Showing posts with label Pemilu. Show all posts
Showing posts with label Pemilu. Show all posts

Friday, February 9, 2024

Pemilu dan Jargon Politik Dinasti

 Pemilihan umum merupakan cara damai bagi berlangsungnya perubahan kepemimpinan untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Harapan untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik itu dirayakan dalam acara  yang biasa disebut pesta demokrasi.

 





Sejatinya, pemilu perlu berlangsung secara damai, dan yang ditampilkan adalah program-program unggul, yang memberikan harapan perubahan bagi semua rakyat. Siapapun pasangan yang menang dalam pemilu, mereka adalah pemimpin terbaik bangsa Indonesia, setidaknya itulah yang dibuktikan di kotak suara.

Jargon politik dinasti

Menjelang pendaftaran calon Presiden dan wakil Presiden terjadi kontroversi yang membelah masyarakat Indonesia. Setidaknya keputusan Mahkamah Konstitusi dianggap menjadi alarm matinya demokrasi di Indonesia, meski indikatornya masih sangat abstrak, apalagi suara publik yang terdengar keras itu berasal dari mereka yang dulunya pendukung Jokowi. 

Mereka yang bersuara lantang itu dan membentuk opini publik seakan menjadi suara mayoritas rakyat Indonesia. Secara khusus pada propaganda jargon dinasti politik yang akrab dengan pemerintahan orde baru. 

Pada awal pemerintahan Jokowi lima tahun kedua, mereka yang kini menyasar Jokowi juga berteriak keras tidak akan berjuang dijalan-jalan atau demonstrasi mengawal kebijakan pemerintah, tetapi berjuang dari dalam untuk menghadirkaan kebijakan unggul yang menghadirkan kesejahteraan msyarakat dalam pemerintahan Jokowi.

Kita tentu bertanya, mengapa konflik antara PDIP dan Jokowi itu bergerak liar, dan menyasar siapa saja yang dekat dengan Jokowi. Korban pertama adalah Anwar Usman, salah seorang yang memiliki hubungan dekat dengan Jokowi. 

Melalui keputusan MKMK, Anwar Usman memang tidak diberhentikan sebagai anggota MK, tetapi vonis yang diberikan menurut saya jauh lebih berat dibandingkan diberhentikan. 

Jika diberhentikan Anwar Usman dapat membentuk majelis banding, tetapi dengan hanya diberhentikan sebagai ketua MK, dan tidak sebagai anggota MK, Anwar Usman perlu melewati jalan berliku untuk melakukan pembelaan diri.

Sebenarnya sudah banyak surat-surat kekecewaan yang ditujukan kepada Jokowi dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil  Presiden Prabowo. Apalagi survey-survey pemilu menunjukkan peluang Prabowo Gibran berada di atas kedua pasangan. Mungkin karena itu pesaing Prabowo Gibran menjadi kalap. 

Pencalonan Gibran sebagai wakil Presiden Prabowo mengakibatkan ikatan Prabowo dan Megawati yang pernah menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden pun retak.

Opini publik penghakiman terhadap politik dinasti Jokowi yang menyasar Hakim MK  dimotori oleh Tempo, setidaknya ulasan media itu terkait kebocoran rapat-rapat di MK menjadi bukti pengambilan keputusan MKMK. 

Bola salju kekecewaan terhadap Jokowi membesar dengan surat-surat terbuka para aktifis yang menentang pencalonan Gibran dengan tuduhan memainkan konstitusi, meski tak ada bukti pelanggaran konstisui, karena MKMK hanya mengadili pelanggaran etik.

Kekecewaan-kekecewaan yang disuarakan pada ruang-ruang publik itu secara khusus media publik, kemudian membentuk opini publik yang menjatuhkan vonis pada Anwar Usman, dan selanjutnya menyandra keputusan MKMK.

