Showing posts with label Toleransi dan Ham.. Show all posts
Showing posts with label Toleransi dan Ham.. Show all posts

Thursday, March 18, 2021

Toleransi Antaragama di Indonesia




 

Konflik antarkelompok agama merupa isu yang kerap menjadi perhatian besar di Indonesia, khususnya  di era reformasi. 

Konflik antaragama di banyak tempat bisa dikategorikan sebagai bencana nasional, dalam arti telah membahayakan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. 

Konflik dalam kategori bencana nasional ini bukan hanya mengakibatkan korban materi tetapi juga, korban luka-luka dan korban meninggal dunia. Itulah sebabnya, wajar saja jika konflik antaragama yang terus berlangsung hingga saat ini menjadi perhatian banyak pihak di negeri ini. 

Toleransi yang awalnya menjadi modal sosial untuk terciptanya integrasi bangsa pada era reformasi kerap  mengalami pasang surut. Akibatnya proses integrasi bangsa bukan hanya mengalami hambatan, tetapi kecurigaan antarkelompok semakin kuat, bahkan tidak jarang hanya gara-gara karena persoalan sepele, konflik antaragama bisa meletus, dan sulit untuk dipadamkan.


Laporan tentang kekerasan antarumat beragama yang menunjukkan pasang surut tingkat toleransi masyarakat di Indonesia sebenarnya telah diterbitkan oleh banyak lembaga kajian, seperti SETARA Institute, Wahid Institute, Interseksi dll.

 Penelitian mengenai faktor-faktor determinan toleransi antaragama yang pernah dilakukan oleh lembaga kajian Interseksi, yang dituangkan dalam buku Komunalisme dan Demokrasi, menjelaskan bahwa komunalisme merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tergerusnya toleransi antaragama di Indonesia.

Penelitian yang dilakukan Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Beragama pada tahun 2010 tentang Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri), menunjukkan bahwa kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap toleransi beragama mahasiswa. Lingkup penelitian ini menduga ada faktor agama dalam toleransi antarkelompok masyarakat di Indonesia.

Pada sisi lain, keragaman adalah realitas Indonesia yang tidak bisa ditolak. Keragaman adalah elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) Indonesia, yang terlihat jelas dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu) secara jelas menyatakan bahwa keragaman Indonesia tidak bisa dihomogenisasi. 

Indonesia adalah satu dalam keragaman. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu telah mengantarkan Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang  mampu memelihara realitas keragamannya dan mendapatkan manfaat dari keragaman tersebut. Dalam hal keragaman agama, toleransi antarumat beragama juga merupakan modal sosial yang menjadi kunci keberhasilan Indonesia, dan harus terus dipelihara untuk menjaga keutuhan Indonesia

Toleransi antaragama di Indonesia tidak selalu terjaga dengan baik. Ada banyak konflik bernuansa agama yang mengubah wajah Indonesia—yang terkenal dengan toleransinya—menjadi negara yang penuh kekerasan antaragama. 

Entah sudah berapa  kali kekerasan bermotif agama yang sangat merisaukan terjadi, terutama di era reformasi ini. Konflik bermotif agama tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, tetapi juga nyawa manusia. Ironisnya negara seakan  tidak  hadir.

Tentu masih segar dalam ingatan kita peristiwa berdarah yang terjadi dalam kurun 1998 – 2000 di Ambon, Maluku. Saat itu pecah kerusuhan berkepanjangan antarkelompok masyarakat beragama yang melibatkan kelompok Kristen dengan Islam. 

Konflik yang berlangsung bertahun-tahun dan memakan banyak korban jiwa dan harta benda itu padahal bermula dari konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan sopir angkutan kota. Kemudian meluas menjadi konflik antara kelompok masyarakat Ambon dan kelompok Masyarakat Bugis, Buton, dan Makassar. 

Karena konflik tersebut kemudian membawa-bawa agama, maka kemudian menjadi konflik antara kelompok masyarakat Kristen Ambon dengan kelompok masyarakat Islam Ambon. Konflik ini menjadi salah satu konflik terbesar dan terlama di negeri ini, dan dapat dikatakan sebagai bencana nasional yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, serta harta benda. 


Konflik yang membawa-bawa nama agama juga terjadi di Maluku Utara yang melibatkan dua kelompok masyarakat yang berbeda agama.

