Thursday, December 10, 2020

Pahlawan dan Proyek Kebangsaan

 








Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 merupakan peristiwa penting lahirnya sebuah bangsa, yakni bangsa Indonesia.

 Sebagaimana isi salah satu dari butir sumpah tersebut, yaitu satu bangsa, yakni Bangsa Indonesia. 

Sejak itu rakyat Indonesia secara bersama-sama, bahu membahu, bersatu, berjuang dengan cara modern  mengerjakan proyek kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Pada perjuangan tersebut memang memang ada hambatan dari penghianat yang meghinakan diri menjadi kaki tangan penjajah, demi kepentingan individu yang bertentangan dengan proyek kebangsaan. 

Namun, rakyat Indonesia yang bersatu itu memosisikan para penghianat itu sebagai musuh bersama, sebagaimana layaknya para penjajah. Jadi, perjuangan kebangsaan melawan penjajahan secara bersamaan juga perjuangan melawan penghianat yang tidak memiliki komitmen pada proyek yang bersifat kebangsaan.

 

 

Meski Max Lane beranggapan bahwa, Indonesia adalah “bangsa yang belum selesai”. 

Tapi, itu tidak berarti bahwa kekuatan sumpah pemuda-pemudi Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia dapat dibatalkan.

Sebaliknya itu harusnya mengingatkan, betapa kita harus berjuang lebih keras mewujudkan keutuhan Bangsa Indonesia yang berulang kali mengalami gempuran dan bahaya disintegrasi.

 

Pada peringatan Sumpah Pemuda, rakyat di negeri ini perlu bertanya, apakah janji sebagai bangsa yang merdeka itu masih tersimpan dalam dada mereka, sumber ungkapan bahagia yang mestinya menjadi dasar utama, dan apakah janji itu telah direfleksikan dalam kehidupan berbangsa pada saat ini.

 

Seandainya saja janji sebagai bangsa itu kita pegang teguh dan kemudian diwariskan pada generasi muda, warna perayaan sumpah pemuda tentu akan penuh dengan tawa dan juga tangis bahagia rakyat negeri ini, meski ada banyak masalah yang menghadang negeri ini. 

Momentum sumpah pemuda bisa jadi akan melahirkan komitmen baru bagi perjuangan bersama untuk menyejahterakan rakyat yang sebagian besar berada dalam kemiskinan, dan penderitaan karena berbagai bencana, itulah harapan rakyat di negeri ini.

 

Kita tentu prihatin, pada  realitasnya, rakyat miskin di negeri ini masih saja belum mendapatkan perhatian memadai. 

Ditengah kemelaratan rakyat, sulitnya mencari kerja, menderita karena berbagai bencana yang belum juga teratasi, elite di negeri ini justru mempertontonkan kemewahannya dalam penyelenggaraan Pilkada yang menghamburkan banyak uang, meski disaat pandemi covid-19 sekalipun.

  Bukti bahwa rakyat  miskin belum mendapat perhatian utama. Mudah-mudahan pilkada damai menumbuhkan kesadaran elite bahwa rakyat amat merindukan implementasi janji-janji mereka.

 

Makna janji

 

Janji, ikrar sebagai bangsa memiliki makna yang penting, karena itu perlu dipegang erat. Pentingnya sebuah janji terlihat jelas dalam suatu perkawinan. 

Janji melahirkan keberanian untuk menerima satu sama lain apa adanya. Dalam janji itu terkandung tekad untuk tetap bersama meski ada banyak tantangan yang mesti dihadapi dan tak terpikirkan sebelumnya. 

Karena berpegang pada janjilah sebuah rumah tangga dapat bertahan menghadapi badai cobaan bagaimanapun derasnya.

 

Demikian juga, Janji sebagai bangsa yang satu mestinya juga terus dipegang erat, meski kita tahu negeri ini telah amat menderita oleh gelombang krisis yang datang silih berganti. 

Konflik yang timbul diberbagai daerah, konflik partai politik, dll. Konflik itu bisa di musiumkan, jika kita berpegang pada janji sebagai bangsa.

