Podcast Rukun Beragama

Video

Monday, February 1, 2021

Peraturan Pendirian Rumah Ibadah Perlu Dicabut

 





PENDAPAT PIMPINAN-PIMPINAN GEREJA DI BEKASI TENTANG IZIN PENDIRIAN RUMAH IBADAH DALAM PERATURAN BERSAMA MENTERI TAHUN 2006
Binsar A. Hutabarat


ABSTRACT: The article, entitled "Opinion The church Leaders in Bekasi on the Permit Construction of Houses of Worship in the Joint Regulation of the Minister of the Year 2006, will be explained about the implementation of policies permit the establishment of houses of worship in Joint Regulation of the Minister (PBM) in 2006 in Bekasi, as well as the implications for church in that place, through the opinion of the church leaders in Bekasi. First, authors will describe the Guarantee Rights of Religion, Belief, Worship and Establish Home Worship  based on Pancasila and the Indonesian Constitution, the Universal Declaration of Human Rights, The Covenant, and documents declarations of the United Nations (UN), and also explained about permit the establishment of houses of worship of Letters Joint Decree (SKB) until the PBM. After that, will be presented regarding the results of the opinion of the church leaders in Bekasi on the implementation of the policy permits a house of worship in Bekasi. Opinion leaders in Bekasi Church will be grouped in four categories, namely: A) The church which has a license, and not problematic. B) The church is having problems obtaining a license, a problem with the public, but finish. C)



The church that does not have a license but has no  problem with the community. D) The church that does not have permissions and have problem with the community, and did not finish. The findings obtained are church leaders in the four categories above found PBM on authorizing the establishment of houses of worship contrary to Pancasila and the Indonesian Constitution and the values of human rights are universal, and implementation of government policies that adversely affect the lives of religious believers in Bekasi, both in the internal relations of religion, as well as in interreligious relations.


KEYWORDS: permit the establishment of houses of worship, Joint Ministerial Decree, Pancasila, the Indonesian constitution, human rights.


ABSTRAK: Artikel yang berjudul Pendapat Pimpinan- pimpinan Gereja di Bekasi tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 ini akan memaparkan mengenai implementasi kebijakan pengurusan izin pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Tahun 2006 di Bekasi, serta dampaknya bagi gereja- gereja di Bekasi menurut pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi. Pertama-tama penulis akan memaparkan mengenai Jaminan Hak Beragama, Berkeyakinan, Beribadah dan Mendirikan Rumah Ibadah berdasarkan Pancasila dan UUD 45, Deklarasi Universal HAM, Kovenan dan dokumen deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian juga memaparkan mengenai izin pendirian rumah ibadah dari SKB



sampai dengan PBM. Setelah itu akan dipaparkan mengenai pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi tentang implementasi kebijakan pengurusan izin rumah ibadah di Bekasi. Pendapat pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi ini akan dikelompokkan pada empat kategori yakni: A) Gereja yang memiliki izin dan tidak bermasalah. B) Gereja yang mengalami masalah pengurusan izin, bermasalah dengan masyarakat, tetapi selesai. C) Gereja yang tidak memiliki izin namun tidak bermasalah dengan masyarakat. D) Gereja yang tidak memiliki izin, bermasalah dengan masyarakat, dan  tidak  selesai. Temuan yang didapatkan adalah pemimpin-pemimpin gereja dalam empat kategori di atas berpendapat bahwa PBM tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta nilai-nilai hak-hak asasi yang universal, dan implementasi kebijakan pemerintah tersebut berdampak buruk dalam kehidupan antarumat beragama di Bekasi, baik dalam hubungan internal agama, maupun dalam hubungan antaragama.


KATA KUNCI: izin pendirian rumah ibadah, Peraturan Bersama Menteri, Pancasila, UUD 45, Hak-hak Asasi Manusia


PENDAHULUAN

Kebebasan beragama dan berkeyakinan secara langsung juga mensyaratkan adanya hak kebebasan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan ini tergolong ke dalam kategori hak yang harus dilindungi dan tidak dapat



dibatasi atau bahkan dilanggar dalam kondisi apapun (Non- Derogable Right), dan hak ini secara langsung mensyaratkan adanya kebebasan menjalankan ibadah, atau beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Hak menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah ini tergolong kategori hak yang dapat dibatasi (Derogable Right). Pembatasan hak ini hanya bisa diberlakukan terkait dengan kondisi darurat di sebuah negara.1 Arti penting sebuah rumah ibadah untuk menjalankan ibadah secara bersama-sama itulah yang membuat pemerintah Indonesia pada awalnya tidak mewajibkan pengurusan izin pendirian rumah ibadah, apalagi pada awalnya daerah-daerah di Indonesia umumnya bersifat homogen. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dan perpindahan penduduk yang makin tinggi, maka daerah-daerah di Indonesia menjadi lebih heterogen, dan hadirlah persoalan terkait dengan pendirian

rumah ibadah.

Untuk mengatasi konflik tentang pendirian rumah ibadah, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang


1 Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-hak sipil mengatakan: Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal usul sosial.

Papang Hidayat dan Puri Kencana Putri, Panduan Pemolisian dan Hak Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jakarta: Kontras, 2012), 31.



pendirian rumah ibadah. Peraturan tentang pendirian rumah ibadah ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1969 dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat oleh Pemeluk-pemeluknya.

Implementasi SKB tersebut ternyata kemudian terindikasikan dijadikan instrumen bagi penutupan gereja di berbagai tempat. Dengan alasan itu kemudian pemerintah merevisi SKB tersebut menjadi Peraturan Bersama Menteri (PBM) No 9/2006 dan 8/2006, dan di dalamnya juga mengatur pendirian rumah ibadah. PBM memang memiliki perbedaan dengan SKB, namun keduanya memiliki persamaan, yakni mensyaratkan keharusan pengurusan izin rumah ibadah.

Pada awal ditetapkannya peraturan tersebut, April 2006, Gomar Gultom, waktu itu duduk sebagai Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI, pernah mengatakan, Kendati PBM tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, terutama kebebasan beribadah, PBM diharapkan bisa membantu masyarakat Indonesia yang sangat majemuk untuk menjalankan ibadah dengan baik.2 Mengutip apa yang diungkapkan Andreas A. Yewangoe, yang pada saat diterbitkannya PBM duduk sebagai Ketua  Umum  PGI,  Gomar  Gultom  selanjutnya  menegaskan,

‚Kalau ternyata PBM ini lebih melancarkan pembangunan gedung-gedung  ibadah  sebagai  wujud  kerukunan   otentik di


2 Gomar Gultom (ed.), Dari SKB ke PBM (Jakarta: PGI, 2006), 10.



antara warga, maka ia telah menjadi berkat bagi negeri ini. Kalau sebaliknya, maka PBM ini mesti ditinjau kembali, bahkan dicabut.‛3

Tulisan ini akan meneliti apakah PBM telah menjadi solusi bagi penyelesaian konflik terkait perizinan pendirian rumah ibadah di Indonesia? Tulisan ini secara khusus juga meneliti dampak PBM terhadap hubungan internal agama dan hubungan antaragama yang berbeda di Bekasi.


JAMINAN HAK BERAGAMA, BERKEYAKINAN, BERIBADAH DAN MENDIRIKAN RUMAH IBADAH

Hak beragama, berkeyakinan dan beribadah secara tegas dinyatakan dalam Pancasila, khususnya sila pertama. Mengenai pengertian dari sila Ketuhanan yang Maha Esa, Soekarno pencetus istilah Pancasila menjelaskan seperti berikut:


Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan, bukan saja karena bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, sesuai keyakinan masing-masing. Orang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang Buddha menjalankan ibadahnya menurut petunjuk kitab-kitab mereka, dan seterusnya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat


3 Ibid.



menyembah tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat Indonesia hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‚egoisme agama‛ dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan.4


Dalam pidato tersebut, Soekarno menyatakan supaya semua warga negara memeluk agama yang sesuai dengan keyakinannya, dan negara menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan ibadah agamanya masing-masing. Jaminan kebebasan beribadah ini juga dinyatakan dalam pasal 29 UUD 1945 ayat 2, di mana dijelaskan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Senada dengan Soekarno, TB Simatupang mengatakan secara tegas bahwa :


Sila pertama bukanlah ‚kepercayaan kepada Allah‛ tetapi lebih berarti kepercayaan kepada ‚ide ketuhanan‛, oleh karena kata yang dipakai di sini bukanlah ‚Allah‛ tetapi istilah yang lebih netral, ‚Ketuhanan‛. Kepada istilah tersebut ditambahkan pula keesaan dan kemahaan. Demikianlah sila yang pertama tidak berbicara tentang Allah, tetapi tentang ke-allahan. Ia berbicara tentang keilahian. Juga orang-orang yang tidak mempercayai Allah yang bersifat pribadi, misalnya beberapa kalangan dalam



4 Ruslan Abdulgani, Pancasila Perjalanan Sebuah Ideologi (Jakarta: Grasindo, 1998), 15.



agama Budha, dapat menerima sila tersebut. Ia berbicara tentang kepercayaan kepada sesuatu yang maha transenden. Sesuatu yang maha esa, mungkin ini terdengar sebagai suatu konsep yang amat samar-samar, tetapi ia berhasil merangkul semuanya.5


Uraian Soekarno dan Simatupang mengenai Pancasila sangat jelas. Bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa tidak boleh diartikan secara teologis. Yang dimaksud dengan penafsiran secara teologis misalnya adalah menafsirkan kata Ketuhanan yang Maha Esa sebagai tauhid dalam agama Islam,6 karena ia adalah gambaran pengakuan bahwa semua agama mempunyai tempat di bumi Indonesia. Sila tersebut juga merupakan suatu pengakuan bahwa negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak agama, dan memberi tempat yang sama terhadap semua agama. Karena itu semua agama, termasuk aliran kepercayaan memiliki hak untuk beribadah baik secara individu maupun secara berkelompok.

Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 jelaslah bahwa UU nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khusus dalam pasal 8 ayat (4) yang  menerangkan bahwa Pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama resmi yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu harus dicabut, karena ayat tersebut jelas-jelas


5 T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 4.

6 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Gema Insan Press, 1997), xxiii.



mendiskriminasikan aliran kebatinan yang jumlah ratusan di Indonesia, demikian juga agama-agama lokal yang berkembang ditengah masyarakat Indonesia.7

Terkait dengan aliran kebatinan atau kepercayaan Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan demikian:


Menimbang< Demikian juga terhadap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sejak awal lahir dan bertumbuh di bumi Indonesia tetap diakui dan dihormati. Adapun mengenai bukti surat edaran dari Departemen Dalam negeri yang diajukan oleh para pemohon<Menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2)UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945.‛8


Jaminan kebebasan beragama dan beribadah secara jelas dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM 1948 pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan



7 Panduan Pemolisian (Jakarta: Kontras, 2012), 36.

8 Ibid., 11-12.



agama. Dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. Kebebasan beragama dan berkeyakinan ini tergolong ke dalam kategori hak yang harus dilindungi dan tidak dapat dibatasi atau bahkan dilanggar dalam kondisi apapun (Non-Derogable Right). Dan hak ini secara langsung mensyaratkan adanya kebebasan menjalankan ibadah, atau beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Dan hak menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah ini tergolong kategori hak yang dapat dibatasi  (Derogable Right). Pembatasan tersebut menurut DUHAM Pasal 18 ayat (2) berbunyi seperti berikut:


Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak kebebasan mendasar orang lain. Perserikatan Bangsa- Bangsa secara khusus menjamin adanya perlindungan atas rumah-rumah ibadah yang digunakan oleh warga. Hak untuk membangun rumah ibadah merupakan perwujudan dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebagaimana hak untuk menggunakan dan memasang simbol agama/keyakinan, dan menjalankan hari libur keagamaan/keyakinan.9



9 Ibid., 19.



Selain dokumen DUHAM 1948, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ada dua dokumen lain yang dideklarasikan PBB, dan dokumen-dokumen tersebut menyediakan standar-standar internasional yang diakui secara luas, serta dapat digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM. Pertama adalah dokumen Deklarasi untuk Mengeliminasi Segala  Bentuk Praktik Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on Elimination of All Forms Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief). Pasal 2 Deklarasi ini mewajibkan negara untuk mengambil tindakan efektif dalam mencegah atau menghapus praktik diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Bahkan negara juga memiliki kewajiban untuk membatalkan setiap produk perundang-undangan yang berisi pesan dikriminasi. Kedua, dokumen Deklarasi untuk Melindungi Hak-hak Individu Minoritas untuk Bidang Nasionalitas/Etnis, Agama, dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities). Pasal 4 ayat (2) Deklarasi tersebut menyatakan negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan bagi individu-individu minoritas agar mereka bisa  menjalankan ritual agamanya dengan bebas. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan efektif untuk menciptakan iklim kondusif agar individu-individu minoritas dapat menjalankan ibadahnya dengan baik. 10



10 Ibid., 20.



IZIN MENDIRIKAN RUMAH IBADAH DALAM PBM

Perlunya izin khusus pendirian rumah ibadah di Indonesia berawal dengan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk- pemeluknya. Dalam pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah perlu mendapat izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah itu hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen.11 Karena memang latar belakang dikeluarkannya SK tersebut karena ada gejala-gejala bahwa di beberapa daerah jumlah umat Kristen bertambah dengan pesat, dan di beberapa tempat terjadi perusakan terhadap gedung gereja.12

Hadirnya SKB Dua Menteri yang mengatur perizinan rumah ibadah pada awal ditetapkannya mendapat penolakan dari gereja-gereja di Indonesia. PGI (waktu itu masih bernama DGI) membuat sebuah memorandum, tertanggal 10 Oktober 1969, yang meminta pemerintah untuk meninjau kembali SKB itu. Memorandum yang ditandatangani oleh Ds. W.J. Rumambi (Sekretaris Departemen Gereja dan Masyarakat DGI) dan Pastor

F.X.     Danuwinata,     SJ.     (MAWI)     tidak     ditanggapi,    dan


11 T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 240.

12 Ibid.



diberlakukan selama 37 tahun meski secara jelas terbukti telah mendiskriminasikan agama Kristen khususnya dalam pendirian rumah ibadah.13

Pada pasal 4 SKB No. 1/1969 aturan pendirian rumah ibadah sebagai berikut:14

1.Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.

