Podcast Rukun Beragama

Video

Sunday, November 20, 2022

Pluralisme Agama Dan Finalitas Kristus


 Pluralisme Agama Dan Finalitas Kristus



 

Kondisi seragam adalah sesuatu yang absurd, apalagi dalam dunia modern yang sarat perubahan. Derasnya arus globalisasi yang melanda dunia seiring dengan kemajuan teknologi informasi membuat tak ada lagi tempat seragam di planet bumi ini. 


Demikian juga dalam kehidupan agama-agama, fakta pluralitas agama-agama adalah sebuah realitas yang tak dapat disangkali. Karena itu, sudah saatnya agama-agama yang beragam dan berbeda itu  merespon keragaman tersebut secara positif, bukannya hanya merespon secara negatif, apalagi meratapinya, atau menganggap keragaman tersebut semata-mata sebagai ancaman. 

Dalam konteks tersebut, setiap orang Kristen terpanggil dan bertanggung jawab untuk menginterpretasikan fakta kemajemukan yang ada. 

Kekristenan harus mampu menjelaskan relasinya dengan agama-agama lain. Tugas ini penting bukan hanya dalam mengusahakan terciptanya hubungan yang harmonis dengan agama-agama lain, tapi juga untuk memampukan umat Kristen memosisikan kehadirannya secara tepat dalam dunia yang majemuk tanpa melacurkan kebenaran finalitas Kristus yang adalah inti dari kekristenan.

Melacurkan kebenaran Kristen demi terciptanya sebuah kerukunan adalah sebuah kesalahan fatal, membelenggu kebebasan demi kerukunan hanya akan menghadirkan kerukunan  semu yang tak berfaedah sama sekali. Namun, membentengi diri untuk tidak berinteraksi dengan persoalan-persoalan bersama dalam dunia juga sama salahnya. Kristus yang adalah teladan umat Kristen sesungguhnya telah mengajarkan bahwa Allah yang kudus dengan kerendahan hati rela menyapa manusia berdosa, dan memberi jawab terhadap persoalan-persoalan manusia, tentu saja tanpa membiarkan diri tercemari kejahatan dunia. Itu berarti, umat Kristen harus meneladani apa yang dilakukan Yesus, yakni memberi jawab terhadap persoalan-persoalan yang ada dalam dunia dimana orang Kristen juga ada disana.

Tepatlah apa yang dikatakan Harvie Conn, “Menyatakan finalitas Kristus tidak mengurangi tanggung jawab Kristen untuk menjelaskan relasi kekristenan dengan agama –agama lain.” Harus diakui, untuk menjelaskan  hubungan kekristenan dengan agama-agama lain merupakan hal yang tidak mudah, dan untuk menunaikan tugas penting tersebut diperlukan ketekunan dan usaha keras yang tak pernah mengenal lelah, baik dalam hal pendalaman doktrin Kristen itu sendiri maupun pengenalan akan kehadiran agama-agama yang berbeda dan beragam itu. Kasih dan kesabaran Kristus dalam hal ini harus menjadi dasar dalam menginterpretasikan realitas kemajemukan tersebut. 

 

Menegaskan sebuah keyakinan kebenaran agama adalah hak setiap umat beragama. Memiliki sebuah keyakinan, meski berbeda dengan kebanyakan orang bukanlah sesuatu yang terlarang. Agama Kristen memiliki hak untuk menegaskan keyakinan kebenaran keunikan agamanya. Namun, dalam masyarakat yang majemuk tentu saja memaksakan kebenaran agama tertentu untuk semua adalah mustahil. Kebenaran Kristen, seperti juga kebenaran agama-agama yang lain hanyalah mewakili satu pendapat dari beribu-ribu pendapat yang ada. Konsolidasi agama-agama untuk kemudian mencari nilai-nilai bersama sebagai konsensus bersama merupakan upaya yang harus terus dilakukan bagi hadirnya sebuah nilai-nilai moral bersama dalam sebuah komunitas plural.

Persoalan kemudian timbul ketika ada pemaksaan pemahaman bahwa demi terciptanya kerukunan antar umat beragama, agama-agama dipaksa melepaskan klaim keunikan agamanya, demikian juga hal nya dengan finalitas Kristus dalam kekristenan. Buku kumpulan esai yang berjudul Mitos Keunikan Agama-agama yang disunting oleh John Hick dan Paul knitter salah satunya.  Paul Knitter dalam pengantar buku itu menggambarkan bahwa kebanyakan sejarah Kristen di dominasi  oleh dua pendekatan mendasar: pendekatan eksklusivisme konservatif, yang menemukan keselamatan hanya di dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, kalaupun ada, nilai di tempat lainnya, dan sikap inklusivis “liberal” yang mengakui kekayaan  yang menyelamatkan dalam iman lain, tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil penebusan Kristus dan sebagai sesuatu yang telah dipenuhi dalam Kristus. Kemudian dalam buku tersebut, Knitter mengusulkan perubahan paradigma yang didukung sebelas rekan penulisnya, yang disebutnya sebagai posisi pluralis. Yang didefinisikan, upaya meninggalkan penekanan pada superioritas atau finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri dalam jalan-jalan lain.’

Argumen Knitter tersebut telah dipegang orang sedemikian luas, sehingga paham tersebut meminjam istilah Leslie Newbigin telah menjadi “ortodoksi kontemporer,” siapapun yang menolak pandangan tersebut dianggap telah mengambil jalan yang “sesat,” karena tidak sesuai dengan kebenaran kontemporer. ”Ortodoksi kontemporer” itu kemudian membenarkan anggapan bahwa tidak ada lagi tempat bagi klaim-klaim untuk kebenaran yang absolud dalam agama.Semua agama-agama dipaksa untuk melepaskan klaim-klaim eksklusivisme, dan jika tidak, agama-agama tersebut dianggap menyimpang dari “ortodoksi kontemporer.”

Argumen Knitter itu tentu saja menimbulkan reaksi dari banyak pemikir agama-agama yang masih berpegang pada pengakuan keunikan agama-agama. Dalam kekristenan argumen Knitter ditentang pemikir-pemikir Kristen yang masih memegang finalitas Kristus dan keunikan agama Kristen. Buku Mempertimbangkan Kembali keunikan Agama Kristen, Mitos Teologi Pluralistis Agama-agama merupakan salah satu buku yang memberi respon penolakan terhadap pandangan tersebut.

Tulisan ini akan membahas mengenai Pluralisme Agama Dan Finalitas Kristus, dari sudut pandang pluralisme agama dalam paradigma baru, yaitu sebuah paradigma yang berbeda dengan paradigma Pluralisme agama John Hick dan  Paul Knitter. Tulisan ini secara khusus akan menampilkan konsep pemikiran hubungan agama Kristen dengan agama-agama lain, dan kemudian memaparkan bahwa pluralisme agama mestinya adalah sebuah keniscayaan yang jauh dari pemaksaan untuk menyamakan agama-agama (pluralisme non-indifferentisme).

 

Pluralisme Agama: Paradigma Lama

Pluralisme agama paradigma lama sebagaimana dipropagandakan Hick dan Knitter  sesungguhnya tak layak disebut pluralisme, dan itu lebih tepat disebut relativisme. Hal tersebut dapat dipahami karena pandangan John Hick tentang pluralisme agama sesungguhnya merupakan perluasan dari relativisme Ernst Troeltsch’s yang menegaskan bahwa, “agama Kristen itu mutlak bagi orang Kristen dan kepercayaan-kepercayaan dunia lainnya pun sama-sama “mutlak”bagi para pemeluknya masing-masing (kemutlakan relatif).” Namun, jika Troeltsch’s, berpendapat, “bahwa tidak ada agama yang superior atau inferior satu dengan yang lainnya, dan yang ada hanyalah perbedaan.Hick bergerak lebih jauh bahwa agama-agama yang berbeda-beda itu memiliki sumber yang sama.  Bagi Hick “semua agama berpusat pada Allah, dan bukan pada agama Kristen atau pada salah satu agama yang lain. Dia adalah matahari sumber asali dari bahaya dan kehidupan, yang digambarkan oleh semua agama dengan cara mereka masing-masing.” Lebih jauh Hick mengungkapkan bahwa  Allah agama- agama teisme dan Allah agama-agama non-teisme adalah Allah yang sama. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Wilfred Cantwel Smith, “tak seorangpun pernah menyembah berhala. Sebagian orang menyembah Allah dalam bentuk berhala, itulah yang dimaksud dengan berhala.” 