 

Apabila janji sebagai bangsa itu kemudian diwariskan pada  generasi penerus bangsa ini, kekuatiran munculnya separatisme yang biasanya mudah menjalar di kalangan kaum muda,sebagaimana terjadi di berbagai daearah, tidak perlu terjadi. 

Seperti pada peristiwa Sumpah Pemuda, kaum muda akan berjuang keras demi kebesaran bangsa ini, seperti yang dilakukan team olimpiade fisika dan sains yang telah mengharumkan negeri ini.

 

Pengampunan

 

Jika kita setuju pada Hannah Arendt, bahwa tindakan manusia memiliki dua kelemahan yaitu unpredictable (tak dapat diramalkan) dan irreversible (tak bisa dikembalikan ke titik nol) maka niscaya komitmen untuk berpegang lebih erat pada janji kebangsaan akan lahir dalam peringatan kemerdekaaan Indonesia kali ini.

 

Perlakuan sesama warga bangsa yang menyakitkan tidak mesti ditafsirkan sebagai sesuatu yang lahir dari semangat membinasakan, karena kelemahan manusia bisa melahirkan interpretasi berbeda, perbuatan baik bisa direspons negative, dan bukan melulu karena nafsu ingin membinasakan, tetapi hanya karena salah pengertian, suatu tindakan yang unpredictable

 

Konflik yang terjadi dalam perjalanan bangsa ini juga mesti dilihat dari keterbatasan manusia Indonesia. Memang konflik itu telah menggoreskan luka, dan tak mungkin kembali seperti sedia kala. 

Luka yang disembuhkan tetap menyisakan bekas luka, tapi kesadaran akan keterbatasan manusia membuat kita mampu untuk saling memaafkan. Karena tak ada manusia yang luput dari salah.

 

Kekuatan pengampunan memang tidak akan melenyapkan bekas luka, namun, kekuatan pengampunan mampu menyembuhkan luka, dan memampukan yang terluka melihat sisi positif dari kejadian tersebut, tanpa perlu menghapuskan realitas yang pernah terjadi. 

Sebaliknya, itu menjadi pengalaman berharga untuk dapat hidup bersama lebih baik, mengalami kedewasaan sebagai warga bangsa.

 

Seandainya kita mengerti pentingnya makna sebuah janji, maka usaha menjaga janji itu untuk tetap lestari niscaya tertanam di lubuk hati kita yang terdalam. 

Keperihan menerima realitas menjadi kerelaan, karena kesadaran pentingnya janji itu aakan menghadirkan kesediaan untuk berkorban. 


Jika, rakyat di negeri ini dahulu rela menyerahkan jiwa raga mereka untuk kemerdekaan bangsa ini, sepatutnyalah kita rela mengampuni sesama warga bangsa untuk tetap berpegang pada janji sebagai bangsa yang merdeka.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/pahlawan-dan-proyek-kebangsaan.html

Identitas Nasional Kita





 

 

 

Kita mungkin telah bosan dengan pidato-pidato yang mengingatkan mengenai telah terjadinya degradasi identitas nasional Indonesia. 

Tapi, kebosanan mendengarkan peringatan tersebut tidak berarti bisa membebaskan kita dari krisis identitas nasional, seperti yang pernah diungkapkan Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia, Mukhlis Paeni, “Indonesia telah mengalami degradasi ingatan kesejarahan.”

 

Mahfud M.D. salah seorang tokoh nasional negeri ini pernah secara terbuka mengakui bahwa saat ini jati diri bangsa telah makin terkikis. Nilai-nilai luhur seperti toleransi, hidup damai, sopan, dan bangga pada dirinya mulai luntur. Krisis moral yang terjadi pada bangsa ini menyebabkan martabat bangsa Indonesia  sering dilecehkan oleh bangsa lain.

 

Pernyataan-pernyataan tersebut mestinya menjadi alarm bagi negeri ini, bukannya malah mengabaikannya begitu saja, karena  degradasi ingatan kesejarahan itu akan menyebabkan kematian identitas bangsa yang menyebabkan suramnya masa depan bangsa.

