BAB I
PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
TAHUN 1945-2008
Pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia telah terjadi sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bab I ini akan memaparkan mengenai pelanggaran hak kebebasan beragama yang terjadi sejak masa awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan 10 tahun masa reformasi. Penulis mengawalinya dengan penjelasan sekilas tentang lahirnya NKRI, kemudian perihal lahirnya Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara serta sumber hukum negara, dan proses bertumbuhnya nasionalisme Indonesia. Setelah itu baru diuraikan mengenai pelanggaran hak kebebasan beragama di Indonesia. Pelanggaran atas kebebasan beragama di Indonesia ini dilakukan secara institusional, dalam hal ini oleh negara, maupun oleh individu atau kelompok penganut agama tertentu terhadap individu atau kelompok penganut agama lain.
A. Sekilas Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hari lahirnya NKRI jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hari dimana proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Kemerdekaan yang di raih oleh bangsa Indonesia itu bukanlah hadiah dari bangsa Jepang, terlebih lagi Belanda yang tidak pernah ingin melepaskan cengkeramannya atas Indonesia. Jika mungkin, Belanda ingin terus menguasai Indonesia sebagai negara jajahan. Pasalnya, bagi Belanda, Indonesia mempunyai arti yang sangat penting. Setidaknya, selama berabad-abad Indonesia telah menjadi sumber penghasilan yang amat besar untuk Belanda. Terbukti, setelah kemenangan tentara sekutu atas Jepang, Belanda kembali ingin menancapkan taringnya di Indonesia. Pada akhirnya Belanda mengakui kedaulatan NKRI, namun itu dilakukan setelah melewati peperangan-peperangan yang amat melelahkan dengan mengorbankan nyawa, harta yang tidak sedikit.
Tekad dan perjuangan rakyat Indonesia lahir dari kesadaran bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pernyataan perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.[1]
Perjuangan kemerdekaan Indonesia diraih dengan susah payah dan dibayar dengan harga yang mahal, yaitu darah para pejuang di seluruh pelosok tanah air. Oleh karena itu, tidak boleh ada individu atau kelompok yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tersebut semata-mata karena peran individu atau kelompok tertentu.
Lahirnya NKRI dapat pula disebut sebagai lahirnya Nusantara ketiga.[2] Hal ini didasari dengan pandangan bahwa NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah “negara ketiga” yang ada di bumi Nusantara. Ada pun negara pertama yang pernah berjaya di Nusantara adalah Sriwijaya yang bertahan lebih kurang selama empat abad. Negara kedua adalah Majapahit yang berjaya selama hampir tiga abad. Dapat pula dikatakan bahwa wilayah Majapahit lebih-kurang sama dengan NKRI saat ini. Berdasarkan fakta-fakta sejarah tersebut, tidak salah jika dikatakan bahwa NKRI adalah Nusantara ketiga yang bersatu. Oleh sebab itu pula, maka seharusnya warga etnis Tionghoa dimasukkan sebagai salah satu suku di Indonesia, karena kehadirannya telah ada sejak tahun 1415. Pada waktu itu di Gunung Jati Cirebon telah ada pemukiman Tionghoa. Sehingga, warga etnis Tionghoa ini harus diperlakukan sama sebagaimana suku-suku pribumi lain di Indonesia, apalagi mereka juga ikut serta dalam perjuangan merebut kemerdekaan.[3] Bedanya, jika negara Nusantara pertama dan kedua disatukan dengan kekuatan senjata, maka negara Nusantara ketiga ini bersatu berdasarkan konsensus bersama. Dengan kata lain, persatuan tersebut tercipta tidak dengan kekuatan senjata, walaupun harus menghadapi perlawanan bersenjata dari pihak penjajah. Meski demikian, NKRI ini bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Sriwijaya atau pun Majapahit. Pernyataan bahwa rakyat yang berdiam di wilayah Nusantara ketiga sebagai bangsa yang bersatu, telah dicetuskan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Hal ini tertuang dalam pernyataan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa yakni Indonesia. Pengakuan tersebut lahir dari kesadaran bahwa rakyat Indonesia sejak dahulu memang telah hidup dalam kesatuan, baik pada jaman Sriwijaya maupun Majapahit.[4] Dan pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat yang tinggal di bumi Nusantara sama-sama merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah. Rasa senasib dan sependeritaan tersebutlah yang mendorong rakyat Nusantara membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan suatu negara merdeka dan berdaulat penuh. Para pemimpin yang mewakili mereka pada waktu itu kemudian disebut sebagai “The founding fathers” Indonesia. Hanya dengan bersatu padu maka Indonesia dapat menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Dan persatuan Indonesia tersebut merupakan reaksi terhadap kolononialisme Barat yang melahirkan nasionalisme. Perjuangan rakyat Indonesia pada mulanya dilakukan secara tradisonal, secara kedaerahan. Sehingga selalu mengalami kegagalan. Dalam proses modernisasi Indonesia belajar dari Barat, sehingga nasionalisme yang terbentuk di Indonesia adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar dari Barat, dan secara bersamaan merupakan reaksi terhadap kolonialisme Barat.[5] Kemudian rasa satu bangsa itu terus bertumbuh dalam perjuangan kemerdekaan, sehingga dapat dimengerti mengapa bangsa Indonesia yang sangat beragam tersebut akhirnya dapat menjadi bangsa yang bersatu. Dan tentunya untuk memelihara persatuan tersebut merupakan suatu usaha yang seharusnya di usahakan terus menerus. Mengenai tumbuhnya perasaan sebagai bangsa yang bersatu tersebut, T.B. Simatupang menjelaskan seperti berikut:
Negeri saya telah melalui perang kemerdekaan belum terlampau lama berselang. Dalam kehidupan bangsa-bangsa, perang semacam itu – bila berbentuk perang gerilya – merupakan pengalaman yang amat menentukan. Ia mendobrak banyak hal yng lama dan sekaligus memantapkan tali-temali baru, solidaritas-solidaritas baru. Ia membuka cakrawala-cakrawala baru, harapan-harapan baru. Negeri saya benar-benar lahir ditengah-tengah perang kemerdekaan tersebut. Sekiranya peperangan itu tidak ada, sekiranya kemerdekaan itu adalah hasil perundingan seperti misalnya terjadi dengan India, bangsa saya tak akan mungkin sebersatu seperti halnya sekarang ini.[6]
Nasionalisme Indonesia yang bertumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme Barat terus bertumbuh dalam perjuangan revolusi, itulah yang menyebabkan Indonesia tidak terpecah-pecah seperti negara-negara lain yang beragam, seperti perpecahan yang terjadi di India. Jadi tidaklah mengherankan jika rakyat Indonesia tidak menyadari keberadaan dirinya yang sangat beragam tersebut, maka disintegrasi bangsa merupakan ancaman yang sangat serius, karena banyak daerah di Indonesia berusaha untuk memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa sejak permulaan revolusi hingga Indonesia mencapai kedaulatan penuh, setiap warga negara yang terdiri dari berbagai suku dan agama telah menjalankan kewajibannya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.[7]
Pengakuan bahwa bangsa Indonesia telah ada sejak lama tercermin dengan diakuinya pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan dari berbagai pelosok tanah air. Mereka itu antara lain Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Pattimura dari Maluku, Raja Singamangaraja XII dari Tanah Batak, Teuku Umar dari Aceh, dan lain-lain. Pahlawan-pahlawan tersebut telah berjuang memimpin rakyat Indonesia di daerahnya masing-masing untuk mengusir penjajah sebelum proklamasi kemerdekaan dinyatakan. Pengakuan bahwa masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan politik telah ada sejak lama, kemudian diwujudkan dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara, juga merupakan pencerminan bahwa rakyat Indonesia tetap sebagai satu kesatuan meskipun terdiri dari berbagai suku bangsa (bhinneka tunggal ika).[8]
B. Nasionalisme Indonesia
Lahirnya NKRI merupakan suatu mujizat yang luar biasa. Sebagai negara yang paling terpecah-pecah di bumi ini, mustahil untuk dapat mempersatukannya. Indonesia memiliki ribuan buah pulau. Belum lagi kemajemukan agama, budaya dan bahasa. Dari segi budaya dan bahasa Indonesia adalah negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia memiliki 250 bahasa dan kira-kira 30 kelompok etnis. Wajarlah apabila terjadinya proses penyatuan dari pulau-pulau yang sangat terserak dan memiliki agama, budaya, dan bahasa yang sangat bergam, dianggap sebagai suatu mujijat. Karena ia melampaui kenyataan yang biasa ada di dunia, seperti India yang terpecah menjadi dua misalnya.[9]
Mengenai keberadaan Indonesia yang sangat beragam dan penuh kontradiksi Simatupang melukiskan demikian:
Indonesia adalah negara yang penuh dengan kontradiksi. Ia adalah sebuah “negeri Islam” terbesar di dunia, dalam arti mempunyai jumlah penduduk beragama Islam yang terbanyak di dunia – lebih dari seratus juta orang. Namun, pada pihak lain, sebelum tahun 1965, Indonesia pernah mempunyai partai Komunis yang terkuat setelah Cina dan Rusia. Dan, jangan lupa, gereja-gerejanya. Beberapa di antaranya berkembang dengan pesat. Mengamati ketiga unsur di atas sekaligus, pasti membuat anda bertanya di dalam hati: negeri macam apakah itu?”[10]
Lahirnya NKRI dapat disebut lahirnya negara Nusantara ke3, karna NKRI adalah negara yang ke 3 yang ada di bumi Nusantara. Namun NKRI bukan merupakan lanjutan dari negara Sriwijaya (negara nusantara ke 1), atau majapahit (negara nusantara ke 2), karena lahirnya NKRI merupakan penyatuan dari kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, yang pada mulanya adalah kumpulan bangsa-bangsa setelah runtuhnya negara Majapahit.
