kelompok dalam menafsirkan Pancasila memiliki batas. Dan tidak boleh ada penafsiran tunggal. Tafsiran sila-sila dari Pancasila dengan mengaitkan sila-sila dari Pancasila dengan sila lainnya sebagai batasan merupakan hakekat Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia.
Batas-batas dalam menafsirkan Pancasila diperlukan karena pada hakekatnya Pancasila merupakan penyatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia. Jadi dalam menafsirkan Pancasila setiap orang harus melihat hakekat keragaman dalam kesatuan, sehingga setiap keragaman yang merupakan hakekat bangsa Indonesia mendapatkan tempat yang sama. Penafsiran terhadap Pancasila juga harus memiliki batasan, karena Pancasila merupakan kompromi politik (yaitu menyatunya aliran kebangsaan/ Nasionalis, ideologi Islam, dan ideologi barat sekuler.) yang melahirkan Pancasila sebagai dasar dan Ideologi bangsa Indonesia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan batas-batas dari Pancasila secara eksternal adalah kesatuan dan persatuan bangsa. Artinya pada waktu individu atau kelompok yang ada memiliki penafsiran yang berbeda, individu atau kelompok tersebut tidak boleh memaksakan penafsirannya terhadap Pancasila. Sebaliknya harus diusahakan sintesa-sintesa baru untuk melahirkan nilai-nilai yang merangkum semuanya dalam hidup bersama (batas eksternal). Karena Pancasila merupakan sintesa dari keragaman suku agama dan aliran politik yang ada pada masa menjelang kemerdekaan. Namun yang terutama setiap kelompok yang berusaha untuk menafsirkan Pancasila harus membatasi diri dengan semangat kesatuan dan persatuan (pembatasan internal), inilah yang disebut dengan semangat Pancasila. Semangat yang melahirkan sila-sila dari Pancasila.
Setiap kelompok yang telah menerima Pancasila memiliki tempat di dalam Pancasila, dan setiap kelompok tersebut memiliki kebebasan untuk menafsirkan Pancasila, sehingga setiap kelompok boleh memberikan sumbangsihnya dalam memberikan penafsiran terhadap Pancasila. Kemudian heterogenitas dalam penafsiran Pancasila ini akan menciptakan proses dialog terhadap keberbagaian dari apa yang menjadi pemikiran dari Pancasila. Dalam proses dialog tersebut, tafsir tentang Pancasila yang berasal dari berbagai kelompok dan agama mengalami proses penyaringan, apakah pemikiran Pancasila yang disumbangkan oleh setiap kelompok memberi tempat kepada keberagaman Indonesia. Dengan kata lain semangat Pancasila yang didasarkan pada Bhineka Tunggal Ika harus menjadi filter terhadap setiap pemikiran Pancasila. Inilah yang menjadi batasan dari penafsiran terhadap Pancasila.
Cara menafsirkan Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas akan membuat setiap kelompok yang ada di Indonesia tetap memiliki kebebasan dalam Pancasila dengan tidak mengorbankan identitas dari setiap kelompok yang ada. Sebaliknya kelompok-kelompok yang ada akan bertumbuh bersama-sama dan saling diperkaya oleh keberagaman yang ada, tanpa menghancurkan persatuan yang telah diikrarkan.
Dalam sejarah pemikiran Pancasila, tafsir tentang Pancasila ada kalanya tidak memperdulikan batasan -batasan tersebut. Lahirnya Undang-undang Pendidikan Nasional (UUPN) yang mendapat penolakan dari umat Kristen merupakan contoh pelanggaran batas tersebut. Demikian juga UU perkawinan yang sarat dengan muatan agama, merupakan bukti bagaimana Pancasila dapat ditafsirkan secara eksklusif dan diskrikimnatif.
6. Transformasi Pancasila.
Penafsiran Pancasila yang benar sangat berpengaruh dalam transformasi Pancasila di dalam hukum dan perundang-undangan yang mempunyai nilai operasional. Kegagalan untuk mengamalkan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat terkait dengan transformasi Pancasila.
Apabila Pancasila ingin ditafsirkan secara benar, sesuai dengan keberadaan Pancasila yang adalah kristalisasi masyarakat Indonesia. Penafsiran sila-sila dari Pancasila haruslah saling kait mengkait. Tidak boleh ada salah satu sila yang menjadi utama dan menjiwai semua sila-sila dari Pancasila. Apalagi dengan menetapkan adanya sila utama dari Pancasila berdasarkan pandangan kelompok atau agama tertentu. Lebih berbahaya lagi jika kemudian sila utama tersebut di klaim sebagai milik kelompok atau agama tertentu, serta menjadikan pemahaman kelompok atau agama tertentu sebagai agen tunggal pemilik penafsiran terhadap sila-sila dari Pancasila.
Batasan sila-sila di dalam Pancasila dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan di atas sangat penting untuk menghindari timbulnya faktor-faktor negatif dari heterogenitas Pancasila yang mempengaruhi transformasi Pancasila dalam undang-undang yang memiliki nilai operasional. Batasan tersebut diperlukan untuk membedakan mana yang bersifat Pancasilais dan mana yang tidak.
Pancasila merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia, namun tidak berarti bahwa Pancasila tersebut telah ada dalam bentuk yang sempurna. Sebaliknya Pancasila yang berisi sila-sila yang begitu umum dan luas, memerlukan penjabaran yang lebih jelas untuk dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, penjabaran tersebut memerlukan partisipasi semua elemen bangsa yang beragam. Pancasila yang memiliki penjabaran lebih detail dalam hukum dan perundang-undangan, atau biasa disebut sebagi proses transformasi Pancasila ini memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut terjadi karena adanya perkembangan pemikiran Pancasila.
Pancasila bukan saja mengalami kemajemukan status, yang kemudian menimbulkan perdebatan mengenai sumber Pancasila, tetapi juga mengalami heterogenitas tafsir terhadap Pancasila yang menyangkut struktur dan sila-sila dari Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila ini memiliki kelemahan karena kelompok dan agama yang ada tidak hidup dalam semangat Pancasila, sebaliknya mengadakan usaha-usaha untuk melakukan penetrasi nilai-nilai agama dan budayanya. Akibatnya terjadi dominasi dan hegemoni budaya dan agama dalam proses transformasi Pancasila. Tidaklah mengherankan jika hukum dan perundang-undangan yang lahir di Indonesia kemudian bertentangan dengan isi dan jiwa dari Pancasila. Dominasi dan hegemoni budaya ini membuat transformasi Pancasila tidak berjalan dengan mulus.
7. Pancasila Sebagai Asas Tunggal.
Bentuk kelemahan Pancasila nyata dengan dijadikannya Pancasila sebagai asas tunggal. Heterogenitas Pancasila di satu sisi menimbulkan ketakutan bagi pemerintah yang berkuasa. Heterogenitas Pancasila melahirkan konflik yang tidak mudah dan berkepanjangan. Seperti yang dilakukan DI dan Komunis.
Dalam usaha untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintah menciptakan tafsir tunggal terhadap Pancasila. Tafsir tunggal terhadap Pancasila ini kemudian melahirkan Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila menjadi ideologi tertutup dan tidak dapat lagi menerima nilai-nilai di luar pemilik tafsir Pancasila. Pancasila menajdi ideologi tertutup karena adanya dominasi dan hegemoni kelompok dan budaya tertentu, dan kemudian menyatu dengan pemerintah.
Mengenai penyimpangan yang terjadi dalam usaha menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal Darmaputera melihat hal tersebut sebagai adanya dominasi dan hegemoni agama. Secara khusus yang dilakukan oleh Islam Formalis yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Asas tunggal merupakan proses pengislaman semua segi kehidupan di Indonesia (lihat bab I).
. Pancasila menjadi idelogi tertutup, karena hanya pemerintah yang memiliki hak untuk menafsirkan Pancasila. Tafsir lain di luar apa yang dikatakan pemerintah dianggap sebagai perlawanan kepada Pancasila. Pancasila di sakralkan. Pancasila dijadikan ideologi tertutup karena Pancasila menolak baik ideologi tertutup maupun terbuka. Beralihnya Pancasila dari ideologi terbuka menjadi ideologi tertutup karena Pancasila ditafsirkan secara eksklusif dan diskriminatif. Akibatnya timbullah konflik, karena Pancasila tidak dapat menerima pandangan kelompok manapun, kecuali apa yang dikatakan pemerintah, sebagai agen tunggal tafsir terhadap Pancasila.
Pengesahan dari Pancasila sebagai asas tunggal yang Darmaputera sebut pengislaman semua segi kehidupan di Indonesia menunjukan bahwa usaha menjadikan Pancasila terjadi karena adanya kerja sama antara negara dan agama. Entah siapa yang mencari keuntungan dalam hubungan tersebut, namun akibatnya diskriminasi agama menjadi ancaman serius. Dari sisi pemerintah politik akomodasi merupakan gambaran kekuasaan menjadi sesuatu yang utama dibandingkan penghargaan terhadap sesama. Politik akomodasi yang sangat diskriminatif dari pemerintah menjadikan agama-agama berada dalam pemasungan (lihat bab I). Pancasila sebagai azas tunggal merupakan wujud dari jalan pintas penyelesaian konflik.
Pada mulanya konflik yang terjadi karena pemaksaan Pancasila sebagai azas tunggal tidak terjadi secara terbuka. Hal ini terjadi karena pemerintah pada masa orde baru terlalu kuat, dan sangat otoriter. Karena negara terlalu kuat maka konflik tersebut dapat di atasi dengan kekuatan senjata, namun tidak berarti pandangan yang berbeda tersebut terkubur dan mati. Tetapi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai musuh Pancasila terus ada dan bertumbuh. Setiap saat menjadi ancaman bagi pemerintah ororiter. Fakta tersebut nyata setelah tumbangnya Soeharto.
Usaha mengubah Pancasila dari ideologi terbuka menjadi ideolog tertutup bukan hanya dilakukan kelompok kelompok budaya dan agama yang berbeda, namun juga oleh pemerintah. Penetapan Pancasila sebagi azas tunggal dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan Pancasila memiliki nilai operasional. Tidaklah mengherankan jika pada periode tersebut orang sangat takut jika dianggap tingkah lakunya tidak sesuai dengan Pancasila. Ketakutan itu terjadi karena setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan tafsir pemerintah tentang Pancasila, dianggap melawan pemerintah, dan secara bersamaan berarti melawan negara.
8..Pandangan Iman Kristiani tentang pancasila.
Umat Kristen menerima Pancasila bukan karena Pancasila menguntungkan bagi umat Kristen. Juga bukan karena Pancasila adalah sesuatu yang sudah diformalkan, sehingga dengan terpaksa umat Kristen menerimannya. Bagi umat Kristen Pancasila bukan wahyu Allah, Pancasila terbatas, karena itu walaupun umat Kristen menerima Pancasila sikap kritis terhadap Pancasila tidak boleh dihilangkan, karena Pancasila bukan sesuatu yang mutlak. Sakralisasi Pancasila bukanlah sesuatu yang benar, justru akan menjadikan Pancasila sebagi sesuatu yang kaku dan beku yang tidak mempunyai fungsi operasional dalam prakteknya. Penerimaan umat Kristen pada Pancasila karena pancasila menaungi semua, karena itu berarti Pancasila memiliki nilai-nilai yang berkeadilan. Suatu nilai-nilai yang universal. Dan nilai-nilai keadilan yang universal dari Pancasila tersebut ada dalam sila-sila dari Pancasila.[28]
Mengenai penerimaan umat Kristen terhadap pancasila Darmaputera menjelaskan demikian:
Secara teologis kristiani, kita dapat mengatakan dengan penuh tanggung jawab bahwa apa yang paling baik bagi semua orang adalah baik untuk kita. Kita berupaya sungguh-sungguh untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila, olah karena tanpa hal itu bangsa kita akan hancur. Kita berupaya sungguh-sungguh bukan hanya untuk kepentingan kita tetapi untuk kepentingan seluruh bangsa, sekalipun Pancasila bukan wahyu ilahi yang kekal dan sempurna, tetapi paling sedikit tidak bertentangan dengan iman kristiani.[29]
Perjuangan umat Kristen bukanlah perjuangan yang eksklusif bagi umat Kristen, sebaliknya perjuangan umat Kristen adalah perjuangan untuk keadilan yang bersifat inklusif, perjuangan untuk semua. Pada waktu umat kristiani mengakui bahwa semua manusia adalah gambar Allah dan semua manusia sederjat, maka perjuangan umat Kristen adalah perjuangan bagi kemanusiaan. Pancasila menerima semua kemajemukan yang ada, Pancasila memberikan keadilan bagi semua, karena itu umat Kristen menerimanya.
Iman Kristen memiliki nilai-nilai yang eksklusif dan inklusif. Pancasila bagi umat Kristen memberikan perlindungan bagi nilai-nilai eksklusif yang ada dalam setiap agama. Pancasila menaungi semua agama termasuk kekristenan. Pancasila yang berisi nilai-nilai yang bersifat universal dan dapat diterima oleh semua, berisi nilai-nilai yang inklusif dari kekristenan, sehingga apada waktu umat Kristen menerima Pancasila, umat Kristen tidak perlu mengorbankan identitasnya.
Bagi umat Kristen sebagaimana dikatakan oleh Darmaputera seorang teolog Kristen di atas, Pancasila merupakan pilihan yang terbaik untuk bangsa Indonesia. Karena semua keberagamana yang ada termasuk kekristenan terlindungi di dalam Pancasila.
Pancasila memang memiliki kelemahan, namun ia tetap merupakan pilihan yang terbaik. Karena itu Pancasila perlu dijaga agar tidak diisi oleh hal-hal yang bukan merupakan hakekat Pancasila. Secara khusus dalam menyikapi heterogenitas terhadap Pancasila.
Dari sudut pandang iman kristiani heterogenitas Pancasila merupakan suatu realitas dari keberagaman yang ada di Indonesia. Namun heterogenitas Pancasila tidaklah menjadi alasan bagi timbulnya konflik antar pandangan yang berbeda. Heterogenitas Pancasila merupakan bukti bahwa semua orang yang berada dalam payung Pancasila diterima keberadaannya sebagaimana adanya. Heterogenitas Pancasila seharusnya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk belajar mengenal identitas yang berbeda dari setiap kelompok yang ada di Indonesia, baik suku maupun agama-agama.
Kekristenan percaya bahwa manusia yang beragam pada hakekatnya sederajat yaitu sesama umat manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Keberagaman merupakan sesuatu yang diberikan oleh Allah. Karena itu keberagamana tidak boleh diseragamkan. Usaha untuk mendapatkan manfaat dari keberagaman dapat dicapai dengan adanya persatuan. Tetapi persatuan tersebut tidak dapat menghilangkan identitas keberagaaman.
Usaha memeilihara persatuan tanpa menghapus keberagaman berarti meliputi usaha untuk mencari titik temu dari nilai-nila yang universal, yang ada dalam setiap individu atau kelompok yang ada, tanpa menghapus nilai-nilai yang eksklusif dari individu atau kelompok yang ada. Nilai-nilai yang universal dalam setiap individu atau kelompok inilah yang kemudian terkristalisasi dalam Pancasila. Untuk itu maka setiap individu harus terus berusaha bersama-sama mengisi Pancasila dengan nilai-nilai dari identitas-identitas yang ada di Indonesia yang bersifat universal.
Apabila setiap kelompok yang ada di Indonesia mendasari tafsir terhadap Pancasila dengan semangat kebhinekatunggalikaan maka dalam Heterogenitas tersebut pasti ada nilai-nilai yang universal. Yaitu nilai-nilai yang inklusif dan nondiskriminatif. Usaha untuk mengedepankan nilai-nilai yang inklusif dan nondiskriminatif dari setiap suku dan agama-agama tidak harus menghilangkan identitasnya. Nilai-nilai bersama yang inklusif dan nondiskriminatif ini dapat dijadikan titik perjumpaan bagi setiap kelompok yang berbeda dalam hidup bersama, sebagaimana Pancasila telah menjadi suatu kompromi yang menerima semua kelompok yang ada di Indonesia tanpa menghapus identitas-identitas tersebut.
Dari sudut pandang iman kristiani, sila-sila dari Pancasila berisi nilai-nilai yang universal. Karena itu orang Kristen menerima Pancasila. Nilai-nilai yang universal dari Pancasila memungkinkan semua orang di bumi Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama. Nilai-nila universal ini adalah nilai-nilai yang memberikan keadilan bersama. Jadi umat kristiani menerima Pancasila bukan karena Pancasila menguntungkan bagi umat kristiani, tetapi karena memang Pancasila berisi nilai-nilai yang berkeadilan. Baik bagi orang Kristen, maupun bagi agama-agama lain.
