Negara-negara Eropa yang sekuler , seperti Perancis kerap gamang bersikap terhadap agama. Pada sisi lain Barat yang sekuler, jika tidak ingin dikatakan anti agama, kerap tidak mengijinkan agama untuk hadir dalam ruang publik. Ada anggapan ruang publik yang steril dari agama menjanjikan kedamaian untuk semua orang.
Keyakinan itu sebenarnya perlu dikubur, karena bagaimana pun kuatnya negara-negara sekuler menyingkirkan agama untuk hadir di ruang publik, eksistensi agama tak pernah tergusur.
Mungkin itu masih menjadi mimpi buruk negara-negara sekuler yang awalnya adalah negara agama, dan mereka yang menganut paham sekuler itu mengalami deskriminasi dalam negara agama.
Apabila negara-negara Eropa seperti Perancis dapat arif dalam mengamati perjalanan sejarah, maka mereka yang menganut paham sekuler itu tak perlu anti agama, apalagi berusaha mendeskriminasikan agama-agama untuk melindungi eksistensi mereka.
Pengalaman buruk Perancis
Perancis perlu Belajar dari Presiden Jeques Chirac yang menanggapi postif protes negara islam terhadap provokasi terang-terangan Tabloid Charlie Hebdo yang mengatakan, “Apapun yang dapat melukai keyakinan orang lain, khususnya keyakinan beragama harus dihindari.”
Pengabaian Nasihat Bijak Chirac yang dilakukan Emmanuel Macron terlihat dengan pemberian dukungan terhadap Sekularisme Perancis yang secara bersamaan juga menumbuhkan islamofobia di Eropa. Apalagi dengan pernyataan macron yang deskriminatif yang akan memberlakukan undang-undang lebih ketat terhada minoritas Muslim di Perancis.
Sebenarnya cemooh kaum sekuler Eropa bukan hanya ditujukan kepada Islam, tetapi juga agama-agama lain. Perancis sebagai negara sekuler, juga negara-negara Eropa sekuler lainnya, kerap melakukan cemooh terhadap agama-agama yang mereka anggap tidak patut hadir di ruang publik. Bagi negara-negara sekuler seperti Perancis agama hanya boleh ada dalam ruang privat agama, dan tidak perlu terlibat untuk membangun kehidupan publik yang aman dan sejahtera.
Tesis negara sekuler terhadap agama
Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu yang akan memudar dalam masa modern.
Pippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.
Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”.
Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia.
Menguburkan Doktrin Sekularisasi
Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati.
Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.”
Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.”
Negara-negara sekuler patut menyadari bahwa kebebasan tanpa batas bukanlah kebebasan. Kebebasan perlu dilaksanakan dengan memerhatikan kebebasan orang lain. Kebebasan tanpa batas bukanlah kebebasan, tapi keliaran, karena itu sudah sepatutnya kelompok-kelompok sekuler juga mengakui keberadaan agama-agama dan mencontoh tindakan bijak Chrirac untuk tidak melukai perasaan siapapun dalam menjalankan kebebasan. Untuk itu perlu aturan atau undang-undang yang non deskriminatif.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/11/pengalaman-buruk-perancis-menguburkan.html
No comments:
Post a Comment