Keajaiban tentang lahirnya NKRI juga terlihat dari banyaknya kelompok-kelompok yang bersifat kedaerahan yang mengatur daerahnya sendiri. Daerah-daearah yang mengatur daerahnya dapat disebut sebagai negara-negara kecil. Negara-negara kecil ini lahir karena kehancuran kerajaanMajapahit. Jadi lahirnya Indonesia dianggap sebagai penyatuan negara-negara kecil tersebut, atau dapat disebut penyatuan bangsa-bangsa.
Semangat nasionalisme itu tidak lahir dari dalam rakyat Indonesia tetapi merupakan reaksi terhadap kolonialisme Barat. Kegagalan negara-negara tradisional Indonesia yang bersifat kedaerahan untuk melawan penjajahan Belanda, menumbuhkan semangat persatuan antar kelompok tradisional tersebut untuk mengusir Penjajah. Karena itu nasionalisme Indonesia dapat dianggap lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme Barat.
Mengenai jalan panjang lahirnya nasionalisme Indonesia yang bermuara pada lahirnya NKRI, A.S. Hikam menjelaskan seperti berikut:
Jika kita perhatikan dengan seksama pertumbuhan wawasan kebangsaan kita, maka kita akan melihat proses pencarian yang cukup lama dan bertahap sebelum kemudian diformulasikan secara resmi oleh para pendiri bangsa, baik dalam bentuk ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Okober 1928 maupun dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan RI dan UUD 1945. dengan perkataan lain, proses pencarian identitas yang bermuara pada ditemukannya wawasan kebangsaan (nationalism) dilakukan melalui beberapa fase di dalam sejarah. Pada masa paling dini, agama, kebudayaan lokal, dan etnisitaslah yang mula-mula menyemangati dan menjadi sumber terpenting bagi munculnya kesadaran identitas baru yang oleh para sejarawan disebut sebagi protonasionalisme.[11]
Kolonialisme yang masuk ke Indonesia membuat raja-raja kehilangan kekuasaan riilnya, jadilah raja-raja tersebut hanya sebagai perpanjangan tangan penjajah. Ekspansi kolononialisme bukan hanya berdampak pada krisis legitimasi politik dan ideologis dengan hancurnya kekuasaan tradisonal, tetapi juga melahirkan sistem politik-ekonomi baru. Dengan hancurnya kekuasaan tradisional tersebut maka terjadilah kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut kemudian menyebabkan kepemimpinan jatuh ketangan elit di luar istana, termasuk pemimpin-pemimpin agama.[12]
Pada fase kepemimpinan tokoh-tokoh agama dan gerakan perlawanan terhadap perlawanan terhadap penjajah, yang juga berasal dari pemimpin-pemimpin kelompok yang berada di luar istana, kolonialisme di beri cap sebagai orang lain yang memiliki identitas berbeda seperti dalam soal agama (kafir), etnis, ras, kebiasaan dan bahasa. Dalam perjuangan-perjuangan tersebut kita kenal nama-nama seperti Diponegoro (Jawa), Patimura (Ambon), Sultan Hasanudin (Makasar), Cut Nya dien (Aceh), Sunan Bonang dan kalijaga (tokoh Islam) dll. Perjuangan kelompok ini memang mengalami kegagalan namun hal tersebut menumbuhkan keasadaran identitas kelompok baru yang indigenous yang berhadapan dengan kolonialisme Belanda.
Pada fase berikutnya walaupun etnisitas dan agama masih dominan, ditemukan jati diri yang lebih memiliki jangkaun luas, seperti terlihat dalam Oraganisasi Budi Utomo, dan Sarekat Islam (SI), dimana Budi utomo berangkat dari etnik Jawa, dan SI menggunakan landasan Islam, tetapi keduanya memiliki klaim universal, karena itu disebut sebagai fase baru. Setelah fase kedaerahan, fase ini disebut Proto nasionalisme.[13]
Pada fase selanjutnya muncullah sintesa baru yang lahir dari para pemimpin pergerakan yang mengecap pendidikan dan peradaban Barat. Merekalah yang kemudian menanamkan benih wawasan kebangsaan yang modern. Wawasan kebangsaan yang bertumbuh menjadi wawasan kebangsaan Indonesia modern. Wawasan kebangsaan ini mentransenden ke dalam eksklusivisme etnis, ras agama dan golongan. Wawasan kebangsaan ini tetap membiarkan keragaman etnis, agama, ras dan golongan. Jadi wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh Indonesia lahir dari proses dialektik antara yang partikular dan universal, nilai-nilai yang transendental dengan sekuler, antara Barat dan Timur.[14] Pada fase ini nasionalisme telah bertumbuh dengan subur.
Tumbuhnya semangat nasionalisme yang semakin menguat sebagaimana di jelaskan diatas disebabkan oleh dua hal. Pertama pengaruh perkembangan kebangkitan bangsa-bangsa terjajah untuk mendapatkan kemardekaan. Peristiwa penting yang sangat mempengaruhi tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia adalah kemenangan Jepang (Asia) atas Rusia (eropa) tahun 1905. Dalam peristiwa tersebut Asia yang umumnya adalah bangsa jajahan Eropa membuktikan diri sebagai negara yang juga mempunyai kemampuan yang sama. Terbukti Rusia mengalami kekalahan dengan Jepang. Kedua, politik etis pemerintah Belanda yang menciptakan terjadinya peningkatan pendidikan pribumi dan melahirkan kaum terpelajar di Indonesia, yang kemudian menjadi pembawa benih wawasan kebangsaan ke Indonesia tanpa membunuh keragaman etnis, agama, ras dan golongan.[15]
Dalam pergerakan nasionalisme Indonesia tersebut muncul dua kekuatan besar yaitu, gerakan Kebangsaan yang memperjuangkan lahirnya negara Indonesia sekuler yang memberi tempat pada agama, dan kubu Islam yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Sedang kelompok Komunis yang juga sempat bertumbuh pada menjelang kemerdekaan tidak mempunyai kekuatan yang besar karena pada tahun 1926/1927 kelompok Komunis disingkirkan oleh pemerintahan kolonialisme. Tidaklah mengherankan jika pada pergulatan mengenai dasar negara pertentangan yang kuat hanya terjadi antara kubu kebangsaan yang menginginkan negara sekuler dan kubu Islam yang menginginkan Islam menjadi dasar negara.[16]
Nasionalisme Indonesia kemudian tumbuh dengan subur pada masa perang-perang gerilya mempertahankan kedaulatan negara. Pengalaman perang-perang Gerilya dimana rakyat Indonesia bersama-sama, bahu membahu melawan penjajah, menumbuhkan semangat nasionalisme yang telah bertumbuh menjelang kemerdekaan. Semangat inilah yang memungkinkan Indonesia yang sangat majemuk dapat bertahan sebagai negara NKRI.
Nasionalisme Indonesia yang melahirkan Indonesia sebagai negara merdeka yang baru dibawah Pancasila melahirkan masyarakat baru. Masyarakata Pancasila ini bukan lagi masyarakat-masyarakat lama yang terpisah-pisah sebagaimana yang ada sebelum kemerdekaan. Namun masyarakat Pancasila yang baru ini tidak dengan sendirinya dapat tercipta. Masyarakat Pancasila ini masih harus mengalami proses mewujud. Proses perwujudan masyarakat Pancasila ini berjalan lambat sehingga konflik suku, budaya dan agama sering kali terjadi. Karena memang masyarakat Pancasila yang satu tersebut belum memiliki wujud yang jelas.