2.Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat

(1)pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan:

a.Pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat.

b.Planologi

c.Kondisi dan keadaan setempat

3.Apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.

Implementasi SKB dua menteri tentang perizinan rumah ibadah ternyata tidak produktif, dan kemudian dengan alasan yang sama dengan penerbitan SKB, dilakukanlah revisi terhadap peraturan tersebut. Pada revisi peraturan tersebut pendirian rumah ibadah dinyatakan lebih detail seperti dalam Bab IV Pasal 13-17. Pasal 14 menyebutkan: (1) Pendirian rumah


13 Gultom (ed.), Dari SKB ke PBM, 10.

14 Ibid., 12.



ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

A) daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); B) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; C) Rekomendasi tertulis  kepala  kantor departemen agama  kabupaten/kota; dan

D)Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. Pasal 18 , 19, dan 20 dalam PBM memuat ketentuan izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara, ketentuan ini tidak terdapat dalam SKB 1969.15


METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah melukiskan keadaan sesuatu atau yang sedang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Pengumpulan data antara lain melalui kepustakaan terpilih, observasi langsung, wawancara, dan dokumentasi. Hasil wawancara tersebut kemudian ditranskripsikan, dan kemudian dilakukan reduksi


15 Ibid.



data dengan fokus pada pendapat gereja-gereja di Bekasi terhadap izin mendirikan rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM). Penelitian dilakukan terhadap 16 gereja yang ada di Bekasi dengan melakukan observasi, wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja tersebut, dalam hal ini pendeta dan majelis gereja. Gereja-gereja tersebut adalah: 1) HKBP Jatiasih, 2) GKP Kampung Sawah, 3) GMII Anugerah, 4) GPIB Galilea, 5) POUK Graha Prima, 6) Gemindo, 7) Gekari, 8) GPPS Talitakumi, 9) GKII Solideo, 10) GKSI Setia, 11) GBI Mawar Sharon, 12) GKI Jatibening, 13) Gekindo Jatimulya, 14) HKBP Filadelfia, 15) HKBP Ciketing, 16) GPIB Harapan Indah. Dan juga tokoh-tokoh masyarakat di Bekasi untuk konfirmasi atas data yang telah dikumpulkan.16 Gereja-gereja tersebut dikelompokkan kedalam empat kategori:

A)Gereja yang memiliki izin dan tidak bermasalah.

B)Gereja yang mengalami masalah pengurusan izin, bermasalah dengan masyarakat, tetapi selesai.

C)Gereja yang tidak memiliki izin namun tidak bermasalah dengan masyarakat.

D)Gereja yang tidak memiliki izin, bermasalah dengan masyarakat, dan tidak selesai.

Gereja dalam kategori A, adalah gereja yang memiliki kriteria seperti berikut: telah memiliki izin, tidak dipermasalahkan atau diganggu oleh masyarakat. Gereja dalam Kategori B, adalah gereja yang belum memiliki izin, dan


16 Wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di

Bekasi.



keberadaannya dipersoalkan oleh masyarakat setempat karena pengurusan izin yang memakan waktu lama, dan kemudian gereja itu berhasil mendapatkan izin tesebut, dan gangguan dari masyarakat dapat diselesaikan dengan baik. Gereja dalam kategori C, tidak memiliki izin namun aman. Gereja dalam kategori D adalah gereja-gereja yang tidak berhasil mengurus izin. Gereja-gereja tersebut mendapat penolakan dari masyarakat, dan tidak dapat memenuhi persyaratan lingkungan sebagaimana dipersyaratkan oleh PBM 2006. Gereja-gereja tersebut akhirnya ditutup atau pindah ke tempat lain.


SEKILAS TENTANG PERSEBARAN RUMAH IBADAH DI BEKASI

Bekasi adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta. Bekasi terbagi atas dua daerah tingkat dua, yakni Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Sebagai daerah yang bertetangga dengan Ibu Kota Jakarta, tentu saja Bekasi memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Misalnya, Bekasi—bersama Kota Depok, Bogor, Tangerang, yang selama ini  disebut-sebut sebagai ‚kota-kota satelit‛ menjadi penyangga bagi Kota  Jakarta. Karena posisinya yang berbatasan langsung dengan Jakarta tersebut, Bekasi tidak dapat menghindar dari limpahan penduduk dari Jakarta dan sekitarnya. Para pendatang itu terdiri dari bermacam latar belakang agama, suku, bahasa, dan



adat-istiadat yang berbeda-beda.17

Secara geografis Kota Bekasi posisinya berdekatan dengan Jakarta sebagai ibukota negara. Dan melihat sejarahnya, masyarakat Bekasi tidak terlalu jauh beda dari masyarakat Jakarta. Tradisi, adat-istiadat dan budayanya banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, khususnya Islam. Masyarakat Kota Bekasi yang per-Juli 2009, penduduknya telah mencapai 2.457.585 jiwa, mayoritas menganut agama Islam. Jumlahnya mencapai 2.145.447 jiwa atau 87,30%. Dan sisanya,

312.138 jiwa atau 12,70% menganut agama lain, yakni Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, Konghuchu, dan berbagai aliran/agama lain di luar agama-agama yang disebut di atas. Penyebaran penganut agama cukup merata pada 12 kecamatan yang ada di Kota Bekasi. Dan indikasi keberagamaan masyarakat Kota Bekasi dapat dilihat dari banyaknya rumah ibadah, baik berupa masjid (882), musholla dan langgar (1.320), gereja (207), vihara, pura, dan kelenteng (13).18

Sementara wilayah Kabupaten Bekasi terbagi ke dalam 23 kecamatan, dan setiap kecamatan meliputi 5 kelurahan dan 182 desa. Penduduk Kabupaten Bekasi (tahun 2012) berjumlah 2.786.638 jiwa. Di Kabupaten Bekasi, mesjid 1.567, musholla 614, dan langgar 2.759. Sedangkan jumlah gereja di Kabupaten Bekasi ada sebanyak 24, vihara 8, dan pura 3.19


17 Badruzzaman Busyani, Rumah Ibadat di Kota Bekasi (Bekasi: FKUB, 2009), 5-6.

18 Ibid., 21- 22.

19 Kabupaten Bekasi dalam Angka, 2013, Agama/Religion, 56,

portal.bekasi.go.id, diakses 1 Agustus 2015, pkl. 20.00



Berdasarkan data tersebut jelaslah bahwa ketersediaan rumah ibadah umat Islam jauh lebih besar dibandingkan agama-agama lain, termasuk Kristen, apalagi rumah ibadah umat Islam dalam bentuk mushola dan langgar tidak memerlukan izin seperti masjid. Itulah sebabnya komunitas Kristen yang belum memenuhi syarat untuk mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah pada umumnya menggunakan rumah atau ruko (rumah toko), atau fasilitas lain untuk tempat beribadah. Sebagai tempat ibadah sementara. Biasanya komunitas tersebut mengajukan permohonan untuk menggunakan gedung atau rumah tertentu sebagai tempat ibadah sementara, sampai saatnya mereka memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Sulitnya mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah mengakibatkan komunitas agama yang telah memenuhi syarat jumlah jemaat, namun belum mendapatkan persetujuan dari 60 orang dewasa warga sekitar, terpaksa terus beribadah di gedung-gedung yang dijadikan tempat ibadah sementara. Dalam laporan tahunannya (2014), Wahid Institute menempatkan Jawa Barat sebagai daerah yang paling intoleran. Dari berbagai daerah di Jawa Barat, Bekasi disebut-sebut sebagai yang paling intoleran.20

Menariknya, sekalipun Bekasi disebut paling intoleran dari seluruh daerah yang ada di Jawa Barat, Kota Bekasi juga


20 The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014, WahidInstitute.org. http://www.wahidinstitute.org/wi-id, diakses 14 April 2014, pkl. 16.15.



memiliki daerah yang tersohor dengan toleransi beragamanya, yakni daerah Kampung Sawah. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan tiga rumah ibadah yang berdiri megah dan letaknya berdekatan yakni Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katolik Santo Servatius, dan sebuah masjid besar dan Pondok Pesantren Fisabillilah. Ini juga menjadi lambang kehidupan toleransi yang tinggi bagi daerah tersebut.


PENDAPAT GEREJA-GEREJA DI BEKASI TERHADAP PBM

Pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi terkait implementasi kebijakan izin pendirian gereja menurut PBM setidaknya mencakup dua hal, yakni mengenai hubungan penetapan izin gereja terhadap pemenuhan hak membangun rumah ibadah di Bekasi, dan dampak implementasi kebijakan PBM dalam hubungan internal dan hubungan antaragama di Bekasi.


PBM Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45

Menurut pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi, penetapan izin gereja, baik dalam SKB maupun PBM telah membelenggu hak masyarakat untuk mendirikan rumah ibadah. Sejak ditetapkannya, bahwa setiap pendirian rumah ibadah harus mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Dan kepala daerah atau pejabat memberikan izin pendirian rumah ibadah didasarkan pertimbangan: pendapat kepala perwakilan Kementerian Agama setempat, planologi, dan kondisi dan



keadaan setempat. Menurut tokoh-tokoh gereja di Bekasi, persyaratan keharusan mendapatkan izin dari pemerintah daerah, ataupun dari masyarakat, sama saja membatasi hak mendirikan rumah ibadah. Bahkan di Bekasi, SKB dan PBM merupakan senjata untuk memberedel tempat-tempat peribadatan non-muslim.21

PBM menurut pimpinan gereja-gereja di Bekasi bukan hanya tidak mampu memfasilitasi gereja-gereja di Bekasi untuk mendapatkan izin membangun rumah ibadah, tetapi juga telah menjadi instrumen penutupan gereja, khususnya terhadap gereja-gereja yang tidak memiliki IMB. Pendataan FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) terhadap rumah ibadah di Kota Bekasi yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul ‚Rumah Ibadat di Kota Bekasi‛, yang disunting oleh Badruzzaman Busyani, dan diterbitkan oleh FKUB Bekasi, dan di dalamnya dicantumkan nama rumah-rumah ibadah yang berizin, dan tak berizin di Kota Bekasi, khususnya gereja, menjadi tidak produktif, karena rekomendasi FKUB tidak menjamin diberikannya IMB terhadap sebuah gereja yang belum memiliki IMB, namun untuk mendapatkan IMB, sebuah gereja harus mendapatkan rekomendasi FKUB.22









Bekasi.


21 Wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di


22 Busyani, Rumah Ibadat di Kota Bekasi (Bekasi: FKUB, 2009), 21- 22.



Pendataan mengenai gereja-gereja yang memiliki IMB dan tidak memiliki IMB, yang kemudian dipublikasikan, mengakibatkan gereja-gereja yang tidak memiliki IMB, dan pada awalnya tidak mengalami gangguan masyarakat setempat, setelah publikasi itu justru bisa mengalami gangguan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Beberapa tokoh gereja mengatakan, ‚Di Bekasi telah hadir kelompok- kelompok radikal yang kehadirannya bertujuan menutup gereja-gereja yang tidak memiliki izin.‛23

Pemimpin gereja di Bekasi berpendapat bahwa publikasi FKUB sangat menolong kelompok-kelompok radikal untuk mendapatkan data gereja yang tidak berizin, dan kemudian melakukan penutupan terhadap gereja tersebut, baik melalui intimidasi, pemanggilan pendeta setempat agar menutup gereja yang tidak berizin tersebut, bahkan tidak jarang penutupan gereja di Bekasi dilakukan dengan cara kekerasan apabila gereja tersebut tetap melakukan peribadatan di bangunan yang belum memiliki IMB.

Gereja-gereja dalam kategori pertama (A), yakni memiliki izin dan tidak mengalami gangguan masyarakat ternyata juga menolak PBM, menurut sumber dari gereja-gereja tersebut peraturan khusus pendirian rumah ibadah (PBM) telah menghalangi komunitas Kristen untuk memiliki rumah ibadah. Penolakan terhadap PBM dari gereja-gereja yang telah memiliki izin dan tidak bermasalah dengan lingkungan


23 Wawancara langsung dengan pemimpin-pemimpin gereja di

Bekasi.



masyarakat ternyata terkait pengalaman masa lampau gereja- gereja tersebut. Ternyata gereja-gereja yang memiliki IMB dan tidak mengalami gangguan masyarakat, pada awal berdirinya juga mengalami gangguan masyarakat dengan alasan perizinan sejak diberlakukannya SKB dua menteri yang juga menetapkan keharusan mendapatkan izin pemerintah daerah dalam pendirian rumah ibadah. HKBP Jatiasih sebelum berdiri megah seperti saat ini, pernah dibakar oleh masyarakat. Namun, melalui pendekatan pihak gereja yang cukup intens terhadap masyarakat serta tokoh-tokoh masyarakat, gereja tersebut dapat didirikan kembali, dan mendapatkan izin.24 Persyaratan keharusan mendapatkan izin pemerintah yang dituangkan sejak SKB, telah mempersulit gereja, karena pertimbangan pemerintah untuk memberikan IMB gereja juga mengacu pada izin dari masyarakat setempat. Apabila masyarakat setempat ada yang tidak menginginkan hadirnya rumah ibadah agama lain, dengan alasan apapun, maka pendirian sebuah rumah ibadah akan sangat sulit didapat.