 

 

Identitas Nasional

 


Masa lalu mengajarkan kepada kita mengapa kita ada pada masa kini. Sedang  apa yang kita cita-citakan pada masa depan  menolong kita untuk bijak bertindak pada masa kini, karena dengan memiliki cita-cita yang jelas dan terukur itu kita dapat membuat proyeksi untuk menggapai cita-cita tersebut. Sebaliknya Indonesia akan kehilangan masa depan jika membiarkan kehilanganingatan sejara. Tanpa pengetahuan masa lalu Indonesia akan mengalami kematian identitas, yang akhirnya berujung pada negara gagal.

 

Identitas diambil dari kata Latin, idem yang mengimplikasikan arti kesamaan dan kontinuitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas diartikan sebagai jati diri, yakni ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Sedang, menurut pandangan psikologi sosial, identitas adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri sebagai suatu mahkluk yang unik. Erik Erickson kemudian mengembangkan gagasan identitas bukan hanya sebagai “proses ‘menemukan” dalam inti individu tetapi juga dalam inti kultur komunal, sebuah proses yang menciptakan identitas dari kedua identitas tersebut. Jadi identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi juga berlaku pada kelompok.

 

Identitas nasional menurut Koento Wibisono pada hakikatnya merupakan "manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya". Jadi, yang dimaksud dengan identitas bangsa Indonesia adalah manifestasi dari segenap nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari aneka  suku yang "dihimpun" dalam satu kesatuan Indonesia, menjadi kebudayaan nasional.

 

Pancasila dan semangat "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi dasar dan arah pengembangan kebudayaan nasional yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Keragaman suku, budaya, bahasa dan agama merupakan unsur-unsur pembentuk identitas bangsa Indonesia. Segenap nilai-nilai budaya nasional Indonesia itu mesti termanifestasi dalam dirinya bangsa Indonesia. Karena itu melupakan Pancasila, secara bersamaan juga melupakan sejarah pembentukan identitas bangsa Indonesia, dan itu sama saja dengan membiarkan bangsa ini mengalami kematian identitas.

 

Krisis moral

 

Meredupnya kecintaan pada Pancasila yang kini terlihat pada pembilahan masyarakat berdasarkan suku, budaya dan agama. Ini  bukan hanya akan mengakibatkan terjadinya degradasi identitas nasional, tetapi lebih parah lagi bisa mengarah pada kematian identitas bangsa Indonesia yang fenomenanya terlihat pada disintegrasi yang meledak dalam konflik antar suku, agama dan kelompok di negeri ini.

 

Jalan Pancasila yang tersohor dengan semangat bhinneka tunggal merupakan jalan pemersatu suku, budaya dan agama yang beragam dan berbeda di negeri ini. Pancasila ibarat rumah bersama bagi identitas yang beragam dan berbeda itu, yang menjadi pembentuk identitas nasional Indonesia. Karena itu menerima Pancasila sesungguhnya jauh dari semangat diskriminasi atas nama apapun.

 

Menerima Pancasila harus dimaknai sebagai penerimaan terhadap perjumpaan komitmen-komitmen semisal perbedaan agama, suku dan budaya untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar komunitas yang beragam itu. Agama, suku dan budaya yang beragama dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesa dari keragaman yang ada tersebut. Semangat “Bhineka tunggal ika” yang anti diskriminasi menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. 

 

Para pendiri bangsa ini telah sepakat, negara, bangsa dan masyarakat Indonesia yang akan dibangun adalah negara bangsa dan masyarakat Pancasila. Karena itu mereka menetapkan nilai-nilai Pancasila harus menjiwai batang tubuh dari UUD 45 yang menjadi dasar bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Seperti dikatakan Eka Darmaputera, “Pancasila merupakan nilai-nilai yang disepakati bersama (values consensus).”

 

Pancasila bukan sesuatu yang diberikan (given), tetapi itu adalah sebuah pencapaian. Soekarno mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ide baru, tapi digali dari bumi Indonesia dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Pancasila merupakan dasar filosofis yang masih perlu terus digali seiring dengan perkembangan terbaru saat ini untuk menghadapi permasalahan-permasalahan relevan saat ini.