Terhambatnya proses mewujudkan masyarakat Pancasila juga disebabkan oleh karena setelah perang kemerdekaan usaha untuk menumbuhkan semangat nasionalisme tidak lagi dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam setiap lapisan masyarakat Indonesia. Mengenai hal ini Tamrin Amal Tomagola menerangkan demikian:
Nasionalisme negara kemudian hanya subur dikalangan penyelenggara negara dan disebarkan serta dibela dengan gigh oleh perangkat birokrasi sipil dan militer, serta disebagian kalangan terdidik yang menjadi pegawai negeri. Sedangkan di lapisan masyarakat yang lain dan dibanyak wilayah Indonesia yang tumbuh subur justru nasionalisme agama dan nasionalisme etnis.[17]
Nasionalisme Indonesia yang tidak berakar dalam masyarakat Indonesia seharusnya terus ditumbuhkan dalam masyarakat Indonesia. Namun ternyata Nasionalisme itu justru ditelan oleh menguatnya komunalisme suku dan agama, karena memang nasionalisme hanya ditanamkan dalam sekompok kecil masyarakat. Akibatnya Indonesia sebagai negara baru tetap terdiri dari masyarakat lama yang mewujudkan masyarakat Pancasila. Konflik antar suku dan agama menjadi sesuatu yang terus menghiasai sejarah bangsa Indonesia.
Usaha untuk menyebarkan semangat nasionalisme tidak sebanding dengan usaha-usaha yang ingin menelan semangat nasionalisme yang terjadi secara terus menerus dan tidak pernah berhenti. Apalagi pemerintahan yang ada sering kali hanya memikirkan untuk melestarikan kekuasaan tanpa berpegang pada cita-cita bangsa Indonesia. Sehingga pembangunan masyarakat Pancasila sebagai perwujudan dari lahirnya negara Indonesia mengalami hambatan.
Beberapa peritiwa yang menjadi hambatan terwujudnya masyarakat Pancasila antara lain adalah, adanya usaha untuk menggantikan Indonesia dengan Ideologi lain. Yaitu Komunis dan Islam. Menjelang kemerdekaan terjadi pemberontakan Darul Islam (DI) dan pada tahun 1965 terjadi pemberontakan Komunis untuk menumbangkan negara Republik Indonesia. Usaha memadamkan perlawanan dari DI dan Komunis membutuhkan waktu yang panjang. Keadaan ini tentu saja menjadi hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan masyarakat Pancasila. Karena Pancasila terus menerus dirong-rong dari dalam dengan cara kekerasan.
Setelah pemberontakan-pemberontakan tersebut dipadamkan usaha perlawanan terhadap Pancasila juga tidak terhenti. Yang terjadi adalah perubahan bentuk perlawanan, tidak lagi dengan cara kekerasan, tetapi perlawanan dilakukan dengan cara terselubung, yaitu melalui penetrasi nilai-nilai agama dan kelompok yang eksklusif dan menimbulkan heterogenitas Pancasila. Sayangnya dalam kondisi Indonesia tersebut usaha untuk menyuburkan semangat nasionalisme tidak dilakukan dalam sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya bukan hanya komunalisme agama yang terus bertumbuh tetapi juga dibarengi dengan komunalisme budaya. Kelompok Komunis tidak lagi memberikan perlawanan berarti karena pada jaman orde baru pemerintah menghancurkannya dan menjadikannya partai terlarang dan paham terlarang.
Mengenai penyimpangan yang terjadi dalam proses pembangunan masyarakat Pancasila Darmaputera menjelaskan seperti berikut:
Dalam praktik kita bangun memang bukan masyarakat Pancasila. Masing-masing kelompok sibuk membangun masyarakatnya sendiri. Alhasil, yang terbangun bukanlah masyarakat Pancasila, melainkan satu masyarakat (Pancasila) yang merupakan kumpulan atau penjumlahan dari masyarakat-masyarakat tadi. Satu masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat. Bagaikan sebuah kepulauan yang terdiri dari ratusan pulau, yang satu sama lain tersekat-sekat oleh ribuan selat. Dari sinilah orang dengan tanpa risih dan terganggu mengucapkan atau mendengar: negara agama, No, masyarakat agama, Yes!.[18]
Karena usaha pembangunan Nasionalisme tidak berjalan dengan baik, maka pembangunan masyarakat Pancasila mengalami penyimpangan. Menurut Darmaputera yang terbangun bukan masyarakat Pancasila yang satu, tetapi kumpulan masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat, yang berusaha untuk membangun dan membesarkan kumpulan umatnya sendiri dan menelan kumpulan umat lainnya. Dan kemudian menguasai negara.
Terciptanya komunalisme agama dan budaya yang menghambat lahirnya masyarakat Pancasila juga sangat dipengaruhi oelh sikap pemerintah. Pemerintahan yang tidak adil menyebabkan terjadinya diskriminasi suku budaya dan agama. Pembangunan yang tidak merata, membuat Indonesia menjadi beragam dalam kehidupan sosial ekonomi. Akibatnya pertumbuhan suku, budaya dan agama yang pada awalnya merupakan perlawanan terhadap sikap pemerintah yang tidak adil, kemudian mengarah pada konflik antar kelompok yang ada. Dan kondisi tersebut sering kali disuburkan oleh pemerintah dengan politik akomodasinya demi mempertahankan kekuasaannya.
C. Pelanggaran Kebebasan Beragama.
Perlindungan kebebasan beragama di Indonesia telah menjadi problematika serius sejak lahirnya NKRI. Pancasila sebagai dasar bagi perlindungan kebebasan beragama telah mendapat perlawanan sejak penetapannya sebagai dasar NKRI. Pada tanggal 19 Agustus 1945, berkaitan dengan kehadiran kementerian agama, Latuharhary pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah mengatakan bahwa kehadiran kementerian agama akan melukai umat yang beragama lain.[19] Namun usul tersebut tidak diperdulikan, sebab kementerian agama itu dibentuk juga pada tanggal 3 Januari 1946.[20] Pembentukan kementerian agama ini merupakan konsesi pada pihak Islam, atas “hilang”nya tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Walaupun usul tentang pembentukan kementerian agama ini sempat mendapat penolakan, tetapi karena desakan umat Islam, pemerintah tetap membentuk kementerian agama. Hal itu dilakukan karena pemerintah membutuhkan dukungan umat Islam dalam menghadapi agresi Belanda.[21]
Kebenaran bahwa kementerian agama merupakan konsesi pada pihak Islam dapat dimengerti dengan melihat genealogi kementerian agama. Pada jaman Belanda di kenal dengan Kantor Urusan Pribumi (Kantoor voor Inlandsche zaken), sedang pada jaman Jepang disebut Shumubu. Karena dalam lembaga tersebut campur tangan pemerintah sangat kuat, maka beberapa kalangan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak setuju, sehingga pada kabinet pertama kementerian agama belum ada.[22] Hal lain yang menunjukan bahwa lahirnya kementerian agama ini merupakan suatu konsesi terhadap Islam formalis, terlihat bahwa kementerian agama ini merupakan kompromi antara yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama (Islam) dan yang menginginkan negara sekuler. Walaupun kementerian agama bukan merupakan perwujudan negara teokrasi namun memberikan perhatian kepada masalah agama, sehingga Indonesia bukanlah negara sekuler.[23] Nampak bahwa lahirnya kementerian agama yang merupakan kompromi terjadi karena kurang tegasnya penjabaran Pancasila mengenai hubungan antara agama dan negara, Islam formalis berusaha untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sedang nasionalis sekuler ingin memisahkan antara agama dan negara, sebagaimana terjadi dalam penolakan terhadap Piagam Jakarta yang didukung oleh Islam formalis. Belum jelasnya hubungan antara agama dan negara ini membuat timbulnya kompromi diatas, dimana Indonesia bukan negara agama, namun juga bukan negara sekuler. Hubungan antara agama dan negara yang lahir dari suatu kompromi di atas tidak ada duanya di dunia ini, sehingga tidaklah mengherankan usaha untuk menjalankannya tidaklah mudah.[24] Pada mulanya, kementerian agama ini hanya mengurus masalah-masalah yang berkenaan dengan agama Islam.[25] Karena memang kementerian agama tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan semangat Piagam Jakarta.[26] Sehingga pada jaman orde lama kementerian agama ini menjadi ajang pertarungan antar kelompok-kelompok dalam agama Islam. Kementerian agama ini sangat bersifat diskriminatif, karena hanya melayani agama Islam, sehingga selalu menuai kritik dari kalangan non Islam, kemudian kementerian agama ini juga memiliki seksi-seksi agama Kristen, katolik Roma, Hindu-Budha, dan Islam sendiri. Dalam kementerian agama ini Hindu dan Budha disatukan walaupun keduanya diakui sebagai agama resmi negara.[27]Dalam periode awal orde baru Islam formalis merasa dirugikan oleh pemerintah yang berkuasa, karena pertumbuhannya dihambat melalui kementerian agama, misalnya dengan adanya pelarangan pemakian jilbab, namun dalam paruh kedua pemerintahan orde baru Islam formalis mendapatkan banyak konsesi dari pemerintah melalui Departemen Agama.[28] Tetapi sepanjang sejarah berdirinya, kementerian agama ini selalu memberikan kekhususan pada agama tertentu, dan bertindak diskriminatif terhadap agama-agama yang berbeda.