Ajakan Gordon Kaufman bahwa agama-agama termasuk kekristenan harus melepaskan klaim-klaim eksklusif dalam berdialog dengan agama-agama lain juga didasarkan pada pemahaman tersebut: “

“Namun, bila kita harus  secara simpatik menghampiri dan memasuki dialog dengan orang-orang lain yang memiliki komitmen dan keyakinan-keyakinan berbeda, kita harus menemukan cara-cara untuk merelatifkan dan membuka sistem simbol kita. Berbagai kecenderungan ke arah kemutlakan dan eksklusivitas dalam iman Kristen tradisional membawa kita kepada semacam pemberhalaan. Pemberhalaan ini mempersulit kita menanggapai secara serius kepercayaa-kepercayaan lain dalam pengertian mereka sendiri.

Adalah benar bahwa persatuan memberikan janji perdamaian. Namun pengertian tentang persatuan bisa berbeda-beda. Kesalahan mengartikan hal tersebut mengakibatkan perdamaian tak akan pernah hadir, sebaliknya akan melatenkan konflik. Kaum relativisme mengartikan bahwa persatuan agama-agama hanya mungkin (mutlak) jika agama-agama itu merelatifkan diri. Kaum pluralisme mengeksklusi kaum eksklusivisme demi menciptakan dunia yang damai, padahal mengeksklusi kaum eksklusivisme sama saja memosisikan diri sebagai eksklusivisme. Akibatnya, kaum relativisme yang memerangi segala klaim-klaim absolud keagamaan bukannya menciptakan perdamaian diantara agama-agama, sebaliknya telah menjadi persoalan baru. Dalam hal ini tampak jelas bahwa kaum relativisme terjebak pada semangat imperialisme yang dituduhkan pada kaum eksklusivisme. Mereka mengabsoludkan yang relatif, dan menyatakan pandangan mereka yang mutlak benar. Kaum relativisme ternyata juga eksklusivisme, karena menolak segala yang absolud.

Apabila pada awalnya kaum relativisme mencela kaum eksklusivisme yang   menganggap bahwa kebenaran tidak ada pada agama-agama lain, merasa diri maha tahu, dan kemudian menjadi absolutis, serta memosisikan diri sebagai hakim terhadap agama-agama. Bahkan menuduh kaum eksklusivisme memosisikan diri sebagai Tuhan,”atau sebagai “imperialisme”yag memaksakan pemahamannya. Pada akhirnya kaum relativisme juga melakukan kesalahan yang sama. Yakni, menempatkan diri sebagai Tuhan, karena menganggap diri tahu segalanya, dan menganggap pandangan mereka yang mutlak benar.

Pemahaman konsep pluralisme agama yang merelatifkan agama-agama itu kemudian melahirkan teologi pluralistis agama.-agama. Sebuah teologi universal yang memasukan agama-agama lain dalam orbit kekristenan. Suatu agama sinkretis yang ditakuti agama-agama yang meyakini universalitas agamanya.

 

Bagi kekristenan, pluralisme agama paradigma lama ini bukan hanya mengancam keunikan agama Kristen, tetapi secara langsung menghantam keunikan Kristus, dan otomatis merelatifkan penyataan Allah tentang finalitas Kristus yang adalah satu-satunya jalan keselamatan.  

Eksklusivisme dan Inklusivisme

Hadirnya klaim-klaim eksklusivisme agama-agama termasuk dalam kekristenan sebenarnya adalah sebuah relitas. Agama-agama itu pada realitasnya beragam dan berbeda. Th. Kobong menjelaskan bahwa, “Eksklusivisme agama ditentukan oleh pusat orientasinya yang transendental. Pusat orientasi yang transendental itulah yang menentukan, mewarnai dan mengarahkan seluruh sistem nilai-nilai yang membentuk suatu agama.” 

 

Jadi mengatakan eksklusivisme agama adalah kesombongan, sangat tidak berdasar, karena sesungguhnya agama yang menentukan kasih Allah, bukan teologi menjadi antropologi. Desakan  menghilangkan klaim-klaim eksklusivisme agama sebagai syarat utama bagi hadirnya keharmonisan antaragama jelas tidak memiliki pijakan yang kuat. Itu sama absurdnya dengan menyamakan agama-agama yang pada faktanya beragam dan berbeda. Klaim-klaim eksklusivisme agama itu juga tidak boleh diartikan sebagai sebuah kesombongan karena klaim-klaim itu diterima berdasarkan iman agama-agama itu kepada yang transenden, sebaliknya itu justru menunjukkan sebuah penaklukkan diri kepada yang absolud.

 

Misalkan saja mengenai klaim finalitas Kristus, klaim kekristenan bahwa Yesus adalah jalan, Kebenaran dan Hidup secara jelas dituliskan dalam Yoh 14:6. “ ...Akulah Jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada  Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Kisah Para rasul 4:12. Selanjutnya Alkitab juga menegaskan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia  yang olehnya kita dapat diselamatkan.”

 

Keyakinan finalitas Kristus itu diterima oleh orang Kristen karena iman. Karena iman kepada Alkitab yang adalah firman Allah, orang Kristen percaya bahwa apa yang dikatakan Alkitab itu benar. Sama hal nya ketika orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah juru selamat satu-satunya, karena itu dikatakan dalam Alkitab, dan Yesus sendiri dalam Alkitab mengatakan hal itu. Jadi, ketika orang Kristen menyaksikan keyakinan imannya, itu bukanlah kesombongan, itu adalah penundukkan kepada yang absolud. Menyaksikan keyakinan iman seseorang adalah hak yang harus dihormati. Maka, jelaslah bahwa klaim eksklusivisme Kristen itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan pada orang lain, klaim itu hanya mungkin diterima berdasarkan iman, bukan dengan paksaan ataupun tipu daya kotor. Umat Kristen percaya bahwa seseorang bisa percaya kepada Kristus hanya karena anugerah Allah.  Meski keyakinan terhadap finalitas Kristus itu adalah hal yang subyektif, itu  tidak berarti bahwa finalitas Kristus bukan sesuatu yang mutlak benar, dan karena itu bisa ditanggalkan.

 

Dengan demikian jelaslah, menyatakan finalitas Kristus bukanlah memosisikan diri sebagai yang maha tahu. Tak ada manusia yang maha tahu. Karena ada nisbah antara pencipta dan ciptaan. Ciptaan yang bergantung pada pencipta tak mungkin menjadi maha tahu sebagaimana layaknya Pencipta yang absolud.  Orang Kristen percaya bahwa tidak semua kebenaran Allah disingkapkan kepada manusia, otak manusia yang terbatas tidak mungkin menampung pengetahuan Allah yang tak terbatas. Meyakini bahwa apa yang dikatakan Allah itu  mutlak benar adalah tanda kebergantungan yang terbatas kepada Pencipta yang tak terbatas. Dan itu sama sekali jauh dari usaha mengabaikan kehadiran agama-agama lain.

 

Disamping nilai-nilai eksklusif, dalam Alkitab juga banyak ditemukan nilai-nilai yang inklusif. Nilai-nilai ini ada juga pada agama-agama lain. Alkitab melaporkan bahwa Allah mengasihi baik orang percaya maupun orang yang tidak percaya, dan Allah menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang baik (Matius 5: 45). Kasih Allah itu jelas bersifat inklusif. Demikian juga hal nya dengan perintah Allah untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, itu merupakan perintah yang inklusif. Bahkan lebih jauh Alkitab melaporkan dalam Lukas 10:25-37, dalam cerita tentang orang Samaria yang murah hati, Alkitab mengajarkan bahwa umat Kristen bisa belajar mengasihi dari orang yang tidak percaya (orang Samaria pada waktu itu dikelompokkan bukan sebagai umat pilihan Allah). Perintah Allah yang mengatakan“ Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikan orang kejam.”(Yesaya 1:17) tampak sejajar dengan amar maruf nahi mungkar dalam agama Islam, ajaran tersebut juga ada pada agama-agama lain.