Setidaknya ada indikasi, publik dipuaskan dengan keputusan MKMK, meski kita tentu bertanya, kemana suara publik pendukung Jokowi, dan kemana suara-suara partai pendukung Prabowo dan Gibran? 

Tampaknya kita akan bertemu dengan drama baru yang akan mengagetkan publik, apalagi Jokowi sudah memngingatkan drama politik yang terjadi sekitar pemilu 2024.

Prabowo yang sudah nyaman duduk dalam pemerintahan Jokowi tiba-tiba menjadi sasaran tembak kelompok yang berseberangan dengaan Jokowi, apalagi yang menjadi pasangannya adalah Gibran. 

Masa lalu Prabowo di usik kembali, apalagi partai pendukung Prabowo diantaranya adalah Golkar. Kekuatiran timbulnya pemerintahan gaya orde baru berhembus keras.

Menariknya, Jokowi menjadi sasaran tembak tunggal. Media dalam negeri dan luar negeri mengarahkan beritanya pada jargon itu. Kita tentu heran, bagaimana mungkin demokrasi mengalami kematian, sedang yang berkuasa terus menerus menjadi sasaran tembak, dan seakan tidak merespon, apalagi menggunakan kekuatan aparat pemerintah.


Jargon pemimpin karbitan.

Sentimen terhadap Jokowi memuncak dengan hadirnya Kaesang sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pemilu lima tahun lalu PSI yang dimotori anak-anak muda itu menggetarkan partai nasionalis seperti PDIP. Bukan rahasia banyak pemilih PDIP yang terpikat dengan PSI. 

Meski belum mampu menembus Senayan, perolehan PSI sebagai partai baru pada pemilu lima tahun yang lalu sangat siginifikan, bahkan mampu melewati partai-partai lama seperti Hanura dan Partai Bulan Bintang misalnya. 

Wajar saja kehadiran Kaesang menggetarkan partai yang sedang bersebrangan dengan Jokowi. Padahal, PSI seperti mendapatkan energi baru untuk tampil di senayan pada pemilu 2024. Tetapi, tentu saja kompetitor PSI tidak tinggal diam, pemimpin karbitan pun menjadi jargon untuk membelenggu pergerakan PSI.

Baru-baru ini saya mendapat kabar terkait pencopotan spanduk partai yang bersebrangan dengan PSI yang dilakukan satpol PP, dan berita-berita tentang sikap represi pemerintah, tapi ketika saya amati data yang disampaikan lebih berisi asumsi-asumsi tanpa data memadai, kecurigaan atau entah ketakutan apa yang tiba-tiba muncul di kepala mereka dan langsung saja menafsirkan realitas yang mereka jumpai. Akibatnya bukan berita damai, kesejukan yang disuguhkan di media-media social atau media-media public, sebaliknya kontroversi yang hadir dalam debat kusir yang tak bermuara pada jalan keluar untuk menghadirkan Indonesia yang lebih baik.

Drama politik apalagi yang akan tampil berikutnya? 

Kita tentu berharap pemilu damai menjadi tujuan bersama partai-partai politik dan juga ketiga pasangan calon presiden. Kiranya pesta demokrasi 2024 menghantarkan negeri ini pada perubahan yang lebih baik. Kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia, siapapun pemenangnya.


https://www.binsarinstitute.id/2023/11/pemilu-dan-jargon-politik-dinasti.html

Saturday, February 3, 2024

Panggung Sandiwara Pilpres 2024

 Panggung Sandiwara Pilpres 2024






Drama politik yang terjadi menjelang pilpres 2024 ini sesuai dengan isi sair lagu “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan Ahmad Albar, vokalis band “God Bless”yang pernah tersohor, “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…”

Popularitas Jokowi tiba-tiba menukik tajam, para pendukung yang dulu berjanji berjuang bersama Jokowi untuk menghadirkan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat tiba-tiba menjadi lawan Jokowi. 