Terbukti, sejak awal berdirinya Indonesia, pemerintah tidak konsisten dalam berpegang pada konstitusi yang ada dengan cara memberikan perlakuan khusus kepada agama tertentu demi meraih simpati dan dukungan untuk melestarikan kekuasaannya. Kementerian agama yang masih menjadi perdebatan pada waktu sebelum dibentuk, seharusnya tidak boleh ada jika pemerintah ingin konsisten dengan Pancasila, apalagi pada awalnya kementerian agama hanya untuk agama tertentu. Pemberian kekhususan untuk agama tertentu, dan secara bersamaan memberikan pembatasan pada agama-agama lain, merupakan pembelengguan terhadap kebebasan beragama.
Berkaitan dengan sejarah Departemen Agama ini, Simatupang menjelaskan sebagai berikut:
Departemen itu mula-mula lahir sebagi Departemen untuk agama Islam, walaupun kemudian ditambah bagian-bagian untuk agama Kristen Protestan, agama Kristen Katolik, Agama Hindu dan Budha, namun secara struktural Departemen Agama semula tidak mengalami perubahan. Yang terjadi hanya bahwa kepada struktur itu yang ada ditambah beberapa bagian tanpa mengubah sifat dari struktur dasar Departemen Agama itu yang ada sekarang sebetulnya tidak lagi hanya melayani satu agama, tetapi melayani beberapa agama. Atau dengan perkataan lain transformasi dari Departemen Agama itu dari Departemen yang mula-mula melayani semua agama secara obyektif dan netral berdasarkan Pancasila dan tidak berdasarkan sesuatu agama, belum sepenuhnya terlaksana. Pada tingkat akhir Departemen itu hanya ber- Pancasila dan tidak berteologi, dalam arti bahwa berpedoman kepada Pancasila dalam melayani semua agama atas nama negara Pancasila dan tidak atas nama agama dan berdasarkan ukuran sesuatu agama tertentu.[29]
Kementerian agama sejak jaman orde lama maupun Departemen agama dalam jaman orde baru selalu melahirkan tindakan-tindakan yang diskriminatif, karena memang Departemen itu didirikan pada mulanya untuk agama tertentu, dan tidak pernah mengalami perubahan, karena penafsiran terhadap pancasila dilakukan dari sudut pandang agama tertentu dengan maksud melakukan penetrasi nilai-nilai agama kedalam konstitusi, akibatnya banyak peraturan Menteri Agama yang bersifat diskriminatif.
Salah satu keputusan Mentri Agama yang bersifat diskriminatif adalah penetapan agama resmi negara. Dengan kebijakan ini, maka penganut kepercayaan tidak lagi bebas untuk hidup sesuai dengan kepercayaannya. Nasib yang sama juga dialami oleh rakyat yang memeluk agama suku. Pemerintah menjadi agen penentu tentang apa yang boleh disebut agama, dan mana yang bukan agama. Padahal dalam pasal 29 UUD 1945 dikatakan bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Kata “kepercayaan” dimasukkan dalam pasal tersebut karena jasa Wongsonegoro, yang adalah seorang penganut kebatinan, dan yang menjadi ketua pertama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI)[30] Tetapi dengan adanya penetapan agama resmi maka penganut kebatinan tidak lagi diakui sebagai agama dan harus memilih salah satu dari agama resmi yang ada.
Syarat-syarat untuk dapat disebut agama.[31] adalah:
Memiliki kitab suci
Memiliki nabi
Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan yang Maha Esa)
Memiliki tata ibadah bagi pengikutnya
Pendefinisian agama resmi tersebut sangat berwawasan Islami. Dan karena definisi agama tersebut, maka aliran kepercayaan bukan hanya tidak mendapatkan subsidi pemerintah, tetapi juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan ritual mereka, juga dalam hal penyelenggaraan perkawinan.[32] Pendefinisian agama resmi ini sama dengan pendefinisian agama menurut Kipp dan Susan Rogers yang menyatakan empat syarat pengakuan suatu agama, yaitu: monoteistik, mempunyai kitab, mempunyai Nabi, mempunyai komunitas Internasional. Yang kemudian oleh Jane Monig ditambahkan bahwa agama itu harus membawa kemajuan (modernis) [33]
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pendefinisian agama resmi versi Menteri Agama sangat berwawasan Islami, maka dapat dimengerti bahwa Menteri Agama menafsirkan sila pertama dari Pancasila secara teologis, seperti tauhid dalam agama Islam akibatnya penetapan agama resmi tersebut menciptakan diskriminasi terhadap agama lain. Karena pendefinisian mengenai agama tersebut juga, agama-agama lain di luar keenam agama resmi Yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu Budha dan Konghucu tidak lagi diijinkan, walaupun keberadaan mereka telah diakui sejak lama. Jelaslah, kebebasan beragama telah dibelenggu, dan pemerintah menjadi penentu agama apa yang harus di anut warganya.
Pembentukan kementerian agama merupakan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh institusi yang berkuasa demi melestarikan kekuasaannya. Sikap kompromi pemerintah terhadap kelompok tertentu demi melanggengkan kekuasaannya menjadikan agama sebagai sumber konflik dalam kehidupan masyarakat. Agama dipakai menjadi alat politik untuk dapat tetap duduk di singgasana kekuasaannya. Nikmatnya kekuasaan membuat banyak orang lupa dengan janji setia untuk membangun Indonesia yang merdeka di bawah Pancasila.
Sikap kompromi pemerintah ini juga tampak pada waktu mengatakan bahwa: “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”[34] Pernyataan tersebut menimbulkan harapan untuk mengembalikan Pancasila dalam rumusan UUD 1945 ke Pancasila dalam Piagam Jakarta. Secara bersamaan, pernyataan ini juga menimbulkan kekecewaan karena pada hakekatnya, Piagam Jakarta tetap hanya merupakan dokumen historis dan tidak mewakili aspirasi rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam rumusan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945.
Tidak hanya sampai di situ. Pengekangan kebebasan beragama juga terus dipelihara oleh Soekarno dengan tetap mengakui produk hukum tentang perkawinan yang sangat diskriminatif yang adalah warisan Belanda.[35] Ironis, dalam negara yang mengakui Pancasila, negara turut campur atas kepercayaan seseorang yang adalah pemberian Tuhan. Berdasarkan hukum perkawinan yang sangat diskriminatif ini, di Indonesia tidak ada lagi tempat untuk menikah bagi pemeluk agama di luar agama resmi. Hal yang sama terjadi bagi pasangan yang memeluk agama berbeda.[36] Agama tidak lagi menjadi agama karena telah merupakan suatu kewajiban. Pada masa Soekarno, walaupun pada hakekatnya pemerintah mengakui pemisahan antara negara dan agama, namun dalam prakteknya, demi melestarikan status quo, agama disubordinasikan di bawah negara.