PBM tentang perizinan gereja juga menyasar Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah yang telah lama berdiri dan memiliki hubungan yang harmonis dengan lingkungan. Dapat dimaklumi sebagian besar masyarakat adalah jemaat gereja tersebut. Dan bahkan lingkungan masyarakat di sana itu bersifat multi-religi. Artinya dalam sebuah keluarga bisa saja ada anggota yang berbeda keyakinan: muslim dan Kristen. Suasana yang sangat kondusif itulah yang


24 Ibid.



membuat pengurus gereja tidak berpikiran untuk mengurus surat izin. Apalagi, menurut ketentuan PBM 2006, GKP Kampung Sawah yang keberadaannya sudah sangat lama berada di daerah itu, mestinya otomatis mendapatkan izin karena GKP Jemaat Kampung Sawah berdiri sejak tanggal 16 Juni 1874.

Meskipun GKP Kampung Sawah tersebut telah berdiri sejak Indonesia belum merdeka, pemerintah setempat tetap mengharuskan pihak gereja mengurus izin sebagaimana layaknya gereja-gereja yang akan dibangun. Kasus ini sekaligus membuktikan kurangnya pemahaman pemerintah atas peraturan yang dibuatnya. Syukurlah GKP Kampung Sawah tidak memiliki masalah dengan lingkungan. Masyarakat setempat yang terdiri dari berbagai agama, sudah lama hidup dalam kebersamaan yang rukun, sehingga keberadaan gereja tersebut relatif tidak pernah mengalami hambatan. Faktor yang sangat kondusif itulah yang membuat pengurus gereja

‚merasa tidak perlu‛ mengurus izin gereja, tanpa ada maksud untuk melawan pemerintah yang berkuasa, apalagi menurut mereka PBM jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

Kehadiran PBM bagi gereja yang masuk dalam kategori B yakni: ‚mengalami masalah pengurusan izin, bermasalah dengan masyarakat, tetapi selesai‛, tidak semuanya merespon negatif. Gemindo, adalah salah satu gereja yang merespon positif terhadap PBM. Gereja ini harus menyusuri jalan panjang dalam pengurusan izin. Bahkan ketika pembangunan gereja telah dilakukan, dan izin belum didapat, gereja tersebut pernah



dibakar massa. Pembangunan dapat dilakukan kembali setelah izin didapat. Dan respon positif terhadap PBM timbul karena gereja tersebut berharap PBM dapat menghindari pengalaman buruk masa lampau, yakni pembakaran gereja.

Harapan terhadap PBM itu jelas belum bisa memberikan kepastian, karena banyak gereja yang memiliki izin pun mengalami gangguan dan ada yang ditutup. Sumber dari gereja POUK Graha Prima, dan Gekari memberikan respon negatif terhadap PBM. Gereja Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK) Graha Prima, pernah dibakar massa meskipun gereja tersebut berdiri di atas tanah yang disediakan pengelola Kompleks Perumahan Graha Prima dan diperuntukkan bagi rumah ibadah Kristen. Gereja tersebut harus bekerja keras melakukan pendekatan terhadap masyarakat. Setelah melalui jalan yang cukup panjang akhirnya gereja itu bisa kembali dibangun, bahkan lengkap dengan plang nama gereja. Namun demikian, surat izin belum berhasil didapat. Hal yang sama juga dilakukan Gereja Gekari, pemimpin gereja dan jemaat terus-menerus mengadakan pendekatan sosial terutama ke tokoh-tokoh agama setempat. Akhirnya upaya ini berhasil juga, di mana keberadaan gereja bisa diterima oleh masyarakat, dan kepengurusan izin pun selesai. Di sini terlihat, regulasi masyarakat yang kerap bertentangan dengan aturan PBM mendapat tempat untuk menjadi instrumen penutupan rumah ibadah.25



25 Wawancara dengan pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi.



Untuk kategori ketiga atau (C), yakni gereja yang tidak memiliki izin namun aman, PBM juga ditolak oleh semua gereja sampel. Antara lain, GPPS Talitakumi, gereja yang  tidak memiliki izin namun diterima msyarakat setempat, dan dapat memasang plang gereja di depan bangunan gereja. Menurut pemimpin-pemimpin gereja dalam kategori C ini, kehadiran PBM memaksa gereja tersebut mengurus izin, padahal IMB gereja tidak mudah didapat, dan pengurusannya membutuhkan waktu yang lama. Berbeda dari GPPS Talitakumi, GKII Solideo, GKSI Setia, dan GBI Mawar Saron, ketiga gereja tersebut bukan hanya tidak bisa mengurus izin karena mereka yakin tidak akan mendapatkan izin dari masyarakat meski berdasarkan aturan PBM mereka telah memenuhi syarat jumlah jemaat. Namun karena PBM juga mensyaratkan izin dari masyarakat sekitar gereja, yang pada umumnya bukan penganut agama Kristen, maka pihak gereja tidak mengurus izin karena yakin pasti akan mengalami penolakan. Penolakan masyarakat untuk menandatangani persetujuan pendirian gereja di lingkungan mereka berada dikarenakan bahwa memberikan persetujuan pendirian gereja, sama saja dengan mengizinkan penyesatan terjadi. Kehadiran ketiga gereja tersebut telah diketahui pemerintah setempat mulai dari RT, RW, kelurahan dan kecamatan. Namun karena masyarakat dan tokoh agama sekitar lokasi gereja tersebut bukan hanya tidak menyetujui pengurusan izin gereja, untuk memasang plang nama saja, ketiga gereja tersebut tidak diizinkan. Karena itu kaharusan mendapatkan izin dari masyarakat untuk pendirian gereja, pada tempat-tempat



tertentu di Bekasi adalah tidak mungkin. Kejadian ini secara khusus juga terjadi pada penolakan atas HKBP Filadelfia.

Untuk kategori keempat atau (D) ‚gereja yang tidak memiliki izin, dan bermasalah dengan masyarakat, dan tidak selesai‛, PBM diakui telah menjadi instrumen penutupan gereja dan menjadikan gereja sasaran kemarahan, dan kekerasan massa, tanpa pemerintah mampu melindungi gereja-gereja tersebut. Bahkan pada umumnya mereka harus meninggalkan lokasi tersebut, dan berpindah ke tempat lain. Pengalaman pahit ini dialami oleh HKBP Filadelfia, yang meskipun keberadaan mereka dimenangkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetap saja tempat ibadah mereka tidak dapat digunakan. Segel penutupan terhadap gereja tetap terpasang, dan mereka harus beribadah secara berpindah-pindah, termasuk di depan Istana Presiden, bersama jemaat  GKI Yasmin Bogor.

HKBP Ciketing tidak hanya diganggu dan diintimidasi massa yang mengaku sebagai warga setempat. Puncaknya adalah ketika gereja tersebut diserang, dan salah seorang anggota majelis gereja ditusuk hingga luka parah oleh kelompok yang menentang kehadiran gereja tersebut. Sejak peristiwa itu gereja pun tidak dapat digunakan, dan mereka harus berpindah tempat. Demikian juga halnya dengan Gekindo Jatimulya, gereja ini juga harus memindahkan tempat ibadah mereka, ketempat yang cukup jauh dari lokasi gereja awal, ini berarti jemaat harus mengalami kesulitan menjangkau tempat ibadah itu. Nasib yang sama juga dialami oleh GKI Jatibening, tempat ibadah itu ditutup dan tidak bisa digunakan



lagi.

Berdasarkan kejadian-kejadian tragis yang dialami gereja-

gereja di Bekasi atas kehadiran SKB yang kemudian direvisi menjadi PBM, dan keduanya mengharuskan adanya izin pemerintah daerah dan masyarakat atas sebuah rumah ibadah, wajar saja jika para pemimpin gereja di Bekasi pada umumnya berpendapat sama, yakni PBM yang mensyaratkan pendirian rumah ibadah berbeda dengan pendirian rumah tinggal telah mempersulit pendirian rumah ibadah. Pendirian rumah ibadah di Bekasi kerap lebih sulit dibandingkan pendirian sebuah tempat hiburan malam yang kehadirannya jelas-jelas bisa menimbulkan dampak negatif pada masyarakat setempat, apalagi dengan adanya penyimpangan pengoperasian hiburan malam, yang kerap menjadi tempat penjualan dan penggunaan narkoba.

Perizinan gereja yang dituangkan dalam PBM telah mengakibatkan beberapa gereja di Bekasi ditutup, seperti yang terjadi dengan HKBP, Gekindo, dan GPDI di Jati Mulya Bekasi, penutupan tersebut langsung dipimpin oleh camat setempat. Aturan keharusan adanya izin pemerintah telah melahirkan politisasi agama, di mana pejabat setempat memainkan agama untuk menarik simpati pendukungnya. Dan mempersulit atau menutup rumah ibadah yang berbeda dengan pendukungnya adalah jalan politisasi agama yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia.



PBM Berdampak Negatif dalam Hubungan Antaragama di Bekasi

Apabila dalam SKB dua menteri perizinan bergantung pada kepala daerah, dan ini pun terbukti dimanfaatkan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, maka syarat yang lebih detail tentang pendirian rumah ibadah justru menjadi lebih pelik. Pada daerah-daerah tertentu di Bekasi dijumpai, bahwa keharusan mendapatkan izin dari masyarakat setempat justru menimbulkan konflik baru dalam masyarakat. Individu atau kelompok masyarakat yang sebelumnya tak peduli dengan kehadiran rumah ibadah yang berbeda dengan agama yang mereka anut, kemudian secara tidak langsung merasa dipaksa untuk peduli dengan menyetujui kehadiran rumah ibadah agama yang berbeda. Permintaan persetujuan individu-individu yang berdomisili di sekitar rumah ibadah yang akan didirikan membuat penganut agama lain merasa dipaksa untuk menyetujui kehadiran rumah ibadah agama lain. Keharusan mendapatkan izin masyarakat setempat untuk

IMB pada beberapa gereja justru menjadi kontraproduktif, karena telah menimbulkan koflik baru dalam masyarakat antaragama. Apalagi, pada individu atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu, memberikan izin pendirian rumah ibadah yang berbeda agama, sama saja dengan mengkhianati agama mereka, karena membiarkan agama-agama yang berbeda berkembang dan mengancam perkembangan agama yang mereka anut. Realitas ini bukan hanya diakui oleh pemimpin- pemimpin gereja di Bekasi, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat di Bekasi, bahkan isu ini tersebar luas khususnya pada daerah-



daerah di mana terjadi konflik terkait pendirian rumah ibadah.26

Hadirnya PBM telah membuat hubungan antaragama di Bekasi penuh dengan kecurigaan. Kebaikan gereja terhadap masyarakat sekitar berupa keterlibatan dalam memberikan bantuan sosial kepada masyarakat sekitar yang tidak mampu, kerap dicurigai sebagai tindakan manipulatif, yaitu usaha untuk membujuk masyarakat agar bersedia memberikan izin pendirian gereja. Padahal, kebaikan gereja tersebut sebenarnya tidak bisa ditafsirkan demikian, karena bantuan sosial gereja terhadap masyarakat adalah salah satu penunaian tugas mandat sosial gereja.

Kehadiran PBM menurut pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi adalah ‚bukti kegagalan pemerintah untuk bersikap netral‛. Pemerintah jelas-jelas berpihak pada kelompok- kelompok tertentu yang tidak senang dengan perkembangan agama lain. Kegagalan pemerintah untuk bersikap netral terlihat jelas dengan membiarkan terjadinya penutupan dan perusakan gereja oleh polisi-polisi informal,  pemerintah tunduk pada polisi-polisi informal tersebut. Polisi-polisi informal itu umumnya bukan berasal dari masyarakat sekitar, tetapi berasal dari tempat yang jauh dari lokasi yang kerap menjadi sasaran amuk polisi-polisi informal itu.‛27 Kegagalan pemerintah di Bekasi terlihat jelas dalam kasus HKBP Filadelfia Bekasi, yang dari segi jumlah telah memenuhi syarat dan


26 Wawancara dengan pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi.

27 Ibid.



mendapatkan persetujuan masyarakat, serta diteguhkan keabsahannya oleh pengadilan. Namun hingga saat ini jemaat HKBP Filadelfia tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan izin IMB rumah ibadah. Bahkan ironisnya, pendeta jemaat HKBP Filadelfia yang adalah korban  itu, sempat dituduh sebagai pelaku kekerasan. Dan pada sisi lain, pelaku kekerasan yang sebenarnya, tak pernah tersentuh aparat keamanan.