Dengan alasan ketakutan kembalinya kekuatan orde baru yang absolutis melalui dinasti Jokowi yang kini menjadi berita utama diberbagai media, baik dalam negeri maupun luar negeri, secara khusus ketika keputusan MK, dan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), suara kekecewaan, marah, benci memenuhi ruang publik.

Cinta dan Benci

Cinta dan Benci menjadi pesan drama yang kita tidak tahu siapa sutradarnya. Serangan terhadap Jokowi tiba-tiba saja muncul secara berantai, rupanya cinta berlebihan terhadap Jokowi berbalik meluap menjadi kebencian. Ungkapan kemarahan, kekecewaan menggantikan pujian selangit yang pernah dikumandangkan untuk Jokowi.

Hubungan PDIP dan Jokowi yang mulai retak  membuat serangan terhadap Jokowi kian bertubi-tubi. Apalagi Tim pemenangan partai melibatkan para presenter kondang yang terbiasa menggelar press release untuk memengaruhi massa, membentuk opini publik. Disana juga ada figur yang pernah mendapat julukan "peternak LSM", yang memberikan bantuan dana dalam dan luar negeri untuk mereka yang menyebut diri pejuang demokrasi. 

Kita tentu berharap kerja keras mereka bukan hanya untuk tampil untuk mendapatkan peluang menikmati kue kekuasaan dari capres yang mereka dukung.

Youtuber-youtuber kondang pencinta Jokowi, kini banyak yang beralih menjadi pembenci Jokowi, dengan Jargon politik dinasti, maka seluruh keluarga dan kerabat dekat Jokowi menjadi sasaran tembak. 

Apakah dengan alasan mereka mewakili suara publik, suara mayoritas mereka bisa berbuat semaunya? Jangan terjebak cinta buta, dan kemarahan buta, tataplah Indonesia dengan ratusan juta orang di dalamnya, kita berharap tujuan bersama Indonesia menjadi tujuan utama, bukannya sekadar menghabisi mereka yang dibenci, apalagi mereka juga pernah dicinta.

Tidak tanggung-tanggung  beberapa tokoh yang menyebut diri tokoh nasional berkumpul menyampaikan kekuatirannya baru-baru ini di Rembang, Peristiwa seperti ini jamak terjadi sebelum pernyataan dukungan para aktifis dan tokoh-tokoh nasional itu terhadap pemerintahan Jokowi.

Kita tentu prihatin dengan kata-kata kasar yang diutarakan kepada orang nomor satu di Indonesia, ada banyak sindiran dan kata-kata kotor yang tak patut diutarakan kepada orang nomor satu di negeri ini. 

Kita berharap mereka yang kecewa, marah terhadap pemerintahan saat ini juga bertindak sesuai aturan yang berlaku. Jangan kalap mengungkapkan kekuatiran, kemarahan dan kekecewaan, utarakanlah dengan bijak dengan tujuan untuk kebaikan Indonesia.

Pada satu sisi saya berbesar hati, karena banyaknya orang yang sadar perlunya mengawal pemerintahan Jokowi agar pemerintahan Jokowi dapat berakhir sesuai mandat rakyat. 

Masyarakat perlu mengawal pemerintahan Jokowi agar pemerintah yang memiliki pedang itu menggunakan pedangnya untuk menegakkan keadilan, yang bermuara pada kesejahteraan rakyat Indonesia.

Rakyat perlu menjaga agar pemerintahan saat ini berhat-hati menjalankan amanat rakyat. Namun, pengungkapan kemarahan, kekecewaan, kebencian jangan menjadi lebih utama dibanding tugas mengawal agar demokrasi di Indonesia tidak terkubur dan menjelma menjadi politik dinasti, meskipun politik dinasti itu tidak pernah ada, karena pemilu ditentukan di kotak suara.