Konflik dalam skala besar juga terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Laporan jurnalistik menyebutkan konflik Poso sebagai tragedi tiga babak. Pertama tanggal 25-30 Desember 1998; Kedua 15-21 April 2000; Ketiga, tanggal 23 Mei – 10 Juni 2001. Ditilik dari sisi dinamika kelompok (in group- out group), kerusuhan ini merupakan konflik horizontal antara kelompok Islam dan Kristen.  

Konflik yangbbermula dari perkelahian antarpemuda (kriminal) itu berkembang menjadi kerusuhan bernuansa SARA yang tidak terkendali, mengakibatkan tumpulnya pemerintahan, perekonomian, transportasi dan aktivitas masyarakat. 

Agama ternyata bukan merupakan pemicu utama, tapi lebih  berperan sebagai faktor pengiring yang  datang belakangan, dimanfaatkan selaku penggalang solidaritas.

Konflik yang sama juga sempat melanda masyarakat Tolikara, Papua, tepatnya pada 17 Juli 2015 lalu. Konflik ini diduga ada kaitannya dengan agama, karena menyasar kelompok agama tertentu dan juga rumah ibadah. 

Pada peristiwa ini bukan hanya gedung bangunan yang menjadi sasaran amuk massa, tapi juga menyebabkan seorang warga meninggal dunia, dan beberapa orang lainnya terluka parah. 

Belum tuntas persoalan itu, konflik antarwarga berbeda agama meletup di Singkil, Aceh, pada pertengahan Oktober 2015. Dengan alasan tidak memiliki izin, beberapa gereja menjadi sasaran amuk massa. Selanjutnya massa menuntut agar tempat-tempat ibadah umat kristiani tersebut ditutup selamanya. 

Pada peristiwa itu bukan hanya rumah ibadah yang dibakar, namun juga ada korban meninggal dan luka-luka, dan ribuan orang mengungsi.

Kita harus mengakui, Indonesia yang sejak dulu terkenal dengan keramahtamahannya, telah berubah menjadi negara yang kerap diwarnai kekerasan bernuansa agama. Kondisi ini semakin diperparah oleh oknum- oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja ‚menjual‛ agama untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri. Hal ini jamak terjadi pada pilkada atau pemilu. Ada saja pihak- pihak yang tidak sungkan memainkan isu agama dalam rangka menjegal lawan politiknya. Contoh terkini adalah menjelang Pilkada DKI 2017. Namun saat ini suhu politiknya sudah sangat membara. Unsur SARA sangat terang-terangan digunakan oleh banyak pihak yang tidak menginginkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terpilih kembali menjadi gubernur DKI untuk periode 2017 – 2022. Statemen bahwa ‚haram hukumnya memilih pemimpin yang berasal dari agama lain‛, menjadi kalimat andalan bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menjegal lawan politiknya yang kebetulan tidak seagama. 

Dapat dikatakan, kondisi-kondisi semacam ini yang bisa berujung pada konflik antaragama di negeri ini, amat mengkhawatirkan, dan dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Singkatnya, kemajemukan masyarakat Indonesia kini bisa jadi bukan lagi menjadi modal dasar pembangunan, tapi justru menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia. Munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan, merupakan indikator dari persoalan tersebut. 

Kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun berbalik arah menuju ke arah intoleransi yang makin menebal. Kenyataan ini ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga antaragama di masyarakat. 

Umat GKI Yasmin, Bogor sejak beberapa tahun lalu terpaksa menggelar ibadah minggu di depan Istana Merdeka Jakarta, karena gereja mereka disegel massa. Belakangan jemaat HKBP Filadelfia Bekasi turut bergabung, karena alasan yang sama: gereja mereka disegel massa. Nasib yang sama juga kerap menimpa umat Ahmadiyah di berbagai tempat. Mereka dilarang beribadah dan tempat ibadah mereka disegel massa. Dan ada banyak kejadian serupa yang tidak mungkin diurai satu per satu. Ironisnya, negara tidak berbuat apa-apa, bahkan seolah membiarkan aksi- aksi sepihak massa intoleran itu berlangsung dengan leluasa.

Timbul pertanyaan, apakah tingkat toleransi antaragama di negeri ini memang sudah berada dalam keadaan darurat dan memerlukan perhatian khusus untuk bisa kembali kepada kondisi awal saat perjuangan kemerdekaan? Dan siapakah yang  harus bertanggung jawab untuk menumbuhkan dan meningkatkan toleransi antaragama di negeri ini?

https://www.binsarhutabarat.com/2021/03/toleransi-antaragama-di-indonesia.html

Saturday, January 30, 2021

Harapan Proteksi Ham di Indonesia

 





Harapan terhadap proteksi Ham di Indonesia sejatinya perlu terus terpelihara dan diusahakan oleh semua elemen bangsa Indonesia. Harapan perlindungan bukan sesuatu yang absurd untuk Indonesia yang tersohor dengan toleransinya.



