Integrasi Pendidikan
Tinggi Teologi Dan Pendidikan Warga Gereja: Alternatif Meningkatkan Kompetensi
Pelayan Kristen.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
Abstrak.
Pentingnya pendidikan warga gereja menjadi keprihatinan para pendidik Kristen,
warga gereja dengan pemahaman teologi yang baik merupakan motor penggerakan
pengembangan dan pertumbuhan gereja. Namun integrasi pendidikan tinggi
Keagamaan Kristen dengan pendidikan warga gereja yang mendapatkan pijakannya
pada Sistem pendidikan nasional 2003, yang kemudian diteguhkan dalam Peraturan
Presiden tentang Kerangka kualifikasi nasional Indonesia belum mendapatkan
perhatian khusus. Orasi ilmiah ini secara khusus memaparkan pentingnya
integrasi pendidikan warga gereja dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen
sebagai alternative meningkatkan kompetensi pelayan Kristen.
Pendahuluan.
Integrasi pendidikan informal, non formal dan formal merupakan amanat
Sistem pendidikan nasional tahun 2003. Integrasi pendidikan itu perlu mewujud
dalam kurikulum pendidikan tinggi keagamaan Kristen (pendidikan formal), dan
pendidikan warga gereja (Pendidikan informal). Lemahnya integrasi pendidikan
informal (pendidikan agama dalam keluarga) Pendidikan non formal (Pendidikan
warga gereja), dan Pendidikan pada Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen
menyebabkan teologi gereja yang dinyatakan dalam Tata dasar dan tata gereja
tidak mengalami perkembangan teologi berarti, demikian juga sebaliknya
luaran-luaran pendidikan tinggi keagamaan Kristen tidak mendapatkan tempat yang
tepat di gereja. Kehadiran para tokoh gereja yang mengaku tak mengenyam
pendidikan teologi merupakan sebuah sindiran terhadap pentingnya pendidikan
tinggi keagamaan Kristen, secara bersamaan juga menyiratkan bahwa luaran
pendidikan tinggi keagamaan Kristen tak memiliki sumbangsih berarti bagi
pengembangan dan pertumbuhan gereja. Pada sisi lain tokoh-tokoh pendidikan
tinggi keagamaan Kristen tidak banyak yang hadir dalam diskusi-diskusi teologi
gereja, kecuali mereka yang merangkap jabatan sebagai dosen dan secara
bersamaan juga sebagai pendeta jemaat.
Orasi ilmiah ini akan menawarkan strategi integrasi pendidikan warga
gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen di Indonesia.
Pendidikan Warga Gereja
Tri tugas Gereja (Koinonia, Diakonia, Marturia) secara tegas menyatakan
bahwa warga gereja perlu bertumbuh dalam pengenalan akan firman Tuhan yang
baik, untuk hidup saling melayani, dan kemudian secara bersama menjadi saksi
Kristus. Pendidikan Warga gereja secara khusus dalam hal ajaran gereja (Firman
Tuhan) perlu menjadi perhatian gereja, secara khusus dalam era global dengan
kemajuan tekonoli komunikasi yang membuat informasi apapun dapat menembus
ruang-ruang yang dulunya privat. Pentingnya pendidikan warga gereja ini telah
dibahas dalam jurnal-jurnal ilmiah teologi dan jurnal-jurnal pendidikan agama
Kristen.
Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen
Pendidikan tinggi keagamaan Kristen pada awalnya biasa disebut sekolah
teologi dan sekolah tinggi teologi. Sekolah teologi telah ada dalam banyak
gereja dengan tujuan memberikan pengetahuan teologi kepada jemaat untuk dapat
melayani dengan baik untuk mengerjakan Tri Tugas Gereja yang
diselenggarakan oleh gereja secara
eksklusif, dan juga kerja sama antara gereja dan sekolah tinggi teologi, dan
pada umumnya belum ada integrase antara pendidikan warga gereja dan sekolah
tinggi teologi. Itu terlihat bahwa parau lulusan sekolah teologi di gereja ketika berkeinginan atau terpanggil
sebagai calon pendeta perlu mengulang seluruh mata kuliah yang ada di Sekolah
Tinggi Teologi dengan alasan bahwa mata kuliah yang di dapat di sekolah teologi
memiliki kualifikasi yang berbeda dengan yang ada di sekolah tinggi teologi.