Sayangnya, meski Pancasila telah ditetapkan sebagai ideologi negara, perlawanan untuk menggantikannya dengan ideologi lain masih terus berlangsung sepanjang sejarah NKRI. Penolakan langsung terhadap Pancasila bukan hanya terjadi secara terbuka, tetapi juga secara terselubung. Pergumulan ideologi itu berjalan terutama melalui proses transplantasi ideologi masing-masing itu kedalam Pancasila. Padahal, membiarkan gerakan-gerakan yang merongrong Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sama sekali tidak beralasan, wajar saja jika rakyat di negeri ini mengalami kerisauan dengan ketika Pancasila makin dipinggirkan.

Dapat dibayangkan, betapa berbahayanya apabila Pancasila tidak lagi menjadi nilai-nilai bersama, yang menjadi landasan etik dan moral bangsa Indonesia, sehingga setiap orang memiliki landasannya sendiri-sendiri. Pada kondisi ini dapat dikatakan, Indonesia sedang menghadapi bahaya disintegrasi, masing-masing individu, kelompok mengambil jalannya sendiri-sendiri, bukan jalan pancasila. Ini mengakibatkan kaburnya norma-norma apa yang baik dan yang jahat, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang benar dan apa yang salah, bisa disebut, telah terjadi krisis moral bangsa.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat


https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/identitas-nasional-kita.html

Thursday, December 3, 2020

Indonesia Perlu Pemimpin Politik Berkarakter

 





 

Hadirnya pemimpin-pemimpin politik yang berkarakter dan berkualitas adalah mutlak. Mereka yang telah berjuang memperkembangkan karakter-karakter mulia mestinya juga berambisi untuk menduduki jabatan politik demi menghadirkan Indonesia yang adil dan makmur. 

Jabatan politik harus diperjuangkan jatuh ketangan orang yang tepat, jujur, berkarakter, dan berkualitas. Karena politi itu kudus dan sejatinya diisi oleh orang-orang berkarakter untuk menjaga kekudusan politik.

Dalam konteks ini gereja dan agama-agama harus berperan penting, yakni mendorong umatnya yang memang terpanggil dalam dunia politik untuk hadir menguduskan politik. 

Karena politik itu kudus, dan harus diisi oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi terhadap Tuhan dan sesamanya.

“Terang,”dalam hal ini orang-orang terbaik negeri ini, tidak boleh tidak peduli dengan dunia politik yang amat penting itu, dan harus memberikan terangya di dunia politik. 

Apabila “Terang”itu tidak lagi memberi terangnya, betapa gelapnya dunia politik di negeri ini.

Negeri ini akan terus mengalami restorasi apabila kesadaran politik rakyat semakin meningkat. Kesadaran politik rakyat itu akan menjadi benteng yang kuat untuk membendung hadirnya politisi-politisi busuk yang menyengsarakan rakyat, dan ini akan menjadi jalan tol bagi hadirnya pemimpin-pemimpin berkarakter, berkualitas yang akan memakmurkan Indonesia.
Jagad politik Indonesia akhir-akhir ini mengalami dinamika dengan hadirnya politisi-politisi yang mendapat dukungan rakyat. Pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur harus melalui jalan yang berliku-liku karena absennya putra-putra terbaik bangsa Indonesia yang berkarakter jujur dan berkualitas.
Dalam perspektif Kristen negara adalah lembaga yang didirikan Allah untuk menegakkan keadilan Allah. karena itu, Kekeristenan bertanggung jawab untuk mendorong pemerintah yang berkuasa agar bertindak secara bertanggung jawab yakni menyatakan keadilan Allah demi terciptanya tatanan pemerintahan yang adil dan damai.

Kekristenan dalam hal ini harus memiliki peran penting dalam pemerintahan untuk menciptakan pemerintahan yang adil, hadirnya pemimpin-pemimpin Kristen dalam pemerintahan adalah implementasi dari ketaatan tersebut.  kekristenan pada sisi yang lain juga harus menjadi warga Negara yang bertanggung jawab, dalam hal ini mentaati pemerintah yang adil, ruang publik sejatinya menjadi arena kesaksian kekristenan. Mereka yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin harus didorong hadir dalam kontestasi politik di negeri ini.