Pada masa pemerintahan Soeharto, tingkat pelanggaran terhadap kebebasan beragama tersebut semakin bertambah, antara lain dengan dikeluarkannya banyak produk hukum tentang hubungan antaragama yang sangat diskriminatif. Bentuk pelanggaran lainnya adalah maraknya tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga pemeluk agama tertentu, maupun antarpemeluk agama yang berbeda. Lembaran hitam, berupa tindakan kekerasan yang sangat keji dari orang-orang beragama terhadap masyarakat penganut kepercayaan yang berbeda terjadi pada saat penumpasan para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca-30 September 1965. Pada periode itu terjadi pembantaian terhadap jutaan orang yang dianggap pengikut PKI, pada waktu itu dianggap halal untuk membunuh pengikut komunis.[37]
Setelah masuk dalam era orde baru, kelompok Islam formalis menaruh harapan yang besar untuk kembali memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Namun impian tersebut tidak kunjung datang karena usulan untuk menambah tujuh kata ke dalam Pembukaan UUD 45 ditolak pada sidang MPRS tahun 1968. Usaha untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta itu didasari karena pemerintah tidak mampu membangun pemerintahan yang membawa kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Pada masa orde baru, bukan hanya simpatisan komunis yang mengalami pembantaian, umat beragama juga mengalami penderitaan hidup di bawah pemerintahan rejim yang otoriter itu. Meski pemerintah orde baru berjanji untuk kembali pada Pancasila dan melaksanakannya secara murni dan konsekwen, yang terjadi justru perlawanan terhadap Pancasila. Karena undang-undang perkawinan yang amat diskriminatif itu terus juga dilaksanakan, maka tidak jarang pasangan yang saling mencintai harus pergi keluar negeri hanya untuk mendapatkan pengakuan sebagai suami istri. Jika mereka dari kalangan warga yang tidak mampu, mereka terpaksa menyangkal agamanya demi mendapatkan pengakuan sebagai suami-istri di tanah airnya sendiri.[38]
Pemberlakuan agama resmi sebagaimana dilakukan pada masa Soekarno juga terjadi pada masa orde baru. Bahkan yang lebih tragis, agama Konghucu yang telah diakui keberadaannya pada masa Soekarno melalui penetapan Presiden No. 1/Pn.pn/1965, dan dalam undang-undang no.5 tahun 1969 tentang jenis-jenis agama di Indonesia yang terdiri atas, Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, tidak lagi diakui pada masa Soeharto melalui Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negri No.477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978. yang menyatakan agama yang diakui pemerintah adalah, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Khonghucu tidak lagi diakui sebagi agama resmi negara.[39] Sejak itu, umat Konghucu Indonesia mengalami pemasungan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Bahwa keinginan untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara terus berlangsung, walaupun sejak dekrit Presiden 5 Juli perjuangan menggantikan Pancasila tidak lagi dilakukan dengan cara kekerasan, tetapi dengan melakukan penetrasi nilai-nilai kelompok tertentu kedalam Pancasila. Wujud perjuangan kelompok yang ingin melakukan penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam konstitusi negara bukan hanya dalam usaha mengembalikan Piagam Jakarta, tetapi juga terjadi dalam kementerian agama yang tidak dapat dipisahkan dengan semangat Piagam Jakarta. Akibatnya kementerian agama melahirkan keputusa-keputusan yang bertentangan dengan Pancasila.
Pada tahun 1969 keluar pula Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Dalam pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah perlu mendapat ijin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. SK-SK bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen.[40] Karena memang latar belakang dikeluarkannya SK tersebut karena ada gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah umat Kristen bertambah dengan pesat, dan dibeberapa tempat terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja.[41] Ketetapan bahwa negara menjamin kebebasan warga negara untuk beribadah menurut kepercayaannya masing-masing telah disangkal dengan keluarnya SKB tahun 1969 itu. SKB ini menjadi alasan bagi penutupan, bahkan perusakan disertai pembakaran terhadap rumah-rumah ibadah agama minoritas. Namun anehnya, sampai era reformasi, surat keputusan yang kontroversial ini tidak pernah dicabut. Padahal suatu produk hukum yang tidak produktif seharusnya dicabut.
Belum puas dengan pembelengguan kehidupan beragama dengan cara mempersulit pembangunan rumah ibadat, Menteri Agama kembali membuat keputusan bersama nomor 1 tahun 1979 tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Pasal 4 dari keputusan tersebut menjelaskan bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan bagi orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain.[42] Mengenai pelarangan penyiaran agama kepada yang sudah beragama ini, Simatupang mengatakan :
Salah satu jalan yang hendak ditempuh guna menghentikan pertumbuhan gereja yang pesat itu ialah melalui dikeluarkannya suatu pernyataan bersama, bahwa semua pihak tidak akan membawa agama kepada orang yang telah mempunyai agama. Maksudnya ialah agar supaya menyampaikan agama masing-masing orang dipusatkan kepada orang-orang yang belum mempunyai agama, sehingga dengan demikian tidak akan timbul ketegangan di antara umat beragama sendiri.[43]
Usaha untuk membatasi perkembangan agama tertentu merupakan suatu pelanggaran kebebasan beragama yang dilindungi oleh Pancasila dan UUD 1945. Dan dari segi kekristenan, mewartakan “kabar baik” merupakan perintah agung Tuhan Yesus Kristus, dan tidak mungkin diabaikan. Peraturan pelarangan penyiaran agama kepada orang yang sudah beragama membelenggu kebebasan umat Kristen dan agama lainnya untuk menjalankan perintah Tuhan atau beribadat kepada Tuhan menurut kepercayaan masing-masing, karena pemberitaan tentang keyakinan agama merupakan ibadah yang harus dijalankan, negara yang menjamin kebebasan beragama secara bersamaan berarti memberikan kebebasan umat beragama untuk mentaati perintah dari Tuhan seperti juga dalam hal menyaksikan iman kepercayaan dari pada umat beragama. Mengenai pengertian agama Gus Dur menjelaskan bahwa: “semua orang sebenarnya beragama, karena suatu agama bisa dikatakan agama apabila pemeluknya mengatakan apa yang dianutnya itu agama, orang lain tidak berhak mengatakan lain-lain”.[44] Demikian juga Surat keputusan Menteri Agama no.77 tahun 1978 tentang bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia, dimana semua bantuan luar negeri terhadap lembaga keagamaan yang ada di Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan/rekomendasi dan melalui Menteri Agama.[45] Departemen Agama yang pada hakekatnya ada untuk kepentingan agama Islam, berusaha menekan lajunya perkembangan agama-agama lain dengan mengontrol bantuan luar negeri terhadap agama-agama lain. Pemerintah bukan hanya mengeluarkan peraturan yang mempersulit pendirian tempat ibadah, tetapi juga berusaha menghalangi perkembangan agama-agama tertentu dengan membatasi pendanaan yang dibutuhkan oraganisasi keagamaan tertentu. Untuk memastikan bahwa perkembangan agama-agama tertentu mengalami hambatan yang amat berat, maka dikeluarkan juga larangan untuk beribadat di rumah-rumah.[46] Umat Kristen yang umumnya pendukung nasionalis sekuler (Pancasila diartikan sebagai pemisahan antara agama dan negara) mulai disingkirkan, demikian juga pemeluk agama-agama lain, yang umumnya adalah pendukung nasionalis sekuler. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa keputusan Menteri Agama yang sarat dengan tindakan diskriminatif dilatar belakangi oleh keinginan untuk memasukan nilai-nilai agama tertentu kedalam konstitusi untuk menguasai negara.
Pada masa orde baru, negara mensubordinasikan agama sebagaimana dalam masa Soekarno, tetapi negara mencampuri urusan agama terlalu jauh. Pancasila hanya dipakai sebagai pengesahan rejim yang berkuasa. Pancasila hanya slogan kosong karena isinya jauh dari apa yang telah dinyatakan oleh “the founding fathers” Indonesia. Karena ketakutan yang luar biasa akan kehilangan kekuasaan, Orde Baru berusaha untuk menguasai semua kelompok yang ada. Cara ini ditempuh mungkin belajar dari Belanda yang telah menggunakan segala cara untuk tetap bertahan, termasuk menguasai lembaga keagamaan sebagai alat pengesahan kekuasaan. Untuk itu, pemerintah pada pada tahun 1975 mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga ini digunakan sebagai legitimasi kekuasaan orde baru dengan mengeluarkan fatwa yang mendukung pemerintah.[47] Secara sistematis, Soeharto melakukan penghambatan terhadap perkembangan agama-agama tertentu yang dianggap membahayakan kekuasaannya. Dan itu dilakukan dengan mengadu domba penganut agama yang berbeda demi kekuasaan
Semangat ingin selalu berkuasa orde baru ini nyata dalam usaha untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Alasan diberlakukannya Pancasila sebagai asas tunggal adalah karena kekacauan pemilu tahun 1982. Usaha untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal mendapat kritik dari berbagai tokoh agama, termasuk Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI), karena dalam kekristenan tidak ada yang dapat menjadi dasar selain Kristus.[48]
Pancasila bukan agama tetapi semua lembaga keagamaan harus menerimanya sebagai satu-satunya asas. Hal ini jelas merupakan penyimpangan yang sangat luar biasa dari negara pada waktu itu. Karena tidak mungkin agama-agama yang ada di Indonesia mengubah asas agamanya, karena Pancasila hanyalah asas dalam kehidupan berpolitik. Tetapi karena ketakutan terhadap orde baru, semua lembaga yang ada menerima asas tunggal tersebut dengan berbagai macam cara penyesuaian.