Nilai-nilai Pancasila yang bersifat universal ini bagi umat kristiani sesuatu yang harus terus diperjuangkan. Karena itu penafsiran terhadap Pancasila harus memperhatikan nilai-nilai keadilan bersama. Bagi umat kristiani apa yang baik bagi semua, pasti baik untuk umat kristiani. Karena keadilan bersifat universal. Jadi semangat untuk memberikan tafsir terhadap Pancasila tidak boleh mengabaikan keadilan bagi kelompok lain. Apabila terjadi tafsir yang berbeda terhadap Pancasila, maka setiap kelompok yang ada harus mengijinkan penafsiran tersebut mendapatkan kritik dari kelompok-kelompok lain, dan hanya nilai-nilai yang diakui sebagai nilai-nilai yang universal yang harus dianggap sebagi isi dari Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi terbuka menurut pandangan kristiani sangat tepat, karena sebagai ideologi terbuka ia dapat menerima masukan nilai-nilai yang ada dalam setiap kelompopk yang ada. Pancasila harus tetap menjadi ideologi terbuka untuk dapat menerima keberagaman yang ada. Juga untuk tetap dapat diisi dengan nilai-nilai yang berkeadilan untuk semua.
Pancasila sebagi asas tunggal merupakan penyimpangan tafsir Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila sebagi asas tunggal mengakibatkan Pancasila tidak lagi dapat menerima nila-nilai di luar dirinya. Karena Pancasila sebagi asas tunggal merupakan gambaran dominasi dan hegemoni agama-agama. Dan sebagai Azas tunggal maka Pancasial dengan sendirinya telah di dominasi oleh nilai-nilai yang eksklusif. Keberadaan Pancasila sebagi asas tunggal menjadikan Pancasila bukan lagi payung yang menaungi semua, tetapi menjadi ideoogi yang akan menolak semua ideologi yang ada. Bahkan akhirnya Pancasila di bekukan dan tidak lagi dapat berfungsi sebagai perekat bangsa.
Puncaknya, Pancasila mengalami pembekuan pada masa Orde Baru. Masa itu Pancasila dibuat hanya menjadi slogan kosong. Pancasila dijadikan alat pengesahan rejim yang berkuasa untuk tetap berkuasa. Akibatnya Pancasila tidak lagi mampu menjadi alat perekat bangsa, karena ia telah dibekukan. Pancasila tidak lagi menjadi populer, bahkan kemudian dianggap sebagai simbol kehancuran suatu bangsa oleh sebagian orang yang ingin menggantilkan Pancasila dengan ideologi lain ( lihat Bab I).
Pada kenyataannya dapat dipahami bahwa kehancuran Indonesia bukanlah dikarenakan Pancasila tidak mampu untuk tetap mempersatukan Indonesia yang terdiri atas berbagai agama tersebut, tetapi karena Pancasila telah dibekukan sehingga ia tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai alat perekat bangsa. Karena itu kehancuran bangsa Indonesia harus dilihat sebagai kegagalannya untuk tetap menjaga Pancasila berfungsi sebagai pemersatu bangsa. Untuk itu maka jawaban yang tepat bagi permasalahan konflik antarumat beragama di Indonesia adalah kembali kepada Pancasila sebagaimana dideklarasikan oleh founding fathers Indonesia.
Pancasila yang berisi nilai-nilai yang universal adalah ideologi terbuka, karena itu ia tidak memiliki nilai operasional. Sehingga Pancasila perlu mengalami transformasi didalam hukum dan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Usaha transformasi Pancasila ini memerlukan semangat kebhinekatunggalikaan untuk dapat menjaga hukum dan perundang-undangan yang ada sungguh merupakan hasil dari transformasi Pancasila. Bukti transformasi Pancasila berjalan dengan mulus adalah apabila hukum dan perundang-undangan yang merupakan transformasi Pancasila tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Bagi umat kristiani usaha transformasi Pancasila harus didasarkan pada semangat keadilan Allah yang adalah nilai-nilai yang universal dan dibutuhkan semua, karena memberikan keadilan bagi semua. Keadilan merupakan suatu keharusan untuk manusia dapat bertumbuh sesuai dengan harkat dan martabatnya yang mulia. Pancasila yang berisi nilai-nilai yang berkeadilan ini harus ditransformasikan dalam hukum yang berkeadilan. Sehingga produk hukum yang ada di Indonesia seharusnya berisi nila-nilai yang berkeadilan.
Transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undangan bagi umat kristiani bukan usaha untuk memaksakan masuknya nilai-nilai yang eksklusif dalam kekristenan, sebaliknya umat Kristen harus bersama-sama mengisi hukum dan perundang-undanagn yang memberikan keadilan bagi semua. Apabila semua kelompok di Indonesia melaukan tugasnya dengan baik, maka transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undangan seharusnya dapat berjalan dengan mulus.
Dalam sejarah pemikiran Pancasila terjadi kemajemukan status Pancasila, serta sumber dan tafsir terhadap Pancasila yang mengarah pada tindakan disakriminatif terhadap individu atau kelompok lain, akibatnya Transformasi Pancasila tidak berjalan dengan mulus. Kenyataan tersebut tidak disebabkan oleh Pancasila, tetapi individu atau kelompok yang ada tidak berpegang peda komitmen yang sama.
Bukti tidak mulusnya transformasi Pancasila terlihat dengan adanya produk-produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila. Undang-undang perkawinan Indonesia yang sangat dipengaruhi nilai-nilai agama yang berbeda dan selalu berusaha untuk menciptakan undang-undang yang hanya sesuai dengan agama tertentu menciptakan diskriminasi terhadap individu dan kelompok yang lain. Keharusan menikah dengan agama yang sama membuat orang harus melepaskan agamanya dengan terpaksa. Bahkan keharusn memeluk agama resmi menjadikan seseorang harus rela melepaskan agamanya dan masuk memeluk agama resmi hanya untuk menikah. Jika tidak maka mereka harus hidup tanpa surat nikah. Demikian juga dengan keputusan-keputusan Menteri agama (akan dijelaskan kemudian) yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bukti bahwa transformasi Pancasila tidak berjalan dengan mulus.
- Kebebasan Beragama Dalam Negara Pancasila.
Dalam bab I telah diuraikan bahwa Pancasila adalah dasar bagi kebebasan bergama di Indonesia. Adanya pengakuan tentang kebebasan beragama, seharusnya menjadi jaminan bahwa semua orang bergama di Indonesia mendapatkan penghormatan dalam menjalankan ibadatnya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Tetapi dalam sejarah bangsa Indonesia pelanggaran hak kebebasan beragama menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan, terlebih pada masa menjelang berakhirnya rezim orde baru yang otoriter.
Kebebasan beragama di Indonesia mengalami ancaman yang serius karena perangkat hukum yang memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama tidak memadai, serta kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia tentang hukum dan perundang-undangan secara khusus yang berkaitan dengan kebebasan beragama.
Pancasila memang memuat perlindungan terhadap hak kebebasan beragama, dan dalam batang tubuh UUD 1945, perlindungan tentang kebebasan beragama mendapatkan penjabaran yang lebih detail. Namun sebagai konstitusi negara keduanya hanya memuat hal yang pokok-pokok saja. Untuk dapat memiliki nilai operasional, Pancasila harus dituangkan dalam hukum dan perundang-undangan. Pada waktu transformasi Pancasila berlangsung dalam hukum dan perundang undangan disini terjadi dominasi dan hegemoni agama, akibatnya hukum dan perundang-undangan bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nonodiskriminatif.
Indonesia pernah dikenal sebagai negara yang memiliki toleransi yang tinggi antar agama-agama yang berbeda. Dalam sejarah masuknya agama-agama di Indonesia tidak pernah terjadi peperangan yang memaksakan suatu kelompok tertentu untuk masuk memeluk agama lain/berganti agama. Baik masuknya agama Hindu dan Budha, maupun agama Kristen dan Islam yang masuk kemudian setelah Hindu dan Budha.[30]
Pengalaman yang terjadi dalam penyebaran agama-agama Hindu Budha, Kristen dan Islam, juga Konghucu, membuat semua orang di Indonesia menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan sesuatu yang harus di berikan kepada setiap orang. Pengakuan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menghormati keberbedaan agama di tuangkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kehidupan beragama di Indonesia pada awalnya berjalan dengan mulus. Sejak kemerdekaan NKRI tahun 1945 – 1964 tidak ada insiden yang berarti dalam hubungan antar umat beragama. Insiden pengrusakan rumah ibadah (gereja) baru terjadi pada masa orde baru. Dan pada tahun 1985-1997 terjadi 237 kasus penutupan, pengrusakan dan pembakaran gereja, sekitar 63 %.[31]
Dari penjelasan di atas nampak bahwa Pancasila sebagai dasar bagi kebebasan beragama mempunyai peran yang amat penting bagi terciptanya perlindungan kebebasan beragama. Pelanggaran hak kebebasan beragama terbesar di Indonesia terjadi pada masa orde baru, hal tersebut dapat dimengerti karena pada masa itu Pancasila tidak lagi dapat berfungsi dengan benar, karena telah menjadi alat pengesahan rezim yang berkuasa.
. Terjadinya pemasungan kebebebasan beragama yang mengakibatkan konflik antar umat bergama bukan karena Pancasila tidak menghargai hak kebebasan beragama, tetapi sebaliknya semangat persatuan yang belum tertanam kuat, dan semangat persatuan yang terus meluntur akibat komunalisme budaya dan agama. Agama-agama saling berusaha untuk membangun kekuatannya, tanpa perduli dengan dampak negatif yang ditandai dengan menghilangnya semangat nasionalisme.
Carut-marutnya wajah Indonesia yang dipenuhi dengan pelanggaran hak kebebasan beragama juga semakin diperkeruh dengan sikap pemerintah yang sering kali tidak konsisten dalam berpegang pada Pancasila, demi mempertahankan kekuasaannya (lihat Bab I)
Nilai-nilai dari sila-sila di dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang universal. Berarti Pancasila selaras dengan Deklarasi Universal HAM, secara khusus dalam penghormatan terhadap hak kebebasan beragama. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia, mengakui hak kebebasan beragama sebagaimana dijelaskan dalam sila kedua dari Pancasila. Namun sila kedua ini harus ditafsirkan dengan mengaitkannya dengan sila-sila lain di dalam Pancasila
Kebebasan beragama dalam negara Indonesia dapat diartikan sebagai kebebasan untuk berganti dan berpindah agama. Karena kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia, suatu hak yang diberikan oleh Tuhan, bukan negara, namun negara Indonesia didirikan oleh orang-orang yang beragama. Karena semua orang Indonesia mengakui adanya Tuhan yang maha esa. Pengakuan akan kepercayaan pada Tuhan yang esa ini tidak boleh ditafsirkan secara teologis, seperti tauhid dalam agama Islam. Pengakuan akan kepercayaan kepada ketuhanan yang maha esa harus diartikan bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan (allah hurup kecil), yaitu konsep tentang “tuhan”, tuhan berdasarkan pengakuan agama-agama yang ada. Jadi sila pertama juga tidak boleh diartikan bahwa Indonesia hanya mengakui agama yang memiliki pengakuan Tuhan yang maha esa, menurut agama-agama tertentu. Sebaliknya merupakan pengakuan bahwa semua agama mengakui adanya “tuhan”. Dan semua agama adalah agama resmi negara.
Tetapi dalam prakteknya tidak semua agama dapat disebut agama resmi. Bahkan agama Konghucu yang pada jaman Soekarno di akui sebagai agama resmi, di jaman Soeharto tidak diakui sebagai agama resmi. Kemudian pada era Reformasi kembali diakui sebagai agama resmi. Dari hal di atas dapat dipahami bahwa diskriminasi agama yang terjadi di Indonesia disebabkan karena adanya dominasi agama dan hegemoni agama dalam NKRI, yang berusaha memasukan nilai-nilai agamanya kedalam sila-sila dari Pancasila, sehingga menjadikan Pancasila sesuatu yang bersifat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi, bahakan juga antar agama resmi.
Pengakuan kebebasan beragama dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Dimana manusia mendapatkan hak kebebasan memilih agama yang ingin dipeluknya karena kodratnya sebagai manusia. Tidak boleh dibatasi oleh sila pertama, yang menentukan agama mana yang dapat dipeluk oleh rakyat Indonesia. Sila kedua tersebut harus dilaksanakan dalam penghargaan terhadap-agama-agama yang berbeda. Karena walaupun Indonesia adalah negara banyak agama, mereka semua adalah satu bangsa (sila ke tiga). Jadi pada waktu sila kedua ditafsirkan dalam hubungan dengan sila pertama, hal ini juga berarti bahwa Indonesia yang bersatu adalah Indonesia yang terdiri banyak agama, termasuk agama suku dan aliran kebatinan. Agama-agama suku dan kebatinan harus memiliki tempat yang sama sebagimana agama-agama resmi lainnya.
Perbedaan agama tidak boleh menimbulkan perpecahan sebagai suatu bangsa. Pertumbuhan kelompok-kelompok agama yang ada tidak boleh menelan nasionalisme. Pemeluk agama-agama yang berbeda tidak boleh kehilangan kecintaannya kepada negara. Sebagai warga agama, secara bersamaan juga sebagai warga bangsa. Keduanya harus tumbuh secara berdampingan tidak boleh yang satu menelan yang lain. Artinya tidak boleh pertumbuhan kecintaan terhadap komunitas suku atau agama menurunkan kecintaan kepada negara.
Apabila sila kebebasan beragama yang dinyatakan dalam sila kedua dari Pancasila dikaitkan dengan sila keempat. Maka kehidupan beragama harus tumbuh dalam iklim yang demokratis. Artinya semua kelompok agama yang berbeda memiliki kesempatan yang sama untuk bertumbuh atau berkembang. Dan agama-agama itu mempunyai akses yang sama di dalam pemerintahan. Demikian juga dalam kaitan dengan sila ke lima. Kebebasan beragama harus tumbuh dalam suasana yang berkeadilan. Semua agama memiliki kesamaan dihadapan hukum dan pemerintahan.
Pancasila diakui sebagai dasar bagi hak kebebasan beragama di Indonesia. Karena itu sila-sila dari Pancasila harus menjiwai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dengan demikian, Batang tubuh UUD 1945 seharusnya tidak bertentangan dengan Pancasila. Jadi, apabila Pancasila adalah dasar bagi hak kebebasan beragama di Indonesia, maka batang tubuh UUD 1945 secara bersamaan juga harus memberikan tempat bagi hak kebebasan beragama.
Pancasila sebagai dasar bagi hak kebebasan beragama di Indonesia merupakan jaminan bahwa Indonesia memberi tempat bagi setiap individu untuk menganut agama dan kepercayaannya. dalam UUD 1945 (pasal 29) yang berbunyi: Negara berdasar atas ketuhanan yang mahaesa, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya masing-masing. Pengakuan atas kebebasan beragama dituangkan secara eksplisit dalam pasal 29 UUD 1945.
Pengakuan kebebasan beragama yang dituangkan dalam Pancasila dan juga dalam pasal 29 UUD 1945 merupakan komitmen bangsa Indonesia, secara khusus pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap hak kebebasan beragama sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM pasal satu dan 18. Komitmen tersebut juga dituangkan dalam Tap. No.II/MPR/1978.[32]Karena itu sepantasnyalah proteksi terhadap kebebasan beragama menjadi agenda penting pemerintah. Pemerintah harus senantiasa bertindak tegas kepada setiap orang yang dengan sengaja melanggar kebebasan beragama orang lain.
Kesediaan bangsa Indonesia untuk menerima Deklarasi Universal HAM, yang diyakini sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, juga dinyatakan dengan masuknya Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai anggota PBB, secara bersamaan Indonesia juga mengakui bahwa nilai-nilai HAM yang bersifat universal tersebut dibutuhkan oleh Indonesia.[33]
Hak kebebasan beragama di Indonesia dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi negara, artinya bahwa negara memang mengakui bahwa hak kebebasan beragama merupakan hak manusia yang paling asasi.[34]
Adanya pengakuan hak-hak asasi manusia inilah yang menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang menghormati keberagaman agama. Dari awal, Indonesia memang merupakan negara yang dihuni warga dengan beragam agama. Penyebaran agama-agama di Indonesia pun terjadi dengan cara damai. Jadi, jika Pancasila mengakui bahwa semua agama memiliki tempat yang sama, hal itu merupakan realitas bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut membuat orang Indonesia mempunyai dasar dalam kerja sama antarumat beragama.
