Kebebasan berekspresi dan
berpendapat bukan tanpa batas, tetapi kebebasan berekspresi
itu dapat dibatasi dengan undang-undang agar pemenuhan kebebasan individu tidak
mengganggu kebebasan individu lainnya.
Kebebasan berekspresi dan
berpendapat bukanlah pengesahan bahwa setiap individu bisa bertindak secara
liar tanpa menghormati martabat individu lainnya, yakni mengabaikan akibat penggunaan
kebebasan berekspresi itu bagi individu lainnya.
Kebijakan publik yang mengatur
kehidupan bersama sejatinya adalah sebuah konsensus bersama. Karena itu hukum,
kebijakan publik sejatinya harus melindungi setia individu
atau kelompok tanpa dekriminasi.
Apabila implementasi kebijakan
publik terindikasi menegasikan individu atau kelompok tertentu, pastilah ada yang salah dalam rumusan kebijakan publik itu.
Kebebasan beragama
Setiap agama itu unik dan absolud bagi pemeluknya. Maka, tak seorangpun boleh menghina agama apapun. Menghina agama apapun sama saja dengan menghina martabat manusia beragama.
Berdasarkan hal tersebut jelaslah setiap individu beradab wajib menghargai
dan menghormati apapun kepercayaan yang di anut oleh seseorang, dan juga
menjauhi usaha-usaha untuk menghakimi agama-agama yang beragam dan berbeda itu.
Sebab itu terhinalah mereka yang menghina agama yang dianut manusia yang bermartabat,
karena perbuatan tersebut menghianati kewajibab asasi manusia. Setiap orang
tentu boleh saja menyaksikan agama yang diyakininya itu tanpa perlu melecehkan
keyakinan agama dan kepercayaan lain.
Harus
diakui bahwa penghinaan terhadap salah satu agama, bukan hanya menyakiti hati
penganut agama itu, tapi juga menyakiti hati semua umat beragama. Karena
itu penghinaan pada salah satu agama
sepatutnya diposisikan sebagai penghinaan terhadap semua agama, yang patut diwaspadai oleh semua
umat beragama.
Kebenaran itu adalah milik Tuhan, interpretasi yang absolud tentang apapun yang kita percayai sesungguhnya hanya ada pada Tuhan. Karena itu tak seorang pun berhak memaksakan apa yang diyakininya kepada orang lain.
Menjadikan diri hakim atas sesamanya dalam menentukan tafsir yang benar tentang kepercayaan
agama-agama lain adalah kesombongan, itu sama saja dengan memposisikan diri sebagai Tuhan, sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang menyadari keterbatasannya.
Apabila kita percaya, di dalam hati nuraninya yang terdalam manusia sesungguhnya mencintai kebenaran, maka manusia sepatutnya diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang sesuai dengan nuraninya, dan itu juga berarti, kebebasan adalah semata-mata untuk melaksanakan kebenaran.
Marthin Luther dengan tegas mengatakan, “di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia. Meneguhkan hal itu, Os Guinnes mengatakan, “kebebasan hati nurani adalah dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara.” Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM). Karena
itu pelaksanaan kebebasan berekspresi mestinya didasarkan pada nurani manusia
yang terdalam, yakni mengusahakan kebaikan untuk sesamanya.
Apabila kebebasan hati nurani ini menjadi landasan dalam menjalankan hak kebebasan berekspresi, maka
kebebasan berekspresi pastilah akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Sebaliknya, pelaksanaan
kebebasan berekspresi tanpa hati nurani akan mengakibakan kekacauan dan
ketidaktertiban. Itulah sebabnya, penghinaan atas agama yang bertentangan
dengan suara hati nurani itu telah mengakibatkan kekacauan di banyak tempat.
Proteksi atas kebebasan hati nurani mestinya akan
menciptakan ruang publik yang sehat, dimana setiap anggota masyarakat memiliki kerelaan untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya, bukannya saling
menyakiti sesamanya.
Penghinaan terhadap agama tidak boleh ditolerir
meski itu dengan alasan untuk mengagungkan hak kebebasan berekspresi. Kebebasan itu tidak liar. Kebebasan bernaung dalam ketaatan pada hukum. Siapapun yang melaksanakan kebebasannya dengan melanggar hukum, harus menerima ganjaran hukum yang setimpal.
Jika kita setuju bahwa kerukunan adalah sebuah kerelaan yang keluar dari nurani manusia yang menghargai kebenaran tentang martabat manusia yang adalah sederajat itu, dan selayaknya hidup harmonis dalam perbedaan di bumi yang satu ini, maka kerukunan tidak mungkin dihadirkan dengan mendewakan“keliaran”. Demikian juga, memaknai kebebasan sebagai kondisi dimana setiap individu boleh melakukan apa saja sangatlah tidak berdasar. Kondisi itu lebih patut disebut “keliaran.” Kebebasan semata-mata diberikan untuk melaksanakan kebenaran yang memuliakan
martabat manusia.
Binsar A. Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2020/12/soal-kebebasan-berekspresi.html
No comments:
Post a Comment