 

Alkitab jelas mengajarkan bahwa memegang klaim-klaim eksklusif tidak berarti boleh mengabaikan klaim-klaim inklusif yang mengajarkan bahwa umat Kristen harus belajar dari orang tidak percaya dalam mengasihi. Kasih adalah anugerah umum, karena Allah memberikan kasih-Nya pada semua orang. Menemukan kebenaran-kebenaran umum melalui non Kristen sesungguhnya akan memperdalam pengetahuan Kristen tentang kebenaran Kristen yang eksklusif. Namun, kesamaan-kesamaan yang ada tersebut juga tidak boleh menghapuskan klaim-klaim eksklusif kekristenan.

 

Nilai-nilai eksklusif dan inklusif yang terdapat dalam Alkitab sesungguhnya ingin  menjelaskan bahwa dalam hubungan kekristenan dengan agama-agama lain ada diskontinuitas, dan juga ada kontinuitas. Pemeliharaan Allah yang terus berlangsung untuk semua manusia yang adalah gambar dan rupa Allah memiliki kontinuitas dengan kekristenan, karena itu adalah anugerah umum. Namun karya keselamatan Kristus yang dinyatakan dalam Alkitab harus diakui memiliki diskontinuitas dengan agama-agama lain, karena itu adalah anugerah khusus. Umat Kristen dapat hidup bersama secara damai dengan mereka yang non-Kristen. Dan itu mungkin terjadi karena Sang Pencipta bukan hanya menempatkan orang Kristen dan non-kristen dalam dunia yang sama, tetapi juga Allah yang adalah pencipta itu juga memelihara semua ciptaan-Nya.

 

Nilai-nilai inklusif dalam kekristenan menunjukkan bahwa Agama Kristen dan agama-agama lain memiliki nilai-nilai bersama, yakni nilai-nilai kasih, keadilan,  kemanusiaan, kebenaran dan lain-lain. Nilai-nilai ini sesungguhnya dapat mempertemukan agama Kristen dengan agama-agama lain untuk dapat hidup bersama dengan damai. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam menjelaskan hubungan orang Kristen dengan agama-agama lain, interpretasi itu harus didasarkan pada doktrin Kristen yang utuh, baik yang bersifat eksklusif maupun yang bersifat inklusif. Maka teologi agama-agama yang harus dikembangkan umat Kristen seharusnya adalah teologi Kristen tentang agama-agama lain, dan bukan teologi universal yang memasukkan kepercayaan lain pada orbit agama Kristen.

 

Pluralisme Agama: Paradigma Baru

Pada bagian ini penulis akan menggali kembali makna pluralisme agama, konsep dan perkembangan pemikiran tersebut, dan kemudian menetapkan apa yang dimaksud dengan Pluralisme agama dalam paradigma baru.

Istilah pluralisme sering kali disamakan dengan pluralitas, karena memang kedua kata itu berasal dari kata dasar yang sama.  Th. Kobong menjelaskan seperti berikut:

 

 Pluralitas dan Pluralisme berasal dari kata dasar yang sama, yaitu pluralis (bah. Latin =jamak; bah. Inggris = plural). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah pluralitas tidak ada; yang ada hanya pluralisme yang dijelaskan sebagai “hal yang mengatakan jamak atau tidak satu”, sedangkan pluralis diartikan: “bersifat jamak (banyak)”

 

Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami, mengapa sering kali penggunaan kata pluralitas dan pluralisme digunakan secara sama atau saling menggantikan. Padahal, pluralitas dan pluralisme adalah sesuatu yang berbeda. Di Indonesia hal itu biasa terjadi karena dalam KBBI istilah pluralisme diartikan sebagai pluralitas yang mengatakan jamak atau tidak satu. Sekilas dalam KBBI istilah pluralisme dan pluralitas itu saling menggantikan, padahal tidak demikian.

Pluralitas dengan pluralisme sebenarnya sesuatu yang berbeda. Pluralisme merupakan diskusi yang menanyakan darimanakah asal kejamakan atau kemajemukan tersebut. Sedang dalam diskusi mengenai pluralisme agama yang ingin ditanyakan adalah, sebab dan akibat kejamakan dari agama-agama. 

Kalangan pluralisme paradigma lama sebagaimana hal nya dengan Hick menganggap pluralitas adalah penampakan dari yang absolud, yang menurutnya satu. Jadi yang menyebabkan keragaman agama-agama menurut Hick adalah cara agama-agama itu merespon yang absolud. Harold Coward menjelaskan: “Pluralisme keagamaan dapat dipahami sebagai paling baik dalam kaitan dengan logika yang melihat satu yang berwujud banyak. Realitas transenden yang menggejala dalam bermacam-macam keagamaan”.

 

Pluralisme paradigma lama jelas berpijak pada konteks bukan pada teks, akibatnya bagi mereka teks menjadi relatif, dan yang mutlak adalah konteks. Cara berteologi tersebut membuat mereka jatuh pada sinkretisme (menyamakan agama-agama). itulah sebabnya pluralisme agama mengakui bahwa agama-agama berasal dari realitas transenden yang sama, sehingga semua agama dianggap memiliki kebenaran yang sama dan dapat membawa keselamatan dengan caranya masing-masing. Pengakuan bahwa tidak ada agama yang bersifat universal, dan agama itu hanya unik dalam dirinya sendiri karena semua agama itu berasal dari sumber yang sama, membawa pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada agama superior yang menjadi agen keselamatan.

Berdasarkan keyakinan tersebut kemudian kaum pluralisme paradigma lama menganggap pastilah ada jalan kembali untuk mempertemukan agama-agama yang beragam itu. Maka kaum pluralisme paradigma lama mengambil jalan sinkretisme dalam menginterpretasikan kemajemukan agama-agama yang ada. Mereka kemudian mengkampanyekan bahwa semua jalan menuju ke Roma, semua jalan menuju ke Allah yang satu. Namun, logika pluralisme agama paradigma lama ini jelas bertentangan dengan realitas, karena pada kenyataannya semua agama-agama itu bukan hanya beragam, tetapi juga berbeda.

Mengenai pluralisme dalam bidang politik dan sosial kamus The Oxford English Dictionary memberikan definisi demikian :

1.Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-oraganisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik.2. Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya.

 

Pengertian pluralisme sebagaimana dijelaskan dalam kamus Oxford di atas seharusnya terjadi dalam pemerintahan, demikian juga dalam kehidupan sosial masyarakat. Apabila pola berpikir pluralisme ini ada dalam kehidupan kelompok, suku, budaya dan agama maka tidak ada kelompok, suku, budaya, dan agama yang akan berusaha menciptakan pemerintahan yang monolitik,  baik oleh pengaruh suku, agama maupun budaya, karena semua individu mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan.

 

Pemerintahan yang menerima pluralisme akan memperlakukan agama-agama secara sama, karena agama-agama yang berbeda dan beragam itu memiliki kedudukan yang sama didalam hukum dan pemerintahan. Agama-agama dapat berperan dalam pemerintahan tanpa perlu mendominasi negara dari agama-agama lainnya. Memaksakan pandangan agama tertentu kepada negara berarti penguasaan agama tertentu atas negara, yang kemudian akan melahirkan sebuah pemerintahan yang absolutis


Usaha untuk menjaga eksistensi komunitas agama-agama  adalah tanggung jawab komunitas agama tersebut, karena komunitas itu dibangun atas kerelaan pribadi, sehingga keluarnya individu dari komunitasnya karena pengaruh dari komunitas di luarnya tetap merupakan pilihan individu. Keputusan tersebut didasarkan pada hak yang melekat pada dirinya, dan komunitas agama harus menghargainya, karena hak individu tersebut tidak boleh dirampas oleh komunitas di mana individu itu berada.