Perbedaan tafsir dari pemikiran Pancasila sebagaimana dijelaskan oleh Pranarkha di atas, terus terjadi hingga saat ini. Parahnya, ketika kepentingan-kepentingan kelompok ikut bermain dalam menafsirkan isi Pancasila, timbullah diskriminasi terhadap kelompok atau golongan tertentu. Akhirnya praktek diskriminasi itu bermuara pada konflik yang menghiasi sejarah carut-marutnya bangsa Indonesia, khususnya dalam hubungan antaragama. Hal tersebut tidak mengherankan karena heterogenitas tafsir terhadap pemikiran Pancasila juga terjadi dalam diskusi tentang HAM dan hakikat agama.[35]
Akibat adanya heterogenitas pemikiran Pancasila tentang HAM dan hakikat agama, maka implementasi dari hak kebebasan beragama menjadi tidak mudah, dan selalu ada kelompok agama yang mengalami diskriminasi yang akhirnya mengakibatkan hubungan antarumat beragama tidak berjalan dengan mulus.
Pada hakikatnya Pancasila dan UUD 1945 tidak salah karena ia merupakan konstitusi negara, sebagai konstitusi negara ia hanya memuat hal-hal yang penting-penting saja. Namun ketika ada kepentingan-kepentingan yang bermain dalam pengambilan keputusan, isi Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan yang bisa saja merugikan pihak lain, hal tersebut nyata dalam proses transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undanagn. Hukum dan perundang-undangan yang menyangkut kebebasan beragama ternyata tidak sejalan dengan Pancasila yang adalah dasar bagi kebebasan beragama di Indonesia. Memang selalu ada perasaan tidak puas, namun hal itu seharusnya tidak perlu dikobarkan. Karena dalam pengambilan keputusan bersama selalu ada yang tidak terpuaskan. Selama itu merupakan sesuatu yang dibuat untuk kepentingan bersama, seharusnya harus dihargai secara bersama, dan tidak seorang pun boleh memaksakan kehendaknya.
Demikian juga usaha sistematis untuk mendapatkan kekuasaan demi akses kepada pemerintahan, tidak boleh didorong oleh keinginan suatu kelompok tertentu, sebagaimana terjadi dalam jaman orde baru. Saat itu pemerintah turut memperkeruh situasi, atau dengan kata lain, sengaja mempersubur kondisi yang keruh untuk dapat dikendalikan dengan mudah.
Pada dasarnya Pancasila adalah konsensus bersama, dan Pancasila telah diterima sebagai sesuatu yang memberi tempat yang sama terhadap semua kelompok yang ada di Indonesia. Maka seandainya realitas ini dilihat secara bersama, yang timbul seharusnya adalah keberagaman yang akan memperkaya wawasan bangsa Indonesia, dan sangat berguna bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Tetapi sayangnya, yang terjadi adalah Indonesia semakin terpecah karena lupa dengan pengalaman sejarah di mana Pancasila telah berjasa dalam perjuangan bangsa dalam mempertahankan kedaulatan negara yang merdeka.
Pergeseran tafsir dari Pancasila tersebut menyebabkan pengakuan kebebasan beragama mengalami reduksi. Misalnya, pengakuan kebebasan beragama yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 ini tidak serta-merta berarti bahwa orang Indonesia boleh tidak menganut agama resmi yang diakui pemerintah (seperti yang diidentikan dengan agama-agama suku, yang berusaha untuk dimasukkan ke dalam agama-agama resmi versi kementerian agama), dan semua kelompok menerima bahwa persoalan berganti agama merupakan hak setiap pribadi, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 18 Deklarasi Universal HAM. Sebaliknya sila pertama dari Pancasila yang ditafsirkan hanya sebagai pengakuan adanya hak kebebasan beragama namun tidak mengakui bahwa ada kebebasan menyiarkan agama kepada orang yang sudah beragama, dan kemudian pada pergantian agama. (lihat Bab I)
Dasar bahwa Pancasila hanya mengakui kebebasan beragama, namun tidak mengijinkan manusia Indonesia menjadi manusia yang tidak beragama (ateis) lebih tepatnya tidak memeluk agama di luar agama resmi negara adalah karena dalam menafsirkan sila kedua tidak boleh dilepaskan dari sila pertama, atau sila pertama menjadi titik tolak bagi penafsiran sila kedua. Sila pertama menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, karena itu hak kebebasan beragama yang tertuang dalam sila ke-2, biasanya diartikan bahwa negara menjamin kebebasan beragama, namun tidak untuk tidak beragama.[36]yang kemudian diartikan tidak boleh memeluk agama lain kecuali sebagaimana yang dinyatakan sebagai agama resmi, karena sila pertama diartikan sebagai Tuhan dalam agama monotheisme (lihat pandangan M yamin tentang sila pertama dan Piagam Jakarta).
Dalam hubungan Kristen dengan Islam terjadi pembatasan bahwa apabila seorang penganut agama Kristen berpindah menjadi pemeluk agama Islam, dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Tetapi bila seorang beragama Islam berpindah menjadi pemeluk agama Kristen, hal tersebut dianggap sebagai kemurtadan dan dapat diancam hukuman mati.[37]
Penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam Pancasila tanpa memperhatikan hakekat Pancasila yng sesungguhnya menjadi salah satu faktor yang memberi peluang terhadap tragedi yang mengakibatkan pembantaian besar-besaran terhadap orang yang disebut komunis, secara khusus Islam abangan yang dianggap kafir, oleh Islam Santri. Paling tidak hal itu ikut andil dalam tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran hitam kebebasan beragama di Indonesia yang hingga saat ini belum juga terselesaikan.
Kemudian lahirnya pemikiran tentang hakikat agama versi kementerian agama menimbulkan adanya diskriminasi terhadap keberadaan aliran kepercayaan.[38] Aliran kepercayaan yang pada mulanya hidup berdampingan dengan agama-agama, karena memang dalam aliran kepercayaan ini terjadi percampuran antara agama-agama suku yang telah ada di Indonesia dengan agama-agama besar yang masuk ke Indonesia. Aliran kepercayaan yang pada mulanya diakui keberadaannya seperti dituangkan dalam pasal 29 UUD 1945, oleh suatu interpretasi baru tentang agama, versi Kementerian Agama, tidak lagi setara dengan agama-agama. Dan aliran kepercayaan ini diarahkan untuk masuk kepada agama-agama resmi versi Departemen Agama yang lebih memperjuangkan kelompok tertentu. Dan terjadilah diskriminasi terhadap aliran kepercayaan.
Pengakuan pemerintah akan adanya agama resmi negara membuat agama-agama tersebut merasa memiliki kekuasaan untuk menentukan mana yang dianggap agama Islam, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha yang asli. Secara khusus dalam agama Islam dan Kristen muncul perasaan sebagai agama mainstream (arus utama) yang bertindak seperti pemerintah menentukan mana Islam sejati dan mana Kristen yang benar. Dalam usaha mempertahankan eksistensi mereka sebagai agama mainstream, maka muncullah penolakan terhadap bidat, yang dianggap menyimpang dari ajaran yang dipegang oleh aliran-aliran mainstream. Karena mereka (mainstream) mempunyai pendukung yang amat banyak dan sangat berpengaruh untuk mengamankan pemerintah yang berkuasa, maka larangan terhadap bidat pun diberlakukan. Contoh bidat dalam Kristen adalah Saksi Yehuwa, sedang dalam Islam ada Islam Ahmadiyah, darul Arqam dll.
Agama-agama yang ada telah melakukan pelanggaran hak kebebasan beragama, terlebih lagi dengan menerapkan larangan atas kelompok bidat untuk beribadah sesuai dengan hati nuraninya. Tidak ada alasan kelompok agama mainstream memaksakan tafsirannya kepada semua anggota agamanya, karena itu pelanggaran terhadap kebebasan hati nurani, namun mencontoh pemerintah yang mendapatkan keuntungan dengan penetapan agama resmi di mana pemerintah mendapatkan dukungan dari kelompok agama mainstream tanpa perduli apakah tindakan tersebut memenuhi asas keadilan bersama atau tidak, yang penting eksisitensi mereka tetap terjamin. Demikianlah kelompok agama melakukan tindakan yang sama dengan pemerintah. Agama-agama memakai tangan pemerintah untuk merampas kebebasan hati nurani seseorang.
Pengabaian terhadap aliran kepercayaan dan bidat secara otomatis merupakan pengabaian terhadap kedaulatan hati nurani. Dalam Deklarasi Universal HAM dijelaskan bahwa manusia, dalam hati nuraninya memiliki kebebasan untuk memeluk agama tertentu, juga memiliki kebebasan untuk menyembah yang ia ingin sembah. Namun dengan adanya penetapan bahwa aliran keprcayaan bukan agama dan diarahkan untuk memilih agama resmi yang ada, maka kebebasan hati nurani tidak punya tempat di Indonesia. Akibat lahirnya pemahaman hakikat agama yang bertentangan dengan tafsir dari sila pertama yang dinyatakan oleh bapak-bapak pendiri Indonesia, maka semua kepercayaan yang tidak mengakui adanya Tuhan yang mahaesa (monotheis) dan semua yang dianggap bidat tidak dianggap sebagai agama. Diskriminasi terhadap umat aliran kepercayaan dan bidat selalu menghiasi perjalanan sejarah Indonesia, dan tidak jarang kehidupan mereka sering kali terancam.
Tindakan pemerintah yang bersifat diskriminatif nyata dengan lahirnya pernyataan agama resmi yang diakui oleh negara dan yang tidak diakui. Jadi, negara sudah masuk ke dalam daerah kekuasaan agama. Tindakan diskriminatif pemerintah juga dimungkinkan karena pengakuan kebebasan beragama yang diakui dalam Pancasila dan UUD 1945 belum ada hitam-putihnya, sehingga pada waktu ada kepentingan politis maka usaha menafsirkan Pancasila bagi pengesahan tindakan politis tersebut merupakan jalan pintas untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Hal tersebut nyata dalam kelahiran (pembentukan) departemen agama. (lihat Bab I)
Pemerintah yang berkuasa selalu berpihak kepada siapa yang mendukungnya. Apalagi keinginan menjadi pemimpin dan memiliki kedudukan dalam pemerintahan bukan lagi didasarkan pada keinginan luhur untuk membawa negara dan bangsa menuju cita-cita proklamasi: menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi lebih ditunggangi kepentingan untuk mempertahankan eksisitensi kelompok atau individu. Untuk mencapai tujuannya ini, dia tidak peduli sekalipun harus mengabaikan kelompok atau individu yang pada mulanya hidup berdampingan dengan damai. Inilah yang menimbulkan tragedi yang tak pernah selesai dalam sejarah perjalanan bangsa.
Penetrasi nilai-nilai agama kedalam Pancasila mengakibatkan transformasi Pancasila dalam undang-undang yang berhubungan dengan kebebasan beragama menghasilkan keputusan hukum yang bertentangan dengan Pancasila. Lahirnya produk hukum yang bersifat diskriminatif, seperti pernyataan bahwa Konghucu bukan agama, padahal sebelumnya Konghucu dimasukkan ke dalam agama resmi, merupakn bukti tidak mulusnya proses tarnsformasi Pancasila dalam bidang hukum yang menyangkut keagamaan. Kasus Konghucu dapat menjadi suatu indikasi bahwa penentuan agama atau bukan agama di Indonesia sarat dengan kepentingan individu atau kelompok yang berkuasa, dan nilai-nial tersebut dipaksakan sebagai sesuatu yang sesuai dengan Pancasila. Padahal hukum tersebut sesungguhnya bukan hanya tidak produktif, sebaliknya menimbulkan diskriminasi dan mengarah pada konflik yang tidak jarang menelan korban manusia.
Demikian juga dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB Dua Menteri) no.1 tahun 1969, yang menjadi dasar bagi penutupan dan perusakan tempat-tempat ibadah. Peraturan tersebut dikeluarkan dengan alasan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Padahal usaha untuk menjaga kerukunan antarumat beragama tidak serta-merta dapat mencabut hak kebebasan beragama yang bersumber dari Allah. Usaha menjaga kerukunan tidak berarti mengkompromikan ajaran suatu kelompok agama, sehingga usaha menciptakan kerukunan antarumat beragama seharusnya tetap menjunjung tinggi kebebasan beragama.
SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang dikeluarkan pada tanggal 13 September 1969 ini dijadikan dasar untuk menutup gereja-gereja yang didirikan tanpa ijin. Diakui, banyak gereja yang berdiri tanpa memiliki ijin karena mengurus ijin pendirian rumah ibadah umat Kristen ini sangat sulit, ironisnya tindakan anarkis dalam aksi-aksi penutupan bahkan perusakan rumah ibadah, secara khusus gereja seakan mendapatkan legitimasi dari SKB tersebut.
Dilihat dari perundang-undangan yang ada di Indonesia, sebenarnya SKB 2 Menteri tersebut tidak mempunyai pijakan yang kuat. Dalam peraturan perundang-undangan RI dikenal ada 4 tingkatan, yang pertama adalah UUD 1945, kedua Ketetapam MPR (Tap MPR), ketiga undang-undang, kemudian peraturan pelaksanaan undang-undang seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden.[39] Dari hierarkhi hukum yang ada di Indonesia, seharusnya SKB 2 Menteri tahun 1969 gugur demi hukum. Tetapi herannya hal tersebut tetap menjadi perdebatan umum. Dan ada saja yang tetap beranggapan bahwa SKB tersebut merupakan niat baik pemerintah, dan menganggap suatu hal yang biasa jika terjadi tindakan anarkis merusak gereja dan menghalangi umat melaksanakan ibadah.[40] Kondisi tersebut dapat terjadi karena memang pemahaman hukum yang ada dalam masyarakat Indonesia masih amat sangat terbatas.
Fakta pemahaman hukum rakyat Indonesia yang masih rendah nyata dengan penafsiran yang salah dari SKB tersebut. Pernyataan pasal 4 ayat 3 dari SKB sebenarnya hanya berbunyi, “Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat organisasi-oraganisasi keagamaan dan ulama/rokhaniwan setempat”, Kalimat “dianggap perlu”, yang hanya merupakan anjuran, bukan merupakan kewajiban, ditafsirkan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan tempat peribadatan agama lain menjadi suatu kewajiban.[41] Apabila negara mengakui bahwa kebebasan beragama merupakan suatu hak yang paling asasi, tidak perlu ada larangan penutupan rumah ibadah selama pengurusan ijin sedang berlangsung.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah politisasi agama yang menghambat transformasi Pancasila yang terus terjadi dalam sejarah Indonesia. Agama telah menjadi kuda tunggangan yang paling menjanjikan untuk dapat mencapai kedudukan dalam pemerintahan di Indonesia. Di sini benarlah apa yang dikatakan oleh Viktor Silaen mengutip pandangan Paul Scholten, seorang profesor ilmu hukum di Universitas Amsterdam yang mengatakan: “Ilmu hukum menjadi tidak bermakna di kala aturan-aturan yang dibentuk oleh para pembentuk aturan itu murni berasal dari kesewenang-wenangan atau sekehendak hati pembentuk aturan itu sendiri.”[42] Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukumdari setiap sumber hukum yang ada di Indonesia, menjadi tidak berfungsi didalam tangan kekuasan yang despotis, secara khusus pada era orde baru, era dimana pelanggaran kebebasan beragama terjadi dengan sangat memprihatinkan, dimana Indonesia menjadi juara daalam pembakaran dan pengrusakan gereja.
Wajah Indonesia yang penuh carut-marut pelanggaran kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dari sikap pemerintah yang tidak konsisten berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan sumber hukum dari setiap hukum di Indonesia. Pemerintah bahkan membiarkan setiap keputusan-keputusan yang melawan Pancasila dan UUD 1945, asalkan tetap dapat mengamankan kekuasaannya. Demikian juga sikap tidak peduli sebagian rakyat Indonesia, termasuk juga kelompok-kelompok agama yang ada untuk dapat memahami aturan perundang-undangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang penuh dengan konflik.
Pada jaman Presiden Soekarno, negara tidak konsisten berpegang kepada konsensus bersama dengan mengijinkan lahirnya kementerian agama yang ditentang oleh banyak orang yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Latuharhary. Sebab dengan adanya lembaga yang mengurusi masalah kepercayaan itu, mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap agama-agama yang ada di Indonesia. Ketidakkonsitenan pemerintah yang memberikan kementerian agama sebagai konsesi atas tidak dimasukkannya tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan sesuatu yang tidak berdasar, kecuali semangat untuk tetap berkuasa.
Demikian juga Orde Baru yang melakukan hal serupa, bahkan lebih jauh lagi yaitu memakai Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan. Konsesi-konsesi yang diberikan pemerintah terhadap pihak tertentu merupakan wujud pengkhianatan terhadap konsensus nasional. Akibatnya, sebagian pihak selalu ada yang harus dikorbankan.