Pendidikan tinggi teologi kerap dianggap sebagai orang khusus yang
terpanggil untuk menjadi pemimpin gereja, sedangkan pendidikan warga gereja
adalah calon-calon pelayan jemaat yang terbatas untuk membantu pimpinan gereja
dalam memenuhi Tri Tugas Gereja.
Landasan Integrasi
Pendidikan Warga Gereja dan Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen.
Landasan Teologi
Menurut pandangan Kristen, dari sudut realitas rohani,
manusia selalu mengaktualisasikan diri dalam relasi dengan Tuhan. Dalam hal ini
jelas, agama adalah suatu dimensi dalam kehidupan rohani manusia. Manusia
adalah mahkluk yang beragama. Paul Tillich mengatakan bahwa agama terletak pada
kedalaman hati manusia yang lehadirannya tidak bisa ditolak.[1]
Semua manusia pada hakikatnya adalah manusia yang beragama.
Adanya
dimensi rohani itu maka manusia mempunyai tugas dari Sang Pencipta yakni tugas
pemeliharaan ciptaan Tuhan, dan pemenuhan tugas itu berorientasi pada tiga arah
yakni Tuhan, diri sendiri dan dunia atau alam. Jadi manusia harus mengembangkan
kreativitas budaya, dan relasi dengan alam karena manusia berkedudukan sebagai
tuan atas alam, dan pemelihara alam, dan
pekerjaan ini dilakukan bekerja sama dengan sesamanya. Manusia diciptakan begitu mulia, semua manusia tak
terkecuali memiki martabat yang sama, yaitu sebagai ciptaan yang mulia.
Maka
manusia bukan hanya memiliki kedalaman dengan Tuhan, tapi juga harus
mengembangkan bakat-bakat yang diberikan untuk kesejahteraan umat manusia.
Untuk itu perlu ada pendidikan, dalam hal ini pendidikan bukan hanya persoalan
pengajaran agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang berguna bagi kehidupan
manusia serta pemeliharaan alam.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
Kerangka Kualifikasi Nasional (National Qualification Framework)
tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga pada banyak negara di dunia. Kerangka
kualifikasi nasional merupakan fenomena global[2]
Secara umum, kerangka kualifikasi dapat didefinisikan sebagai "deskripsi sistematis
kualifikasi suatu sistem pendidikan.”[3] Mengikuti pendekatan ini,
adalah mungkin untuk mengklaim bahwa setiap negara memiliki kerangka
kualifikasi nasional.[4]
Kerangka Kualifikasi Nasional telah dikembangkan dan digunakan
diseluruh dunia. Di Eropa, bahkan ada 'meta' kerangka, Eropean Qualification
Framework (EQF) yang mencoba untuk menyelaraskan dan mengkonsolidasikan
beberapa kerangka kerja nasional ke satu titik acuan.[5]
The European
Qualifications Framework (EQF) acts as translation device to make national
qualifications more readable across Europe, promoting workers and learners mobility
between countries and facilitating their lifelong learning. The EQF aims to
relate different countries’ national qualifications systems to a common
European reference framework. Individuals and employers will be able to use the
EQF to better understand and compare the qualifications levels of different
countries and different education and training systems.[6]
Output dari EQF adalah sebagai berikut:
(1) Increased
consistency of qualifications, (2) Better transparency for individuals and
employers, (3) Increased currency of single qualifications, (4) A broader range
of learning forms are recognized (5) A
national/external reference point for qualifications standards (6)Clarification
of learning pathways and progression (7) Increased portability of qualifications
(8)Acting as a platform for stakeholders for strengthening cooperation and
commitment (9)Greater coherence of national reform policies (10)A stronger
basis for international co-operation, understanding and comparison.[7]
Kerangka
Kualifikasi Nasional untuk Australia, Australia
Qualification Framework (AQF) diperkenalkan pada tahun 1995 untuk mendukung
sistem kualifikasi nasionalnya.[8]
Milestone penting dalam perjalanan pengembangan KKNI di Indonesia dimulai
dengan diterbitkannya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 Tahun 2006
tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional pasal 1 dijelaskan, yang dimaksud
dengan pelatihan kerja nasional adalah:
1). pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 2). sistem Pelatihan
Kerja Nasional yang selanjutnya disingkat Sislatkernas, adalah keterkaitan dan
keterpaduan berbagai komponen pelatihan kerja untuk mencapai tujuan pelatihan
kerja nasional. 3). lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan
hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan
pelatihan kerja. 4). kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan. 5). standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6). sertifikasi
kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan
secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia, Standar Internasional dan/atau Standar Khusus. 7).