 

Berdasarkan pengertian pluralisme dalam bidang sosial dan politik jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan klaim-klaim eksklusif agama telah menghalangi terciptanya kerukunan beragama sangat tidak berdasar. Tidak ada hal spesifik dari perbedaan antar agama yang bisa membuat agama memiliki kecenderungan untuk memicu konflik. Karena agama-agama yang beragam dan berbeda itu dapat hidup bersama dalam sebuah negara, asalkan hak-hak setiap umat beragama itu terlindungi. Pembatasan kebebasan beragama berdasarkan hukum bisa saja  terjadi, dan itu hanya boleh dilakukan untuk kemerdekaan semua agama,  dan bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. 

 

Selanjutnya untuk memahami pluralisme paradigma baru dengan lebih baik  penting untuk menyimak apa yang dikatakan Profesor Diana L Eck  dari Harvard Divinity School. Selaras dengan Th. Kobong, bagi Eck pluralisme berbeda dengan pluralitas. Pluralitas adalah hal yang alami, sedang pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas. Pluralisme bukanlah sesuatu yang diberikan (given), melainkan suatu pencapaian (achievment), dari suatu keterlibatan (engagement) yang ada. Pluralisme merupakan interpretasi atas kemajemukan. Pluralisme bagi Eck juga bukan sekadar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan. Pluralisme bukan relativisme. Dalam paradigma baru menerima pluralisme agama bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agamanya demi membangun hubungan yang sinergis satu dengan yang lain. Seorang pluralis sebaliknya harus mengakui perbedaan agama, karena perbedaan agama itu natural, intrinsik, dan tak dapat dihindari. Sebaliknya, relativisme itu minus komitmen, hanya sebatas keterbukaan sementara. Pluralisme juga bukan sinkretisme yang adalah sebuah kreasi agama baru yang mencampurkan aneka elemen dari berbagai tradisi agama yang berbeda seperti New Age. Pluralisme agama harus didasarkan pada dialog, bahasa pluralisme adalah bahasa dialog, dialog dalam hal ini berarti saling memberi dan menerima. Dalam dialog ada kesediaan untuk mendengar dan berbicara, baik dalam hal mengungkapkan kebenaran inklusif maupun kebenaran eksklusif. 

 

Berdasarkan pemikiran Eck diatas dapat dipahami bahwa Pluralisme bukanlah satu pemikiran, tetapi lebih tepat disebut sebagai rumah bagi berbagai pemikiran, dan tidak boleh ada pemikiran yang memproklamasikan dirinya sebagai pemikiran paripurna.

 

Dengan demikian jelaslah pluralisme agama dalam paradigma baru tidak menafikan keunikan agama-agama, seperti hal nya dengan finalitas Kristus. Menolak adanya nilai-nilai absolud dalam agama-agama sama saja dengan mengabsoludkan yang relatif, yang  sebenarnya menunjukkan adanya kesalahan berpikir. Karena mengabsoludkan yang relatif sama saja mengakui adanya yang absolud, yang disangkali itu.

 

Jalan sinkretisme sesungguhnya bukanlah jalan tunggal untuk mencari titik temu antara yang plural dan yang berbeda itu. Keyakinan akan adanya nilai-nilai yang dimiliki bersama, dan nilai-nilai bersama itulah yang dapat mempertemukan agama-agama yang berbeda itu untuk dapat hidup bersama, merupakan jalan yang lebih tepat dibandingkan jalan sinkretisme, dan jalan ini sama sekali jauh dari usaha melacurkan kebenaran agama-agama, atau merelatifkan kebenaran agama-agama. Dengan demikian jelaslah mempertentang keunikan agama-agama dan pluralisme dalam jalan ini tidak memiliki dasar sama sekali.

 

Interpretasi kehadiran agama-agama lain bukan hanya membutuhkan pemahaman doktrin Kristen yang baik, namun secara bersamaan juga pengenalan yang baik akan kehadiran agama-agama lain. Karena itu teologi agama-agama dapat berkembang dalam jalan yang benar jika terjadi perkembangan pemahaman teologi Kristen yang baik, dan juga hubungan yang makin erat dengan agama-agama lain.


Pluralisme agama dan kerukunan beragama

Pluralisme agama dalam paradigma baru bukanlah ancaman bagi agama-agama yang beragam dan berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pluralisme agama adalah rumah bagi berbagai pemikiran agama, dimana berbagai pemikiran agama itu mendapat tempatnya. Pluralisme agama dalam paradigma baru adalah sebuah pemikiran bagaimana agama yang beragam dan berbeda itu dapat hidup bersama dengan saling menghormati keunikan agama-agama. Pluralisme agama dalam paradigma baru ini terlindungi dalam sebuah negara yang menerima pluralisme. Itu adalah perwujudan dari negara yang mengakui kebebasan hati nurani. Syarat bagi terciptanya kerukunan umat beragama.

 

Pluralisme adalah sebuah keniscayaan karena setiap individu berhak memilih siapa yang ingin ia sembah, atau siapa yang ia tidak ingin sembah. Dalam hati nuraninya manusia adalah raja. Ketidaktaatan pada Sang Pencipta menjadi kedaulatan Pencipta bukan Negara, atau komunitas agama-agama.

 

Penerimaan negara terhadap pluralisme bukan berarti menyamakan agama-agama, karena pada hakikatnya agama-agama memang berbeda. Dan karena negara tidak berteologi, maka negara tidak berhak menentukan mana agama yang benar, dan mana agama yang tidak benar. Adalah keharusan bagi negara untuk memberikan kesempatan yang sama bagi agama-agama yang beragam dan berbeda dalam pemerintahan. Pluralisme adalah sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi.

 

Keyakinan bahwa agama yang dianutnya adalah universal tidak boleh menjadi alat pengesahan untuk menindas agama-agama yang berbeda. Agama-agama tidak perlu mengklaim diri sebagai agen tunggal kebenaran, atau menampilkan hegemoninya terhadap agama-agama lain. Hak penghakiman terhadap agama-agama tidak diberikan Tuhan kepada manusia. Hak ini juga tidak diberikan kepada negara. Hak penghakiman atas agama yang benar ada pada Tuhan. Negara sebagai wakil Allah (Roma 13:1-7) hanya menjaga kedaulatan hati nurani dalam individu atau kelompok yang diberikan Tuhan. Kedaulatan hati nurani yang menjadikan manusia raja bagi dirinya mewajibkan negara menghargai hak individu dan kelompok. Dan hal itu hanya mungkin dengan menerima pluralisme bagi pelaksanaan tugas negara dalam proteksi hak kebebasan beragama. 

 

Pluralisme agama juga menjadi keniscayaan dalam menghadirkan kerukunan beragama, karena sesungguhnya kerukunan beragama hanya mungkin terjadi jika agama-agama itu mau belajar menerima agama-agama yang beragam dan berbeda itu dalam jalan pluralisme. Untuk Indonesia, kerukunan beragama itu sendiri sebenarnya  merupakan realitas yang telah ada sejak lama. Indonesia adalah tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Agama-agama lokal yang telah ada di Indonesia bersikap toleran dengan kehadiran agama-agama yang datang kemudian. Dan itu terjadi karena pluralisme telah bersemayam lama di bumi Indonesia.

Kerukunan  beragama bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Kerukunan beragama merupakan panggilan agama-agama dan  mestinya agama-agama tak mengenal lelah untuk memperjuangkannya. Pemaksaan kaum pluralisme agama paradigma lama agar agama-agama melepaskan klaim-klaim eksklusif agama demi menciptakan kerukunan adalah pemahaman yang salah. Kerukunan beragama tak perlu dipaksakan, karena keinginan untuk hidup rukun ada pada sanubari setiap umat beragama. Hidup  rukun merupakan semangat agama-agama, dan itu adalah nilai-nilai inklusif yang ada dalam agama-agama.


Untuk meningkatkan kerukunan antarumat beragama perlu adanya upaya agama-agama untuk  terus menerus membangun  komunikasi satu dengan yang lainnya. Bukannya malah menutup diri, apalagi menganggap dirinya paling benar, dan kemudian menafikkan interdepedensi agama-agama. Komunikasi antar agama bisa terjalin baik jika antaragama itu mengakui interdepedensi agama-agama. Apabila agama-agama terus berusaha untuk membangun komunikasi, maka akan ditemukan nilai-nilai bersama yang akan menjadi dasar bersama bagi agama-agama yang berbeda-beda. Selanjutnya, jalan musyawarah untuk menemukan kesepakatan bersama menjadi hal yang amat penting untuk tidak saling menegasikan.