Usaha untuk menafsirkan Pancasila dengan tujuan melanggengkan kekuasaan, mengakibatkan saat ini Pancasila menjadi tidak populer, karena Pancasila dianggap gagal membawa rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat. Sebaliknya, Indonesia yang pernah dianggap sebagai surganya agama-agama oleh Arnold Toynbee, karena Indonesia dianggap negeri yang relatif rukun,[43] kini telah dinobatkan sebagai negara yang memiliki peringkat pertama dalam perusakan rumah-rumah ibadah. Surga itu menjadi hilang karena perbedaan tafsir Pancasila, serta adanya politisasi agama-agama yang mengakibatkan timbulnya konflik antaragama yang hingga kini belum juga terselesaikan.
Belum lagi sejak awal kemerdekaan lahirnya Pancasila diwarnai proses tarik-menarik antara kelompok yang menginginkan negara nasionalis sekuler, Islam sebagai dasar negara dan komunis. Kelompok-kelompok yang ada selalu berusaha untuk mendapatkan akses dalam pemerintahan. Akibatnya, hukum yang berkeadilan tidak berada di atas segala-galanya. Akhirnya implementasi HAM menjadi pergulatan serius, yang dalam rangka meraihnya, tidak jarang harus mengorbankan nyawa manusia.
Lahirnya undang-undang dan keputusan-keputusan pemerintah yang tidak bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 menimbulkan ketidakjelasan mengenai hal-hal yang mendeteil tentang pengakuan hak kebebasan beragama. Hal ini ikut berperan terhadap tingginya pelanggaran kebebasan beragama, terutama memasuki periode Orde Baru yang memang merupakan rezim yang paling otoriter dalam sejarah Indonesia. Puncaknya terjadi ketika disahkan UU No.8 Tahun 1985 yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang wajib diterima oleh setiap lembaga yang ada di Indonesia termasuk lembaga keagamaan. Mengenai undang-undang ini Eka menjelaskan seperti berikut:
UU No. 8/1985 sejak awal memang tidak boleh dipahami sebagai upaya kultural. UU ini adalah murni produk politik dan mempunyai agenda serta tujuan politik. Salahlah bila orang menafsirkan bahwa UU tersebut mempunyai misi suci mempancasilakan seluruh kehidupan bermasyarakat, barbangsa dan bernegara. Yang benar ialah (dan inilah yang disebut Affan Gafar sebagai “nasionalisme budaya” itu) mengeksploitasi simbol Pancasila untuk menegaskan kekuasaan pemerintah negara atas seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[44]
Bagi Darmaputera usaha untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal adalah depolitisasi Islam serta deislamisasi yang adalah usaha mengislamkan seluruh sektor kehidupan, termasuk Pancasila itu sendiri.[45]
Pemerintah yang berkuasa menjadi agen tunggal pemberi tafsir terhadap Pancasila, dan Pancasila menjadi alat pengesahan yang berkuasa, walaupun isi dari Pancasila jauh dari yang dipaparkan oleh bapak-bapak pendiri Indonesia. Penolakan yang timbul ditepis dengan kekuatan senjata sang penguasa.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undangan merupakan sesuatu yang sangat berkaitan erat bagi terciptanya hukum yang sesuai dengan Pancsila dan UUD 1945. Demikian juga sosialisasi aturan-aturan yang ada haruslah merupakan sesuatu yang terus dikerjakan, karena pengakuan penerimaan hak kebebasan beragama dalam bentuk yang kurang jelas paling tidak ikut memberikan andil terjadinya konflik antarumat beragama.
Peristiwa pembakaran Yayasan Doulos tanggal 15 Desember yang menelan korban jiwa dan korban luka-luka yang tidak sedikit, merupakan gambaran bahwa hak kebebasan beragama telah ditelantarkan. Pembakaran yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dan trauma yang cukup panjang dari orang-orang yang terluka parah sampai saat ini tidak pernah tersentuh tangan aparat kepolisian. Tindakan kekerasan atas nama agama seakan mendapat legitimasi pemerintah.[46]
Dalam perspektif kristiani, implementasi HAM terikat dengan keadilan, sehingga usaha untuk menegakkan hukum-hukum yang adil merupakan perjuangan untuk adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Kenyataan Indonesia sebagai negeri yang sarat dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia mengindikasikan bahwa ada hukum-hukum yang tidak adil, karena keadilan belum menjadi tekanan utama dalam pembuatan undang-undang. Adanya tarik-menarik untuk mendapatkan akses dalam pemerintahan, menciptakan hukum hanya cocok untuk kalangan tertentu. Kenyataan ini merupakan perlawanan terhadap martabat manusia yang pada hakekatnya sederajat.
Demikian juga dari sudut pandang kristiani, semua usaha untuk memberikan pemikiran terhadap Pancasila harus merupakan suatu perjuangan untuk memberikan keadilan bersama. Umat Kristen tidak boleh berjuang hanya untuk kepentingan Kristen. Perjuangan untuk mengakkan kedilan harus dinikmati oleh setiap manusia yang adalah ciptaan Tuhan.
Berkaitan dengan tafsir terhadap Pancasila secara khusus yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama, seharusnya usaha untuk memberikan keadilan bersama menjadi tekanan dalam usaha memberikan tafsir tersebut, sehingga Pancasila tetap menjadi sesuatu yang menyatukan bangsa Indonesia tanpa diskriminasi agama, karena ia memang berisi nilai-nilai yang berkeadilan yang dapat diterima oleh semua kelompok.
Hak kebebasan beragama di Indonesia dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi negara, artinya bahwa negara memang mengakui bahwa hak kebebasan beragama merupakan hak manusia yang paling asasi[47]. Pengakuan Pancasila bahwa hak kebebasan beragama adalah hak setiap individu yang paling asasi, sesuai dengan iman Kristen.
Allah memberi kebebasan kepada manusia ciptaan-Nya itu untuk menyembah atau tidak menyembah-Nya. Kebebasan yang diberikan Allah ini adalah kebebasan yang tidak tanapa batas. Artinya pada waktu kebebasan manusia dilakukan tanpa mentaati Allah, maka manusia akan kehilangan kebebasannya (lihat Bab II).
Meski demikian, bukan berarti manusia dapat menempatkan diri sama dengan Allah, yaitu menjadi hakim atas penyembahan yang benar dan yang tidak benar. Penyembahan kepada Allah adalah kedaulatan hati nurani, dan berasal dari Allah, sehingga tidak boleh ada seorangpun manusia yang berhak untuk membatasi hak kebebasan beragama.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pandangan iman kristiani mengenai kebebasan beragama. Bagi umat Kristen hak kebebasan hati nurani yang menjadi dasar kebebasan untuk memilih agama apa yang harus dianut seseorang berasal dari Allah dan dalam hati nuraninya manusia adalah raja. Dalam bagian ini tidak ada yang boleh menempatkan manusia sebagai raja atas sesamanya, kecuali Allah sendiri. Dan Allah tidak pernah memberikan hak penghakiman tersebut kepada manusia.
Menurut pandangan iman kristiani kebebasan beargama sebagaimana dinyatakan dalam Pancasila dan UUD 1945 merupakan sesuatu yang harus diterima. Kebebasan beragama merupakan hak setiap individu. Allah memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menyembah-Nya atau tidak Namun kebebasan yang Allah berikan bukan tanpa akibat. Pada waktu manusia memilih untuk tidal menyembah Allah maka ia akan kehilangan kebebasannya. Manusia adalah ciptaan Allah, manusia harus bergantung pada penciptanya, karena ia terbatas. Pada waktu manusia yang terbatas melaksanakan kebebasannya tanpa bergantung pada Allah, maka ia akan kehilangan kebebasannya
Menurut pandangan iman kristiani, semua manusia beragama, karena hidup itu sendiri adalah agama. Allah yang memberikan/menanamkan kebenarannya kepada setiap manusia secara umum (sensus divinitatis) membuat manusia selalu ingin mencari Tuhan. Namun pencarian manusia akan Tuhan secara bersamaan merupakan pelarian manusia dari Allah. Manusia tidak mampu mengenal Allah dengan panca inderanya. Hanya orang-orang yang ditanamkan benih iman oleh Allah yang akan memberika respons terhadap berita Injil. Jadi walaupun tidak semua orang menemukan Tuhan yang benar, tetapi semua orang beragama. Karena agama merupakan rumusan manusia tentang Tuhan (ciptaan Tuhan) walaupun itu belum tentu benar. Namun semua orang adalah beragama.
Dalam konteks Indonesia, penentuan bahwa agama resmi hanya enam (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu) merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Semua manusia pasti beragama, karena itu penolakan terhdap agama resmi negara tidak berarti bahwa seseorang hidup tanpa agama. Tidak seorangpun hidup tanpa agama. Karena itu agama-agama suku dan aliran kepoercayaan harus diakui keberadaannya sebagaimana agama-agama resmi negara.
Demikian juga dengan bidat. Bagi Luther kebebasan beragama berarti juga kebebasan seorang Kristen untuk menafsirkan Alkitab sesuai dengan keinginannya. Penafsiran yang dianggap salah oleh kelompok tertentu tidak menjadi alasan pelarangan kelompok agama yang ada. Selama tindakan para penganut bidat tidak melanggar hukum dan perundang-undangan negara, serta ketertiban umum, keberadaannya harus dihargai. Gereja tidak boleh melarang kebebasan penganut bidat, demikian juga bidat-bidat di luar kekristenan.
Dalam sejarah gereja memang pernah terjadi penganiayaan terhadap bidat (lihat bab II), namun itu merupakan reaksi terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap orang Kristen. Tindakan kekerasan orang Kristen terhadap penganut bidat tidaklah berdasarkan ajaran Alkitab, karena itu tindakan tersebut tidak boleh dilakukan oleh orang Kristen. Sehingga sikap Gereja terhadap bidat-bidat Kristen seperti saksi Yehuwa atau bidat-bidat lainnya tidak boleh bersikap menghambat kebebasan bergama. Demikian juga bidat-bidat lain di luar kekristenan harus mendapatkan jaminan perlindungan yang sama. Karena hak kebebasan beragama berasal dari Tuhan.
Orang Kristen setuju bahwa aplikasi HAM harus berdasarkan keadilan, karena itu undang-undang kebebasan beragama haruslah memenuhi syarat keadilan. Tindakan diskriminasi terhadap agama tertentu merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai yang berkeadilan.
Undang-undang tentang kebebasan beragama yang tidak memenuhi syarat keadilan seharusnya dicabut. Apalagi jika nyata-nyata undang-undang tersebut bersifat tidak produktif dan bertentangan dengan Pancasila yang berisi nilai-nilai universal yang berkeadilan.
D. Pengabaian Hak Individu dalam Masyarakat Komunal.
Semua individu/pribadi diciptakan merdeka oleh Tuhan, dan tidak seorang pun boleh merampas hak individu tersebut dengan dalih apa pun. Hak tersebut dimiliki setiap orang, karena ia diciptakan sebagai manusia. Individu-individu ini membentuk komunitas sosial berdasarkan kerelaannya, dan karena itu haknya tidak pernah hilang walaupun ia berada dalam komunitas apa pun. Secara internasional Hak-hak individu ini dijaga oleh Deklarasi Universal HAM. Namun, Deklarasi Universal HAM yang menghormati hak-hak individu tersebut dianggap merupakan karya Barat,[48] sehingga timbul kecurigaan. Bagaimana mungkin Barat yang terkenal dengan kekejamannya sebagai negara penjajah yang tidak pernah menghargai HAM, sekarang berbalik memperjuangkan HAM?
Selain itu Barat identik dengan individualisme yang melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme. Karena itu, negara yang pernah dijajah seperti Indonesia, pada awal kemerdekaan menolak HAM yang dianggap buah karya manusia indivualisme yang harus dijauhkan.
Penolakan terhadap hak-hak individu dalam HAM di Indonesia bermula dari kesalahpahaman atas individualisme yang menjadi momok bagi Soekarno, di mana HAM dianggapnya produk Barat, sehingga hak-hak individu diabaikan dan keutuhan kelompok menjadi hal yang utama. Apalagi memang pada waktu itu Indonesia membutuhkan persatuan untuk tetap dapat mempertahankan kemerdekaan. Penerimaan terhadap hak-hak individu dikhawatirkan akan membuat negara tidak mempunyai kekuatan dalam menghadapi agresi Belanda. Sayangnya, Soekarno lupa bahwa pengabaian hak-hak individu ini akan membuat negara mempunyai kekuasaan tanpa batas. Dengan dalih untuk mempertahankan keutuhan bangsa, maka negara akan mengabaikan hak individu yang tak pernah hilang walaupun ia menyatu dalam komunitas yang namanya negara.
Walaupun Pancasila mengakui HAM dan juga hak kebebasan beragama, tetapi pada awalnya Soekarno tidak menyetujui dimasukkannya HAM dalam UUD 1945, karena bagi Soekarno, HAM merupakan gagasan yang bersumber pada individualisme, yang melahirkan liberalisme, kapitalisme dan kolonialisme. Sehingga segala sesuatu yang menyangkut individualisme harus dibuang.[49]
Penolakan Soekarno terhadap segala sesuatu yang berbau individualisme ini juga menutup kemungkinan pengembangan konstitusional dalam perumusan UUD 1945. Tahun 1968, pada awal Orde Baru, MPR memang telah membentuk suatu panitia yang khusus menyusun sebuah konsep HAM, namun tidak pernah disahkan. Baru tahun 1978 rumusan mengenai sila kemanusiaan yang adil dan beradab dinyatakan dalam rumusan yang jelas seperti berikut:
Manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Mahaesa, yang sama derajat, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebaginya. Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa salira”.[50]
Perjalanan panjang pengakuan HAM yang bersifat universal menyebabkan kebingungan bagi banyak orang di Indonesia, sehingga tidaklah mengherankan pengakuan hukum yang sangat lemah, seperti SKB 2 Menteri dapat menimbulkan konflik yang sangat parah. Salah satu bukti, ribuan gereja di Indonesia hancur. Dan penghancuran itu mendapat pengesahan dari peraturan yang ada, kalau boleh dikatakan demikian, karena faktanya para pelaku perusakan tempat ibadah tidak pernah tertangkap.
Penolakan terhadap segala sesuatu yang ada dalam kemas individualisme secara ekstrem sebenarnya tidak ada gunanya. Karena jika dengan bijak dipilah-pilah akan banyak keuntungan yang didapat. Mengenai kontroversi tersebut Gunawan Setiardja menjelaskan sebagai berikut:
Individualisme yang disebut-sebut oleh Soekarno adalah individualisme yang ekstrem, yang negatif. Individualisme yang ekstrem memisahkan orang dari masyarakat sama sekali. Individualisme ekstrem inilah yang melahirkan liberalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Ada individualisme lain, yang positif, yang dapat saja kita terima dan tidak bertentangan dengan sila II kita, kemanusiaan yang adil dan beradab. Individualisme yang positif menghargai manusia sebagai makhluk pribadi. Yang melepaskan manusia dari kungkungan kolektif. Yang memberi kesempatan kepada manusia untuk dapat mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh, menjadi manusia yang berkepribadian. Atau dengan istilahnya sekarang menjadi manusia yang berkualitas.[51]
Penolakan Soekarno secara ekstrem terhadap individualisme, mengakibatkan hak-hak individu dalam negara Pancasila sering kali ditentukan oleh kelompok atau komunitas di mana ia berada. Padahal hak individu bukanlah pemberian kelompok. Jadi, dalam komunitas apa pun manusia berada, ia tetap mempunyai hak-hak yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun, termasuk juga kelompok atau negara di mana ia berada.
Pengakuan bahwa Indonesia adalah bangsa komunal yang bukan individualis, tidak berarti boleh menghapuskan hak individu. Pemahaman yang salah tentang hal tersebut, mengakibatkan tidak jarang individu-individu di Indonesia merasa terancam ketika individu tersebut harus berbeda dari kelompoknya. Tidak heran perpindahan agama dari seorang individu dalam komunitas yang homogen membuat individu tersebut terancam. Karena perbedaan individu dengan kelompoknya dianggap uasaha untuk menghacurkan kelompok yang ada, sehingga tidak heran individu tersebut harus diperangi oleh kelompok di mana ia ada.
Penolakan hak individu ini pada masa Soeharto menciptakan lahan yang subur bagi pembangunan rezim yang sangat despotis. Mengenai hal ini Ignas Kleden menjelaskan demikian:
Nilai individualisme yang sering dianggap sebagai sikap yang mengutamakan kepentingan sendiri, dalam praktek justru membuat orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam praktek justru membuat orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, menghormati hak-hak dan privasi orang lain, dan tidak mau membebani orang lain dengan persoalan dan kesulitan sendiri. Sebaliknya, kolektivisme dan kekeluargaan yang didukung oleh patriarkhi yang otoritarian dan dipuja-puja oleh rezim Soeharto, dalam prakteknya justru berkembang menjadi suatu egosentrisme kolektif yang hanya memperhatikan suatu kelompok terbatas (seperti keluarga atau kroni-kroni sendiri) dan membuat orang tak acuh terhadap mereka yang berada di luar lingkungan tersebut.[52]
Pada masa Soeharto, diskriminasi terhadap individu dan kelompok dikemas dengan dalih untuk kepentingan bersama. Jadi, hak-hak komunitas dapat mengabaikan hak-hak individu. Dan yang muncul justru ketidakadilan. Jelaslah, mengabaikan hak-hak individu akan menimbulkan luka yang suatu saat menimbulkan perlawanan baru, ketika individu-individu yang sama mengalami luka tersebut bergabung untuk melawan kelompok yang mengesampingkannya. Itulah yang terjadi dalam tumbangnya kekuasaan Soeharto.