Birokrasi yang amat panjang dalam pendirian gereja, telah membuat gereja-gereja di Bekasi harus menyusuri jalan panjang dalam pendirian gereja. Birokrasi yang panjang tersebut juga kemudian melahirkan mafia-mafia dalam pengurusan gereja. Repotnya, mafia-mafia pengurusan izin gereja ini juga melibatkan pemerintah. Hal itu sebenarnya sudah dapat diprediksi, karena dalam PBM ada dua regulasi yang harus dipenuhi dalam pengurusan izin gereja, yakni regulasi pemerintah dan regulasi masyarakat. Mafia-mafia dalam pengurusan izin gereja ini bisa hadir dari pemerintah dengan birokrasinya, dan juga masyarakat. Birokrasi yang panjang ini mengakibatkan biaya pendirian gereja sangat besar. Dan itu juga yang menyebabkan pengurusan izin gereja memerlukan waktu yang amat panjang. Di Bekasi, pengurusan izin tercepat berlangsung selama dua tahun. Pendirian gereja yang sangat mahal itu mengakibatkan hanya gereja-gereja dengan jumlah jemaat yang besarlah yang dapat memenuhinya, sedang gereja- gereja yang kecil hanya dapat menempati ruang ibadah sementara di ruko-ruko dan harus siap menjadi sasaran penutupan kelompok-kelompok tertentu, dan juga pemerintah



daerah yang tidak memahami PBM dengan baik. Kondisi ini juga menimbulkan hubungan yang tidak baik dalam internal gereja, khususnya antara gereja berjumlah jemaat besar dan gereja dengan jemaat kecil. Apalagi umumnya gereja-gereja yang telah memiliki izin itu ‚enggan‛ meminjamkan gedung gereja mereka, meski sedang tidak digunakan.

Berdasarkan hasil penelitian di atas jelaslah bahwa menurut pendapat pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi, PBM tidak produktif dan implementasinya berdampak buruk dalam kehidupan antaragama di Bekasi. PBM terbukti dimanfaatkan kelompok-kelompok diskriminatif untuk menutup rumah- rumah ibadah. Padahal ada banyak rumah ibadah yang telah berdiri cukup lama, dan diterima baik oleh masyarakat, namun dengan memperalat peraturan yang bersifat diskriminatif itu, rumah-rumah ibadah itu pun mengalami gangguan. Beberapa di antaranya bahkan tutup dan pindah tenpat. Dari berbagai fakta itu, terbuktilah bahwa PBM 2006 memberikan legitimasi terhadap tindakan diskriminatif. PBM juga terbukti telah menghalangi hak komunitas agama untuk memiliki tempat beribadah.


KESIMPULAN

Berdasarkan Pancasila dan UUD 45, dokumen DUHAM 1948, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dokumen Deklarasi untuk Mengeliminasi Segala Bentuk Praktik Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on Elimination of All Forms Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief), Dokumen



Deklarasi untuk Melindungi Hak-hak Individu Minoritas untuk Bidang Nasionalitas/Etnis, Agama, dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities), jelaslah bahwa PBM bersifat diskriminatif dan telah merampas hak masyarakat Bekasi untuk mendirikan rumah ibadah yang dijamin oleh undang-undang di atasnya, dalam hal ini UUD 1945. Kehadiran PBM juga berdampak buruk dalam kehidupan internal agama, dan hubungan antaragama di Bekasi. Berdasarkan pendapat pemimpin- pemimpin gereja di Bekasi, PBM harus dicabut, karena syarat- syarat pendirian gereja berdasarkan PBM jelas-jelas telah membatasi hak umat beragama di Bekasi untuk memiliki tempat ibadah.


https://www.binsarhutabarat.com/2021/02/peraturan-pendirian-rumah-ibadah-perlu-dibatalkan.html

Saturday, January 30, 2021

Harapan Proteksi Ham di Indonesia

 





Harapan terhadap proteksi Ham di Indonesia sejatinya perlu terus terpelihara dan diusahakan oleh semua elemen bangsa Indonesia. Harapan perlindungan bukan sesuatu yang absurd untuk Indonesia yang tersohor dengan toleransinya.



Deklarasi universal hak asasi manusia yang disetujui dan diumumkan Perserikatan bangsa-Bangsa lewat resolusi 271 A (III) tanggal 10 Desember 1948 merupakan pernyataan harapan seluruh dunia. 

Pantaslah jika deklarasi tersebut dianggap sebagai ideologi universal dan menjadi sebuah tujuan yang harus dicapai, karena proteksi Ham belum merupakan kenyataan seutuhnya.

Tanggal 10 Desember seluruh dunia memperingati lahirnya hak-hak asasi manusia. Untuk Indonesia, hari itu juga menjadi hari yang khusus, bukan saja karena posisi Indonesia sebagai anggota Perserikatan bangsa-Bangsa, tetapi yang terpenting Indonesia juga pernah terpilih sebagai dewan HAM, dan  terakhir menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Lebih khusus lagi, pengakuan Indonesia terhadap deklarasi universal HAM telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amademen, sebagai tuntutan dari Reformasi yang harus dijalankan. Secara khusus, pengakuan tersebut dituangkan secara eksplisit dalam pasal 28 UUD 1945, yang juga merupakan transformasi dari sila-sila di dalam Pancasila. 

Persoalanya sekarang, apakah kata-kata indah dari nilai-nilai HAM  tersebut hanya sekedar harapan indah yang tak pernah menjadi kenyataan? Ataukah kata-kata indah tersebut telah diimplementasikan dengan indah di negeri ini dan tidak lagi menjadi suatu absurditas yang kemudian akan makin dijauhi banyak orang. Tulisan ini akan berusaha mencoba mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.


HAM di Indonesia 

Hak-hak asasi manusia merupakan tema besar yang menjadi buah bibir di era reformasi, dan isu  inilah yang juga turut mendorong gelombang Reformasi  dan mampu menggulingkan kekuasaan Soeharto yang absolut selama 30 tahun. 

Kecanggungan aparat keamanan dalam menangani konflik  besar maupun kecil yang akhirnya meluas dan menjadi sulit diatasi terkait ketakutan melakukan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tugasnya. Akibatnya proteksi HAM di Indonesia melahirkan sesuatu yang tidak produktif yaitu pelanggaran HAM baru. 


Realitas tersebut di atas terjadi karena aparat keamanan belum familiar dengan HAM sehingga sering kali menimbulkan keragu-raguan dalam bertindak, bukan karena nilai-nilai Ham itu memiliki kontradiktif dalam dirinya.

Isu HAM itu baru mendapatkan perhatian yang besar di Era Reformasi, sehingga tidak  mengherankan jika sepanjang perjalan kemerdekaan Potret HAM di Indonesia baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru sangat memprihatinkan. 

Kenyataan tersebut terjadi karena nilai-nilai deklarasi universal HAM belum mendapatkan tempat yang pantas baik dalam UUD 1945 sebelum amandemen, maupun undang-undang dibawahnya.

Pada masa Soekarno, HAM dianggap sebagai produk Barat yang kental dengan nilai-nilai individualisme karya kaum imprialis yang melahirkan kolonialisme. Menurut Soekarno, barat tidak mungkin menghargai HAM yang telah dilanggarnya dalam waktu cukup lama. Masa itu, di Indonesia tidak mendapat tempat dihati pemerintah. 

Bagi Soekarno, HAM yang individualisme tidak cocok dengan budaya Indonesia yang bersifat komunalis, mengingat nila-nilai indivudualisme menurut Proklamator RI ini  sangat berbahaya bagi keutuhan Indonesia yang sedang menghadapi rongrongan bangsa penjajah yang ingin kembali menancapkan kukunya di bumi Indonesia. 

Segala sesuatu yang berbau individualisme harus ditabukan, termasuk HAM. Memang Pancasila mengakui hak-hak asasi manusia, namun transformasinya dalam undang-undang dasar dan undang-undang dibawahnya sangat minim. 

Pada masa itu diskriminasi agama terus terjadi. Bermula dari suatu konsesi yang melahirkan kementerian agama, kemudian agama-agama mengalami pemasungan secara khusus kelompok minoritas.  Aliran kebatinan dan agama-agama suku yang dijadikan ladang misi agama-agama   adalah korban yang paling merasakan diskriminasi tersebut, bahkan terus berlangsung hingga saat ini.

Penolakan Soekarno terhadap segala sesuatu yang berbau individualisme kemudian memberikan andil besar bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru yang sangat despotis. 

Pada masa Orde Baru, agama-agama makin mengalami pemasungan, bahkan Konghucu yang pada masa orde lama diakui, pada masa orde baru tidak lagi diakui. Pemerintahan Soeharto yang otoriter yang didahului dengan lembar hitam pelanggaran hak-hak asasi manusia  terus mempertontonkan kekerasan terhadap HAM.

Pada masa Soeharto agama-agama makin erat terbelenggu, bukan hanya pembatasan agama resmi, tetapi juga penolakan terhadap bidat yang didukung oleh mainstream. Belum lagi peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif, baik dalam peraturan perkawinan, SKB 2 menteri yang kemudian diperbaharui dengan semangat yang sama dalam PBM (Peraturan Bersama Menteri), Peraturan pendidikan dan lain-lain. 

Pelanggaran HAM juga makin telanjang ketika kita berbicara pembangunan yang tidak seimbang antara Jawa dan luar Jawa, serta pengerukan hasil-hasil tambang ke kota Metropolitan dengan melestarikan kemiskinan di daerah-daerah yang hasil tambangnya  melimpah. 

Pada Era Reformasi tuntutan keseimbangan pembangunan disetujui dengan otonomi daerah sebagai alternatif. Semua kenyataan itu merupakan bukti masih suramnya potret HAM di Indonesia. 


Harapan

Salah satu tenaga pendorong yang kuat dalam melahirkan Reformasi adalah tuntutan diimplementasikannya HAM dalam kehidupan berbangsa. 

Tidaklah mengherankan jika kemudian dalam amandemen UUD 1945 nilai-nilai HAM mendapatkan tempat penting. Adanya nilai-nilai HAM universal ini tentunya menjadi harapan bagi semua orang di Indonesia untuk memperoleh proteksi HAM yang lebih baik.

Aturan hukum yang jelas tentunya menjadi panduan penting bagi evaluasi implementasi HAM di Indonesia. Harapan proteksi HAM yang lebih baik juga muncul ketika Indonesia mulai meratifikasi undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil dan Politik,   sehingga Indonesia menjadi Negara pihak (State Parties) yang terikat dengan konvensi ICCPR.

Indonesia kini masih harus berjuang keras untuk menegakkan nilai-nilai HAM yang universal. Lihatlah kerusuhan-kerusuhan masal yang terjadi di awal reformasi dan masih terus terjadi hingga kini.

Konflik di Poso, konflik Ambon, Kalimantan dalam skala besar, yang sudah mulai reda, namun kekuatiran akan terjadinya konflik masih melekat di hati dan pikiran banyak orang disana. 

Nyawa masih sangat mudah melayang tanpa tahu siapa yang melakukannya, kasus Munir adalah bukti dari realitas tersebut, belum lagi kasus Semanggi, Tanjung Priuk dan lain-lain. 

Pengusiran terhadap kelompok-kelompok minoritas masih sering terjadi, dengan alasan penodaan agama dan umat beragama yang berbeda agama saling menghancurkan sesamanya. 

Selain itu, Indonesia masih menjadi tempat yang rawan konflik serta  membahayakan bagi kelompok-kelompok minoritas, padahal mereka masih sesama bangsa yang memiliki hak-hak yang sama. 

Pembalakan liar yang memiskinkan masyarakat desa, serta gerakan anti korupsi yang tak kunjung membuahkan hasil yang signifikan, meski pada basa bencana nasional covid-19 sekalipun, semuanya itu tentu akan mendorong pada kesimpulan bahwa nilai-nilai HAM yang indah masih hanya menjadi pajangan atau sekedar slogan. 

Mengharapkan Perlindungan HAM untuk menjadi kenyataan nampaknya makin menjadi suatu absurditas. Lantas, bagaimanakah perjalanan HAM di Indonesia pada masa yang akan datang? 

Perjuangan Bersama

Nampaknya kita mesti berjuang lebih keras untuk terus menumbuhkan harapan adanya implementasi HAM di Indonesia, mudah-mudahan kita tetap bisa sabar dalam kondisi ini dan menjadi siuman, bahwa penegakkan HAM adalah perjuangan bersama semua warga bangsa. 

Jika kesadaran ini ada, niscaya kesadaran HAM akan menumbuhkan harapan baru serta melahirkan kenyataan-kenyataan indah tentang indahnya hidup dalam kebersamaan.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

Friday, January 29, 2021

Perda Manokwari Kota Injil







  PERDA MANOKWARI KOTA INJIL: MAKNA DAN KONSEKUENSI BAGI GEREJA-

GEREJA DI INDONESIA


Binsar A. Hutabarat

Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society


ABSTRACT: This article entitled "Provincial Regulation of Gospel City Manokwari: Significance and Consequences for the Churches in Indonesia" will first explore the presence of Provincial Regulation (Perda or peraturan daerah) of Gospel City Manokwari. The article is based on data collected by the author in a field research in areas related to the initiation of these regulations, and particularly in Manokwari. The author will then analyze this regulation from the standpoint of Christian theology, and further explain the implications of these regulations for the churches in Indonesia. The findings from this study is that Provincial Regulation of Gospel City Manokwari, which is initiated in Manokwari, Papua, is not part of Indonesian Christians strategy in general, and even become a detriment of the testimony of churches in Indonesia.