 

Terciptanya komunikasi agama-agama yang menjadi jalan bagi mewujudnya kerukunan beragama tentu saja membutuhkan kebebasan beragama. Kebebasan yang dimaksud disini bukanlah kebebasan tanpa standar, karena kebebasan mempunyai standar untuk dapat beroperasi. Untuk mengoperasikan kebebasan beragama setiap orang mesti menjaga kebebasan orang lain. Apabila kita ingin orang lain menghormati kebebasan kita maka kita harus lebih dulu menghormati kebebasan orang lain. Prinsip “golden rule”dalam mengoperasikan kebebasan beragama itu ada pada setiap agama.

 

Kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok adalah hak yang paling asasi, dan mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan. Kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat. Kebebasan hati nurani sesungguhnya merupakan dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly). Dan kebebasan hati nurani itu juga sekaligus menjadi dasar bagi kerukunan beragama, tanpa kebebasan beragama, kerukunan yang hadir adalah kerukunan semu. Kebebasan beragama adalah syarat mutlak bagi hadirnya kerukunan beragama, dan kebebasan beragama itu hanya mungkin hadir dalam negara yang menerima pluralisme agama.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pluralisme agama paradigma lama bukanlah jalan tunggal untuk mencari titik temu diantara agama-agama yang beragam dan berbeda.  Pluralisme paradigma lama berpijak pada konteks bukan pada teks dalam mencari titik tema diantara agama-agama yang beragam dan berbeda. Akibatnya, teks menjadi relatif, dan yang mutlak adalah konteks. Cara berteologi tersebut membuat mereka jatuh pada sinkretisme (menyamakan agama-agama). Karena itu pluralisme agama paradigma lama lebih layak disebut relativisme. Logika pluralisme agama paradigma lama ini jelas bertentangan dengan realitas, karena pada kenyataannya semua agama-agama itu bukan hanya beragam, tetapi juga berbeda.

Pluralitas adalah hal yang alami, sedang pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas. Maka pluralisme agama tidak boleh menafikan keunikan agama-agama. Karena itu Pluralisme agama dalam paradigma baru tidak menafikan keunikan agama-agama, seperti hal nya dengan finalitas Kristus. Menolak adanya nilai-nilai absolud dalam agama-agama sama saja dengan mengabsoludkan yang relatif, yang  sebenarnya menunjukkan adanya kesalahan berpikir. Karena mengabsoludkan yang relatif sama saja mengakui adanya yang absolud, yang disangkali itu.

Pluralisme adalah sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi yang mengakui kebebasan hati nurani dan kebebasan beragama, syarat mutlak bagi hadirnya kerukunan beragama. Untuk meningkatkan kerukunan antarumat beragama perlu adanya upaya agama-agama untuk  terus menerus membangun  komunikasi satu dengan yang lainnya, mengakui interdepedensi agama-agama, dan itu bisa terjaga dalam negara yang menerima pluralisme.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat, M.Th.

https://www.binsarhutabarat.com/2020/09/pluralisme-agama-dan-finalitas-kristus.html

Kontribusi Muhammadiyah di indonesia

 




Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negar sekuler, namun agama-agama mendapatkan posisi terhormat untuk memberikan kontribusinya bagi pembangunan masyarakat bangsa dan negara.

 
Organisasi Muhammadiyah

Salah satu organisasi keagamaan yang telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Indonesia adalah organisasi keagamaan yang bernama Muhammadiyah. Muktamar ke-48 Muhammadiyah yang digelar di Solo Sabtu (19/11) pagi yang dibuka Presiden Jokowidodo itu dihadiri kader-kadernya yang saat ini menduduki jabatan penting di pemerintahan. 

Kontribusi besar Muhammadiyah, secara khusus dalam bidang pendidikan dengan segudang pendidikan tinggi bermutu di negeri ini bukan hanya dinikmati oleh warga Muhammadiyah, tetapi juga masyarakat Indonesia yang beragama lain. Itulah sebabnya , Muhammadiyah menuai berkat dengan dukungan warga Kristen dan Katolik yang memberikan fasilitas penginapan, toilet, bahkan makanan dan minuman untuk para peserta yang berasal dari luar Solo. Sekaligus peristiwa itu menjadi sorotan media, bahwa toleransi di Indonesia masih terjaga baik.

Hadirnya para pejabat pemerinthan pada acara Muktamar di Solo itu membuktikan bahwa Muhammadiyah merupakan ormas keagamaan yang telah berperan penting mendukung pemerintah untuk memberikan kesejahteraan masyarakat. 

Pejabat pemerintah yang menghadiri acara Muktara itu antara lain, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menko Polhukam Mahfud MD, Ketua DPR Puan Maharani hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit, M, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Toleransi di Solo

 Suksesnya Muktamar Muhammadiyah yang berlangsung di Solo dengan dukungan kelompok agama yang berbeda seperti Kristen dan Katolik membuktikan bahwa toleransi beragama yang menghadirkan kebaikan brsama itu perlu dijaga.

Setiap kelompok agama, individu boleh berjuang keras untuk menduduki posisi dalam pemerintahan sebagai kontribusi penting agama dalam pemerintahan, dan semua itu perlu untuk menghadirkan kader terbaik bangsa Indonesia, untuk kesejateraan Indonesia.

Indonesia membutuhkan kader-kader terbaik bangsa untu mengambil tongkat estafet kepemimpinan, kelompok-kelompok agama, tokoh agama perlu mendorong kader-kadernya hadir menjadi capres dan pejabat publik lainnya.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2022/11/kontribusi-muhammadiyah-di-indonesia.html


Friday, November 18, 2022

Strategi Meningkatkan Profesionalisme Guru

 



Pemerintah harus fokus pada pembangunan pendidikan bermutu yang sangat berkaitan erat dalam meningkatkan kompetensi nasional Indonesia. Karena itu, pembangunan gedung-gedung sekolah, dan perbaikan gedung- gedung sekolah yang tidak memadai harus segera dilakukan,  dan khususnya pengadaan tenaga-tenaga guru yang handal tidak boleh ditunda-tunda lagi.

Tulisan ini akan fokus pada bagaimana seharusnya pemerintah meningkatkan profesionalisme guru yang adalah bagian paling strategis untuk memajukan pendidikan di Indonesia untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dalam menyongsong persaingan antar bangsa yang makin ketat. Peningkatan proses belajar mengajar berada ditangan guru. Apabila profesionalisme guru di negeri ini cukup memadai maka Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dari Negara-negara tetangga seperti ,Malaysia dan Singapura misalnya.


Guru, Pendidik professional

Guru sebagai jabatan profesional bukan hal yang baru, di negara-negara maju, seperti AS dan Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar; bakat, dan minatnya, telah lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional yang pendidikannya setara dengan pendidikan jabatan profesional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.

Hubungan yang kuat antara guru dan peserta didik merupakan pusat proses pengajaran. Pengetahuan bisa diperoleh dalam berbagai cara, apalagi dengan penggunaan teknologi baru di dalam kelas yang telah terbukti efektif. Namun, untuk sebagian besar peserta didik, terutama mereka yang belum menguasai keterampilan berpikir dan belajar, guru tetap menjadi katalis penting. Demikian juga hal nya dalam kapasitas penelitian independen, kapasitas ini hanya mungkin setelah terjadi interaksi dengan guru atau mentor intelektual. 

Peran guru dalam keberhasilan proses pendidikan sesungguhnya amat krusial, apalagi pada tahap awal pendidikan dimana citra diri pelajar terbentuk. Tuntutan terhadap guru semakin tinggi pada  pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah tertinggal, kemampuan guru untuk memotivasi pelajar untuk hadir di sekolah amat penting untuk pelaksanaan wajib belajar yang dicanangkan pemerintah.

Mengenai pentingnya peranan guru dalam pendidikan di abad ke-21, UNESCO menegaskan demikian:

The importance of the role of the teacher as an agent of change, promoting understanding and tolerance, has never been more obvious than today. It is likely become ever more critical in twenty-first century. The need for change, from nationalism to universalism, from ethnic and cultural prejudice to tolerance understanding and pluralism, from autocracy to democracy in its various manifestations, and from technologically divided world where high technology is privilege of the few to a technologically united world places enormous responsibilities on teacher who participate in the moulding of character and minds of the young generation.

