Penutupanrumah ibadah dampak labelisasi sesat
Menurut saya penutupan rumah ibadah dan juga larangan ibadah di rumah yang mewajibkan adanya ijin adalah karena masih tingginya kecurigaan antar agama karena adanya labelisasi sesat terhadap agama yang berbeda.
Pada saat saya melakukan penelitian terkait toleransi agama individu ada temuan menarik, pada waktu ditanyakan, apakah anda percaya agama lain toleran terhadap agama anda, jawaban pada umumnya adalah tidak percaya atau tergolong skala rendah. Tetapi ketika responden ditanya, apakah anda keberatan jika ada tempat ibahadah agama lain di sekitar tempat anda, mengagetkan jawabannya adalah tidak berkeberatan, atau skala sedang. Pertanyaannya kemudian, mengapa masih banyak penutupan rumah ibadah?
Mengamati alasan penutupan rumah ibadah, seperti yang berlangsung baru-baru ini adalah, keberatan masyarakat terhadap ibadah di rumah yang sebenarnya tidak perlu ijin, tetapi ternyata pada beberapa tempat di tolak dengan alasan tidak mendapatkan ijin, dapat diduga, bahwa penolakan terhadap ibadah agama lain dapat di duga disebabkan adanya kecurigaan terhadap agama lain yang intoleran.
Kemudian pertanyaannya dari mana munculnya kecurigaan bahwa agama-agama yang berbeda itu intoleran terhadap agama lain?
Intoleransi agama tertentu terhadap agama lain dipengaruhi oleh klam-klaiam eksklusif agama tertentu. Mereka yang memeluk agama-agama suku kerap diajadikan lading misi agama-agama misi, tetapi karena intoleransi agama-agama suku itu tinggi, masuknya agama-agama misi pada masyarakat yang memeluk agama-agama suku tak banyak menimbulkan retensi. Apalagi ketika kemudian agama-agama suku itu bercampur dengan agama-agama misi.
Persoalan muncul, ketika agama-agama misi itu kemudian melancarkan gerakan pemurnian agama, mereka yang menerima agama-agama misi tanpa melepaskan kepercayaan lamanya dianggap sinkretis, atau tidak murni. Geraakan pemurnian agama-agama itu kemudian menimbulkan retensi dari mereka yang dituduh tidak murni.
Gerakan pemurnian agama itu kerap mempropagandakan diri mereka sebagai agama yang paling benar, murni dan tidak bisa menerima yang berbeda dengan doktrin komunitas gerakan pemurnian agama itu. Lebih parah lagi, gerakan pemurnian agama itu tidak jarang melebelkan yang berbeda dengan mereka sesat.
Labelisasi sesat pada mereka yang berbeda itu kemudian menimbulkan stigma atau sangka buruk, bahwa agama-agama yang mereka lebel kan sesat akan menggunakan segala cara untuk membuat mereka tidak murni. Apalagi ketika terjadi perpindahan agama. Tidak jarang perpindahan agama itu menimbulkan konflik antar agama.
Apabila labelisasi sesat pada agama yang berbeda tetap dilakukan, maka kita akan terus melihat usaha-usaha penutupan rumah ibadah terus terjadi, alasannya sederhana masyarakat tidak percaya toleransi beragama akan ada dalam perjumpaan agama yang berbeda.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/penutupan-rumah-ibadah.htm