Pada 7 Desember 1990 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan dan diketuai oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J.Habibie yang juga orang dekat Soeharto. Dengan segala macam cara penyesuaian akhirnya Islam modenis yang berusaha melakukan penetrasi nilai-nilai Islam dalam konstitusi negara (Islam modernis ini merupakan wajah baru dari Islam formalis) memasuki pusat kekuasaan.[49] Soeharto mulai merangkul Islam modernis yang pada awal pemerintahannya terkesan dipinggirkan. Hal tersebut dilakukan karena dukungan militer mulai berkurang padanya. Jika pada awal tahun 1980-an Islam sebagai “outsider” maka sejak tahun 1990, Islam modernis (formalis) berada dalam pusat kekuasaan. [50]
Pengaruh kuat Islam politis yang berada dalam pusat kekuasaan nyata dengan dikeluarkannya undang-undang pendidikan nasional (UUPN) tahun 1989. Pada mulanya pemerintah telah menetapkan dalam UUPN no.4/1950. bahwa pelajaran agama tidak wajib, bergantung pada orang tua siswa, dan tidak mempengaruhi kelulusan. Namun dalam UUPN tahun 1989, sekolah diwajibkan menyediakan guru agama berdasarkan agama yang dianut siswa, dan pelajaran agama mempengaruhi kelulusan. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan dibangunnya sekolah-sekolah yang berdasarkan keagamaan. Demikian juga dukungan pemerintah yang besar terhadap pembangunan bank-bank syariah, dan dikelurkannya keputusan tingkat menteri berkenaan dengan badan amal zakat, infaq dan shadaqah.[51]
Pada tahun 1992, intervensi pemerintah terhadap agama dengan cara kekerasan, nyata dalam campur tangan pemerintah menggantikan Ephorus Pdt SAE Nababan dengan figur yang dikehendaki pemerintah. Sebenarnya, tidak ada alasan pemerintah mencampuri urusan lembaga keagamaan, tetapi karena orde baru dibayang-bayangi rasa ketakutan terjadinya pemberontakan-pemberontakan seperti pada masa orde lama, maka semua hal yang membahayakan kekuasaan dihancurkan.[52]Peristiwa campur tangan pemerintah terhadap HKBP yang mengakibatkan perpecahan di tubuh HKBP, merupakan bukti bahwa pemerintah orde baru telah melanggar konstitusi dimana dalam negara Pancasila negara tidak berhak untuk mencampuri urusan agama yang tidak berada dalam kedaulatannya, sebagaimana yang diperjuangkan Hatta pada waktu menolak Piagam Jakarta.
Intervensi pemerintah terhadap agama juga terjadi pada agama-agama yang disebut bidat. Sikap pemerintah yang otoriter seperti penjajah, mempengaruhi lembaga-lembaga kegamaan yang ada. Bidat dianggap lembaga keagaamaan yang resmi menjadi ancaman bagi eksistensi mereka, maka agama-agama yang disebut mainstream baik Islam maupun Kristen, menggunakan tangan pemerintah untuk menghambat perkembangan bidat-bidat yang dianggap membahayakan.[53] Pemerintah yang merasa memerlukan dukungan agama-agama mayoritas, menghambat bidat-bidat dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang melarang keberadaan mereka. Di sini tampak bahwa pelanggaran kebebasan beragama juga telah dilakukan oleh individu atau kelompok agama tertentu dengan dukungan pemerintah yang berkuasa. Persoalan implementasi kebebasan beragama menjadi bertambah sulit, karena lembaga keagamaan juga terlibat dengan dosa yang sama seperti yang dilakukan pemerintah. Lembaga keagamaan memerlukan akses kepada pemerintah untuk mempertahankan eksisitensinya demi mendapatkan kekuasaan, dan pada waktu lembaga keagamaan tersebut mendapatkan akses dalam pemerintahan, maka usaha untuk mempertahankannya dilakukan dengan mengabaikan kelompok lainnya, seperti bidat yang umumnya adalah kelompok kecil. Padahal label mainstream itu sendiri dipergunakan atas dorongan arogansi kelompok agama yang ada, karena tidak pernah Tuhan menunjuk kelompok tertentu menjadi ukuran kebenaran.
Pada masa orde baru, lembaga-lembaga keagamaan sebagaimana lembaga-lembaga lain mengalami dilema yang tidak mudah. Lembaga keagamaan membutuhkan dukungan pemerintah, namun apabila lembaga–lembaga keagamaan itu mandiri maka pemerintah yang berkuasa mengalami ancaman, karena kemandirian bagi pemerintah yang otoriter adalah ancaman. Namun apabila lembaga keagamaan bergantung pada pemerintah, maka ia akan menjadi alat pengesahan pemerintah dan kehilangan daya kritisnya. Agama-agama dipolitisasi oleh pemerintah sehingga lembaga keagamaan hanya mementingkan dirinya sendiri dengan pemerintah, dan hubungan antaragama menjadi tidak baik.
Pada periode tahun 1993-1998 jumlah menteri muslim sekitar 88%. Jumlah ini dianggap proporsional dengan jumlah umat Islam. Kabinet ini oleh Adam Schward disebut sebagai kabinet ”ijo royo-royo.”[54] Pada masa itu mulai terjadi hubungan yang harmonis antara Islam formalis dengan pemerintah yang pada awal orde baru dijauhkan oleh pemerintah. Orde baru mulai menampakkan wajahnya, di mana baginya tidak ada kawan, karena kawan pun akan ditinggalkannya. Demikian juga lawan, jika dapat mendukung dan dapat dibeli kesetiaannya, dapat menjadi kawan.[55] Untuk menyenangkan pihak yang mendukung, maka keputusan-keputusan yang diambil pemerintah sangat merugikan kelompok lain, apalagi jika hal tersebut memang membahayakan kekuasaannya. Keputusan-keputusan yang sangat diskriminatif terhadap kekristenan, secara khusus mengenai penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah, seringkali dipergunakan untuk menghambat laju perkembangan kekristenan. Tidak sedikit rumah ibadah yang dihancurkan hanya karena alasan tidak mendapat ijin dari negara. Mengenai kondisi yang sangat menyakitkan umat bergama tersebut, Franz Magnis Suseno berkata :
Gereja-gereja terus dibakar. Perusakan tempat ibadat Kristen bertambah di Orde Baru dan semakin merajalela sejak tahun 90-an. Dalam tahun 90-an Indonesia menjadi juara dunia dalam hal membakar dan merusak gereja. Tetapi, perusakan gereja-gereja hanyalah ungkapan paling ekstrem sebuah fenomena yang sulit untuk dilihat. Bahwa hubungan antar agama tidak membaik. Kubu-kubu agama lebih tertutup. Keanggotaan dalam agama minoritas lebih sering menjadi kemungkinan hambatan bagi karier seseorang dalam aparat negara”.[56]
Dalam kabinet yang dikuasai oleh Islam modernis (formalis) ini, Indonesia menjadi juara dalam pelanggaran kebebasan beragama, yang dilukiskan dengan semangat orang yang beragama untuk saling menghancurkan sesamanya. Sistem proporsional menjadi dasar bagi pembagian kekuasaan sebagaimana terjadi dalam Kabinet 1993-1998. Tentang hal ini Magnis Suseno mengatakan bahwa karier seorang terhambat karena memiliki agama minoritas. Hal tersebut diciptakan oleh orde baru yang terkenal dengan politik akomodasinya.[57] Siapa pun kelompok yang berada dalam pusat kekuasaan akan mendapatkan fasilitas khusus. Pada waktu Islam modernis berada dalam pusat kekuasaan maka mereka mendapatkan, dukungan dalam pengembangan agama, dan menjalankan ibadatnya, keputusan-keputusan hukum berpihak pada mereka.
Pergulatan agama-agama dalam mendekati kekuasaan atau lebih tepatnya, kekuasaan pemerintah yang berubah-ubah sikap terhadap kelompok agama dengan melakukan diskriminasi agama, menimbulkan hubungan antarumat beragama menjadi memburuk. Kecurigaan antarumat beragama yang berbeda tertanam semakin dalam. Akibatnya tidak sedikit perusakan rumah ibadah dilatarbelakangi oleh hal-hal yang tidak jelas.
Mengenai kondisi Indonesia yang memprihatinkan tersebut, William Chang sejalan dengan Frans Magnis Suseno mengatakan seperti berikut:
Sendi-sendi kerukunan hidup antar umat beragama digoncang dan diporakporandakan oleh sejumlah pihak yang tak bertanggung jawab. Tempat-tempat ibadah kaum beriman tertentu dirusak, dihancurkan, dan dibakar. Muncul sikap curiga, saling tuduh dan bahkan saling dendam. Agama seakan-akan tidak lagi menjadi wadah yang menghantar manusia menuju keselamatan, tetapi justru agama menjadi sarana pemicu kekacauan dan kerusuhan sosial. Nilai-nilai religius yang ditanamkan dalm agama diabaikan dan tidak berpengaruh dalam hidup manusia. Rentetan kerusuhan sosial bermunculan ibarat jamur tumbuh di musim hujan. Konflik-konflik sosial berbendera etnis dan agama dapat cepat menjalar dari daerah yang satu ke daerah lain.[58]
Akibat kejahatan orde baru, sendi-sendi kerukunan umat beragama menjadi hancur. Indonesia yang dikenal dengan semangat toleransi antarumat beragama menjadi tempat yang paling tidak aman. Kerusuhan yang berdasarkan agama muncul di mana-mana. Kasus Ambon, Poso timbul karena benturan antaragama. Banyak lagi daerah yang menjadi tidak aman akibat benturan antarumat beragama.