 

Untuk Indonesia, jabatan guru sebagai tenaga profesional ditetapkan melalui Undang- Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Mengenai hal ini Prof. Soedijarto mengungkapkan demikian:

Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen, khususnya bagian tentang Guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Karena melalui UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan professional.  Mungkin ada yang bertanya, “Apakah jabatan guru selama ini belum berstatus jabatan professional? Dalam pengertian, “Profesi sebagai pekerjaan/jabatan yang memerlukan “Advance Education and Special Training,” selama ini pekerjaan guru sesungguhnya belum berstatus sebagai jabatan professional. 

Pernyataan Prof. Soedijarto  di atas sebenarnya dapat dipahami jika melihat sejarah pendidikan di negeri ini, kualifikasi guru yang dinyatakan dalam UU No. 14 tahun 2005 telah mengalami peningkatan jauh dibandingkan sebelumnya, namun pada sisi lain harus juga diakui bahwa tantangan guru pada masa kini jauh lebih kompleks dibandingkan pada masa lalu. Kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP dan SLTA pada jaman penjajahan, dan jaman Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan dekade 1960-an jauh dibawah kualifikasi guru pada saat ini.

Pada jaman penjajahan Belanda pendidikan guru SD 3 tahun (Sekolah Desa) adalah CVO (2 tahun setelah lulus SD), pendidikan guru SD Nomor dua (SD 5 tahun) adalah Normal School (4 tahun setelah lulus SD), untuk HIS (Sekolah Dasar Belanda untuk orang Indonesia dengan Bahasa pengantar Bahasa belanda yang lamanya 7 tahun) adalah HIK (6 tahun setelah lulus HIS) dan untuk SMP (MULO) adalah HooftAkte (Kursus seperti PGSLP). Praktek ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru SD adalah Sekolah Guru B (SGB-4 tahun setelah tamat SD), pendidikan guru SLTP adalah sekolah guru A (SGA) 3 tahun setelah SMP, guru SLTA adalah B I (2 tahun setelah tamat SMA). Setelah tahun 1957 guru SD haruslah lulusan SGA. Pada saat itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusan. Sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan untuk guru SD adalah diploma II Kependidikan (2 Tahun pasca SLTA), untuk guru SLTP adalah D3 Kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1 kependidikan dan S1 dengan Akta mengajar (Akta IV).

Harus diakui bahwa pendidikan pada masa lalu telah berhasil menghasilkan lulusan yang bermutu, terbukti para pemimpin yang sekarang menjabat tampuk pimpinan di negeri ini adalah tamatan bermutu yang dihasilkan oleh pendidikan masa lalu. Namun, membandingkan pendidikan masa lalu dengan pendidikan masa kini harus dilakukan secara hati-hati, karena tantangan pendidikan masa lalu dan masa kini tentu saja berbeda.

Selama pemerintahan orde lama, pembangunan nasional Indonesia, termasuk bidang pendidikan tidak mengalami kemajuan berarti, hal ini terjadi karena selama itu Indonesia bukan saja harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dari serbuan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, tetapi juga pemerintah Indonesia disibukkan menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang tersebar di beberapa daerah, dan juga mengalami tiga belas kali pergantian kabinet yang tentu saja menghambat lajunya pembangunan nasional.

Pada era orde baru penyelenggaraan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sekadar memperluas kesempatan belajar tanpa memperhatikan persyaratan minimal yang harus dipenuhi bagi penyelenggaraan pendidikan yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Sekolah-sekolah Inpres yang tersebar diberbagai pelosok negeri ini adalah potret pendidikan yang mengutamakan kesempatan belajar dengan minim fasilitas dan kualitas. Pemandangan perihal kondisi sekolah yang minim, mulai dari kualitas guru yang tidak memadai, sampai pada fasilitas pendidikan yang amat minim sangat mudah dijumpai, khususnya dipelosok-pelosok negeri ini.

Pada era orde baru, target kuantitas memang tercapai, namun target kualitas belum tercapai. Penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Korea selatan, Malaysia dan Singapura. Isu-isu kritis yang belum selesai yang menghambat lajunya pendidikan Indonesia terjadi hampir menyeluruh, baik dalam persoalan managemen pendidikan, kurikulum dan sistem evaluasi pendidikan.

Dengan demikian jelaslah, meskipun kualitas guru terus ditingkatkan, namun tantangan yang makin kompleks ternyata telah membuat pendidikan pada masa kini terus mengalami kemerosotan, karena peningkatan kualitas guru tidak seimbang dengan makin kompleksnya tantangan yang ada, karena itu penetapan guru sebagai jabatan professional adalah tepat dan perlu didukung oleh kehadiran pendidikan guru yang berderajat professional, sebagaimana dikatakan prof. Soedijarto:

Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelktual, cultural, dan ekonomi), terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sumber obyek belajar, terus berubahnya masyarakat dengan tuntutannya meruapakan factor yang menjadikan guru harus professional. Karena itu peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah dan mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik. Guru juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman. Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk dapat menjawab pertanyaan yang sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu merancang, memilih bahan pelajaran dan strategi pembelajaran (dalam Bahasa KBK Sylabus) yang sesuai dengan anak dan latar belakang yang berbeda, serta mengelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi. Untuk itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan pendidikan guru yang berderajat professional. Dikatakan berderajat karena dalam setiap jabatan professional dikenal hierarki profgesional yaitu: professional, semi professional, teknisi, juru, dan tukang. Kalau dalam dunia kedokteran kita mengenal: tenaga dokter (professional), para medik, yang lulusan akademi semi professional, yang lulusan SLTA sebagai teknisi (perawat) dan juru rawat.

 

Guru sebagai pendidik professional tentu saja membutuhkan pendidikan bermutu yang dapat mengantarkan para guru itu pada kompetensi professional. Untuk dapat melahirkan guru yang memiliki kemampuan professional penuh, perlu diadakan pendidikan S1 plus atau berpendidikan S2 seperti tertulis dalam UU No. 14 tahun 2005, tetapi bukan S2 akademik seperti yang sekarang kita kenal, melainkan S2 profesional yang mengutamakan kemampuan merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, menilai, mendiagnosi, mengorganisasi, dan memperbaharui program belajar mengajar. Guru dengan tingkat professional yang demikian akan selalu mampu mengembangkan dirinya untuk memenuhi tuntutan baru pembaharuan pendidikan seperti penerapan KBK dan KTSP.

 

Jalan Menuju Profesionalisme Guru

1. Pendidikan calon guru

Salah satu profesi yang tertua di dalam kehidupan sosial masyarakat sesungguhnya adalah profesi guru yang juga kerap disapa sebagai seorang (Begawan). Profesi guru telah dikenal sejak zaman yunani Romawi di dalam kebudayaan Barat dan juga kebudayaan Timur. Bahkan istilah guru ini juga  mulai dikenal dan diuniversalkan  di dalam berbagai lapangan pekerjaan modern yang sangat dihormati. Kedudukan guru merupakan kedudukan yang dihormati sebagai pembimbing di dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu misalnya sebagai panutan di dalam bidang ekonomi (Begawan ekonomi), dalam bidang manajemen (Guru manajemen) di samping panggilan guru di dalam bidang-bidang tradisional seperti sebutan guru di dalam kehidupan agama.