Dalam pandangan Kristen Kedaulatan Allah merupakan determinasi Allah yang ditentukan (predestined) untuk mengusung komunitas manusia  menuju keadaan yang didalamnya kesetaraan, kebebasan dan keadilan tumbuh. Jadi, kedaulatan Allah tidak boleh mereduksi manusia menjadi boneka serta membenarkan tirani politik dan sosial .
 

Tidak sedikit komunitas Kristen yang pasrah berada dibawah pemerintahan absolutis. Kedaulatan Allah mestinya mende-absolutisasi dan merelativisasi semuan klaim atas kekuasaan absolut. 

Konsep Kedaulatan Allah dalam kekristenan lebih sering sebagai senjata melawan tirani daripada mendukungnya. Tugas kritis gereja adalah untuk melakukan desakralisasi, relativisasi, dan demokratisasi.

Dalam perspektif kekristenan suara rakyat bukanlah suara Tuhan. Rakyat bukanlah Allah, rakyat tidak memiliki penalaran dan kebaikan sempurna tanpa cacat, kehendak rakyat atau  roh rakyat bukanlah memutuskan apa yang adil dan tidak adil . Rakyat harus tunduk pada hukum moral yang melampaui dirinya.

 

Nasionalisme memiliki baik kapasitas untuk    memperbesar kebebasan maupun potensi  untuk menghancurkan kebebasan. Nasionalisme kesukuan di negeri ini akan mengikis kemajemukan dan toleransi.

Nasionalisme Indonesia harus berada dalam taman sarinya internasionalisme. Nasionalisme Indonesia harus menjaga kemajemukan dan toleransi di indonesia.

 

Kehadiran pemimpin-pemimpin Kristen yangmemiliki komitmen moral dalam hal ini amat penting untuk hadirnya Indonesia yang lebih baik. 

Seruan revolusi mental yang didengungkan Presiden RI Jokowidodo mestinya menjadi tantangan bagi kekristenan untuk bersama mewujudkan Indonesia yang bersih dan bermoral. 

Karena memang harus diakui bahwa di negeri ini telah terjadi dehumanisasi yang amat memperihatinkan. 

Revolusi mental dalam hal hanya dapat terjadi dengan terjadinya transformasi budaya yang berkelanjutan

Itulah sebabnya pendidikan di negeri ini sejatinya perlu menitikberatkan pada pengembangan budaya nasional sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ki hajar Dewantara.

Pendidikan harus berperan dalam pengembangan kebudayaan nasional. 

Kementerian pendidikan dan kebudayaan merupakan nama yang tepat bagi kementerian pendidikan yang menjadi ujung tombak pemajuan kebudayaan Indonesia. 

Kebudayaan adalah kemuliaan manusia yang tertinggi. Karena hanya manusia yang memiliki akal budi, dan mampu mengembangkan kebudayaan.

Pendidikan yang berhasil mengembangkan kebudayaan bangsa akan memuliakan bangsa tersebut. Keberhasilan kebudayaan adalah kemuliaan seluruh umat manusia. 

Sumbangsih dan keberhasilan kebudayaan seharusnya dimiliki seluruh umat manusia.Itulag sebabnya pendidikan adalah untuk semua. 

Pendidikan adalah hak asasi manusia. Hanya melalui pendidikan manusia dapat menjadi manusia seutuhnya.

 Pada sisi lain, kejatuhan manusia dalam dosa merupakan fakta, bahwa dalam perkembangan kebudayaan manusia tersebut tersembunyi fakta kejatuhan.

 Itulah sebabnya perkembangan kebudayaan “tidak baik-baik saja”. Ada kejahatan, korupsi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, pelanggaran kebebasan beragama, bahkan peperangan, yang tidak jarang menampilkan wajah bengis manusia.