KEYWORDS: Provincial Regulation (Perda or Peraturan Daerah) on religion, Perda on Gospel, the Gospel City Manokwari, state and religion, Christian theology


ABSTRAK: Artikel yang berjudul ‚Perda Manokwari Kota Injil: Makna dan Konsekuensi bagi Gereja-gereja di Indonesia‛ ini



pertama-tama akan memaparkan mengenai kehadiran Perda (Peraturan Daerah) Manokwari Kota Injil. Pemaparan tersebut didasarkan pada data-data yang dikumpulkan penulis dalam penelitian lapangan di Manokwari khususnya dan juga daerah lain yang terkait dengan dicetuskannya Perda tersebut. Kemudian penulis akan menganalisis Perda tersebut dari sudut pandang teologi Kristen, dan selanjutnya menjelaskan mengenai konsekuensi kehadiran Perda tersebut bagi gereja- gereja di Indonesia. Temuan dari kajian ini adalah bahwa Perda Manokwari Kota Injil yang dicetuskan di Manokwari, Papua, tersebut bukan bagian dari strategi umat Kristen Indonesia pada umumnya, dan justru merugikan kesaksian gereja-gereja di Indonesia.


KATA KUNCI: perda (Peraturan Daerah) agama, Perda Injil, Manokwari Kota Injil, negara dan agama, teologi Kristen


PENDAHULUAN

Kehadiran berbagai Perda (Peraturan Daerah) bernuansa agama di Indonesia pada umumnya memang tidak secara terang-terangan menamakan dirinya sebagai Perda agama. Namun, melihat isinya yang memuat nilai-nilai agama tertentu jelas menunjukkan bahwa itu adalah sebuah Perda agama.1


1 Perda berbasis syariat itu setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu: (i) ketertiban masyarakat seperti pelarangan aktivitas pelacuran dan pembatasan distribusi konsumsi minuman beralkohol; (2) kewajiban dan ketrampilan keagamaan seperti pembayaran zakat dan



Perda ini biasa disebut Perda yang melanggar hak-hak asasi manusia karena isinya terindikasi mendiskriminasikan agama- agama lain. Perda bernuansa agama sukses diberlakukan di beberapa provinsi di Indonesia. Berbekal dukungan mayoritas, Perda bernuansa agama itu setidaknya telah diberlakukan di tingkat provinsi (6), kabupaten (38), kota (12).2 Pengalaman sukses menghadirkan Perda agama itu ternyata telah mendorong agama-agama lain yang terdiskriminasikan untuk juga menghadirkan Perda agama pada daerah di mana agama- agama tertentu menjadi mayoritas, seperti misalnya terkait kehadiran Perda Kota Injil di Manokwari yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Timbul pertanyaan, apakah kehadiran Perda Manokwari Kota Injil yang awalnya merupakan usulan tokoh-tokoh agama Kristen tentang ‚Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual‛3 yang kemudian direspon oleh pemerintah daerah Manokwari, dan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) itu bisa disebut sebagai bagian dari strategi gereja dalam merespon maraknya Perda-Perda syariah di berbagai daerah di Indonesia? Dan apakah konsekuensinya bagi gereja-gereja di


kemampuan baca Al Quran; dan (3) simbolisme keagamaan berupa pakaian busana Muslim. Arskal Salim, ‚Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM‛, Jurnal Perempuan, No. 60 (September 2008).

2 Lihat ‚Proyek Syariahisasi Daerah‛, Reformed Review, Vol I, No. 1. (2007), 50-57.

3 Lihat, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Manokwari Sebagai Daerah Injil tahun 2007. Lihat juga, Naskah Akademik Rancangan Perda tentang Pembinaan Mental Spiritual tahun 2008.



Indonesia.


MANOKWARI SELAYANG PANDANG

Papua adalah daerah terakhir yang masuk menjadi bagian wilayah Republik Indonesia. Tepatnya, tanggal 1 Mei  1963, Irian Barat—kini disebut Papua—resmi menjadi wilayah Republik Indonesia.4 Nama Irian Barat kemudian diganti menjadi Irian Jaya. Nama ini adalah usulan Frans Kaisepo, seorang yang pernah menjadi gubernur Papua. Nama Irian populer sebagai akronim ‚Ikut (pro) Republik Indonesia Anti Nederland‛. Nama Irian Jaya Barat ini ditetapkan oleh Undang Undang Nomor 45 Tahun 1999, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diubah kembali menjadi Papua atas usulan masyarakat Papua.5

Rakyat Papua sesungguhnya tidak ingin daerahnya terbagi-bagi, karena umumnya mereka mengakui sebagai sebuah komunitas yang satu, yakni provinsi Papua. Itulah


4 Provinsi Papua baru kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963, itu pun masih harus melewati Proses Penentuan Pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, meski Papua adalah bagian yang tak terpisahkan dari apa yang dikenal dengan Indonesia Raya, sebagaimana dikemukakan oleh Blaskett. Enam hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya tanggal 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengumandangkan kebijakan persatuan Indonesia, ‚Dari Sabang Sampai Merauke.‛ Lihat, Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI (Jakarta: Sinar Harapan, 2005), 4.

5 Demmy Antoh, Rekonstruksi danTransformasi Nasionalisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007). 30



sebabnya kehadiran Provinsi Papua Barat awalnya menimbulkan kontroversi, namun, akhirnya berhasil dicapai kesepakatan. Karena pada umumnya orang Papua tidak ingin terpisah menjadi beberapa provinsi. Masyarakat Papua mengakui bahwa mereka adalah satu, dan mesti berada dalam satu provinsi, yaitu Provinsi Papua. Pemekaran daerah oleh sebagian orang Papua dianggap sebagai ancaman bagi orang- orang asli Papua.6 Pemekaran daerah dicurigai menjadi alat untuk memecah belah Papua.

Manokwari adalah ibu kota Provinsi Papua Barat, sebuah provinsi baru setelah dimekarkan dari Provinsi Papua7 (Irian Jaya). Setelah pemekaran, Papua dibagi menjadi dua provinsi yakni Provinsi Papua dengan ibu kota Jayapura, dan Papua Barat dengan ibu kota Manokwari. Usulan pemekaran untuk Papua masih terus berlangsung, dan menimbulkan banyak kontroversi. Persoalan utamanya adalah usulan pemekaran bukan berasal dari masyarakat Papua, tetapi dari luar Papua.

Papua Barat merupakan daerah yang memiliki potensi luar biasa, baik kesuburan alamnya, kandungan barang-barang tambang, hasil hutan maupun keindahan alamnya sebagai


6 Pemekaran Provinsi dan kabupaten di Tanah Papua Barat adalah ancaman bagi orang-orang asli Papua, tetapi sebaliknya keuntungan dan peluang besar bagi orang-orang Indonesia (orang luar Papua). Socratez Sofyan Oman, Pemusnahan Etnis Melanesia (Yogyakarta: Galang Press, 2007), 435.

7 Nama Papua berasal dari kata dalam bahasa Melayu, yaitu ‚pua- pua‛ yang berarti ‚rambut keriting‛ dan kemudian disingkat Papua. Rainer Scheunemann, ed., Fajar Merekah di Tanah Papua (Papua: Panitia Jubelium Emas 150 Tahun Papua, 2005), 30.



tempat pariwisata. Belum lagi hasil laut seperti mutiara dan rumput laut. Papua Barat juga telah memiliki industri tradisional tenun ikat kain timor yang dihasilkan di Sorong. Papua Barat sendiri terbagi atas 9 kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten Fak-Fak, Kaimana, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Kota Sorong. Sedang Manokwari sebagai ibu kota provinsi terbagi atas 12 kecamatan dan 132 desa. Kabupaten Manokwari biasa disebut sebagai kota buah-buahan, karena kesuburan tanahnya yang menghasilkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Manokwari juga memiliki suku-suku yang majemuk. Penduduk asli Manokwari terdiri dari beberapa suku, yaitu Sough, Karon, Hatam, Meyeh dan Wamesa, dan suku-suku itu memiliki budaya yang berbeda satu sama lain.

Manokwari diakui sebagai pintu gerbang masuknya Injil ke Tanah Papua. Tiap tahun di kota itu, khususnya Pulau Mansinam, yang berada dalam lingkup Kabupaten Manokwari, masyarakat dari berbagai penjuru Papua tumpah ruah ke tempat tersebut untuk merayakan masuknya Injil ke Tanah Papua. Itulah sebabnya julukan Kota Injil untuk Manokwari bukan sesuatu yang baru, karena telah melekat lama di benak orang Papua, walaupun formalisasi sebutan itu baru dikenakan ketika Dominggus Mandacan terpilih sebagai Bupati Manokwari.


MAKNA PERDA MANOKWARI KOTA INJIL

Pemicu yang paling kuat lahirnya usulan kontroversial tokoh-tokoh agama Kristen di Papua dalam bentuk Perda Injil



adalah pembangunan Masjid Raya, sebuah masjid yang berada pada tempat yang strategis, dekat lapangan udara Manokwari, dan dianggap berpotensi menghapus tanda-tanda Manokwari sebagai Kota Injil.

Tokoh-tokoh agama Kristen di Papua umumnya sepakat bahwa kehadiran Masjid Raya di Manokwari telah melukai perasaan umat Kristen Papua, dan menimbulkan perasaan terdiskriminasikan. Penolakan terhadap Masjid Raya itu datang dari berbagai kalangan umat Kristen di Papua. Kekecewaan ini selalu saja dihembuskan tokoh-tokoh agama Kristen di Papua, bahkan ini juga diutarakan oleh pejabat-pejabat lembaga pemerintahan yang beragama Kristen di Papua, baik eksekutif, maupun legislatif. 8

Pada akhir tahun 2005, umat Muslim Manokwari memutuskan untuk membangun Masjid Raya. Rencana pembangunan Masjid Raya itu mendapat dukungan dari Wakil Gubernur, Rahimin Kacong, yang sedang mencari dukungan pemilih Muslim untuk memenangkan pemilihan kepala daerah pada bulan Maret 2006. Rumor yang muncul di masyarakat adalah pembangunan Masjid Raya itu akan disertai dengan Islamic Center yang terbesar di Asia Tenggara.9 Hal yang memperkeruh adalah, Rahimin Kacong memainkan kartu agama dengan menjanjikan pemberian IMB apabila ia terpilih





2007.


8 Wawancara penulis dengan tokoh-tokoh agama Kristen di Papua,


9 Lihat ‚Indonesia: Comunal Tension in Papua‛, Asia Report, No.154


(16 Juni 2008).



sebagai wakil Gubernur Papua Barat. Ini membuktikan bahwa konflik agama di Papua ternyata tidak bisa dilepaskan dari pengaruh negatif politisasi agama, yang merugikan agama- agama itu sendiri.

Bagi pemimpin-pemimpin gereja Papua, pembangunan Mesjid Raya itu bertentangan dengan kondisi Manokwari yang sejak lama diakui sebagai Kota Injil, sekalipun sebutan Kota Injil itu belum diformalkan. Masjid Raya yang besarnya melampaui gereja-gereja yang pernah ada di Manokwari dikhawatirkan akan merusak keindahan Manokwari sebagai Kota Injil. Apalagi usaha tersebut ternyata melibatkan pejabat pemerintahan daerah. Penolakan umat Kristen terhadap pembangunan Masjid Raya juga didasarkan pada kenyataan bahwa umat Muslim di Manokwari tidak sedang kekurangan tempat untuk beribadah. Pada hari-hari raya besar umat Muslim memang menggunakan lapangan-lapangan sepak bola sebagai tempat beribadah seperti misalnya untuk merayakan Idul Fitri, namun kebiasaan ini bukan karena tempat-tempat ibadah Muslim tidak cukup untuk menampung umat Muslim beribadah, tetapi karena pada hari raya Idul Fitri umat Muslim dari berbagai tempat biasanya beribadah bersama. Namun pada hari-hari biasa kebutuhan itu tidak ada, masjid-masjid yang ada di Manokwari cukup untuk menampung umat muslim beribadah.

Pdt. Albert Yoku, wakil Sekretaris Sinode GKI (Gereja Kristen Injili di Tanah Papua), di Sentani, Jayapura. Menjelaskan, ‚persiapan untuk membangun Mesjid Raya dan Islamic Center itu sudah dikerjakan sejak 2003-2004. Padahal, di



Kota Manokwari setiap tahun ada perayaan besar agama Kristen   yang   dirayakan   setiap 5  Februari, hari perayaan masuknya Injil ke Tanah Papua yang dipusatkan di Pulau Mansinam. Sejarah melaporkan bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5 Februari 1855, bernama Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika pertama kalinya menjejakkan kaki di Pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, kedua missionari itu mengucapkan kata-kata penting yang sampai saat ini dipegang oleh masyarakat Kristen Papua, ‚Im Namen Gottes betreten wir dieses Land‛ ‚Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini.10 Pernyataan dua missionari yang digelari ‛Rasul Papua‛

itu oleh masyarakat Kristen Papua dipercaya sebagai suatu penetapan Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai tanah milik Tuhan, yang kemudian mereka sebut Kota Injil atau daerah Injil, karena Manokwari adalah pintu gerbang masuknya Injil ke Tanah Papua. Perayaan masuknya Injil ke Tanah Papua dirayakan oleh orang Kristen Papua. Mereka biasanya, dari berbagai daerah di Papua, tumpah ruah di Pulau Mansinam. Pemerintah juga ikut terlibat memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu. Tokoh-tokoh agama Papua menyesalkan, ‚mengapa di tempat itu harus dibangun Mesjid Raya yang besarnya melampaui gereja-gereja yang ada di Kota Manokwari.‛11


10 Lihat B. Dimara, et al., Sejarah 52 Tahun GKI Sesudah 152 Tahun Zending di Mansinam, Tanah Papua (Jakarta: Yayasan Triton Papua, 2007).