Pemerintah tidak boleh menolak pengakuan HAM yang bersifat internasional dengan menyatakan bahwa HAM yang berdasarkan Pancasila berbeda dari HAM internasional. Karena HAM internasional dipengaruhi pandangan Barat, sedang HAM menurut Pancasila didasarkan atas kehidupan komunal masyarakat Indonesia. Pengakuan Indonesia sebagai anggota PBB seharusnya menyadarkan bahwa HAM bersifat universal.[53]
Penolakan terhadap HAM karena ia adalah produk Barat tidak mempunyai alasan yang jelas, karena bukankah di Indonesia ini banyak produk-produk Barat yang digunakan namun tidak ada yang mempermasalahkannya? Karena tidak semua yang berbau Barat pasti tidak baik, apalagi Deklarasi Universal HAM dapat disebut sebagai Magna Charta (Piagam Mulia), yang adalah suara dari miliaran manusia yang ada di Bumi ini.
Memang dapat dipahami bahwa usaha mengimplementasikan HAM dalam hal ini kebebasan beragama dalam komunitas sosial yang sangat heterogen merupakan sesuatu yang tidak mudah, apalagi ketika komunitas, atau kelompok-kelompok tertentu berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan eksistensinya, dalam dunia agama terjadilah politisasi agama.
Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa kurangnya pengakuan terhadap hak individu dalam masyarakat komunitarian di Indonesia menyebabkan banyak pelanggaran kebebasan beragama terjadi. Penghormatan hak-hak individu tidak harus ditakuti sebagai kehancuran masyarakat komunal. Sebaliknya usaha untuk menjaga masyarkat yang komunal tidak boleh menghapuskan hak-hal individu. Karena itu, deklarasi HAM yang mengakui hak-hak individu tidak boleh ditolak, karena penolakannya berarti juga membangun HAM yang bersifat relatif. Dan pada dasarnya tidak ada HAM yang bersifat relatif, walaupun dengan dalih menurut pandangan agama tertentu.
Mengenai pemahaman HAM yang harus bersifat universal, B.S. Mardiatmaja mengatakan seperti berikut:
Saya merasa jengah membicarakan hak asasi manusia menurut agama tertentu. Sebab HAM adalah suatu bahan pembicaraan yang sangat unggul dan sekarang ini praktis merupakan satu-satunya bidang yang mempersatukan bangsa kita. Kita tahu bahwa dokumen “Hak Asasi Manusia” dimaklumkan secara resmi sebagai ungkapan persatuan seluruh bangsa manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Sejak itu, setiap negara yang ingin bergabung dengan PBB harus memperhitungkan, bahwa tindakannya secara internasional diukur antara lain dari pelaksanaan HAM. Namun sesungguhnya maksud utama pemakluman HAM, adalah untuk, antara lain, mengatasi perbedaan antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. Jadi, justru kalau kita berbicara mengenai HAM, seharusnya kita membedakan pandangan yng satu dari agama yang lain.[54]
Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia karena pengabaian hak-hak individu merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan sudut pandang Kristen. Allah menciptakan manusia/individu itu sederajat, dan Allah juga yang menempatkan individu-individu itu dalam komunitas berdasarkan kerelaannya. Karena itu, hak-hak individu tidak boleh diabaikan karena ia adalah bagian dari kelompok atau komunitas tertentu.
Pengabaian hak individu demi menjaga satabilitas politi adalah sesuatu yang tidak benar dalam sudut pandang kristiani. Setiap individu memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Memberikan kebebasan kepada manusia/individu karena itu adalah haknya merupakan kewajiban negara. Hal individu tidak perlu menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena hak tersebut harus ditempatkan pada tempatnya. Demikian juga memberikan hak yang terlalu besar terhadap negara tidak akan membuat negara menjadi aman. Dalam pandangan Kristen negara dibentuk setelah kejatuhan. negara dilihat dari sisi yang negative. Artinya walaupun negara memiliki banyak kelemahan, namun ia tetap berguna. Dan untuk menutupi kelemahan negara maka negara tidak boleh tidak tanpa batas. Jadi mencurigai kedaulatan individu tidak boleh melepaskan kecurigaan pada negara. Melepaskan kecurigaan kepada negara akan membuat negara menjadi otoriter.
Hak-hak individu ini tetap melekat pada indivu tersebut dan tak boleh dicabut oleh siapa pun. Penegakan HAM yang mengabaikan hak-hak individu, secara bersamaan merupakan penyangkalan atas HAM itu sendiri, karena HAM itu bersifat individu, dan hak itu bersumber dari Allah. Karena HAM bersumber dari Tuhan maka ia tidak bisa tidak mesti universal. Dan implementasi HAM hanya mungkin ada dalam hukum-hukum yang adil, karena keadilan sejatinya tidak mengandung diskriminasi, maka keadilan yang terabaikan mengakibatkan hak-hak kebebasan beragama juga terabaikan. Itulah yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
- Hubungan Agama dan negara.
Hubungan negara dan agama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang terus mengalami perdebatan. Sejak awal kemerdekaan ada dua kekuatan yang terus saling berusaha untuk menancapkan taring kekuasaannya atas negara. Yang pertama adalah kelompok yang menginginkan adanya pemisahan total antara agama dan negara, yang akan melahirkan negara sekuler yang anti agama. Yang kedua, dominasi agama terhadap negara, yang menjadikan nilai-nilai agama tertentu sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara. Untuk menghindari benturan keduanya maka Pancasila menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, karena tidak ada satu agama pun yang boleh mendominasi negara. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler, karena pendiri Indonesia adalah orang-orang yang beragama dan menghimbau semua rakyat Indonesia supaya beragama. Pernyataan negara Indonesia bukan negara sekuler juga ditegaskan dalam sila pertama dari Pancasila, yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan.
Penolakan terhadap negara sekuler juga tidak berarti bahwa Indonesia bisa dibangun di atas dasar agama tertentu, karena agama-agama lain di luar Islam tentu saja tidak dapat menerimanya.
Usaha untuk menggantikan Pancasila dengan mendirikan negara Islam telah terjadi berulang kali dan usaha-usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Mengenai Islam yang tidak pernah berhasil mempersatukan Indononesia Eka mengutip Simatupang sebagai berikut:
Tidak pernah ada sebuah kerajaan Islam yang mempersatukan seluruh Indonesia di bawah kekuasaannya. Ada wilayah-wilayah yang tak pernah dicapai oleh Islam, dan di beberapa wilayah Indonesia Lapisan pra-Islam tetap mempunyai pengaruh yang besar. Ketika Majapahit sedang mundur dan Islam belum berhasil mencapai seluruh Indonesia, ketika itulah pengaruh Barat diperkenalkan. Bersamaan dengan itu, kekristenan meluas dan menjadi agama dari wilayah-wilayah yang belum dapat dicapai sebelumnya oleh pengaruh-pengaruh kultural dan religius baik India maupun Islam.[55]
Indonesia pantas disebut sebagai bukan negara sekuler karena rakyat yakin bahwa kemerdekaan yang diperoleh 17 Agustus 195 semata-mata karunia Tuhan. Namun Indonesia juga bukan negara agama, karena agama Islam yang terbesar sekalipun tidak pernah menyatukan Indonesia, sehingga tidak mungkin menempatkan Indonesia sebagai negara Islam.
Pemahaman Indonesia sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler telah diakui sejak lama. Namun dalam perjalanan sejarah, usaha untuk menjadikan Indonesia negara sekuler dan negara agama terus berlangsung. Munculnya partai-partai agama di Indonesia secara tidak langsung juga merupakan usaha untuk menggantikan ideologi negara. Memang partai-partai agama tersebut ada yang menyatakan diri berasaskan Pancasila. Meski demikian, kerinduan untuk mendirikan partai-partai yang bernafaskan keagamaan lebih didorong oleh semangat agama untuk menguasai negara. Hal ini terlihat bahwa partai-partai keagamaan tersebut lebih memperjuangkan kelompok agama tertentu serta mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Akibatnya timbulah perlawanan dari pihak-pihak yang merasa dikesampingkan.
Salah satu perjuangan partai keagamaan yang nyata-nyata berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai kelompok agama tertentu adalah Partai Masyumi. Mengenai hal ini Affan Gaffar mengatakan:
Masyumi merupakan partai politik terbesar yang terlihat dalam pemilihan umum 1955 dengan memperoleh suara terbanyak, akan tetapi tidak berhasil membentuk koalisi yang menghasilkan pemerintahan yang kuat sehingga agenda-agenda politik tidak dapat dijalankan, di samping persoalan internal dalam tubuh partai itu sendiri. Sebagai partai Islam yang besar, Masyumi mencoba memperjuangkan agar Islam merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia melalui forum konstituante. Akan tetapi Masyumi mendapat tantangan yang sangat kuat dari kalangan nasionalis, komunis, serta Kristen/Katolik.[56]
Pengalaman Partai Masyumi sebagai partai yang bernapaskan keagamaan dengan meraih suara terbesar, paling tidak memberikan gairah bagi tumbuhnya partai-partai keagamaan untuk mendapatkan suara dalam pemilu untuk mendapatkan kekuasaan. Sayangnya, pengalaman Masyumi sebagai partai yang pernah meraih suara terbanyak namun tidak berhasil melakukan penetrasi nilai-nilai Islam untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara, tidak pernah dijadikan pelajaran berharga oleh semua kelompok agama yang ada di Indonesia. Sehingga motivasi pendirian partai-partai yang bernapaskan keagamaan tetap sama hingga saat ini. Hal itu terlihat jelas dalam janji-janji kampanye yang diberikan.
Usaha tokoh-tokoh agama untuk memecahkan masalah etika politik yang melanda Indonesia dengan mendirikan partai-partai agama bisa saja didasarkan pada niat suci. Namun usaha tersebut tidak perlu ditunggangi oleh keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Ideologisasi agama jenis ini bisa jadi akan menghantam balik agama-agama yang pada dasarnya memiliki niat suci tadi, jika nilai-nilai agama yang dipenetrasikannya justru tidak dapat membawa Indonesia pada kehidupan yang lebih baik. Kondisi ini akan membuat agama-agama kehilangan justifikasi moralnya.[57]
Kenyataan di Indonesia saat ini tampak bahwa negara dan agama saling bersaing. Agama tidak lagi menjadi partner yang baik bagi negara, begitu sebaliknya Hal ini terjadi karena memang agama-agama sering kali mengalami pemasungan dari pemerintah yang berusaha untuk memanfaatkannya demi kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Namun pemerintah yang demikian bukanlah pemerintah yang dicita-citakan Pancasila, atau cita-cita seluruh rakyat Indonesia, sebab pemerintah yang ada, dalam arti oknum/individu tersebut telah berusaha menyelewengkan kekuasaan yang berada di tangannya. Kesalahan ada pada oknum atau individu yang melakukan penyelewengan., namun negara sebagai institusi tidak bersalah. Oknum penyelenggara negaralah yang salah dan menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Karena itu negara yang berdasarkan Pancasila tidak bersalah. Dan agama-agama tidak perlu berusaha untuk menggantikan negara sebagai institusi. Seharusnya agama-agama mendudukkan pemimpin-pemimpin dalam pemerintahan berdasarkan pada kerinduan pemimpin tersebut menjalankan tugasnya dengan adil dan bertanggung jawab sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang adalah dasar bagi keadilan bersama.
Agama-agama seharusnya tidak perlu takut terhadap negara yang tidak memberikan perlakuan khusus untuk dapat berkembang lebih baik dibandingkan dengan agama-agama lain, karena memang perlakuan khusus adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi. Negara tidak wajib menjaga keutuhan suatu komunitas yang ada, karena dasar bagi setiap individu untuk masuk dalam komunitas tersebut adalah kerelaan setiap individu. Maka apabila komunitas agama mengalami kemerosotan, dalam arti jumlah pengikutnya berkurang, kondisi tersebut tidak harus menimbulkan perasaan bahwa agama yang bersangkutan telah menerima ketidakadilan. Sebaliknya agama-agama dapat belajar mengapa kondisi tersebut terjadi. Apalagi, kebenaran suatu agama tidak didasarkan pada banyak atau sedikitnya pengikut. Yang diperjuangkan agama-agama mestinya adalah nilai-nilai keadilan dan kebenaran, bukan berapa banyak orang yang menjadi umatnya.
Karena perjuangan tokoh-tokoh agama adalah nilai-nilai moral, maka cukuplah jika nilai-nilai keadilan dan kebenaran tersebut mendapat tempat dalam dunia di mana ia berada, tanpa perlu berharap menikmati kekuasaan, yang justru akan membawanya lari dari panggilan suci.
Pemisahan antara negara dan agama merupakan gambaran hubungan antara negara dan agama dalam negara RI. Pernyataan bahwa negara Indonesia memisahkan antara negara dan agama merupakan keputusan yang diambil “founding father” Indonesia.
Islam bukanlah agama yang dianut oleh seluruh daerah di Indonesia, walaupun Islam adalah agama terbesar di Indonesia. Adanya daearah-daearah yang mayoritas pemeluk agamanya bukan Islam, membuat Islam tidak mungkin, menjadi agama negara. Jadi disamping Pancasila memisahkan agama dari negara, Pancasila juga mengakui bahwa tidak ada satu agamapun yang dapat di jadikan agama negara, yang akhirnya agama bisa meguasai negara.
Pemisahan antara agama dan negara dalam NKRI juga berarti bahwa negara dan agama di akui memiliki kodrat yang berbeda sehingga negara tidak boleh mencampuri urusan negara dan agama tidak boleh menguasai negara.
Dalam kaitan antara negara dan agama Indah putrid Indriani mengutip A. Busch membedakan bentuk negara kedalam empat model:
- Negara Ateis Ekstrem. Dasar negara ini tidak percaya pada keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Sikap terhadap agama teoritis diakui kebebasannya, tetapi tidak diperbolehkan adanya propaganda secara resmi menyebarkan agama. Dengan kata lain, kebebasan suatu agama dibatasi. Contohnya negara Komunis. 2. negara Ateis Sekularistik. Bentuk negara ini berdasarkan ketuhanan dan tidak berdasarkan agama. Sikap terhadap agama praktis diakui kebebasnnya dan mengakui pula kebebasan warga negaranya dalam memeluk atau tidak memeluk suatu agama, dan bebas dalam pelaksanaannya. Contohnya negara Liberal. 3. Negara Theis Demokratis. negara ini berdasarkan ketuhanan, tetapi tidak berdasrkan agama. Sikapnya terhadap agama melindungi dab menjamin agama-agama yang diberi kesempatan yang sama. Negara tidak diatur oleh syariat agama manapun. Contohnya negara Pancasila. 4. Negara Teis Teokratis/negara Agama. negara berdasarkan ketuhanan menurut agama tertentu. negara ikut mengatur urusan agama dan mewajibkan warganegarnya untuk melaksanakannya. Sebaliknya negara di atur oleh syariat agama tersebut. Contohnya negara Vatikan. [58]
Berdasarkan penjelasan Busch di atas nampak bahwa Indonesia adalah negara Theis Demokratis. Negara yang berdasarkan ketuhanan, sebagaimana dijelaskan dalam sila pertama dari Pancasila. Dan negara melindungi agama-agama yang ada serta memberikan kesempatan yang sama.
Hubungan antara agama dan negara di Indonesia nampak telah dirumuskan dengan jelas. Ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang unik bukan merupakan penyimpangan dari Pancasila. Namun adanya harapan lain di luar Pancasila mengakibatkan hubungan antar agama dan negara tersebut menjadi kabur.
Pelarangan penyiaran agama yang terjadi di Indonesia hanya terjadi dalam negara-negara yang menganut model Ateis Ekstrem. Karena itu pelarangan penyiaran agama bukan merupakan jiwa dari Pancasila. Demikian juga usaha untuk melakukan penetrasi nilai-nilai agama yang eksklusif kedalam isnstitusi untuk menjadikan syariah sebagai UUD negara, merupakan usaha menjadikan Indonesia negara Theis Theokratis/negara agama.