 Sayang sekali pergeseran nilai-nilai moral di dalam masyarakat kemudian menunjukkan adanya pergeseran di dalam penghargaan masyarakat terhadap profesi guru. Profesi guru tetap dihormati tetapi tidak dihargai oleh masyarakat sendiri. Itulah sebabnya profesi guru kini menempati tangga pilihan paling rendah  di dalam masyarakat Indonesia. Gaji yang rendah, status sosial yang rendah, semuanya menyebabkan pilihan untuk menjadi guru merupakan pilihan terakhir. Pertanyaannya kemudian,  “Bagaimana mungkin suatu masyarakat ingin menuntut kualitas pendidikan yang baik tetapi dipihak lain masyarakat tidak memberikan penghargaan yang sewajarnya terhadap profesi guru?” Dilema yang merupakan suatu lingkaran setan ini harus diputus apabila Indonesia ingin menempatkan Masyarakat Indonesia di tempat terhormat dalam dunia global dewasa ini yang penuh persaingan. Akibatnya kemudian, Apakah artinya jika seleksi untuk memasuki program pendidikan guru diperketat? LPTK berarti akan menjadi suatu program yang sangat selektif yang mempunyai konsekuensi kehilangan mahasiswa apabila tidak diikuti dengan penghargaan setimpal di dalam masyarakat terhadap profesi guru. Kalau hal ini terjadi maka kenyataan harus dihadapi yaitu program-program LPTK hanya dapat dibuka apabila ada demand dari masyarakat atau apabila masyarakat sendiri telah memberikan komitmennya terhadap pendidikan calon-calon guru.

Menurunnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru mengakibatkan peminat sekolah guru makin menurun, dengan demikian, seleksi yang amat ketat terhadap mereka yang ingin masuk sekolah guru hanya berdampak buruk yakni makin sedikitnya peminat pendidikan guru. Peningkatan kualitas guru harus dimulai dengan meningkatkan penghargaan terhadap guru, dan ini menjadi tugas utama pemerintah Indonesia yang diperintahkan oleh konstitusi untuk memberikan pendidikan bermutu kepada setiap rakyat Indonesia.

Profesionalisme guru di Indonesia terhambat karena pendidikan calon guru yang ada belum memadai. Rekrutmen calon guru yang terlalu mudah tentu saja mengindikasikan bahwa pendidikan guru belum sepenuhnya berkualitas. Bagaimana mungkin calon-calon guru yang kemampuannya rendah tersebut dapat menyelesaikan tuntutan pendidikan yang tinggi. Dalam hal ini terlihat bahwa pastilah tuntutan pendidikan calon guru juga rendah. Akibatnya profesionalisme guru sulit untuk tercapai.

2. Peningkatan keterampilan guru

 Sebagai pendidik professional guru berkewajiban untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya, apalagi dengan perubahan kurikulum yang mau tidak mau harus terjadi karena tantangan yang terus berubah.  Kemajuan jaman menuntut guru harus terus belajar, pemerintah dalam hal ini juga harus memiliki program peningkatan kualitas guru yang terstruktur. Untuk itu pemberian supervisi terhadap guru menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Supervisi dalam hal ini merupakan aktivitas untuk meningkatkan kemampuan professional guru, dalam jangka panjang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan kemajuan belajar anak. Sasaran program supervisi ditujukan langsung kepada guru yang melayani kegiatan  belajar. Supevisi pendidikan dalam hal ini diartikan sebagai bimbingan professional bagi guru-guru.

Peningkatan ketrampilan guru mestinya juga menjadi alat untuk mengevaluasi kualitas guru yang ada. Peningkatan kualitas guru ini harus juga terkait dengan karier guru sebagai pendidik, sehingga guru akan terus belajar untuk meningkatkan kemampuannya. Dalam hal ini perlu di bangun kemitraan dengan pendidikan tinggi, khususnya pendidikan guru. Penemuan-penemuan terkait dengan pengembangan pendidikan harus segera diinformasikan pada sekolah-sekolah, untuk kemudian diadakan seminar, atau pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan guru. Guru juga harus didorong untuk belajar pada pendidikan yang lebih tinggi.

3. Peningkatan kualitas sarana dan prasarana

Kompetensi guru juga terhambat karena sarana dan prasarana sekolah yang belum berkualitas. Berdasarkan standar nasional pendidikan 65 % pendidikan di Indonesia masih berada dibawah standar, hanya 35 persen yang memenuhi standar tersebut. Sekretaris jendral Depdiknas mengestimasi, untuk menggratiskan pendidikan dasar tahun 2009, termasuk BOS, dibutuhkan dana sebesar Rp. 157.221.278 triliun jumlah yang teramat besar dan mustahil dipenuhi dalam waktu singkat.

Untuk meningkatkan 65 % sekolah di Indonesia yang masih berada dibawah standar nasional, pemerintah membutuhkan dana yang besar, dan itu mustahil dipenuhi dengan 20 % anggaran pendidikan sesuai yang ditetapkan dalam UU Sisdiknas. UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) serta kesepakatan antara DPR dan pemerintah menetapkan gaji pendidik tidak termasuk dalam lingkup anggaran pendidikan sebesar 20% APBN. Apalagi, dengan alokasi pendidikan saat ini yang memasukan gaji guru dalam lingkup anggaran pendidikan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Pendidikan Indonesia pasti tak  akan mengalami perubahan berarti.

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga terlihat dari masih buruknya fasilitas perpustakaan sekolah. Dari sekitar 250.000 sekolah, mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan sederajat, hanya sekitar 16.000 sekolah atau tak sampai 7 % yang memiliki perpustakaan sekolah. Sekolah yang memiliki perpustakaan itu sebagian besar sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama. Itulah sebabnya minat baca pelajar Indonesia masih rendah, dan itu berdampak sampai pada perguruan tinggi.

Jaminan kesejahteraan seorang guru agar dapat berkonsentrasi melakukan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik amat rendah. Dalam hal fasilitas gedung sekolah pada umumnya gedung sekolah kita hanya berupa ruang kelas tanpa halaman, tanpa lapangan olah raga, tanpa ruang perpustakaan, serta tanpa ruang kerja guru. Dalam hal sumber belajar, buku pelajaran sangat terbatas, laboratorium baik IPA maupun Bahasa umumnya tidak ada atau tidak difungsikan, kebun botani tidak ada. Dalam hal metode pembelajaran, kondisinya sangat tradisional karena tidak ada penunjang. Kurikulum sangat sarat materi yang tidal mengutamakan esenssial, fungsional, dan relevan.

Sering orang memaknai amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa” sama dengan memperluas kesempatan memperoleh pendidikan apapun mutu pendidikannya. Karena itu kesempatan memperoleh pendidikan diperluas. Tetapi kenyataannya walaupun kesempatan memperoleh pendidikan pada tingkatan SD sudah berada di atas 96 persen dan SMP hamper 70 persen serta Perguruan Tinggi di atas 10 persen, tetapi kehidupan bangsa yang cerdas belum atau masih jauh dari terwujud. Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan kita dari SD sampai Perguruan Tinggi hanyalah berupa gedung sekolah, tanpa peralatan, tanpa buku, tanpa lapangan oleh raga dengan guru yang kurang terjamin kesejahteraannya. Penelitian UNESCO pada tahun 1996 menemukan bahwa mutu pendidikan semacam ini, yang umumnya terdapat di Negara berkembang bukan hanya tidak bermakna bagi pencerdasan kehidupan bangsa tetapi sebaliknya akan melahirkan masalah baru bagi bangsa tersebut.

 Pembangunan Manusia Indonesia

Sejarah dunia membuktikan bahwa Negara-negara kebangsaan di dunia, yang kemudian menjadi Negara maju seperti AS, Britania Raya, jerman, Perancis, Belanda, dan jepang adalah Negara-negara yang telah mendudukkan pendidikan sebagai bagian terpadau dari pembangunan bangsanya. Untuk itu mereka sejak awal pembangunan bangsa telah mengalokasikan sekurang-kurangnya 5 persen dari GDP untuk pendidikan. Pada tahun 2013 menurut catatan “Economics” alokasi dana oleh Amerika serikat untuk pendidikan mencapai 6,5 persen PDB.

Negara-negara demokrasi di dunia ini, terutama di Amerika Utara, Eropa, dan Negara Asia seperti Malaysia, Singapura, korea selatan, jepang, dan Taiwan, melaksanakan kewajiban belajar tanpa membebani orangtua murid/pelajar untuk membayar pendidikan anaknya. Latar belakang filosofinya adalah bahwa dalam Negara demokrasi pemerintah merupakan representasi masyarakat yang berkewajiban membantu warga negaranya menggunakan hak memperoleh pendidikan. Pendidikan adalah hak azasi manusia, hanya dengan pendidikan bermutu manusia bisa menjadi manusia bermutu yang menghargai martabat dirinya dan sesamanya, itulah sebabnya deklarasi HAM menetapkan bahwa pelaksanaan wajib belajar tidak dipungut biaya. Sebelum lahirnya deklarasi HAM, Indonesia sudah menetapkan dalam konstitusinya bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, sebagaimana tertulis dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Namun, sejak orde baru, dengan diberlakukannya SPP (sumbangan pembangunan pendidikan) apa yang ditetapkan oleh konstitusi itu tidak lagi bermakna.