11 Lihat Binsar A. Hutabarat, ‚Perda Agama (Injil) dalam Perspektif



Mayoritas Kristen Papua memiliki pandangan yang sama dengan Pdt. Albert Yoku, bahwa mereka merasa terpinggirkan karena perayaan-perayaan besar mereka akan ditelan kemeriahan kehadiran Masjid Raya, dan mereka menjadi khawatir dengan masa depan anak-anak mereka yang senantiasa diperhadapkan dengan simbol-simbol agama Islam, sedang pada sisi yang lain simbol-simbol agama Kristen makin terpinggirkan.

GKI adalah gereja yang dapat dikategorikan  sebagai gereja yang cukup toleran, namun pertumbuhan umat Muslim yang mencengangkan di Papua ternyata telah melahirkan hegemoni Islam yang termanifestasi dalam pembangunan masjid yang besarnya melampaui rumah-rumah ibadah Kristen. Hal itu mengancam eksistensi Kristen Papua, termasuk GKI. Umat Kristen menganggap pendirian Masjid Raya adalah wujud intoleransi umat Muslim Papua yang memarginalkan Kristen Papua. Tokoh-tokoh agama di Papua menjadi semakin terancam ketika mengetahui, kemudahan yang selama ini diberikan kepada umat Muslim ternyata tidak sama dengan yang dialami oleh umat Kristen di daerah-daerah lain. Laporan jumlah gereja yang terbakar atau dirusak juga dilaporkan kepada masyarakat Kristen di Papua. Gema Indonesia sebagai negara juara pembakaran rumah ibadah telah menimbulkan perasaan terancam umat Kristen Papua yang terkenal amat toleran. Mereka khawatir, diskriminasi yang menimpa umat Kristen di berbagai daerah pada gilirannya juga akan menimpa


Kristiani‛, Jurnal Perempuan, Vol. 60 (2008).



umat Kristen di Papua.

Minimnya promosi dan pembicaraan tentang Pancasila sebagai dasar negara dan dasar hidup bersama Masyarakat Indonesia pada era Reformasi menimbulkan kekhawatiran yang amat mendalam. Masyarakat Papua beranggapan bukan mustahil Pancasila akan hanya tinggal slogan yang tidak lagi diakui sebagai cara pandang bangsa Indonesia yang harus mewujud dalam kehidupan semua warga negara Indonesia. Kondisi itu menyebabkan tokoh-tokoh agama di Papua berusaha untuk memproteksi diri dengan menghadirkan Perda Kota Injil. Tekad masyarakat Kristen Papua untuk menghadirkan Perda Kota Injil tak bisa dipisahkan dari demonstrasi menolak kehadiran Masjid Raya di Kota Manokwari pada 17 November 2005. Ribuan pendemo (ada kira-kira 5.000 orang lebih) memprotes pembangunan Masjid Raya di Manokwari. Ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa Kristen, warga gereja dan pemimpin-pemimpin gereja yang berasal dari 30 denominasi gereja, berdemonstrasi ke kantor DPRD Provinsi Papua Barat. Mereka berkumpul di GKI Maranatha, dekat kompleks DPRD, kemudian dengan berjalan kaki mereka tumpah ruah di gedung DPRD kabupaten Manokwari. Mereka diterima oleh Ketua DPRD Provinsi Papua Barat dengan didampingi Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan, dan Kapolres dan Dandim setempat. Pada waktu  itu juga para pendemo mendesak untuk menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil.

Mereka menuntut, pembangunan tempat-tempat ibadah mesti memperhatikan keberadan Manokwari sebagai Kota Injil,



dan juga peristiwa pembangunan Masjid Raya yang menimbulkan rasa terancam umat Kristen itu tidak boleh terulang lagi. Atas dasar kecurigaan bahwa usaha pembangunan Masjid Raya akan terus diupayakan dengan segala cara, para pendemo kemudian menuntut agar Manokwari ditetapkan sebagai Kota Injil secara formal. Sebutan Manokwari Kota Injil menurut tokoh-tokoh agama di Papua dapat disamakan dengan sebutan ‚Jombang Kota Santri‛, atau

‚Aceh Serambi Mekkah‛, namun karena penetapan Manokwari Kota Injil terkait usaha ‚membendung‛ misi Islam di Papua, maka penetapan Manokwari sebagai Kota Injil telah menimbulkan perasaan terdiskriminasikan umat Islam Papua, dan juga umat Islam yang berada di seantero Indonesia.

Penetapan Manokwari sebagai Kota Injil ternyata tidak cukup memuaskan tokoh-tokoh agama Kristen di Papua. Mereka berpendapat, masyarakat Papua, khususnya mereka yang beragama Kristen ternyata belum memiliki komitmen yang kuat untuk hidup sesuai dengan Injil. Padahal, pada saat yang sama arus migrasi ke Papua telah mengubah wajah Papua yang mulanya memiliki populasi Kristen lebih tinggi, dan kini dengan adanya migrasi penduduk yang beragama Islam, populasi muslim di Papua bertambah dengan pesat, khususnya pada kota-kota besar. Penduduk muslim yang datang dengan membawa simbol-simbol agama itu kemudian mengubah wajah kota Manokwari, yang kemudian dipenuhi dengan atribut-atribut muslim.

Tokoh-tokoh agama Papua kemudian bergerak lebih jauh dengan mengusulkan aturan-aturan yang dapat dituangkan



dalam bentuk Perda yang bersifat memaksa orang Kristen untuk hidup selaras dengan aturan Injil demi melestarikan Manokwari sebagai Kota Injil sebagaimana layaknya Perda- Perda syariah yang memaksa umat muslim menaati syariah. Kota Manokwari sebagai Kota Injil mutlak dipenuhi dengan simbol-simbol kekristenan, bukan simbol agama-agama lain. Selang beberapa bulan setelah aksi demo penolakan pembangunan Masjid Raya, lahirlah Perda Miras (larangan minuman keras) pada bulan Desember 2006.12 Perda tersebut ditetapkan dalam usaha untuk mengukuhkan keberadaan Manokwari sebagai Kota Injil. Perda itu diakui berisi nilai-nilai Injil, karena penggagasnya adalah komunitas Kristen, dalam hal ini gereja-gereja. Namun, nilai-nilai itu juga dapat diterima oleh umat beragama lain, karena memang nilai-nilai itu diakui bersifat universal.

Perda Miras mendapat sambutan hangat dari masyarakat Manokwari, karena dengan hadirnya Perda Miras, keamanan di Manokwari menjadi lebih baik, gangguan para pemabuk yang biasanya hadir pada malam hari sebelum diberlakukannya Perda Miras, menurun secara drastis. Manokwati menjadi kota yang nyaman untuk pendatang, juga bagi penduduk yang ingin berjalan-jalan di malam hari, demikian juga bagi mereka yang biasa berdagang pada malam hari. Karena itu, kelahiran Perda larangan minuman keras itu dianggap cukup efektif untuk


12 Lihat, Peraturan Daerah Kabupaten Manokwari Nomor 05 Tahun 2006 tentang Larangan Pemasukan, Penyimpanan, Pengadaan dan Penjualan Minuman Beralkohol.



menjaga keindahan Kota Manokwari sebagai Kota Injil.

Pada tanggal 1-2 Februari 2007, dalam rangka memperingati 152 tahun masuknya Injil di Papua, diadakanlah seminar dan lokakarya atas kerja sama Pemda Manokwari, Universitas Cendrawasih (UNCEN), STT-GKI dan Universitas Papua (UNIPA), yang dihadiri oleh tokoh-tokoh gereja dari berbagai denominasi, tokoh perempuan dan pemuda, bertempat di Gereja Kristen Injili Elim Kuali, yang dibuka oleh Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan.13 Pada akhir seminar itu diajukanlah usulan ‚Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual‛ untuk Manokwari sebagai daerah Injil, dan lebih dikenal dengan sebutan ‚Perda Manokwari Kota Injil‛. Usulan tersebut dituangkan dalam format yang berbentuk Perda, dan kemudian menyebar tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, berita itu menjadi laporan utama di media- media massa.

Manokwari yang terletak jauh di ujung timur itu menjadi buah bibir bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, karena radio Nederland juga pernah mewawancarai tokoh- tokoh masyarakat Papua, dan isinya beredar luas di media massa, dan karena penyebaran berita yang begitu cepat, meski Raperda Injil itu baru wacana, baru berupa usulan masyarakat Kristen Papua tentang bagaimana melindungi moral masyarakat, kehadiran usulan tokoh-tokoh agama Kristen perihal bagaimana menata Manokwari sebagai daerah Injil itu


13 Sambutan Bupati Manokwari, Pembukaan Lokakarya, Perayaan Hari Ulang Tahun Ke-152 Pekabaran Injil di Tanah Papua, 1 Februari 2007.



telah melahirkan kontroversi. Kekhawatiran bahwa usulan tokoh-tokoh agama Kristen tersebut akan diterima pemerintah daerah dan dituangkan dalam bentuk Perda sangat beralasan, karena penduduk Manokwari mayoritas beragama Kristen. Apalagi, sebanyak 20 dari 25 anggota DPRD Manokwari ketika Perda itu dimunculkan diketahui memeluk agama Kristen.

Pada bulan Mei 2008 pemerintah daerah Manokwari kemudian mengakomodasi usulan tokoh-tokoh agama Kristen tersebut, dan lahirlah ‚Raperda Tentang Penataan Manokwari Sebagai Kota Injil.‛14 Meski Raperda ini berbeda dari draft usulan tokoh-tokoh agama Kristen, dan isinya lebih kurang diskriminatif,15 Raperda tentang Penataan Manokwari Sebagai Kota Injil itu ternyata kandas di tangan DPRD Manokwari. Namun, kegagalan menghadirkan Perda tentang Penataan Manokwari Kota Injil sesungguhnya tak pernah sirna di hati pendukung Perda Manokwari Kota Injil, apalagi jika perlakuan diskriminatif berupa pembakaran, perusakan, dan penutupan gereja terus terjadi di daerah-daerah mayoritas Islam di negeri ini, dan pemerintah terus membiarkannya, atau bahkan terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.







14 Raperda Tentang Penataan Manokwari Sebagai Kota Injil, 2008.

15 Lihat Raperda Penataan Kota Injil, 2008. Misalnya, dalam Raperda Penataan Kota Injil 2008, larangan penggunaan jilbab tidak dituliskan.



PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TERHADAP PERDA MANOKWARI KOTA INJIL

Pemisahan antara negara dan gereja (agama) merupakan sesuatu yang harus ada menurut sudut pandang kristiani, karena negara dan agama memiliki kodrat yang berbeda. Yesus secara tegas juga mengatakan ‚Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah (Lukas 20:25)‛. Selanjutnya dalam Roma 13:1-7, dijelaskan mengenai kekuasaan dari negara di mana tugas negara adalah untuk menegakkan keadilan Allah dalam rangka pemeliharaan dunia. Negara mendapatkan wewenang dari Allah dan harus bertanggung jawab kepada Allah. Singkatnya, fungsi negara adalah sebagai alat Allah untuk menghukum kejahatan, dan mengusahakan kebaikan bagi seluruh rakyat. Kemudian untuk melaksanakan fungsinya itu negara diberi wewenang untuk memaksa. Gereja harus tunduk kepada wewenang negara yang diberikan oleh Allah, namun ketundukan gereja kepada negara bukanlah ketundukan tanpa batas, karena gereja hanya tunduk kepada pemerintah sepanjang negara menjalankan wewenangnya dengan baik, dan negara tidak boleh menghalangi gereja untuk menjalankan panggilannya yang telah ditetapkan oleh Allah, dan negara juga tidak boleh memasuki wewenang gereja yang bersumber dari Allah.

Mengenai keterpisahan antara gereja dan negara ini, Christian de Jonge menyarikan pandangan Agustinus dalam bukunya De Civitate Dei seperti berikut:



Gereja di dunia ini adalah persekutuan semua warga negara Allah yang sedang menuju ke keselamatan surgawi dan gerejalah yang melayankan kepada anggotanya semua yang perlu untuk keselamatan itu, yaitu Firman dan sakramen- sakramen. Negara pada dasarnya dinilai negatif, karena negara, berbeda dengan gereja, tidak didasarkan kasih, melainkan pada kuasa. Manusia yang berdosa memakai kuasa biasanya untuk tujuan yang jahat, yaitu penindasan sesama manusia. Akan tetapi sejak keselamatan dinyatakan dalam dunia, negara pun dapat melakukan sesuatu yang positif, yaitu mempergunakan kuasanya untuk melindungi orang yang baik terhadap orang yang jahat dan mengendalikan kuasa dosa. Oleh sebab itu pemerintahan Kristen dapat ikut menyumbang kepada kemajuan negara Allah.16


Dalam pandangan Kristen gereja merupakan sesuatu yang terpisah dari negara, namun keterpisahan tersebut bukanlah keterpisahan total, sehingga negara menjadi negara yang sekuler, di mana agama dimasukkan dalam dunia privat. Tetapi gereja harus memberikan sumbangsih dalam menjaga tugas negara untuk menjalankan tugasnya dengan baik, sebagaimana yang diberikan oleh Allah, namun gereja tidak dapat menguasai negara, karena negara dan gereja mempunyai wewenang yang berbeda dan bersumber dari Allah, keduanya sama-sama bertanggung jawab kepada Allah sang pemberi


16 Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 264.



wewenang tersebut.