Usaha untuk memasukkan Piagam Jakarta kedalam UUD negara yang dilakukan Islam formalis (lihat bab I) merupakan usaha menjadikan Indonesia negara agama. Demikian juga usaha menumbangkan NKRI melalui pemberontakan PKI merupakan usaha untuk menggantikan Indonesia menjadi negara yang Atheis ekstrem. Kedua usaha merubah bentuk negara seperti yang dilakukan DI dan Komunis merupakan perlawanan terhadap negara.
Setelah kegagalan merubah bentuk negara dengan cara kekerasan, pada fase selanjutnya usaha untuk merubah bentuk negara Indonesia dilakukan dengan penetrasi nilai-nilai agama, dan kelompok kedalam Pancasila. Usaha ini terus dilakukan oleh Islam formalis yang menerima Pancasila karena tidak mampu memaksakan kehendaknya untuk menguasai negara. Ketidakmampuan Islam formalis menguasai negara karena jumlah mereka sebenarnya hanya sedikit (lihat bab I). Demikian juga dengan kelompok Komunis, usaha menjadikan Pancasila sebagai NASAKOM merupakan bukti bahwa penetrasi nilai-nilai agama dan kelompok yang eksklusif terus berlanjut.
Ketekunan Islam formalis untuk menjadikan Indonesia negara agama setelah penolakan Piagan Jakarta, membuahkan harapan baru setelah dibentuknya Kementrian agama pada tanggal 3 Januari 1946. Konsesi tersebut diberikan sebagai akibat penolakan terhadap Piagam Jakarta. Disatu sisi Departemen Agama tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama, namun usaha untuk menjadikan Indonesia sebagi negara agama menjadi terbuka, dimana Islam dijadikan agama resmi yang memiliki kekhususan, karena memiliki Departemen Agama sendiri, sedang agama-agama lain tidak. Pendirian Departemen Agama memang tidak menjadikan Islam sebagi satu-satunya agama resmi negara. Tetapi Agama Islam memiliki kekhususan.
Pendirian Depertemen Agama juga tidak menjadikan Indonesia negara Islam, namun hubungan antara agama dan negara di Indonesia telah mengarah kepada hubungan negara agama, seperti di Malaysia. Bukan negara Islam, namun Islam menjadi agama resmi. Karena itu kehadiran Kemenerian Agama pada awalnya mendapat penolakan dari umat Kristen.[59]Karena dalam negara yang menetapkan agama tertentu sebagi agama resmi campur tangan pemerintah sangat kuat yaitu dengan adanya kewajiban untuk menjalankan aturan agama tertentu. Sebagaimana terjadi dalam negara agama.
Lahirnya kementerian agama pada tanggal 3 Januari 1946 merupakan kompromi antara kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler dan Islam yang menginginkan Islam menjadi ideologi negara. Lahirnya kementerian agama merupakan konsesi untuk Islam formalis yang berusaha memasukan syariah ke dalam konstitusi.
Kementerian agama dianggap sebagi konsesi terhadaap Islam formalis karena Agama Islam mendapat perlakuan khusus sebagai agama resmi, berbeda dengan agama-agama resmi lainnya seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu yang pada mulanya tidak memiliki kementerian agama. Selanjutnya memang ditambahkan seksi-seksi dari agama-agama resmi lainnya, seperti Kristen,katolik, Hindu dan Budha dalam Kementerian agama. Namun tetap merupakan diskriminasi agama, apalagi secara struktur tidak mengalami perubahan (lihat BabI).
Pemisahan antara agama dan negara tidak berawal dari berdirinya Kementerian Agama, karena pada mulanya Hatta dan Soekarno telah memutuskan bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama. Walaupun tarik menarik untuk menjadi negara sekuler dan negara agama terus terjadi.
Bentuk negara Pancasila yang memisahkan antara agama dan negara, namun negara memberikan perlindungan terhadap agama, serta memperlakukan agama-agama secara sama seharusnya juga diwujudkan dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Namun pemisahan itu bukan merupakan pemisahan total, karena semua orang Indonesia adalah orang yang beragama, maka hukum dan perundang-undangan yang ada haruslah didasarkan agama-agama yang ada. Kementerian agama yang sarat dengan semangat Piagam Jakarta, juga tidak menjadikan Indonesia negara Islam. Karena memang dalam negara Islam tidak memiliki Departemen agama. Namun departemen agama ini merupakan warisan dari jaman Belanda dan Jepang, dan keterlibatan negara terhadap agama sangat besar. Karena itu penolakan kementerian agama pada mulanya dibangun diatas keinginan agar negara tidak terlibat jauh kedalam urusan agama.
Kementerian agama ini juga sarat dengan diskriminasi karena pada awalnya adalah kementerian agama Islam, walaupun dimasukan seksi-seksi agama-agama resmi negara. Namun perjuangannya lebih mengutamakan pelayanan terhadap agama Islam.
Sejak berdirinya kementerian agama, kontroversi selalu menghiasi perjalanan departemen ini. Kementerian agama yang berawal dari Kementerian Agama Islam, dan kemudian mengalami perluasan di mana agama-agama lain mendapatkan tempat, namun dengan struktur yang tidak pernah berubah sejak pendiriannya, jadilah departemen agama, hingga saat ini hanya memperjuangkan hal-hal mengenai agama Islam.
Departemen ini, karena memang pada hakikatnya masih tetap sejak berdirinya sebagai departemen yang memperjuangkan kepentingan agama Islam maka yang menjadi menteri selalu yang beragama Islam, dan tidak mungkin mampu mengurus tentang hal-hal yang berkenaan dengan agama lain. Akibatnya selalu terjadi diskriminasi agama yang timbul melalui departemen agama. Tentang hal ini Simatupang menerangkan sebagai berikut.
Apabila Departemen Agama itu dimaksud untuk melayani agama-agama dalam Republik Indonesia mengapa peraturan-peraturan yang hendak dikeluarkan dalam rangka pelayanan terhadap agama-agama itu tidak terlebih dahulu dirundingkan dengan agama-agama? Bukankah isi dari SK-SK yang hendak melayani agama-agama itu akan jauh lebih efektif andaikata isinya itu terlebih dahulu setelah dimusyawarahkan secara tuntas dengan agama-agama lain. Lain halnya itu apabila pelayanan yang hendak dijalankan melalui SK-SK itu sebetulnya berarti pengawasan dan pembatasan yang merugikan bagi agama-agama.[60]
Keputusan-keputusan departemen agama menurut Simatupang sering merugikan agama-agama lain. Tetapi herannya keputusan tersebut tidak pernah dibicarakan dahulu dengan penganut agama-agama yang ada.
Pada jaman reformasi, departemen ini hendak dibubarkan. Namun sampai saat ini, lembaga ini tetap ada meski tidak produktif dalam mengurusi masalah hubungan antarumat beragama. Contoh paling akhir adalah ketidakmampuannya untuk menjaga hak-hak kaum Ahmadiyah yang sejak lama dilarang oleh departemen ini.[61] Demikian juga dalam hal perusakan dan penutupan terhadap ratusan rumah ibadah, departemen ini tidak bersuara, bahkan seakan tidak perduli.
Mengingat departemen agama memang tidak produktif, jika ia tidak dibubarkan, departemen ini seharusnya diubah menjadi “departemen agama-agama” yang bukan hanya menaungi agama yang disebut agama resmi, tetapi juga aliran yang disebut bidat dan aliran kebatinan, karena pada hakikatnya aliran kebatinan dan bidat juga agama, sebagaimana diusulkan oleh Simatupang dengan istilah “departemen keagamaan” yang dapat diterima oleh semua pihak.[62]
Parahnya, departemen agama ini oleh sebagian orang juga dianggap sebagai perwujudan negara Islam Indonesia. Karena pendirian departemen ini merupakan konsesi atas ditolaknya Piagam Jakarta, apalagi memang yang diperjuangkan hanya kepentingan agama Islam, maka departemen ini selalu menimbulkan kontroversi yang tidak mudah diselesaikan.
Perubahan struktur dalam Departemen Agama menjadi Departemen Agama Agama (Departemen Keagamaan) di mana semua agama mendapatkan kedudukan yang sama merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan untuk menghentikan terjadinya diskriminasi agama dengan cara yang kasat mata.
Departemen Agama Agama ini dapat menampung opini agama-agama yang ada, dan opini dari agama-agama yang ada harus sedia untuk diperdebatkan, dalam arti menerima kritik dari berbagai pemikiran keagamaan yang ada, untuk kemudian melahirkan nilai-nilai yang diterima oleh semua umat beragama yang ada. Adanya Depertemen agama-agama ini dapat menjadi wadah bagi proses belajar bagi pengenalan agama-agama, sehingga akan menimbulkan pengertian bersama, yang sangat berguna bagi pembangunan bangsa. Kemudian tugas utama dari departemen ini adalah menyusun undang-undang kebebasan beragama berdasarkan pasal 29 UUD 1945 yang telah lama dirindukan banyak orang di Indonesia, yaitu suatu undang-undang kebebasan beragama yang juga telah diusulkan oleh Simatupang sejak lampau.
Sebetulnya terdapat kevakuman yang besar dalam kehidupan keagamaan seperti di Indonesia, yaitu belum adanya Undang-Undang Pokok Kebebasan Beragama. Pasal 29 UUD 1945 yang begitu penting itu belum pernah dijabarkan dalam undang-undang sehingga banyak yang diisi secara darurat dengan berbagai SK dengan dasar hukum yang tidak selalu begitu jelas untuk menghadapi masalah-masalah yang muncul dan harus diatur tanpa adanya UU pokok Kebebasan Beragama.[63]
Kerinduan Simatupang dan juga kerinduan banyak orang Indonesia untuk adanya Undang-Undang Kebebasan Beragama adalah wajar, karena terlalu banyak SK-SK yang bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945 yang dikeluarkan. Anehnya walaupun SK-SK itu bersifat sementara namun masa berlakunya tidak pernah habis. Karena itu adanya Undang-Undang Kebebasan Beragama paling tidak akan secara otomatis menggugurkan peraturan-peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan kebebasan beragama.
Pemberontakan DI dan Komunis merupakan bukti bahwa kebingungan antara hubungan antara agama dan negara membuat kelompok-kelompok yang ada mengambil jalan pintas, yaitu menjadikan Indonesia negara sekuler atau negara agama.
Setelah padamnya pemberontakan-pemberontakan yang ingin membangun negara sekuler yang anti agama gagal (komunis), demikian juga menjadikan agama menguasai negara (DI), maka konflik terjadi di dalam pembentukan hukum dan perundang-undangan.
Kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara melakukan penetrasi nilai-nila agamanya ke dalam Pancasila, tidak perduli apakah hal tersebut akan melukai sesamanya, atau tidak.akibatnya perundang-undangan yang tercipta banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945negara.
Politik akomodasi pemerintah yang memberikan kemudahan kepada kelompok-kelompok agama tertentu merupakan tanda bahwa agama menguasai negara, dimana para pemimpin negara berusaha untuk menyenangkan kelompok agama yang ada demi memperoleh dukungan.
Pelanggaran terhadap kedaulatan agama yang dilakukan oleh negara nampak dalam penetapan agama resmi. Negara tidak berhak menentukan agama resmi, karena semua manusia memiliki kebebasan untuk beragama. Dan tidak boleh seorapun dipaksa untuk memeluk keenam agama resmi yang ada.
Demikian juga pemerintah tidak boleh megadakan hambatan kepada bidat-bidat. Selama ajaran bidat-bidat yang ada tidak mengganggu ketertiban umum, seperti Mormon, Kristen Science, ataupun aliran Ahmadiyah dan Darul Arqam. Pemerintah harus menghargai keberadaan bidat-bidat yang ada.
Pemisahan antara agama dan negara sebagaiman ditetapkan oleh Founding Fathers Indonesia merupakan sesuatu yang sejalan dengan pandangan kristiani. Demikian juga posisi Indonesia sebagai bukan negara sekuler dan bukan negara agama merupakan sesuatu yang tepat. Namu kesulitan yang terjadi adalah dalam hubungan natur agama dan negara belum sejelas pandangan Kristen.
Agama terpisah dari negara karena pada kodratnya negara memang berbeda dengan gama. Wewenang keduanya berbeda. Namun negara tidak boleh menguasai negara, demikian juga agama tidak boleh meguasai negara. Apabila negara ingin menguasai negara atau sebaliknya negara ingin mengusai agama, sebagaimana terjadi di Indonesia. Maka keduanya, baik agama maupun negara tidak berjalan pada kodratnya. Akibatnya kedua-duanya tidak maksimal berkarya bagi kemanusiaan.
Agama-agama juga tidak boleh tidak perduli dengan tindakan salah pemerintah. negara dan agama harus memiliki hubungan koordinasi yang memungkinkan keduanya berjalan sesuai dengan kodratnya. Pada waktu negara tidak melakukan wewenangnya dengan tepat, atau tidak menjalankan keadilan Allah, dalam mengusahakan kesejahteraan rakyat, maka agama harus berani mengarahkan pemerintah untuk kembali pada kodratnya.
Indonesia dengan Pancasila-nya menyatakan diri sebagai negara demokrasi yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Mengenai keunikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, Simatupang menerangkan demikian:
Negara modern yang bukan negara sekuler, bukan negara agama, dalam arti diidentikkan dengan salah satu agama, tetapi di mana dalam rangka Pancasila, beberapa agama mempunyai kedudukan resmi dan hidup berdampingan bahkan memikul tanggung jawab bersama dalam upaya untuk mendirikan suatu model yang tidak sekuler tetapi tetap menjunjung tinggi nilai moral, etik dan spiritual. Eksperimen yang berlangsung di Indonesia ini tidak ada duanya di negara lain dan sepanjang sejarah umat manusia, dan oleh sebab itu tidak usah mengherankan bahwa upaya untuk menjalankan hal yang belum pernah terjadi itu, tidak selalu mudah. Pihak-pihak yang bersangkutan sendiri yaitu golongan-golongan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kadang-kadang cenderung untuk kembali ke dalil-dalil yang mereka bawa dari negara asalnya ke Indonesia dan menghadapi masalah-masaalah baru. [64]
Perbedaan pandangan agama-agama yang ada tidak harus menyangkali negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai negara yang memisahkan agama dengan negara. Tetapi sebagaimana dijelaskan dalam bagian terdahulu terjadi heterogenitas tafsir Pancasila yang didasarkan oleh pandangan agama-agama. Heterogenitas tafsir tersebut juga mencakup tentang demokrasi yang menjadi pemikiran Pancasila.
Perbedaan tafsir ini, menurut T.B. Simatupang, disebabkan karena agama-agama yang ada belum memahami konteks di mana mereka berada, karena agama-agama yang ada, menurutnya, masih berpijak pada tempat asal di mana agama itu berada sebelum dibawa ke Indonesia.
Pernyataan Indonesia sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang sebelumnya tidak pernah ada, juga menimbulkan pergulatan antargolongan nasionalis sekuler yang menginginkan adanya negara Indonesia yang sekuler dengan Islam politik yang menginginkan negara berdasarkan Islam. Yang disebut terakhir ini terus berusaha untuk memberikan pengaruh, jika mungkin ingin menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dan menggantikannya dengan ideologi lain. Di sini terjadilah politisasi agama. Agama yang dalam dirinya tidak mengandung unsur konflik menjadi sesuatu yang mudah menimbulkan konflik.
Pergulatan antarkelompok-kelompok yang ada di Indonesia seharusnya tidak akan membawa persoalan jika kelompok-kelompok yang bergulat tersebut menyadari bahwa Indonesia sebagai negara yang memisahkan antara agama dan negara sebagai sesuatu yang final. Lagi pula, perjuangan semua kelompok untuk memberikan pemikiran secara khusus antarhubungan negara dengan agama haruslah memerhatikan heterogenitas kelompok sosial yang ada di Indonesia. Kecintaan terhadap kelompok yang ada tidak harus mengabaikan kecintaan kepada negara yang merupakan hasil perjuangan bersama.
Dari sudut pandang kristiani hubungan antara agama memiliki hubungan yang jelas. Negara dan agama merupakan kodrat yang berbeda, namun keduanya berasal dari sumber yang sama. Wewenang negara dan agama (gereja) berasal dari Tuhan. Karena itu keduanya harus diabdikan kepada kemanusiaan.
Mengenai hubungan antara agama dan negara dalam Pancasila yang sesuai dengan pandangan kristiani Darmaputera seorang teolog Kristen yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Calvin menjelaskan demikian:
Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan bersama-sama, artrinya, kerangka landasan moral etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.[65]
Agama dan negara berbeda, negara tidak boleh menguasai negara, demikian juga agama tidak boleh menguasai negara. Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk mengingatkan negara pabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar undang-undang dan keteriban umum. Maka negar wajib untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungn bersama antar agama dan kelompok yang ada.