Deklarasi universal hak asasi manusia yang disetujui dan diumumkan Perserikatan bangsa-Bangsa lewat resolusi 271 A (III) tanggal 10 Desember 1948 merupakan pernyataan harapan seluruh dunia. 

Pantaslah jika deklarasi tersebut dianggap sebagai ideologi universal dan menjadi sebuah tujuan yang harus dicapai, karena proteksi Ham belum merupakan kenyataan seutuhnya.

Tanggal 10 Desember seluruh dunia memperingati lahirnya hak-hak asasi manusia. Untuk Indonesia, hari itu juga menjadi hari yang khusus, bukan saja karena posisi Indonesia sebagai anggota Perserikatan bangsa-Bangsa, tetapi yang terpenting Indonesia juga pernah terpilih sebagai dewan HAM, dan  terakhir menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Lebih khusus lagi, pengakuan Indonesia terhadap deklarasi universal HAM telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amademen, sebagai tuntutan dari Reformasi yang harus dijalankan. Secara khusus, pengakuan tersebut dituangkan secara eksplisit dalam pasal 28 UUD 1945, yang juga merupakan transformasi dari sila-sila di dalam Pancasila. 

Persoalanya sekarang, apakah kata-kata indah dari nilai-nilai HAM  tersebut hanya sekedar harapan indah yang tak pernah menjadi kenyataan? Ataukah kata-kata indah tersebut telah diimplementasikan dengan indah di negeri ini dan tidak lagi menjadi suatu absurditas yang kemudian akan makin dijauhi banyak orang. Tulisan ini akan berusaha mencoba mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.


HAM di Indonesia 

Hak-hak asasi manusia merupakan tema besar yang menjadi buah bibir di era reformasi, dan isu  inilah yang juga turut mendorong gelombang Reformasi  dan mampu menggulingkan kekuasaan Soeharto yang absolut selama 30 tahun. 

Kecanggungan aparat keamanan dalam menangani konflik  besar maupun kecil yang akhirnya meluas dan menjadi sulit diatasi terkait ketakutan melakukan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tugasnya. Akibatnya proteksi HAM di Indonesia melahirkan sesuatu yang tidak produktif yaitu pelanggaran HAM baru. 


Realitas tersebut di atas terjadi karena aparat keamanan belum familiar dengan HAM sehingga sering kali menimbulkan keragu-raguan dalam bertindak, bukan karena nilai-nilai Ham itu memiliki kontradiktif dalam dirinya.

Isu HAM itu baru mendapatkan perhatian yang besar di Era Reformasi, sehingga tidak  mengherankan jika sepanjang perjalan kemerdekaan Potret HAM di Indonesia baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru sangat memprihatinkan. 

Kenyataan tersebut terjadi karena nilai-nilai deklarasi universal HAM belum mendapatkan tempat yang pantas baik dalam UUD 1945 sebelum amandemen, maupun undang-undang dibawahnya.

Pada masa Soekarno, HAM dianggap sebagai produk Barat yang kental dengan nilai-nilai individualisme karya kaum imprialis yang melahirkan kolonialisme. Menurut Soekarno, barat tidak mungkin menghargai HAM yang telah dilanggarnya dalam waktu cukup lama. Masa itu, di Indonesia tidak mendapat tempat dihati pemerintah. 

Bagi Soekarno, HAM yang individualisme tidak cocok dengan budaya Indonesia yang bersifat komunalis, mengingat nila-nilai indivudualisme menurut Proklamator RI ini  sangat berbahaya bagi keutuhan Indonesia yang sedang menghadapi rongrongan bangsa penjajah yang ingin kembali menancapkan kukunya di bumi Indonesia. 

Segala sesuatu yang berbau individualisme harus ditabukan, termasuk HAM. Memang Pancasila mengakui hak-hak asasi manusia, namun transformasinya dalam undang-undang dasar dan undang-undang dibawahnya sangat minim. 

Pada masa itu diskriminasi agama terus terjadi. Bermula dari suatu konsesi yang melahirkan kementerian agama, kemudian agama-agama mengalami pemasungan secara khusus kelompok minoritas.  Aliran kebatinan dan agama-agama suku yang dijadikan ladang misi agama-agama   adalah korban yang paling merasakan diskriminasi tersebut, bahkan terus berlangsung hingga saat ini.