Umat manusia dalam hal ini harus mewaspadai involusi budaya yang menghinakan martabat manusia, dan kemudian berjuang bersama-sama untuk mencapai taraf kebajikan tertinggi. Apalagi jika kita setuju bahwa kebudayaan adalah jiwa masyarakat, the soul of society.

Memahami bahwa masyarakat adalah komunitas “interdependen” maka sudah sepatutnya seluruh rakyat di negeri ini  menyadari tanggung jawabnya untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia, menuju pada kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera dan hidup saling menghargai. Karena itu

Berlangsungnya transformasi budaya yang berpusat pada kemuliaan Tuhan, dan bagi kemanusiaan harus menjadi tujuan semua orang di negeri ini. Tepatlah perkataan yang mengatakan, “Jika masyarakat manusia mencapai tingkat kebudayaan yang cukup tinggi, maka masyarakat itu membangun kota.

 Perkembangan budaya dari manusia yang telah jatuh dalam dosa harus diakui juga tercemari keberdosaan manusia. Jadi perkembangan peradaban tidaklah baik-baik saja. 

Transformasi budaya dalam hal ini tidak menolak budaya, namun juga tidak menerimanya begitu saja. Selama hasil akhir kebudayaan itu memuliakan Tuhan, dan memanusiakan manusia, itu dapat diterima, namun “kebudayaan”  yang melawan Tuhan dan menghinakan martabat manusia harus dikuduskan.

Regenerasi Korupsi, kolusi dan nepotisme yang sukses di negeri ini adalah bukti telah terjadinya involusi budaya, belum lagi geliat para makelar kasus yang meminggirkan keadilan, dan menjadikan hukum hanya tajam kebawah, pada mereka yang miskin serta tidak memiliki akses terhadap kekuasaan, dan tumpul ke atas, pada mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.
Singkatnya, bukannya nilai-nilai yang agung yang ditinggikan oleh banyak elit di negeri ini, sebaliknya semangat mau menang sendiri, menghalalkan segala cara, dan semangat untuk menghancurkan sesamanya telah mendominasi kehidupan elit, setidaknya itulah yang dipertontonkan lewat media, yang otomatis berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat.

Kondisi negeri ini ternyata masih diperparah lagi dengan meredupnya kecintaan pada Pancasila yang kini terlihat pada pembilahan masyarakat berdasarkan suku, budaya dan agama. 

Ini  bukan hanya  mengakibatkan terjadinya degradasi identitas nasional, tetapi lebih parah lagi bisa mengarah pada kematian identitas bangsa Indonesia yang fenomenanya terlihat pada disintegrasi yang meledak dalam konflik antar suku, agama dan kelompok di negeri ini. 

Padahal, para pendiri bangsa ini telah sepakat, negara, bangsa dan masyarakat Indonesia yang akan dibangun adalah negara bangsa dan masyarakat Pancasila. 

Karena itu mereka menetapkan nilai-nilai Pancasila harus menjiwai batang tubuh dari UUD 45 yang menjadi dasar bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

Kita tentu paham bahwa Pancasila bukan sesuatu yang “given,” terberi,  tetapi itu adalah sebuah pencapaian. Pancasila memang bukanlah ide baru, tapi digali dari bumi Indonesia dan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Hingga saat ini, Pancasila merupakan dasar filosofis yang masih perlu terus digali seiring dengan perkembangan terbaru saat ini untuk menghadapi permasalahan-permasalahan relevan saat ini.

Karena itu, penerimaan terhadap  Pancasila harus dimaknai sebagai penerimaan terhadap perjumpaan komitmen-komitmen perbedaan agama, suku dan budaya untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar komunitas yang beragam itu.

Agama, suku dan budaya yang beragama dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesa dari keragaman yang ada tersebut. Semangat “Bhinneka Tunggal Ika” yang anti diskriminasi menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. 

Upaya menggali nilai-nilai Pancasila ini menjadi tanggung jawab semua rakyat Indonesia. Transformasi Pancasila mesti membawa pada kehidupan bersama rakyat Indonesia yang lebih baik untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur.