Di penghujung pemerintahan Soeharto, muncul banyak kerusuhan yang mengatasnamakan agama, dengan alasan yang seringkali tidak diketahui pasti. Herannya, pemerintah selalu terlambat untuk mengatasinya, bahkan hampir tidak ada orang yang ditangkap dalam kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi itu. Beberapa contoh, Kerusuhan Mei 1998 Jakarta, Peristiwa di Jalan Ketapang Jakarta, Kupang, Ambon dan daerah-daerah lain menimbulkan kerusakan dalam bidang material, mental dan sosial yang amat parah, tetapi penanganannya sangat tidak jelas.[59]
Apabila pada masa Soekarno pertentangan mengenai Pancasila dalam hubungannya dengan agama-agama berpusat pada Pancasila sebagai ideologi, maka pada masa Orde Baru pertentangan itu lebih berhubungan pada masalah melestarikan kekuasaan pihak penguasa. Hal ini terbukti dengan tindakan pemerintah yang mau merangkul kelompok tertentu guna memperkuat kedudukannya, dan melepas kelompok tertentu jika dipandang kurang menguntungkan posisinya. Dengan kata lain, penguasa membeli kesetiaan lawan untuk menjadi kawan, demi kekuasaan.
Kemudian Pancasila dijadikan sebagai alat pengesahan negara, dan tafsir atas Pancasila menjadi hak negara. Tak satu pun perbedaan boleh dimunculkan. Kekuatan senjata akan menghentikan setiap kelompok yang menampilkan dirinya berbeda. Pemerintah turut campur terlalu jauh ke dalam setiap kelompok dan lembaga yang ada demi melanggengkan kekuasaannya. Tak perduli lembaga apa pun, apabila dia membuat kekuasaan aman, maka pemerintah akan memberikan dukungan dalam segala hal, baik jabatan, dana, maupun fasilitas lain. Namun apabila dinilai membahayakan, pemerintah tidak segan-segan menghancurkannya. Akhirnya, rakyat kehilangan daya kritis karena diancam dengan kekuatan senjata.
Tidak mengherankan, nama besar Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” dalam waktu singkat setelah kejatuhannya pada 21 Mei 1998,[60] menjadi nama yang paling buruk yang pernah ada di Indonesia. Bahkan, bukan hanya Soeharto yang mendapat caci-maki rakyat, tetapi semua anggota keluarga dan orang-orang yang pernah dekat dengan dia. Yang lebih tragis, tidak sedikit temannya yang turut mencaci-maki. Memang ia tidak pernah menjadi kawan setia.
Setelah Soeharto tumbang, masa tersebut disebut era reformasi. Memang belum terlihat jelas perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun terciptanya penghormatan antarumat beragama merupakan suatu pengharapan baru, walaupun keputusan-keputusan yang bersifat diskriminatif tetap dipertahankan, dan benturan antarumat bergama masih tampak di mana-mana.
Pada era reformasi, Departemen Agama memang pernah hendak dibubarkan. Namun lembaga itu ternyata terus eksis. Hanya, rakyat penganut agama Konghucu boleh bernafas lega, karena pemerintah telah menjadikan agama tersebut sebagai agama resmi. Demikian juga dengan budaya-budaya Tionghoa yang bernafaskan keagamaan, kini boleh ditampilkan di tempat-tempat umum. Namun meski demikian, hingga kini masih ada banyak aliran kepercayaan yang menunggu mendapat pengakuan sebagai agama resmi.
Penganut bidat, seperti Saksi Yehuwa, kini juga dapat bernafas lega karena kemandiriannya sudah diakui negara. Gereja-gereja mainstream juga sudah mengakui bahwa tidak ada alasan untuk melarang penganut Saksi Yehuwa menjalankan ibadahnya. Umat agama ini juga sudah berani memasang spanduk tempat ibadahnya, seperti yang ada di Perumahan Jatibening Permai Bekasi, Jawa Barat. Tetapi ancaman terhadap bidat-bidat lain, terutama di kalangan agama Islam, masih terus berlangsung. Tapi sangat disayangkan, pendirian tempat ibadah masih tetap berpijak pada SKB dua Menteri 1969 yang sangat diskriminatif itu. Pada masa reformasi, aksi penghancuran dan perusakan terhadap rumah ibadah semakin menjadi-jadi. Bahkan tidak sedikit daerah yang mengklaim sebagai “daerah Islam” dan tidak mengijinkan pendirian tempat-tempat ibadah agama lain. Fenomena ini antara lain terlihat di daerah Bekasi awal tahun 2005, di mana banyak spanduk bertebaran yang berisi larangan mendirikan rumah ibadah. Walaupun SKB Tahun 1969 itu terbukti tidak produktif dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama, bahkan diakui menjadi sumber banyaknya tempat-tempat ibadah yang dirusak dan dibakar, peraturan tersebut masih tetap berlaku hingga saat ini.
Aksi penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh memberitakan ajaran agama tertentu kepada seseorang yang sudah menganut agama lain, tetap terjadi di era reformasi. Tindakan anarkis menjadi lebih sering terjadi di awal reformasi, dan tidak sedikit tindakan tersebut dilakukan atas nama agama.
Tindakan diskriminatif agama yang menonjol di era reformasi ini adalah diberlakukannya undang undang pendidikan nasional yang sama seperti undang-undang pendidikan tahun 1989. Walaupun undang-undang ini menuai protes terutama dari umat Kristen, namun atas desakan sebagian umat Islam, undang-undang tersebut tetap diberlakukan.
Dalam era reformasi, usaha-usaha untuk mengembalikan Piagam Jakarta bangkit kembali. Alasan utama kebangkitan tersebut adalah karena selama Indonesia merdeka, Pancasila tidak dapat menciptakan kehidupan yang membawa kesejahteraan masyarakat. Islam formalis yang merasa disingkirkan sejak tahun 1945 sampai 1970-an percaya, bahwa kehancuran negara karena kelompok nasionalis sekuler menjadikan negara ini sekuler, akibatnya masyarakat mengalami degradasi moral. Dari situ mereka menyimpulkan bahwa Pancasila telah gagal mewadahi semua umat yang ada di dalam negara kesatuan RI.[61]
Walaupun dua lembaga besar keagamaan Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah telah mengatakan bahwa masalah Piagam Jakarta telah selesai, namun usaha-usaha untuk mempromosikannya tidak pernah berhenti. Salah satu promosi yang cukup penting terjadi pada saat Kongres Umat Islam Indonesia tanggal 17-21 April 2005. Dalam kongres itu dinyatakan bahwa syariat Islam seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta merupakan solusi tunggal untuk membawa Indonesia pada kehidupan yang lebih baik.[62]
Dalam kehidupan politik terlihat bahwa dengan adanya 40 partai Islam pasca-Orde Baru, di mana Islam politik berada dalam lingkaran kekuasaan, usaha untuk kembali kepada Piagam Jakarta masih terus ada. Namun pada kenyataannya, memang harus diakui bahwa 18% suara yang mendukung partai Islam tidak semuanya mendukung Islam formalis untuk mengembalikan Piagam Jakarta, semakin hari partai-partai agama semakin tidak populer.[63]
Namun tampaknya gejala politisasi agama akan terus berlangsung di Indonesia. Solusinya tergantung pada apakah pemerintah yang berkuasa mempunyai niat baik untuk membangun Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan juga apakah semua rakyat Indonesia tetap memegang komitmennya pada ikrar bangsa yang didengungkan pada tahun 1945? Jika tidak, maka pelanggaran atas kebebasan beragama bukan saja tidak pernah berhenti, tetapi eskalasinya akan terus meningkat.
[1] Lihat A.A. Yewangoe, Iman Agama Dan Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002), h.217-218.