Penolakan Soekarno terhadap segala sesuatu yang berbau individualisme kemudian memberikan andil besar bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru yang sangat despotis. 

Pada masa Orde Baru, agama-agama makin mengalami pemasungan, bahkan Konghucu yang pada masa orde lama diakui, pada masa orde baru tidak lagi diakui. Pemerintahan Soeharto yang otoriter yang didahului dengan lembar hitam pelanggaran hak-hak asasi manusia  terus mempertontonkan kekerasan terhadap HAM.

Pada masa Soeharto agama-agama makin erat terbelenggu, bukan hanya pembatasan agama resmi, tetapi juga penolakan terhadap bidat yang didukung oleh mainstream. Belum lagi peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif, baik dalam peraturan perkawinan, SKB 2 menteri yang kemudian diperbaharui dengan semangat yang sama dalam PBM (Peraturan Bersama Menteri), Peraturan pendidikan dan lain-lain. 

Pelanggaran HAM juga makin telanjang ketika kita berbicara pembangunan yang tidak seimbang antara Jawa dan luar Jawa, serta pengerukan hasil-hasil tambang ke kota Metropolitan dengan melestarikan kemiskinan di daerah-daerah yang hasil tambangnya  melimpah. 

Pada Era Reformasi tuntutan keseimbangan pembangunan disetujui dengan otonomi daerah sebagai alternatif. Semua kenyataan itu merupakan bukti masih suramnya potret HAM di Indonesia. 


Harapan

Salah satu tenaga pendorong yang kuat dalam melahirkan Reformasi adalah tuntutan diimplementasikannya HAM dalam kehidupan berbangsa. 

Tidaklah mengherankan jika kemudian dalam amandemen UUD 1945 nilai-nilai HAM mendapatkan tempat penting. Adanya nilai-nilai HAM universal ini tentunya menjadi harapan bagi semua orang di Indonesia untuk memperoleh proteksi HAM yang lebih baik.

Aturan hukum yang jelas tentunya menjadi panduan penting bagi evaluasi implementasi HAM di Indonesia. Harapan proteksi HAM yang lebih baik juga muncul ketika Indonesia mulai meratifikasi undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil dan Politik,   sehingga Indonesia menjadi Negara pihak (State Parties) yang terikat dengan konvensi ICCPR.

Indonesia kini masih harus berjuang keras untuk menegakkan nilai-nilai HAM yang universal. Lihatlah kerusuhan-kerusuhan masal yang terjadi di awal reformasi dan masih terus terjadi hingga kini.

Konflik di Poso, konflik Ambon, Kalimantan dalam skala besar, yang sudah mulai reda, namun kekuatiran akan terjadinya konflik masih melekat di hati dan pikiran banyak orang disana. 

Nyawa masih sangat mudah melayang tanpa tahu siapa yang melakukannya, kasus Munir adalah bukti dari realitas tersebut, belum lagi kasus Semanggi, Tanjung Priuk dan lain-lain. 

Pengusiran terhadap kelompok-kelompok minoritas masih sering terjadi, dengan alasan penodaan agama dan umat beragama yang berbeda agama saling menghancurkan sesamanya. 

Selain itu, Indonesia masih menjadi tempat yang rawan konflik serta  membahayakan bagi kelompok-kelompok minoritas, padahal mereka masih sesama bangsa yang memiliki hak-hak yang sama. 

Pembalakan liar yang memiskinkan masyarakat desa, serta gerakan anti korupsi yang tak kunjung membuahkan hasil yang signifikan, meski pada basa bencana nasional covid-19 sekalipun, semuanya itu tentu akan mendorong pada kesimpulan bahwa nilai-nilai HAM yang indah masih hanya menjadi pajangan atau sekedar slogan. 

Mengharapkan Perlindungan HAM untuk menjadi kenyataan nampaknya makin menjadi suatu absurditas. Lantas, bagaimanakah perjalanan HAM di Indonesia pada masa yang akan datang? 

Perjuangan Bersama

Nampaknya kita mesti berjuang lebih keras untuk terus menumbuhkan harapan adanya implementasi HAM di Indonesia, mudah-mudahan kita tetap bisa sabar dalam kondisi ini dan menjadi siuman, bahwa penegakkan HAM adalah perjuangan bersama semua warga bangsa. 

Jika kesadaran ini ada, niscaya kesadaran HAM akan menumbuhkan harapan baru serta melahirkan kenyataan-kenyataan indah tentang indahnya hidup dalam kebersamaan.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...