Agama harus senantiasa kritis terhadap negara, karena negara sebagai institusi yang diciptakan setelah kejatuhan memiliki kelemahan. Negara cenderung bertindak diluar kewenangannya. Pada saat negara tidak berjalan sesuai dengan kewenangannya, bukan saja gereja tidak harus mentaatinya, tetapi Gereja harus memberikan kritik untuk mengembalikan negara pada kodratnya.
Pada hakikatnya agama-agama memang harus memberikan kritik kepada negara yang tidak lagi dapat menjalankan fungsi pemerintahannya dengan benar. Namun agama-agama tersebut tidak boleh menguasai negara. Karena apabila agama-agama itu menguasai negara yang terjadi adalah dominasi agama tertentu dan menimbulkan pemerintahan yang otoriter kembali, karena agama yang menguasai pemerintahan tidak akan dapat menerima kritik dari agama-agama yang berbeda. Terjadilah hegemoni agama, sehingga agama-agama yang berbeda harus mengalami diskriminasi
Dari sudut pandang Kristen, perjuangan kelompok-kelompok seharusnya tetap berpegang pada keadilan yang telah ditetapkan pada keputusan untuk memisahkan negara dan agama. Pada hakekatnya, agama memiliki daerah kekuasaan yang berbeda dengan negara. Walaupun agama-agama membutuhkan negara, kepentingan agama tidak boleh diwujudnyatakan dengan memakai tangan negara. Dan perjuangan agama-agama untuk mendapatkan kedudukan harus merupakan perjuangan universal tanpa diskriminasi terhadap agama-agama yang lain.
Seorang Kristen yang menduduki kekuasaan pemerintahan tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan agama atau kelompoknya, walaupun ia dipilih dengan mendapatkan suara terbanyak yang berasal dari kelompok tertentu. Karena tugas seorang pejabat negara adalah menjalankan hukum-hukum yang adil dalam pemerintahan, demi kebaikan semua elemen masyarakat yang ada di dalamnya. Jadi, siapa pun yang memegang kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan, seharusnyalah bersikap adil tanpa harus mengutamakan kepentingan kelompok agama tertentu, karena perjuangannya adalah perjuangan demi menegakkan keadilan yang bersifat universal, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Dalam proses transformasi Pancasila kedalam hukum dan perundang-undanagn umat Kristen tidak boleh melakukan dominasi atau hegemoni yang berkibat pada penciptaan hukum dan perundang-undangan yang diskriminatif. Sebaliknya perjuangan Kristen dalam transformasi Pancasila dalam hukum dan perundang-undangan didorong oleh semangat untuk memberi keadilan bersama.
Umat Kristen juga harus mendorong umat bergama lain untuk menyumbangkan nilai-nilai yang inklusif dalam transformasi Pancasila. Nilai-nilai inklusif agama-agama ini akan menjadi landasan moral bagi bangsa Indonesia. Bagi umat Kristen moralitas merupakan sesuatu yang bersifat universal, karena itu penciptaan undang-undang yang berlandaskan moral yang bersifat universal menjadi semangat kekristenan dalam partisipasi pambangunan bangsa.
Apabila agama tetap berada dalam kodratnya maka agama dalam dunia publik akan sangat berperan bagi terciptanya negara yang berjalan sesuai dengan kodratnya. Mengenai peran agama dalam negara Martin Lukito Sinaga mengutip rumusan Jose Casanova sebagai berikut:
1.Agama memasuki dunia-dunia publik haruslah membela, tidak hanya kebebasannya, tetapi juga kebebasan kelompok agama yang lain (jadi agama dihayati secara majemuk): dengan demikian agama-agama akan mencegah juga lahirnya absolutisme negara. 2. Agama-agama tersebut secara aktif mempersoalkan absolutisme otonomi sekuler, namun kali ini tidak dengan keinginan menggantikan atau pun menetukan jalannya negara sedemikian (sebab nanti ia akan menjadi absolut lagi), tetapi menggugat realitas secara etis. 3. Dalam ia membela “traditional life world” terhadap penetrasi ataupun kolonialisasi dunia teknis dan administrasi negara modern (yang anonim itu), ia tidak perlu melamun, mengimpikan suatu “gemeinschaft” negeri ideal agamanya yang mau dibawa hadir saat ini, tetapi menjadikan “dunia” kehidupan tradisi yang khas agamis itu sebagi sebuah wacana yang terbuka dan didebatkan secara publik: dan menjadikannya suatu semangat dalam “religious social movement”[66]
Apabila agama-agama dapat berperan seperti yang dijelaskan di atas, maka terbentuklah masyarakat sipil yang kuat yang mempunyai daerah kekuasaannya sendiri. Di sini tampak bahwa pandangan kristiani mengenai hubungan antara negara dan agama menjadi jelas (lihat bab II). Namun tidak berarti bahwa hal tersebut hanya baik untuk umat Kristen, karena dalam masyarakat sipil yang terbentuk ini diperjuangkan yang namanya kedaulatan publik (public sphere). Di sini, opini yang berasal dari berbagai agama dibentuk dan kemudian menimbulkan kedaulatan baru, yaitu daerah kedaulatan masyarakat sipil yang merupakan syarat penting untuk adanya negara demokrasi.
Dalam pembentukan opini-opini ini agama harus memainkan peranannya, agama-agama dapat menyumbangkan nilai-nilai moral etiknya dengan bebas. Proses pembentukan opini yang dihasilkan dari sumbangsih agama-agama ini dapat berjalan dengan baik apabila negara memberikan proteksi terhadap hak-hak sipil, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, beragama dan perlindungan akan ruang pribadi dan intimitas.[67]
Dengan adanya peran agama-agama dalam memberikan arah moral dan etik bagi negara melalui pembentukan opini yang merupakan sumbangsih agama-agama, maka agama-agama tidak akan melepaskan kontrolnya dari pemerintah. Dan pemerintah secara bersamaan juga harus menjaga proses pembentukan masyarakat sipil tersebut berjalan dengan baik melalui proteksi terhadap hak-hak sipil. Kemudian politisasi agama yang timbul karena diskriminasi agama dapat ditekan. Pemakaian agama untuk mendapatkan kekuasaan pribadi juga akan menjadi sulit karena agama-agama telah turut berperan dalam pembangunan bangsa. Jadi agama-agama menjadi agama publik yang terbuka.
Agama tidak dipisahkan total dari negara, namun agama tidak boleh berkeinginan menguasai negara. Agama bukan hanya ada dalam dunia privat, tetapi ada dalam dunia publik, yang memiliki peran dalam dunia publik.
Pertimbangan dilemparnya agama dari dunia privat kedalam dunia publik, untuk Indonesia merupakan sesuatu yang amat penting. Setidaknya, agama-agama bisa saling mengenal, sehingga menghapuskan kecurigaan antarumat beragama yang telah lama ditabur dalam proses politisasi agama. Pengenalan yang lebih baik akan agama-agama lain, secara khusus juga akan menolong agama-agama misioner dalam memahami misi agama-agama lain, sehingga konflik dapat dihindari. Dengan pemahaman atas agama lain, usaha-usaha misi agama-agama dapat dijalankan secara kontekstual tanpa harus mengkompromikan ajaran agamanya.
Bagi penganut kepercayaan, hubungan antara agama dan negara menjadi penting, karena di sini mereka juga dapat ikut serta dalam pembentukan opini publik yang dapat memberikan tempat bagi eksistensi mereka, karena perlindungan hak-hak sipil memungkinkan mereka dapat memberikan opininya. Demikian juga aliran bidat yang sering kali salah dimengerti oleh banyak orang di Indonesia, karena yang mengetahui tentang bidat umumnya hanyalah tokoh-tokoh agama. Mereka dapat memberikan opini mereka bagi pembangunan bangsa. Di sini terjadi interaksi sosial antara bidat dan agama-agama. Kemudian akan terjadi saling pengertian bersama dan akhirnya memberi tempat dalam pembentukan moral dan etik.
Apalagi umumnya bidat adalah kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari agama karena adanya hutang agama yang belum terpenuhi dalam mengemban tanggung jawab perwujudan keyakinan agamanya. Secara khusus, kedekatan antarindividu yang sering kali sangat menonjol dalam kehidupan penganut bidat, dan yang terabaikan dalam kelompok-kelompok agama yang ada.
Demikian juga penyebutan agama mainstream (aliran yang baku) yang menuntut hak monopoli atas kebenaran, tidak lagi mendapatkan tempat, karena hal itu sering kali dipergunakan sebagai alat untuk menindas kepercayaan lain, yang berbeda dengan aliran mainstream. Di sini akan terjadi kebebasan dalam menafsirkan kitab suci agama-agama, yang sering kali tidak mendapatkan ruang dari agama-agama mainstream yang diakui sebagai agama resmi.
Hubungan antara agama dan negara memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Kekerasan yang biasa menghiasai hubungan antaragama dengan kecurigaan antarpemeluk agama yang tidak mudah dihapuskan ini, menjadi tantangan tersendiri bagi hubungan antara agama dan negara. Oknum-oknum yang terlalu lama menikmati kekuasaan dengan memanfaatkan agama-agama tidak dengan sendirinya akan melepaskan nikmatnya kekuasaan tersebut. Namun perjuangan semua rakyat Indonesia yang menyadari arti pentingnya negara Indonesia bagi mereka menjadi modal dalam usaha mencapai Indonesia yang lebih baik. Bagi orang Kristen di Indonesia, inilah perjuangan yang sesungguhnya, sebagaimana dikatakan oleh Darmaputera:
Kita seharusnya berjuang bagi pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, yakni pengamalan semangatnya yang inklusif dan non-diskriminasi itu, kita seharusnya berjuang bagi kesatuan dalm keberagaman Indonesia dan seharusnya berjuang bagi terbentuknya dan realisasi demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[68]
Apabila perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah perjuangan untuk pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat yang inklusif bagi terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran agama-agama tidak akan berubah menjadi usaha untuk saling menguasai dengan memakai negara sebagai senjata untuk meredam sesamanya. Perjuangan tersebut seharusnya menjadi perjuangan yang suci.
- Toleransi sebagai Alat Pasung Kebebasan Beragama.
Heterogenitas agama-agama yang ada pada mulanya memang tidak banyak menimbulkan konflik antarumat beragama. Karena itu tidaklah mengherankan jika pada awalnya Indonesia menjadi negara yang dianggap sebagai teladan dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis antarumat beragama. Tetapi dalam perjalanan waktu, ketidakkonsistenan pemerintah berpegang pada Pancasila dan UUD 1945, serta timbulnya apresiasi terhadap Pancasila melahirkan hukum dan perundang undangan yang bertentangan dengan Pancasila
Adanya hukum dan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan Pancasila serta sikap pemerintah yang lebih mementingkan kekuasaan dibandingkan berpegang pada Pancasila yang membuat hubungan antar umat beragama menjadi hubungan yang peka dan dapat dengan mudah menimbulkan konflik, yang tidak jarang menbawa korban manusia.
Mengenai pekanya hubungan antarumat beragama ini, Alamsyah Ratuprawira Negara, yang pernah menjadi menteri agama di era Soeharto menjelaskan demikian:
Masalah kehidupan beragama di kalangan masyarakat kita merupakan masalah yang amat peka, bahkan paling peka di antara berbagai masalah sosial budaya lainnya. Sebab terjadinya sesuatu masalah sosial akan menjadi semakin ruwet jika masalah tersebut menyangkut masalah agama dan kehidupan beragama.[69]
Pekanya hubungan antarumat beragama juga terkait erat dengan sistem penaklukan agama-agama sebagaimana terjadi dalam sejarah perjumpaan agama-agama di negara asal agama-agama itu berada, sebelum dibawa ke Indonesia. Di negara-negara Kristen yang ditaklukkan oleh Islam, orang Kristen menjadi warga negara kelas dua. Demikian juga dalam perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan, hukum penaklukan ini berlaku.
Usaha mendapatkan kekuasaan dengan dukungan kelompok agama, membuat kelompok agama yang berhasil menempatkan kadernya dalam pemerintahan. mendapatkan kekhususan dibandingkan agama lain.[70] Akibatnya toleransi agama yang murni sangat sulit untuk dibangun. Perjumpaan antartokoh-tokoh agama dalam suasana yang sejuk dan penuh perdamaian menjadi sesuatu yang amat langka.[71] Apalagi yang dijumpai dalam usaha-usaha untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama dengan mengusung kata toleransi antarumat beragama sebagai sesuatu yang utama berbungkus pengekangan terhadap kebebasan umat beragama. Jadilah kata toleransi sebagi alat pasung kebebasan beragama.
Fakta kata toleransi telah menjadi alat pasung dalam kebebasan beragama adalah dengan adanya pembatasan hak-hak beribadah terhadap umat beragama. Adanya keharusan ijin pembangunan tempat ibadah secara khusus bagi agama Kristen sebenarnya tidak boleh menjadi alasan dirobohkannya gedung-gedung gereja yang telah berdiri. Paling tidak, toleransi seharusnya mendorong umat beragama bisa tetap beribadah dengan bersama-sama mendukung pemberian ijin pendirian ibadah. Hal ini terjadi, tentu kalau memang bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila menempatkan hak kebebasan beragama sebagai HAM yang paling asasi.
Pada hakekatnya, ibadah bukanlah sesuatu yang memerlukan ijin. Karena hak beribadah adalah pemberian Tuhan, dan pembangunan rumah ibadah bukanlah sesuatu yang menimbulkan masalah seperti pembangunan kompleks perjudian atau pambangunan rumah tempat praktek wanita asusila.
Pemasungan atas kebebasan umat beragama dengan mengusung kata toleransi juga terjadi dalam usulan penandatanganan untuk tidak memberitakan agama kepada yang sudah beragama. Namun walaupun penandatanganan itu ditolak, larangan penyiaran agama kepada yang sudah beragama tetap dilakukan, dengan alasan untuk menjaga kerukunan. Toleransi dianggap sebagai suatu pemaksaan terhadap agama-agama untuk melepaskan hak-haknya yang sebenarnya tidak dapat dicabut oleh siapa pun.
Hak kebebasan beragama pada hakekatnya juga termasuk semua hak yang diperlukan untuk menjalankan perintah agamanya. Karena itu apabila kata toleransi berarti mengkompromikan ajaran agama, maka toleransi bukan lagi menjadi toleransi, melainkan suatu pembatasan kebebasan beragama. Atau dengan kata lain, toleransi telah menjadi alat pasung bagi kebebasan beragama.
Kata toleransi yang berasal dari kata toleran itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata toleransi juga dapat berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Dalam dunia kerja, toleransi berarti penyimpangan yang masih dapat diterima.[72] Jadi dalam hubungan dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaan atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi tetap mengijinkan perbedaan itu tetap ada.
Penyebaran agama kepada orang yang berbeda agama, seharusnya tidak menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kelompok agama lain, walaupun mungkin individu dalam kelompok tertentu dapat saja berpindah menjadi penganut agama lain, begitu sebaliknya.Apalagi semua agama yang saat ini disebut agaam resmi oleh negara adalah agama pendatang. Penyebaran agama-agama baik Hindu, Budha, Islam, Kristen dan katolik terjadi dengan cara damai. Karena itu penyebaran agama mereupakan sesuatu yang biasa dibumi Indonesia.
Penyebaran agama pada waktu kemudian menimbulkan konflik, bukan karena dalam diri agama-agama itu mengandung konflik, tetapi penyebaran agama sering kali dikaitkan dengan maslah lain diluar, agama. Misalnya masalah ekonomi dan politik.
Tetapi komunitas agama tidak boleh mencabut hak individu yang berada dalam komunitasnya. Perbedaan agama seharusnya memperkaya agama-agama yang ada, jika penyebaran agama merupakan suatu kesaksian dari keyakinan agama-agama yang ada.
Globalisasi budaya adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, tetapi mengambil sisi positif dari keberagaman yang ada menjadi kebutuhan yang mendesak, jika tidak ingin tertinggal. Demikian juga terciptanya dunia yang semakin heterogen karena pluralitas agama-agama seharusnya dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi Indonesia, setidaknya jika agama-agama itu menyadari bahwa dalam negara Pancasila ia mempunyai kedudukan yang sama.[73]
Dalam perspektif Kristen, karena hak pemilihan agama adalah hak kebebasan hati nurani, maka perbedaan agama bukan merupakan sesuatu yang harus ditiadakan dengan segala cara. Sebaliknya, dalam keberagaman agama-agama tersebut, umat Kristen diharuskan menjadi saksi dengan jalan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pemenuhan kewajiban ini secara bersamaan merupakan penghormatan terhadap HAM. Pemberitaan Injil dengan semangat memindahkan orang beragama lain ke agama Kristen bukanlah menjadi tujuan penginjilan. Seseorang pindah ke agama Kristen akibat penerimaan yang bersangkutan pada Injil. Bukan sebaliknya seseorang dipindahkan kedalam komunitas Kristen untuk menjadi Kristen.