 

Partisipasi Rakyat Untuk Demokrasi yang 

bersih dan Bermartabat

Dalam permainan bersama dalam suatu masyarakat, semua individu yang diciptakan sederajat itu harus ikut bermain, dan tidak ada satupun yang boleh dijadikan obyek permainan. Semua individu adalah pemain, karena setiap individu memiliki sumbangsih yang berbeda-beda, dan memiliki peran penting dalam permainan tersebut. Suatu permainan yang akan membahagiakan semua. Hadirnya demokrasi yang bersih dan bermartabat hanya mungkin jika semua elemen masyarakat terlibat aktip dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung serentak pada Desember tahun ini.


Keterlibatan rakyat dalam hal ini sangat penting dalam memilih calon kepala daerah yang memiliki kapasitas untuk jabatan tersebut, itu bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendidikan calon, ataupun penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tapi juga karakter dan moralitas calon tersebut. Untuk memilih calon berkarakter tentu saja tidak mudah, ini membutuhkan relasi yang baik dengan sang calon. Media dalam hal ini sangat berperang penting dalam publikasi calon secara seimbang, khusunya rekam jejak calon kepala daerah.  Rakyat harus melihat rekam jejak calon tersebut secara baik, dan dengan dasar itulah kemudian menentukan pilihannya.


Tanpa moralitas penguasaan iptek bisa menjadi alat menghancurkan budaya Indonesia, dan juga menghancurkan manusia Indonesia. Sebagaimana kita paham bahwa Politik bisa menjadi alat untuk menghinakan martabat kemanusiaan ditangan mereka yang jahat dan tak bermoral. Sebaliknya,  jabatan politik ditangan orang-orang berkarakter dan bermoral juga  bisa menjadi alat  untuk menyejahterakan manusia, untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Demikian juga memilih calon kepala daerah yang menguasai Iptek tinggi tanpa moralitas akan sangat berbahaya bagi kelangsungan negeri ini.

Indonesia memerlukan pemimpin yang tidak hanya pandai, memiliki kemampuan manajerial yang tersohor, tetapi juga memiliki sifat kepahlawanan. Pemimpin yang memiliki sifat kepahlawanan  adalah pemimpin yang berani membela dan menyuarakan kebenaran, yang menguntungkan semua orang tanpa perbedaan, dan yang mendatangkan kebaikan bagi semua masyarakat. Hadirnya pemimpin-pemimpin yang baik akan memperkuat persatuan bangsa, dan kesatuan bangsa, dan ini juga menjadi kebutuhan amat penting masyarakat di negeri yang tersohor dengan keragamannya.

Wabah corona yang menghantam Indonesia  dan juga dunia, yang kemudian melahirkan gaya hidup baru yang terkenal dengan istilah “normal baru”.Hidup bersahabat dengan corona, artinya tetap menjalani hidup meskipun corona belum mampu kita tuntaskan, dan menjalani hidup dengan bersahabat dengan corona artinya hidup normal yang baru, yang sebelumnya tidak pernah kita alami, demikian juga banyak negara di dunia. Meskipun corona belum mampu kita punahkan, dan corona masih menjadi ancaman, kita tetap bisa menjalani hidup normal  dengan tetap waspada untuk tidak tertular dan menularkan virus corona.

Dunai saat ini membutuhkan pemimpin-pemimpin berkarakter yang selalu ingin maju, terus berubah, dan berani melawan perubahan hidup. Bagaimanpun beratnya kehidupan, manusia harus menjalaninya, dan menjalani hidup bersama dengan bersatu saling tolong menolong adalah jalan terbaik.

Pada konteks itu kepemimpinan yang handal dan berkarakter menjadi sebuah keharusan. Kiranya kehidupan normal baru yang sedang kita jalani ini,  membuat kita juga berjuang untuk berdamai dengan sesama untuk kemudian memunahkan corona bersama.

 

 

Dr. Binsar Hutabarat

https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/indonesia-perlu-pemimpin-politik.html


Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik

  Pilkada Jakarta: Nasionalis Vs Islam Politik Pernyataan Suswono, Janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur, dan lebih lanjut dikat...