Perbedaan antara wewenang gereja dan negara dalam prakteknya tidak selalu berjalan dengan mulus. Karena negara dan gereja sama-sama menuntut ketaatan dan komitmen yang total dari warganya. Problem terjadi ketika kedua kekuatan besar yang menuntut ketaatan mutlak tersebut bersinggungan. Untuk menghindari terjadinya pemasungan kebebasan manusia dalam persinggungan tersebut ada beberapa pola yang ditempuh oleh manusia. Pertama, pemisahan mutlak antara agama dan negara. Kedua, menundukkan yang satu dengan yang lainnya, dalam bentuk agama negara (agama tunduk kepada negara) atau dalam bentuk negara agama (negara tunduk pada agama).17

Pola-pola sebagaimana dijelaskan di atas terjadi dalam perjalanan sejarah dalam hubungan antara negara dan gereja. Pola hubungan gereja yang berada di atas negara nyata dalam Tradisi Katolik Roma yang memahami eksistensi negara bersumber pada hukum kodrat, dimana pada hakekatnya gereja dan negara adalah dua entitas yang otonom, baik gereja maupun negara mempunyai kekuasaan yang berbeda. Secara institusional yang satu tidak menguasai yang lain. Walaupun gereja dan negara terpisah, keduanya sering kali bersinggungan. Keduanya tidak mungkin terpisah secara total karena orang-orang yang sama adalah warga negara dan juga warga gereja. Memang hukum negara adalah wewenang


17 Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 130.



negara, namun isi dari hukum tersebut terkait erat dengan kepentingan gereja. Sehingga dalam situasi tersebut ada pertentangan siapa yang memegang kekuasaan dalam masyarakat Kristen. Dan pada waktu itu warga gereja secara bersamaan adalah warga negara. Karena kepentingan gereja terhadap isi hukum negara, maka gereja menuntut kuasa atas negara. gereja menundukkan negara di bawahnya.18

Tuntutan gereja untuk mempunyai kuasa atas negara merupakan penyimpangan dari wewenang gereja, akibatnya terjadi pengekangan kebebasan manusia, karena kekuasaan gereja yang berada di atas negara membuat kekuasaan menjadi absolut, dan mengabaikan semua yang berbeda dari gereja. Hal tersebut terjadi karena sejak jatuh ke dalam dosa, manusia tidak dapat melaksanakan hukum kodrat secara sempurna. Seharusnya keterlibatan gereja dalam negara tidak didasarkan untuk menguasai negara, tetapi untuk menolong negara berlaku sesuai dengan kodratnya. Namun demi mempertahankan eksisitensinya, karena gereja mempunyai kepentingan dengan hukum-hukum negara, maka menguasai negara merupakan godaan yang tidak mudah bagi gereja yang memasuki dunia politik. Kekuasaan gereja yang melampaui batas wewenangnya ini mengakibatkan terjadinya pengekangan terhadap kebebasan manusia, terutama terjadi dalam abad pertengahan.19



18 Ibid., 148.

19 Lihat De jonge, Apa Itu Calvinisme? 264-266.



Perubahan hubungan antara gereja dan negara terjadi pada pemikiran Reformasi. Apabila tradisi Roma Katolik melihat eksistensi negara bersumber dalam hukum kodrat, maka reformasi melihat negara dalam persfektif kejatuhan manusia. Artinya, dalam usaha memelihara dunia yang telah jatuh dalam dosa. Allah menciptakan institusi negara sebagai bagian dari ordo pemeliharaan. Jadi negara tidak termasuk dalam ordo penciptaan, sehingga negara sebagaimana pandangan Agustinus dilihat secara negatif walaupun tidak berarti bahwa negara tidak berguna. Bagi Luther institusi negara dalam dirinya bersifat negatif karena negara tidak menghasilkan kebaikan, ia hanya untuk mencegah kejahatan. Dan kekuasaan negara sering kali mudah untuk diselewengkan, namun demikian negara perlu ada untuk menghindari anarki, karena bagi Luther tirani lebih baik dari pada anarki.20

Dalam teori dua kerajaannya Luther menggambarkan bahwa negara dan gereja adalah memiliki kewenangan yang berbeda. Negara mempunyai wewenang dalam urusan kesejahteraan, sedang gereja dalam urusan-urusan spiritual. Dan gereja tidak boleh melawan pemerintah, kecuali negara mencampuri urusan gereja dalam wewenang spiritual. Sedangkan pada waktu negara bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kewajibannya, gereja tidak boleh melawan negara, tetapi sebaliknya gereja demi ketaatan pada Allah rela untuk menderita. Pandangan Luther ini tampak kurang


20 Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen, 149.



memerhatikan peran sosial gereja. Pola hubungan ini merupakan pemisahan negara dan gereja secara total. Pola hubungan antara gereja dan negara, Luther membuat gereja menjadi pasif, bahkan akibatnya gereja menjadi tidak perduli dengan hal-hal dunia, yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Hubungan antara gereja dan negara sebagaimana pandangan Luther mengakibatkan negara bertindak melampaui daerah kekuasaannya. Dan walaupun negara bertindak melampaui wewenangnya, gereja tetap harus tunduk kepada negara.

Pandangan Calvin mengenai negara lebih positif dibandingkan pemahaman Luther, walaupun Calvin juga setuju untuk melihat negara dalam persfektif kejatuhan manusia. Mengenai hal ini Abrahama Kuyper menerangkan demikian:


Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa dan negara;< Dengan demikian, semua konsepsi  yang benar tentang nature negara dan tentang pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintah, dan di pihak lain, semua konsepsi yang benar tentang hak dan kewajiban rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, bergantung pada apa yang telah dikedepankan oleh Calvinisme sebagai kebenaran primordial – bahwa Allah telah membentuk orang-orang yang memerintah, karena alasan dosa<tanpa hukum dan pemerintahan, dan tanpa otoritas yang berkuasa, akan sungguh-sungguh menjadi neraka di bumi, atau setidaknya merupakan suatu pengulangan dari apa yang pernah ada di



bumi ketika Allah menenggelamkannya dalam air bah, ras pertama manusia yang bobrok.21


Menurut pandangan Calvin negara ada karena manusia telah jatuh ke dalam dosa. Tanpa dosa negara tidak perlu ada. Namun walaupun Calvin melihat negara secara negatif, tapi ia percaya bahwa negara berguna agar dapat mengatur kehidupan menjadi baik. Calvin melihat negara lebih positif dibandingkan Luther. Dalam pandangan Calvin tanpa negara kehidupan menjadi seperti neraka. Walaupun Calvin mengakui ada kedaulatan yang berbeda antara negara dan agama sebagaimana Luther, namun berbeda dengan Luther, Calvin berpendapat bahwa apabila negara menyalahgunakan kekuasaannya, baik urusan spiritual maupun dunia, rakyat boleh melawannya. Jadi Calvin tidak memisahkan negara dengan agama secara total, ia mengakui  pemisahan  tetapi tidak ada keterpisahan. Tidak ada subordinasi atau separasi total, melainkan yang terjadi adalah koordinasi.22 ‚Kedaulatan negara dan kedaulatan gereja berdiri berdampingan, dan mereka saling membatasi satu dengan lainnya‛23. Pandangan Calvin ini didasarkan oleh pemahaman bahwa gereja dan negara memperoleh wewenangnya dari Allah yang satu, bagi dunia yang satu dan kemanusiaan yang satu.24 Bagi Calvin


21 Abraham Kuyper, Ceramah-Ceramah Mengenai Calvinisme (Jakarta: Momentum, 2005), 90-91.

22 Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen, 151.

23 Kuyper, Ceramah-Ceramah Mengenai Calvinisme, 122.

24 Lihat Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen, 144-152.



pemerintahan sipil merupakan sesuatu yang dibutuhkan karena dosa masih merajalela. Negara ada karena manusia cenderung berbuat kejahatan, bahkan di dalam masyarakat Kristen sendiri banyak orang yang tidak menjadi Kristen yang sejati. Karena wewenang negara berasal dari Allah, maka negara harus beralaskan pada penghormatan dan kesusilaan. Jadi negara bertanggung jawab terhadap kemajuan agama, untuk menjaga kesusilaan, namun negara tidak diberi hak untuk mengatur apa yang terjadi dalam gereja.25

Berdasarkan uraian tentang hubungan gereja dan negara menurut pandangan Calvin, maka tampak bahwa pemikiran Calvin tentang hubungan gereja dan negara merupakan pemikiran yang sangat menyeluruh dari Alkitab, dalam arti dalam hubungan tersebut gereja dapat menjalankan perannya dengan optimal, baik dalam kehidupan spiritual maupun dalam pengelolaan alam untuk membawa kesejahteraan manusia. Pemikiran Calvin tentang hubungan negara dan gereja merupakan kebenaran yang alkitabiah dan bersifat inklusif, dalam arti tidak hanya cocok dalam komunitas Kristen, tetapi juga dalam komunitas yang beragam agama. Dan penerapan dari hubungan negara dan gereja/agama akan memberikan kebebasan kepada individu yang ada, secara khusus dalam penghormatan kebebasan beragama. Hal tersebut tampak jelas dalam pemilihan sistem pemerintahan yang diajukan oleh Calvin, di mana ia berpendapat bahwa dalam suatu sistem pemerintahan sebaiknya kuasa tertinggi


25 De Jonge, Apa itu Calvinisme?, 270.



dalam negara tidak berada dalam tangan satu orang, melainkan ditanggung dalam kelompok yang lebih luas (aristokrasi) atau lebih baik lagi suatu kelompok yang dipilih oleh rakyat. Jadi Calvin mengusulkan aristokrasi dan demokrasi.26 Tidaklah mengherankan jika Calvin disebut sebagai pionir kebebasan hati nurani dan HAM. Karena pemerintahan di tangan banyak orang dan berada dalam pengawasan banyak orang merupakan sistem negara yang disulkan Calvin, dan dalam sistem itu kebebasan individu dapat terjaga.

Mengenai pemerintahan yang sesuai dengan pandangan kristiani ini, John Stott secara lebih tegas mengatakan:


Jadi, demokrasi mencerminkan pandangan alkitabiah yang seimbang tentang manusia, sebagaimana memang layak diharapkan mengingat tempat persemaiannya, yaitu di Eropa yang Kristiani pada jaman Pasca Reformasi. Demokrasi juga menyediakan peluang bagi orang Kristen untuk memberikan sumbangsihnya yang konstruktif dalam suatu masyarakat yang pluralistik.27


Namun demokrasi sebagai sistem pemerintahan banyak orang dengan pengawasan banyak orang ini bukanlah sesuatu yang mudah dibangun, tetapi demokrasi merupakan kebutuhan yang memungkinkan negara tidak menjadi gurita yang menguasai seluruh bidang kehidupan, mengenai


26 Ibid., 281.

27 John Stott, Isu-Isu Global (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1984), 76.



kesulitan membangun demokrasi ini Stephen Tong menjelaskan demikian:


Demokrasi adalah bagaikan seorang bayi di dalam kandungan yang sulit untuk dilahirkan. Demokrasi menempuh jalan yang lama dan sulit sekali. Bagaikan suatu kehamilan yang sudah amat tua dan sulit dilahirkan. Terkadang, kelahiran demokrasi mengkibatkan luka yang berat bagi induknya dan kematian yang banyak bagi rakyatnya, dan menjadi suatu kecelakaan besar bagi jaman itu. Namun demikian demokrasi tetap harus dilahirkan.28


Bentuk negara demokrasi yang memberikan jaminan wewenang negara yang terbatas, yang memungkinkan adanya kebebasan individu dapat terjaga, merupakan sistem pemerintahan yang tidak mudah dilaksanakan. Namun dalam negara demokrasi kebebasan beragama umumnya lebih dapat terjaga demikian juga dalam negara demokrasi yang mengakui hak-hak individu, pluralisme agama dan sekularisasi yang tidak berpihak pada agama tertentu, memungkinkan usaha untuk mengawal kebijakan pemerintah dalam menegakkan hukum yang adil melibatkan peran serta seluruh masyarakat. Tidak mengherankan dalam negara demokrasi, proteksi HAM lebih terjaga, walaupun tidak selalu demikian. Karena proses melahirkan suatu demokrasi menuntut perjuangan yang amat


28 StephenTong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Momentum, 1996), 16.



sulit, bahkan mungkin harus mengorbankan nyawa yang tidak sedikit. Dalam negara demokrasi yang tidak menghargai pluralisme agama, kebebasan beragama seringkali tetap terbelenggu, karena adanya usaha agama untuk memiliki akses yang lebih besar dalam pemerintahan dan kemudian mendominasi negara. Jadi bisa saja jika demokrasi tidak dijaga akan menimbulkan penyelewengan kekuasaan, di mana demokrasi hanya sekadar slogan, namun pada prakteknya bukan negara demokrasi.

Dengan segala kesulitan yang ada, sistem pemerintahan demokrasi menjadi pilihan utama bagi penegakan kebebasan beragama. Karena pemerintahan banyak  orang, memungkinkan orang-orang yang beragam (terdiri banyak agama) yang memiliki hak yang sama dan saling menjaga hak- hak sesamanya. Kontrol dari banyak orang lebih memungkinkan kebebasan beragama dapat terwujud, maka tindakan diskriminasi dapat diminimalisir.