Drama politik yang terjadi saat ini tidak boleh dilihat hanya dari satu sisi saja, boleh saja individu atau kelompok memandang bahwa drama politik saat ini tidak lagi menghadirkan nurani, meski nurani yang dimaksud tentu saja perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena suara nurani itu sendiri sangat subyektif, dan dipengaruhi banyak kepentingan serta ikatan-ikatan politik. 

Secara legal formal pencalonan Presiden dan wakil Presiden sudah memenuhi persyaratan KPU, dan mestinya secara legal formal tiga pasangan capres itu telah memenuhi ketentuan yang berlaku di KPU. Boleh-boleh saja ada kelompok yang ingin menuntut Jokowi, Anwar Usman dan KPU, tentunya perlu melewati jalur hukum yang berlaku. Vonis-vonis yang dilontarkan di publik perlu mengacu kepada ketetapan pengadilan.

Politik pemenangan pilpres itu banyak variabelnya, jangan cepat-cepat mengutarakan bahwa negara ini sedang menuju kehancuran, demikian juga jangan cepat-cepat mengatakan demokrasi telah mati di negeri ini. 

Bukankah suara-suara yang secara tidak sopan menyerang orang nomor satu dinegeri ini secara bersamaan juga menyakiti hati seluruh rakyat Indonesia?

Boleh-boleh saja melontarkan tuduhan Jokowi membangun politik dinasti, tetapi tidak perlu menyatakan bahwa tuduhan itu mutlak benar. Jangan lupa masih banyak orang dinegri ini yang mendukung Jokowi, dan mereka juga Indonesia.

Monday, October 23, 2023

Prabowo-Gibran menyatukan Indonesia?

 

Akankah Prabowo-Gibran menyatukan Indonesia?






Hirup pikuk hadirnya Gibran sebagai Bacawapres Prabowo kian panas, bahkan cenderung tidak produktif. Saya mencoba mencari teori untuk membaca realitas yang menimbulkan hirup pikuk bukan hanya di dalam negeri, tapi juga mendapatkan respon dari mancanegara dengan jargon "Politik Dinasti".

Aksi Jokowi memasukkan Prabowo yang adalah pesaing Pilpres dalam kabinet nya sempat menimbulkan tanda Tanya besar, mengapa Jokowi membuka peluang pesaing beratnya itu duduk nyaman dalam kabinetnya. Beberapa tahun berjalan pemerintahan rekonsiliasi Jokowi-Prabowo justru membuat khalayak terpana, ternyata Prabowo teman setia Jokowi. Prabowo sangat mengagungkan Jokowi.

Jika awalnya Jokowi yang memberikan kursi empuk untuk Prabowo, kini beralih Prabowo yang memberi kursi empuk wakil Presiden kepada Gibran. Keakraban Gibran dan Prabowo tergambar lewat tayangan Gibran yang sedang menunggang kuda koleksi Prabowo yang keren dan apik dan ditayangka televisi berulang-ulang.

Teori rekonsiliasi nasional juga bisa terbaca dengan banyaknya partai pendukung Prabowo dan Gibran, meski ada ombak-ombak kecil yang sempat menghalangi pasangan Prabowo-Gibran, ternyata partai pendukung Prabowo-Gibran sepakat mengusung Prabowo-Gibran.

Kalau saja benar kehadiran pasangan Prabowo-Gibran ini merumpakan rembuk nasional untuk menghdirkan rekonsiliasi nasional yang menguatkan persatuan dan kesatuan Indonesia mungkin kita memiliki peluang untuk menjadi bangsa yang kuat.

Pada sisi lain, pemilu kali ini bisa terhindar dari sentimen radikalisme yang selalu saja membayangi pertarungan politik negeri ini. Indonesi butuh persatuan dan kesatuan untuk menjadi negara yang kuat. 

Semoga saja Pemilu yang sejatinya menjadi alat perubahan secara damai ini bisa berlangsung secara demokratis dan damai untuk menghadirkan pemimpin yang mampu mempersatukan Indonesia sebagai bangsa yang besar. 

Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...