Negara-negara demokrasi di dunia ini menganut kebijakan dasar untuk bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pendidikan dasar yang wajib bagi seluruh rakyat. Karena hanya negara yang warganegaranya memperoleh pendidikan yang baik dan bermutu yang dapat melaksanakan demokrasi, jadi pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi suatu bangsa. Budaya demokrasi utamanya dapat dilestarikan dan terus ditumbuhkembangkan melalui pendidikan.

Menyadari belum berfungsinya secara efektif penyelenggaraan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional MPR RI pada 2002 menambahkan ayat (4) pada pasal 31 dalam amandemen UUD 1945: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Selanjutnya, Ayat (2) menetapkan, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional.”Prof Soedijarto menyimpulkan, pemerintahlah yang bertanggung jawab membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional.

Sayangnya, hingga kini, pemerintah belum juga mentaati isi konstitusi tersebut. Untuk tidak dikatakan melawan undang-undang pemerintah yang kini ada bersiasat, yakni dengan memasukan gaji guru dalam anggaran pendidikan, sehingga jumlah dua puluh persen anggaran pendidikan dari anggaran pendapatan dan belanja negara nampaknya terpenuhi, padahal sesungguhnya masih jauh dari apa yang ditetapkan MPR. Penolakan pemerintah terhadap tuntutan UUD yaitu sebesar 20 persen dari APBN untuk pengembangan pendidikan menunjukkan ketiadaan komitmen pemerintah mengenai pentingnya pendidikan nasional sebgai sarana untuk membangun Indonesia Indonesia yang dicita-citakan.

Hanya melalui pendidikan nasional yang bermutu, yaitu yang memungkinkan sekolah menjadi pusat kebudayaan dan segala kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan bagi peserta didik untuk dapat menjadi warga Negara yang bermoral, beretos kerja, berdisiplin, produktif, demokratis dan bertanggung jawab.

Indonesia di Milleniun ketiga ini berada dalam era globalisasi, dan itu tidak dapat dielakkan, secara bersamaan itu juga berarti berlakunya berbagai ukuran dan aturan internasional dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, social budaya, IPTEK, komunikasi/transportasi bahkan kehidupan keagamaan. Dalam era semacam ini hanya bangsa yang berkualitas sumber daya manusianya yang dalam bidang ekonomi ditunjukkan dengan kemampuannya  mengolah dan mengelola sumber daya alam,  pengembangan teknologi, menghasilkan komoditas yang bermutu dan dapat bersaing di pasar dunia, serta  mampu mengelola perdagangan yang dapat bertahan dan secara berkesinambungan. Demikian juga daalam dunia politik,  bangsa yang sistem politik demokrasinya mantap  yang mampu bertahan dan terus maju. Sedang dalam bidang IPTEK, hanya bangsa yang memiliki infrastruktur teknologi unggul yang dapat bertahan, bersaing dan terus maju. Manusia Indonesia yang berkualitas adalah syarat mutlak untuk menghadirkan Indonesia sebagai negara maju dengan memanfaatkan jendela terbuka (windows open opportunity). Apabila pemerintah mampu memfasilitasi penduduk produktif itu dengan pendidikan berkualitas, bonus demografi akan menjadi peluang untuk membawa Idonesia menjadi lebih sejahtera. Keberhasilan Indonesia memanfaatkan jendela terbuka dengan peningkatan sumber daya manusia Indonesia bukan mustahil akan mengangkat Indonesia sejajar dengan Negara-negara maju lainnya di dunia ini.

  Catatan Penutup

1. Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa profesionalisme guru masih menjadi isu kritis di negeri ini. Peningkatan kualitas guru di Indonesia tidak sebanding dengan makin kompleksnya tantangan yang harus dihadapi guru, akibatnya pendidikan di Indonesia terus mengalami kemerosotan. Peningkatan kualitas guru di Indonesia mengalami hambatan dengan makin kurang dihargainya jabatan guru di Indonesia. Guru tetap dihormati, namun kurang dihormati, sehingga profesi guru menjadi pilihan terakhir setelah pilihan-pilihan lain tidak tercapai.

2. Penetapan pemerintah guru sebagai jabatan professional sesungguhnya sebuah revolusi penting yang perlu mendapat dukungan semua elemen bangsa, namun menghadirkan guru-guru professional sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang perlu usaha keras. Komitmen pemerintah untuk mentaati konstitusi dengan menempatkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara harus segera dilaksanakan, profesionalisme guru juga bergantung pada saran dan parasana pendidikan, dan juga peningkatan gaji guru, guru tidak perlu lagi harus mencari tambahan untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

3. Pendididkan sekolah guru menjadi amat startegis dalam meningkatkan kualitas guru, pemerintah harus memberikan alokasi dana khusus untuk peningkatan kualitas pendidikan guru, dan seiring dengan meningkatnya penghargaan terhadap guru yang kemudian berdampak pada meningkatnya komitmen masyarakat untuk menajdi guru, pendidikan guru harus melakukan seleksi yang ketat untuk menyaring calon-calon guru.

4. Apabila peningkatan kualitas guru dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka hal tersebut akan berdampaklangsung pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, dan secara bersamaan itu akan meningkatkan kompetensi manusia Indonesia. Kompetensi yang tinggi dari manusia-manusia Indonesia, khususnya usia produktif akan memampukan Indonesia memanfaatkan jendela peluang, untuk kemudian meningkatkan derajat manusia Indonesia, dan mendudukkan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju di dunia ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Hutabarat. Binsar,  Membangun Kompetensi Manusia Indonesia (Investor Daily Indonesia, 4/8/2013)

Delors. J., et.al., LEARNINGL The Treasure Within, Report to UNESCO of The International Commision on Education for The 21 century, Paris, UNESCO, 1996.

Soedijarto,  Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Kita (Jakarta: Kompas, 2008)

Soedijarto, Memahami makna Yang Tersurat dan Tersirat Dari pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 Tentang Anggaran Pendidikan, Jakarta: ISPI, 2006.

Soedijarto, Profesionalisme Guru dan tenaga Kependidikan dalam era Globalisasi Dan Implikasinya Terhadap Kurikulum LPTK( Disajikan dalam Lokakarya Pengembangan Akreditasi LPTK, yang diselenggarakan oleh BAN PT, Yogyakarta, 20 November 2012)

Soedijarto, Mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan Kebudayaan nasional Adalah Misi yang harus Dilaksanakan Melalui diselenggarakannya Satu Sistem Pendidikan Nasional (Tulisan ini disajikan dalam diskusi Arah pendidikan Indonesia yang diselenggarakan oleh Kompas dan PB PGRI, 16 Juni 2014)

Soedijarto, Pancasila Sebagai Filsafat Dasar dan Ideologi Negara kebangsaan Indonesia dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Sistem Pendidikan nasional (makalah ni disajikan dalam Seminar nasional dengan tema Pancasila dan system pendidikan nasional” yang diselenggarakan oleh PPA GMNI di Jakarta, 24 Juni 2011)

Tilaar. H.A.R, Standarisasi PendidikanNasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

______ , Manifesto Pendidikan nasional, Jakarta: Kompas, 2005.

Deni Koswara dan Cepti Triatna, “Manajemen Peningkatan Mutu pendidikan”, dalam Manajemen Pendidikan, ed. Tim dosen administrasi pendidikan UPI, Bandung: Alfabeta, 2013.

https://www.binsarhutabarat.com/2022/11/strategi-meningkatkan-profesionalisme.html

Bersyukurlah Kepada Tuhan

Bersyukurlah Kepada Tuhan  I Tes 5: 18, 2 Tes 1:3-7 Mengapa kita mengucap syukur kepada Allah dalam penderitaan? 1.  Penderitaan membuat kit...