Pemisahan antara negara dan agama, karena wewenang yang berbeda dari negara dan agama, akan menciptakan hubungan koordinasi, di mana keduanya saling menjaga untuk menjalankan wewenangnya dengan benar. Koordinasi dalam hubungan antara negara dan agama harus terjadi karena keduanya memiliki wewenang dari sumber yang sama yaitu Allah yang satu, bagi dunia yang satu, dan kemanusiaan yang satu. Hubungan antara negara dengan agama sebagaimana dinyatakan oleh Calvin di atas akan membawa kesadaran bahwa kekuasaan negara berasal dari Tuhan dan harus menjalankan fungsinya sesuai apa yang telah Tuhan tetapkan,



di mana negara harus menjaga institusi agama yang ada di dalamnya, termasuk individu-individu untuk tidak melampaui batas kekuasaan mereka, sehingga tidak terjadi pembelengguan terhadap hak-hak institusi atau individu lain. Negara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik apabila memiliki toleransi terhadap religious pluralism.29 Dan secara bersamaan negara juga harus menjamin kedaulatan individu (sovereignty of individual person), karena setiap individu berkedudukan sebagai seorang raja dalam hati nuraninya, kecuali dari semua kewajiban-kewajibannya.30 Manusia yang memiliki ‚absolut liberty of conscience‛ baik untuk berganti agama atau memeluk agama yang ia inginkan sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM, harus mendapat perlindungan dalam pemenuhan hak-haknya. Dan pengakuan adanya kedaulatan individu ini merupakan hak asasi yang paling utama, dan hak itu dilindungi dalam negara demokrasi. Jadi negara harus menjaga hak-hak ini. Penghormatan terhadap hak-hak individu ini merupakan tanda bahwa ada proteksi HAM dalam suatu negara. Dalam hubungan negara dan agama, Alkitab telah memberikan batasan yang tegas, namun dalam perjalanannya gereja terkadang tidak konsisten untuk berpegang pada kebenaran yang diajarkan oleh Alkitab. Lebih tepatnya dalam persinggungan antara gereja dan negara, muncul kompromi-kompromi yang bertentangan dengan Alkitab, namun, terciptanya kompromi yang menyimpang


29 Lihat Kuyper, Ceramah-Ceramah Mengenai Calvinisme, 88-125.

30 Ibid., 123.



tersebut adalah karena kelemahan manusia, bukan karena Alkitab tidak memberikan arah yang pasti. Karena itu perjuangan Kristen dalam memberikan kontribusinya dalam masyarakat memerlukan keteguhan untuk tetap berpegang pada kebenaran dalam kebergantungan kepada Allah.

Dengan demikian jelaslah menurut pemikiran Kristen, undang-undang yang menaungi kehidupan orang banyak itu harus berisi nilai-nilai yang bersifat universal, atau nilai-nilai kebaikan bersama. Di sana tidak ada pembenaran terhadap diskriminasi agama, semua agama berhak untuk memberikan kontribusinya, dan agama-agama harus mendorong agama- agama lain untuk dapat memberikan kontribusi bersama dalam pembentukan undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang dimuat dalam draft Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual yang kemudian berubah menjadi Draft Raperda Injil, atau Penataan Manokwari Sebagai daerah Injil, bukan hanya isinya yang tidak sesuai dengan pandangan iman Kristen. Tapi keberadaan Perda Injil itu sendiri bertentangan, karena itu merupakan hegemoni agama Kristen terhadap agama-agama lain. Agama berusaha memakai negara untuk kepentingan privat agama, dan akibatnya akan melahirkan diskriminasi terhadap agama-agama lain.


KONSEKUENSI BAGI GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

Usulan tokoh-tokoh agama Kristen Papua yang dituangkan dalam bentuk ‚Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual‛ untuk Manokwari sebagai Kota Injil pada awalnya



belum bisa disebut sebagai Raperda. Namun, setelah pemerintah daerah Manokwari menerima usulan tokoh-tokoh agama Kristen Papua tersebut dan dituangkan dalam ‚Raperda Tentang Penataan Manokwari sebagai Kota Injil,‛yang lebih dikenal dengan Perda Manokwari Kota Injil atau Perda Injil, terlihat jelas bahwa usulah tokoh-tokoh agama Kristen Papua menjadi inti dari isi ‚Raperda Tentang Penataan Manokwari sebagai Kota Injil.‛ Meski isinya lebih kurang diskriminatif dibandingkan usulan tokoh-tokoh agama Kristen Papua, Raperda itu tetap saja mendiskriminasikan agama-agama lain, dan bisa digolongkan pada Perda bernuansa agama walau tidak secara-terang-terangan menyebut diri sebagai Perda agama Kristen. Tapi, karena pengusulnya adalah tokoh-tokoh agama Kristen (gereja), maka kehadiran Perda tersebut memiliki konsekuensi bukan hanya bagi gereja-gereja di Papua, tapi juga terhadap kehadiran gereja-gereja di seantero Indonesia.

Draft berupa usulan pemimpin-pemimpin gereja Papua itu, khususnya Gereja Kristen Injili di tanah Papua, sebagai pelopor utama yang juga kemudian mengikutsertakan gereja- gereja lainnya, diakui memiliki pasal-pasal yang dianggap diskriminatif. Adanya pasal-pasal yang diskriminatif tersebut diakui dengan jujur baik oleh tokoh-tokoh agama di Papua yang telah membaca isi draf tersebut, khususnya Badan Kerja Sama Gereja (BKSG), dan juga pejabat di Kabupaten Manokwari. Kepala Bagian Hukum Manokwari, Robert K. R. Hammar, berkomentar, ‚Perda Manokwari Kota Injil, usulan awalnya adalah Perda Pembinaan Mental dan Spiritual, jadi itu



bukan Perda agama, karena tidak mungkin menyamakan nilai- nilai Injil yang adalah perintah Tuhan, dengan Perda yang adalah buatan manusia, itu justru akan mereduksi nilai Injil itu sendiri.‛31 Pemerintah daerah menampung usulan itu dan akan disusun kembali oleh tim legislasi dalam bentuk format Raperda untuk kemudian diadakan pembahasan. Ia juga mengatakan, ‚dalam Raperda yang akan dibahas itu tentunya tidak akan ada nilai-nilai yang bersifat diskriminatif, tetapi pastilah akan berisi nilai-nilai yang universal yang dapat diterima oleh semua‛. Apa yang dikatakan Kabag Hukum Manokwari itu terbukti dalam ‚Raperda Tentang Penataan Manokwari sebagai Kota Injil‛yang isinya lebih kurang diskriminatif dibandingkan usulan tokoh-tokoh agama Kristen. Pendeta Bastian Salabai, salah seorang pembicara dalam semiloka dan yang juga memberikan kontribusi usulan untuk pembuatan Perda pembinaan mental dan spiritual mengatakan,

‚Aturan yang akan ditetapkan dalam Perda itu adalah nilai- nilai yang universal, sebagaimana Injil itu berisi nilai-nilai universal, itulah yang kami usulkan. Jika kemudian ada usulan- usulan yang tampak berisi nilai-nilai yang diskriminatif itu bisa saja didialogkan, hanya saja memang Perda itu merupakan proteksi terhadap umat Kristen dari usaha-usaha islamisasi yang gencar dilaksanakan di Papua‛.32 Berbeda dari itu, Pdt Sherley, seorang pendeta di Manokwari, berkomentar, ‚Dalam semiloka  yang  menggagas  usulan  Perda  kota  Injil  itu,  umat


31 Wawancara penulis dengan nara sumber, 2007.

32 Wawancara penulis dengan narasumber, 2007.



Kristen yang hadir menyetujuinya, jadi kami rindu membuat suatu Perda yang akan membuat Manokwari sebagai Kota Injil‛. Ia juga menambahkan, ‚Indonesia bukan negara Islam, jika di Aceh diizinkan ditetapkan Perda syariah, maka mengapa kami tidak boleh menetapkan Perda Kota Injil, lagi pula Perda Kota Injil berbeda dengan Perda syariah yang diskriminatif, sedang Perda kota injil tidak bersifat diskriminatif‛.33

Dengan demikian jelaslah kehadiran Perda Manokwari Kota Injil ternyata telah memosisikan gereja ketika menjadi mayoritas cenderung mendiskriminasikan agama-agama lain. Itu terbukti dari pasal-pasal diskriminatif yang tertuang dalam Perda Manokwari Kota Injil, baik berupa larangan melakukan kegiatan publik pada hari Minggu untuk agama-agama lain, pelarangan penggunaan jilbab, pelarangan azan, dan keharusan pemasangan atribut-atribut Kristen pada gedung-gedung pemerintah.34


33 Wawancara penulis dengan narasumber 2007.

34 Lihat Raperda Penataan Manokwari Sebagai Daerah Injil. Pasal 19. Kegiatan penataan diselenggarakan dengan memperhatikan, nilai-nilai sejarah, budaya, adat-istiadat dan kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat lokal, terutama mayoritas orang asli atau penduduk asli Papua yang menganut agama Kristen.(1) Perwujudan nilai-nilai dalam aspek tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pembangunan dan pemeliharaan situs sejarah, penataan asesoris simbol agama yang bernuansa religius dan kultural serta tata peribadatan dan busana yang bernuansa Kristen. Pasal 20: (1)Dalam rangka penghargaan terhadap nilai-nilai kesejaraan dan kultural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pemerintah Daerah wajib menetapkan penamaan fasilitas publik dengan menggunakan nama para tokoh lokal. (2)Selain penetapan nama fasilitas publik, Pemerintah Daerah wajib menetapkan pemasangan asesoris



Di samping itu kehadiran Perda Manokwari Kota Injil telah melahirkan kontroversi di dalam Gereja itu sendiri. Kontroversi terjadi antara mereka yang setuju dan mereka yang menolak kehadiran Perda Manokwari Kota Injil. Perda Manokwari Kota Injil bisa menyebabkan terjadinya perpecahan di dalam gereja, bukan hanya di Papua, tetapi juga pada Gereja- gereja di luar Papua.

Kehadiran Perda Manokwari Kota Injil jelas mencerminkan adanya kemunduran gereja, yakni adanya ketidakmampuan gereja untuk menafsirkan Injil secara benar,


dan simbol agama Kristen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 pada tempat-tempat umum dan gedung atau kantor Pemerintahan dan Kantor badan usaha atau badan hukum/kantor lembaga keagamaan.  (3)Pemasangan asesoris dan simbol keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh setiap orang atau badan/ lembaga keagamaan Kristen. Pasal 22. Setiap orang dan atau badan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas publik pada hari Minggu, selain kegiatan peribadatan dan pelayanan rohani. Pasal 23. Selain hari Minggu, Pemerintah Daerah menetapkan hari-hari besar agama Kristen atau hari-hari besar gerejawi sebagai hari libur resmi Daerah. (1)Pada hari raya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap orang dan atau badan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas publik. Pasal 38. Setiap orang dilarang mempergunakan busana menonjolkan simbol keagamaan di tempat umum, tempat pendidikan, dan kantor Pemerintahan. Dalam naskah akademik Pembinaan Mental dan Spiritual ditetapkan. Dan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan dan konflik sosial maka apabila pada suatu kampung telah ada sarana peribadatan yang diperuntukkan bagi orang asli atau penduduk asli Papua, tidak diperbolehkan dibangun sarana peribadatan bagi penduduk yang menganut agama lain. Hal yang sama berlaku bagi setiap orang atau badan dalam membangun sarana  peribadatan berupa mesjid langgar, musolah atau yang disebut dengan nama lain di lingkungan kantor pemerintahan.



dan kemudian membawanya pada konteks Indonesia. Ini juga membuktikan bahwa gereja ternyata tidak mampu memahami Pancasila sebagai dasar bagi kehidupan bersama, rumah bersama bagi agama-agama yang ada di Indonesia. Gereja bisa dianggap mengingkari nilai-nilai dari Pancasila.


KESIMPULAN

Harus diakui bahwa kehadiran usulan tokoh-tokoh agama Kristen Papua yang dituangkan dalam bentuk ‚Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual‛ Untuk Manokwari sebagai Kota Injil berdampak buruk bagi gereja. Penerimaan pemerintah daerah Manokwari terhadap usulan tokoh-tokoh agama Kristen yang dituangkan dalam ‚Raperda Tentang Penataan Manokwari sebagai Kota Injil,‛yang lebih dikenal dengan Perda Manokwari Kota Injil, atau Perda Injil, meski memuat sedikit perubahan tetap saja telah memosisikan gereja sebagai ancaman bagi agama-agama lain.

Perda Penataan Manokwari sebagai Kota Injil meski kurang diskriminatif dibandingkan usulan tokoh-tokoh agama Kristen yang dikenal dalam ‚Raperda Pembinaan Mental dan spiritual, tetap saja dapat digolongkan dalam Perda bernuansa agama. Karena penetapan Manokwari sebagai Kota Injil secara formal sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari Perda Manokwari Kota Injil. Jadi jika Penetapan Manokwari sebagai proteksi umat Kristen terhadap derasnya islamisasi di Papua, maka Perda tersebut juga merupakan bagian dari strategi umat Kristen untuk membendung misi Islam, termasuk kehadiran Perda syariah. Apabila Perda Manokwari Kota Injil sebagai



dianggap bagian dari strategi gereja untuk membendung serbuan Perda-Perda syariah, maka strategi tersebut justru merugikan bagi gereja itu sendiri. Gereja terjebak dalam politisasi agama dan agamaisasi politik, demi menuntut kekhususannya dengan mengandalkan kekuatan mayoritas, dan tindakan seperti itu sesungguhnya merugikan gereja itusendiri.

https://www.binsarhutabarat.com/2021/01/perda-manokwari-kota-injil.html



Penelitian Teologi Ilmiah

  Penelitian Teologi Ilmiah Perbedaan yang terjadi dalam rumusan teologi ilmiah sejatinya menolong orang percaya untuk memahami perlunya sal...