[2] Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 disini saya sengaja menggunakan istilah “dipersatukan” kembali tentu saja dengan pengertian bahwa bangsa kita sudah pernah bersatu dalam bentuk “persatuan” dan persatuan itu pernah berantakan, persatuan yang diproklamasikan pada tahun 1945 itu kita beri nama negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya ingin memandang negara kesatuan Republik Indonesia itu sebagai negara Nusantara yang ketiga. Nazarudin Syamsuddin, “Melestarikan Negara Nusantara Ketiga”, dalam Pembangunan Politik Situasi Global Dan Hak-Hak asasi Manusia di Indonesia, di edit oleh Haris Munandar, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 244.
[3] Pemukiman Cina telah ada di Gunung Jati Cirebon tahun 1415, disana dilukiskan Laksmana Haji Kung Wu Ping, seorang keturunan dari penganut Konghucu mendirikan menara mercusuar di atas bukit gunung Jati. Tidak jauh dari situ dibangun pula komunitas Cina muslim Hanafi, yaitu di Sembung, Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan memelihara pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan memelihara mercusuar. Secara bersama-sama ketiga kampung Tionghoa Islam Hanafi itu ditugaskan pula memasak bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok Dinasti Ming, Chandra Setiawan, “Khonghucu Dalam Kemajemukan Agama-Agama di Indonesia”, dalam Struggling in Hope, diedit oleh, Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutama, A.Rajendra, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 465.
[4] “Pengakuan bertumpah darah yang satu, berkebangsaan yang satu, berbahasa satu, tidak perlu disangsikan lagi baru merupakan konsensus nasional pada tingkat pengakuan masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan politis. Namun demikian, sebagai bangsa yang merdeka bangsa Indonesia baru lahir sejak tanggal 17 Agustus 1945”. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h. 74.
[5] Lihat T.B.Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 7-8.
[6] T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, h. 4.
[7] T.B. Simatupang, Kehadiran Kristen Dalam Perang Revolusi Dan Pembangunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 32.
[8] “Pancasila pada hakekatnya merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk mempersemaikan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Ia meliputi toleransi dan akomodasi timbal balik dalam bidang kesukuan, keagamaan, kedaerahan, dan lapisan sosial…Pancasila, pada hakekatnya, merupakan perumusan tekad bersama bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama bangsa Indonesia di atas dasar cita-cita Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila tersebut kemudian diturunkan, atau dijabarkan kedalam bentuk norma-norma hukum berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, maka Pancasila telah menjadi faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia”. Simatupang, kehadiran Kristen, h. 74-75.
[9] T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), h. 3.
[10] Op. Cit.
[11] Muhammad A.S. Hikam, Agama, Pluarlisme Sosial Dan Pembentukan Wawasan Kebangsaan Di Indonesia, dalam, Agama-agama Memasuki Millenium ketiga, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 156.
[12] Ibid,. h.156-157.
[13] Ibid,. h. 158.
[14] Ibid,. h. 159.
[15] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 43.
[16] Ibid,.43-44.
[17] Tamrin Amal Tomagola, Komunalisme Berbaju agama, (makalah seminar Bhineka Tunggal Ika, Mengenang 100 tahun Yohanes Leimena, Jakarta, Balai Pustaka, 24 September 2005, h. 3.
[18] Dikutip dari, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 98.
[19] Saja jakin, bahwa, djika mengadakan suatu Kementerian Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan jang tersinggung atau jang tidak senang. Umpamanja sadja, djikalau Menteri itu seorang Kristen, sudah tentu Kaum Muslimin tidak senang perasaannja dan sebaliknja. Kita tidak perlu mambangkitkan perasaan-perasaan jang menimbulkan ketjideraan antara bangsa kita. Oleh sebab itu saja usulkan supaja Urusan agama dimasukan dalam urusan pendidikan. Dengan djalan denikian tidak ada perpetjahan dan djuga onkosten-vermindering”. Notulen M.Yamin, “Naskah persiapan Undang-undang Dasar” 1945, di kutip dalam, Zakaria Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h.203.
[20] Ibid., h. 203.
[21] Lihat Saidi, Menekuk Agama, h. 35-36.
[22] Saidi, Menekuk Agama, h.55.
[23] Ibid., h. 55-56.
[24] Lihat, T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), h. 236-237.
[25] Ngelow, Kekristenan Dan Nasionalisme, h. 203-204.
[26] Saefuddin, Piagam Jakarta, h. 62.
[27] Saidi, menekuk agama, h. 56.
[28] Saidi, Menekuk agama, h. 58-59.
[29] Simatupang, Iman Kristen, h. 176.
[30] Saidi, Menekuk Agama, h. 61.
[31] Chandra Setiawan, “Khonghucu dalam Kemajekukan Agama-agama di Indonesia” dalam Struggling in Hope, diedit oleh Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutana, A. Rajendra, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 464.
[32] Saidi, Menekuk Agama Membangun Tahta, h. 60.
[33] Op. Cit.
[34] Saefuddin, Piagam Jakarta, h. 214.
[35] Hasbullah Bakry, Undang-Undang Peraturan Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1985), h. 143.
[36] Bakry, Undang-Undang Peraturan Perkawinan, h. 364.
[37] Ester Indahyani Yusuf, Jalan Panjang Penghapusan Diskriminasi Rasial, (Jakarta: Solidaritas Nusa Bangsa, 2001), h. 35-36.
[38] Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, h. 252.
[39] Setiawan, “Konghucu dalam kemajemukan agama-agama” dalam Struggling in Hope, di edit oleh Suleeman,Sutama, Rajendra, h. 463-464.
[40] Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, h. 240.
[41] Op. Cit.
[42] Josephus A. Suatan, Tinjauan Terhadap Materi Peraturan Tentang Kehidupan Beragama, (Litbang Jawa Barat, tidak diterbitkan untuk umum, tanpa tahun)
[43] Simatupang, Membuktikan ketidakbenaran suatu Mitos, h. 240.
[44] Kompas, 20 Januari 1997 halaman 14, dikutip dalam Suatan, Tinjauan Terhadap Materi Peraturan Tentang Kehidupan Beragama, h.5
[45] Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, h. 247.
[46] Suatan, Tinjauan Terhadap Materi Peratutran Tentang Kehidupan Beragama, h. 66.
[47] Saidi, Menekuk Agama, h. 91.
[48] Weinata Seirin, Hangaji, Raintung (editor), Dialog Antar Umat Beragaama; Membangun Pilar-pilar Keindonesiaan yang kukuh, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), h. 59-69.
[49] Saidi, Menekuk Agama, h. 104-105.
[50] Ibid., h. 58.
[51] Ibid.,, h. 104-108.
[52] Lihat Saidi, Menekuk Agama, h. 171-176
[53] Ibid., h. 189.
[54] Dikutip dalam Anas Saidi, Menekuk Agama, h.105.
[55] Victor Silaen, Gerakan Sosialis Baru dan Civil Society di Toba Samosir, (Jakarta: Fisif UI, 2005), h.1-2.
[56] Franz Magnis Suseno, “Dialog Antar Agama di Jalan Buntu”, dalam, Agama dalam Dialog, di edit oleh Olaf Schuman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 20-21.
[57] “Bachtiar Effendi mendeskripsikan secara baik sekali, setidaknya ada empat poin yang ia sebutkan sebagai bukti-bukti akomodasi;1, Akomodasi struktural, 2. Akomodasi Legislatif, 3. Akomodasi Infrastruktur, 4. Akomodasi Kultural. Yang dimaksud Akomodasi Struktural, pada intinya adalah terakomodasinya atau direkrutnya tokoh-tokoh muslim yang masuk lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan lembaga legislative negara. Akomodasi Legislatif adalah yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah pengesahan undang-undang yang mendukung yang berkuasa. Akomodasi Infrastruktur adalah kesediaan pemerintah mendanai untuk kewajiban-kewajiban agama yang berpihak pada pemerintah. Akomodasi Kultural berupa keramahan yang diberikan oleh pemerintah berupa produk hukum yang berpihak.” Di kutip dalam Saidi, Menekuk Agama, h. 107-108.
[58] William Chang, Kerikil-kerikil di Jalan Reformasi, (Jakarta: Kompas, 2002), h. xiv.
[59] Laporan yang terperinci mengenai kerusuhan-kerusuhan di penghujung pemerintahan Soeharto lihat, Iqbal Jaya, “Kerusuhan dan Reformasi” dalam, Kisah Perjuangan Reformasi, di edit oleh Selo Sumarjan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1999).
[60] Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, (Jakarta: LP3S, 2004), h. 190.
[61] Penjelasan lebih jelas lihat, Al-Chaidar, Reformasi Prematur, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 49-50.
[62] Laporan lebih jelas lihat, Reformata, edisi 23. Juni, tahun 2005.
[63] Saidi, Menekuk agama, h. 114.
https://www.binsarinstitute.id/2025/07/pelanggaran-kebebasan-beragama.html
No comments:
Post a Comment