Apabila orang tidak dipilih oleh Tuhan, maka ia tidak akan menjadi Kristen. Namun tidak berarti penginjilan mengalami kegagalan, karena memang kewajiban orang Kristen hanya untuk memberitakan isi Injil yang dia terima dan hidup sesuai dengan ajaran Injil tersebut. Sedangkan masalah orang menjadi Kristen adalah hak Tuhan.
Demikian juga yang terjadi dalam perpindahan orang yang beragama Kristen ke agama lain, tidak berarti bahwa ajaran Kristen itu salah, walaupun mungkin interpretasi orang tersebut demikian. Karena Injil itu sendiri tidak bergantung pada kesaksian manusia. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa toleransi seharusnya bukan merupakan pembatasan hak kebebasan beragama yang berasal dari Tuhan. Jika tidak, maka yang terjadi adalah pemasungan agama-agama. Itulah yang terjadi di Indonesia..
Menurut pandangan Kristen, semua manusia beragama. Karena itu, mempersaksikan agama Kristen kepada umat agama lain seperti juga yang terjadi kepada umat Kristen, adalah sesuatu yang tidak diharamkan. Bahkan hal itu merupakan kewajiban agama. Asal saja penyiaran agama tidak dilakukan dengan cara memaksa, atau disertai bujukan dan iming-iming, pada hakekatnya usaha penyiaran agama kepada yang sudah beragama tersebut dapat diijinkan. Toleransi beragama dalam kekristenan didasrkan pada aturan golden rule, jadi semua orang harus menerapkan kata toleransi tersebut pada dirinya, kata toleransi diletakakan pada orang pertama untuk orang kedua , ketiga dan seterusnya. Jadi jika seseorang ingin orang lain bertoleransi dengan dirinya, maka ia terlebih dahulu harus bertoleransi dengan orang lain. Pada waktu semua orang berusaha untuk bertoleransi pada orang lain, maka semua orang akan mendapatkan sikap yang toleran dari sesamanya. Penerapan toleransi ini tidak akan menghambat kebebasan orang lain. Dan tidak akan menjadi alat pasung bagi agama-agama.
G. Negara dan Hak Kebebasan Beragama.
Pelanggaran kebebasan beragama yang menodai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang tidak bisa tidak berhubungan dengan negara, dalam hal ini pemerintahan yang berkuasa. Memberi perlindungan bagi umat beragama termasuk dalam kebebasan beribadah, seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Memang benar, usaha menciptakan hubungan yang harmonis antarumat beragama harus dilakukan secara bersama oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tindakan anarki individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lain harus menjadi tanggung jawab negara, dan tidak boleh ditolerir. Jika tidak, maka tindak pelanggaran tersebut akan terus terjadi.
Persoalan timbul ketika negara bersifat diskriminatif dengan berpihak kepada komunitas kuat yang mendukungnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh komunitas tersebut tetap tidak pernah diperdulikan, walaupun melanggar asas keadilan. Deklarasi Universal HAM bukan hanya menjadi norma dalam kehidupan internasional, tetapi menetapkan negara sebagai penanggung jawab dalam implementasi hak-hak tersebut. Tidaklah mengherankan jika dalam suatu negara pelanggaran HAM diabaikan, maka negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam pergaulan internasional. Mengenai kewajiban negara dalam melindungi hak-hak kebebasan beragama, termasuk dengan hak-hak sipil ini, Yewangoe menerangkan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan hak-hak sipil adalah hak warganegara yang melekat pada warga negara karena ia adalah warga sebuah negara. Dengan demikian, negara berkewajiban melindunginya. Tetapi juga penduduk yang bukan warga negara tetapi bertempat tinggal dalam negara itu, mempunyai hak untuk dilindungi oleh negara. Padanya melekat sejumlah hak, seperti hak untuk beribadah, hak untuk berkumpul, hak untuk mengekspresikan apa yang diimaninya[74].
Pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah. Karena negara wajib melindungi hak-hak individu yang ada di Indonesia, pemerintah tidak dapat berdalih untuk menyalahkan kelompok agama atau individu yang ada. Karena membiarkan pelanggaran kebebasan beragama terjadi berarti pengabaian tugas kewajiban negara. Kelambanan aparat keamanan untuk mengatasi kerusuhan-kerusuhan yang mengatasnamakan agama merupakan kegagalan negara, secara khusus pemerintah yang berkuasa. Aparat keamanan tidak boleh lebih setia kepada golongannya dan melepaskan kesetiaan pada negara dengan cara melakukan tindakan diskriminasi dengan melindungi kelompok yang bersalah, dan membiarkan kelompoknya melanggar undang-undang tanpa berusaha menangkap pelaku.
Dalam pandangan Kristen, negara wajib menjaga hak-hak individu. Negara diberikan pedang untuk menindak ketidak adilan. Pada waktu negara membiarkan tindakan yang tidak adil, maka negar tidak menjalankan wewenangnya. Berarti negara tidak berjalan pada kodratnya.
Negara terbentuk juga karena adanya pemberian dari hak-hak individu, walaupun hak-hak individu itu tidak tercabut oleh negara. Kewajiban negara dalam menjaga terlaksananya penghormatan terhadap hak-hak individu memungkinkan setiap individu dapat hidup merdeka sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Timbulnya tindakan anarki dalam penutupan gereja maupun pelarangan terhadap bidat-bidat menjadi tanggung jawab negara. Ketika negara tidak peduli dengan semuanya itu, maka eskalasi kekerasan atas nama agama terus meningkat. Dan itulah yang terjadi di Indonesia.
Munculnya kelompok-kelompok yang ingin membantu pemerintah untuk mengakkan hukum dan undang-undang dalam negara Indonesia merupakan bukti keterlibatan masyarakat untuk terciptanya supremasi hukum. Namun, tindakan main hakim yang dilakukan kelompok-kelompok untuk menegakkan hukum dan undang-undang yang satu dengan melanggar hukum dan perundang-undangan yang lain, merupakan tindakan anarki yang harus dihentikan oleh pemerintah.
[1] T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), h. 3.
[2] Op. Cit.
[3] Muhammad A.S. Hikam, Agama, Pluarlisme Sosial Dan Pembentukan Wawasan Kebangsaan Di Indonesia, dalam, Agama-agama Memasuki Millenium ketiga, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 156.
[4] Ibid,. h.156-157.
[5] Ibid,. h. 158.
[6] Ibid,. h. 159.
[7] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 43.
[8] Ibid,.43-44.
[9] Tamrin Amal Tomagola, Komunalisme Berbaju agama, (makalah seminar Bhineka Tunggal Ika, Mengenang 100 tahun Yohanes Leimena, Jakarta, Balai Pustaka, 24 September 2005, h. 3.
[10] Dikutip dari, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 98.
[11] Bandingkan, Ibid,. h.78-81.
[12] Eka Darmaputera, Pancasila Identitas Dan Moralitas, (Jakarat:BPK Gunung Mulia, 1997), h.127
[13] Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas, h. 145.
[14] Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, h.10.
[15] Uraian yang lebih jelas mengenai Ideologi terbuka lihat, Soejati, Setengah Abad negara Pancasila, h. 12-18.
[16] Eka Darmaputera, “Pancasila sebagai satu-satunya Asas Dalam Kehidupan Bermasyarakat , Berbangsa Dan Bernegara,” dalam Agama-agama Memasuki Millinium Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 2000), h.141.
[17] T.B. Simatupang, Harapan, Keprihatinan dan Tekad, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1998), h. 59.
[18] A.M.W. Pranarkha, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, h. 140.
[19] Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, h. 341.
[20] Miftahuddin Zuhri, Pancasila, (Yogyakarta:Liberty, 1985), h. 22.
[21] Saefuddin, Piagam Jakarta, h. 22.
[22] Pranarka, h. 345-346.
[23] Opcit.
[24] Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modarnitas, h. 105
[25] Saefuddin, Piagam Jakarta, h. 25-26.
[26] Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas, h. 113-114.
[27] Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas, h. 115.
[28] Eka Darmaputera, Pergulatan KehadiranKristen Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), h. 278-280.
[29] Ibid,. h. 280-281.
[30] Penjelasan yang lebih lengkap mengenai sejarah masuknya agama-agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam ke Indonesia lihat, Ahmad Gozali, Kerukunan Hidup Umat Beragama dalam rangka Pancasila, (Jakarta: Mabes ABRI Lembaga Pertahanan Indonesia, 1987), h. 10-20.
[31] Eka Darmaputera, Pancasila Sebagai Satu-Satunya Asas Dalam Kehidupan Bermasyarakat Dan Berbangsa Dan Bernegara, dalam Agama-agama memasuki Millinium ketiga, (Jakarta: PT Grasindo, 2000), h. 148.
[32] Pancasila yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasrkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah. Tap MPR No.II/MPR/1978, dalam. Eka Darma Putra, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2001), h.183
[33] Howard, Rhoda.E, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2000), h.xxiv
[34] Kebebasan agama merupakan hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Hak Kebebsan Beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan dan memang agama dan keprcayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk dan menganutnya. Soenaryo, Buku Pegangan Penataran Pedoma Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (BP-7 Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, 1993), h.99
[35] A.M.W. Pranarkha, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila,…h.140
[36] Bandingkan. Eka Darma Putra, Pergulatan kehadiran Kristen, h. 190-191.
[37] Bandingkan. T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, h. 236-237.
[38] Menurut daftar tahun 1979-1980 jumlah oraganisasi Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (aliran Kepercayaan) berjumlah 160. ____ Seri Pembinaan ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Penghayatan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1982), h. 8.
[39] Bandingkan. Abdul Rozak dkk. (Editor), Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani,
( Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah,2003), h.221
[40] Bandingkan,A.M.Fatwa, Hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama, Dan Ketahanan Nasional, h.36, dalam HAM Dan Pluralisme Agama, Anshari Thayib dkk(editor), Jakarta:PKSK,1997
[41] Andreas A. Yewangoe, Agama-Agama Dan Perjuangan Hak-Hak Sipil, Makalah seminar Agama-agama ke 23, 19 September 2005, Cipayung.
[42] Viktor Silaen, SKB Menag-Mendagri 1969, makalah diskusi, PO Salemba raya. Jakarta.
[43] Sungguhpun negri ini berhadapan dengan berbagai persoalan dan kesulitan dalam masyarakatnya yang serba aneka. Namun selalu bebas dari salah satu kebatilan umat manusia, yakni sengketa agama, apalagi perang agama seperti di negeri-negeri lain, baik di Timur maupun Barat. Kalaupun bangsa Indonesia mempergunakan agama dalam peperangan, hal itu adalah perang sabil melawan penjajah, bukan melawan agama lain. Alamsyah Ratuperwiranegara, Pembinaa Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Departemen Agama RI, 1989).h53
[44] Eka Darma Putra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia…, h.302
[45] Bandingkan, Eka Darma Putra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia…, h. 301-302
[46] Uraian yang lebih jelas mengenai peristiwa pembakaran Yayasan Doulos lihat, Mariana Maritje dan Binsar A. Hutabarat, Tragedi di bulan Desember, (Jakarta: STTG Press, 2005)
[47] Kebebasan agama merupakan hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Hak Kebebsan Beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan dan memang agama dan keprcayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk dan menganutnya. Soenaryo, Buku Pegangan Penataran Pedoma Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (BP-7 Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, 1993), h.99
[48] Setelah menilik sejarah timbulnya Hak-hak asasi manusia ini, baik dari permulaan di Inggris, kemudian di Amerika serikat, demikian juag di Petancis, kemudian pada perang dunia pertama, sekarang sesudah perang dunia ke II, semuanya adalah usaha manusia barat membebaskan diri dari perbudakan, mencari kemerdekaan sejati, baik bagi pribadi atau bangsa dan juga karena mngelakan bahaya perang. ..Bangsa Inggris berkali-kali berjuang untuk hak-hak Asasi Manusia dan telah berhasil. Namun hasil perjuangannya itu hannya untuk orang Inggris, buat bangsa-bangsa yang dijajahnya tidak berlaku demikian, kecuali kalau bangsa-bangsa terjajah menebus hak-hak asasi manusia dengan darahnya.Hamka, Hak-hak Asasi Manusia Antar Deklarasi PBB dan Syariat Islam, (Jakarta:Panji Mas, 1971), h.6
[49] Gunawan, Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, h. 130.
[50] Gunawan, Setiardja, Hak-Hak asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila…,h.131
[51] Gunawan, Setiardja, Hak-Hak asasi Manusia Berdasrkan Ideologi Pancasila…,130
[52] Howard, E.Rhoda, HAM…, h.xv
[53] Bandingkan. Howard, E.Rhoda, HAM …,h.xxiv
[54] B.S.Mardiatmaja, “Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang Teologi Katolik”, h.73.Dalam. E.Shobirin Nadj, Naning Mardinah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Cesda LP3ES, 2000), h. 73.
[55] Eka Darmaputera, Pancasila Identitas Dan Mdernitas,h. 130-131.
[56] Afan Gafffar, Politik akomodasi: Islam Dan Negara Di Indonesia, dalam, Agama, Demokrasi Dan Keadilan, Imam Azis dkk editor, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1993),h.101
[57] Bandingkja, Viktor Tanya, Pluralisme Agama Dan Problema Sosial, (Jakarta: Pustaka CIDERSINDO, 1998), h.xv
[58] Indah Putri Indriany, Pemikiran PolitikIslam dan NegaraDi Indonesia Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Universitas Indonesia fakultas: Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Program Pascasarjana, 2002), h.72-73.
[59] Mengenai Hubungan negara dan agama dalamIslam “Abdurrahman Wahid mengemukakan bahwa Islam mempunyai tiga pandangan utama dalam hubungannya dengannegara, yaitu: pertama, adanya pandangan untuk mendirikan sebuah negara yang khusus Islam seperti di Iran, arab Saudi, dan Pakistan. Kedua, pandangan bahwa Islam adalah negara resmi negara, tetapi negaranya bukan negara Islam seperti Malaysia. Ketiga, antara negara dan agama tidak dikaitkan secara konstitusional, tetapi hak melaksanakan syari’ah dibenarkan oleh negara seperti di Indonesia” dikutip Dalam , Indriany, Islam Dan negara Di Indonesia, h. 171.
[60] T.B.Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, h. 249.
[61] Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Cianjur melarang kegiatan Ahmadiyah diwilayah itu. Keputusan dikeluatkan rabu pecan lalu melalui surat keputusab bersama (SKB) Bupati Cianjur Wahidi Swastono, Kepala Kejaksaan Negri Cianjur Deddi Siswandi dan Kapolres Cianjur Ajun Komisaris Besar Anang Suhardi. Lihat. Tempo, edisi 3-9 Oktober, 2005.
[62] Lihat. T.B.Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitoh . 250.
[63] T.B.Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos , h. 250.
[64] T.B Simatupang, Membuktikan Ketidak Benaran Suatu Mitos, h. 236-237.
[65] Dikutip dalam, Trisno sutanto, “Mengelola kemajemukan” Dalam Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 97.
[66] Viktor Silaen, Pekiran-Pikiran Reformasi yang Terabaikan, h. 176.
[67] Bandingkan, Martin Lukito Sinaga, dalam, Viktor Silaen, Pikiran-Pikiran Reformas, h. 178.
[68] Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 324.
[69] Alamsyah Ratuperwira Negara, Pembinaan Kerukunan, h. 53.
[70] Bandingkan. T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidak Benaran Suatu Mito, h. 238-239.
[71] Untuk menumbuhkan rasa toleransi dalm kehidupan umat beragama, bukan merupakan hal yang mudah, namun sebaliknya. Pada jaman Orde Lama, telah diusahakan untuk mengadakan temu wicara pemimpin-pemimpin umat neragama, namun tidak berhasil. Namun pada jaman Orde Baru dapat diadakan, dan inipun melalui proses perjalanan yang cukup panjang. I.Gusti Ngurah Oka Diputra, Toleransi Kebebasan Beragama Telah MenjadiPandangan Hidup Bangsa Indonesia, T.B. Simatupang (editor), Peranan Agama-agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila yang Membangun, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987)
[72] ......., Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakrta: Balai Pustaka, 1995), h.1065
[73] Agama-agama di Indonesia harus memahami diri dan dunianya ( termasuk disini hubungannya dengan agama-agama lain) di dalam konteks dan dibawah terang Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasrkan Pancasila. Bila tidak maka agama tidak berfungsi secara relevan dan kontekstual. Eka Darma Putra, Tugas dan Panggilan Bersama Agama-agaama di Indonesia, dalam. TB. Simatupang, peran agama-agama …, h.140
[74] Andreas A. Yewangoe, Agama-Agama dan Perjuangan Hak-Hak Sipil, h. 2.
https://www.binsarinstitute.id/2025/07/kebebsan-beragama-bagian-3.html
No comments:
Post a Comment