sertifikat kompetensi kerja adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi profesi terakreditasi yang menerangkan bahwa seseorang telah
menguasai kompetensi kerja tertentu sesuai dengan SKKNI. 8). Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. 9). pelatihan berbasis kompetensi
kerja adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan
kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar
yang ditetapkan dan persyaratan di tempat kerja.[9]
Berdasarkan
pasal satu ayat 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 Tahun 2006
tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional dijelaskan, bahwa KKNI adalah kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian kompetensi kerja yang sesuai dengan
struktur pekerjaan diberbagai sektor.
Selanjutnya
pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional juga menegaskan:
(1) Dalam rangka pengembangan kualitas tenaga
kerja ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang kualifikasi kompetensi
kerja dari yang terendah sampai yang tertinggi. (2) KKNI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari 9 (sembilan) jenjang yang dimulai dengan kualifikasi
sertifikat 1 (satu) sampai dengan sertifikat 9 (sembilan).(3) KKNI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Jadi jelaslah,
dasar dari lahirnya kebijakan KKNI dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah
mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006
tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional sebagaimana juga ditetapkan dalam
bagian pembukaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012
tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang menerangkan, bahwa untuk
melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu menetapkan Peraturan
Presiden tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Selanjutnya,
Peraturan Presiden tentang KKNI itu mendapatkan pijakan yang lebih tinggi dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Karena Peraturan Presiden merupakan kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan
undang-undang dalam hal ini, undang-undang pendidikan tinggi. Lebih jelasnya,
bagian kelima dari undang-undang pendidikan tinggi tahun 2012 pasal 29
menjelaskan tentang KKNI seperti berikut: (1) Kerangka Kualifikasi Nasional
merupakan penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang
pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka
pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.
(2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan
vokasi, dan pendidikan profesi. (3) Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Berdasarkan
Undang-Undang Pendidikan Tinggi Tahun 2012 jelaslah bahwa petunjuk pelaksanaan
penerapan KKNI itu kemudian ditetapkan oleh Menteri. Dan ini dituangkan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 73 tahun 2013, bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Bidang Pendidikan
Tinggi, selanjutnya petunjuk teknis penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi
ditetapkan dalam Buku Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi yang mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan Tinggi 2014. Dengan terjadinya perubahan SNPT 2015,
maka buku panduan penyusunan kurikulum mengacu pada KKNI pun mengalami
perubahan yang ditetapkan dalam Buku panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi 2016.
Dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 73 tahun 2013 ditetapkan bahwa tugas
pendidikan tinggi dalam menerapkan KKNI adalah: a. Setiap program studi wajib
menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal mengacu pada KKNI bidang
pendidikan tinggi sesuai dengan jenjang. b. Setiap program studi wajib menyusun
kurikulum, melaksanakan, dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada
KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai kebijakan, regulasi, dan panduan tentang
penyusunan kurikulum program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
yang berbunyi: Dalam menerapkan KKNI di bidang kurikulum pendidikan tinggi,
direktorat jenderal mempunyai tugas dan fungsi menyususn kebijakan, regulasi,
dan panduan tentang penyusunan kurikulum
program studi yang mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi. c. Setiap
program studi wajib mengembangkan sistem penjaminan mutu internal untuk
memastikan terpenuhinya capaian pembelajaran program studi.
Merdeka Belajar kampus
Merdeka
Landasan lain dari integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan
tinggi keagamaan Kristen dapat dibaca pada Pedoman kurikulum merdeka belajar
kampus merdeka tahun 2020, yang kemudian dikembangkan dalam permendikbudristek
dikti nomor 53 tentang penjaminan mutu, serta pedoman yang ditetapkan baik
terkait penjaminan mutu maupun kurikulum merdeka belajar kampus merdeka merupakan kebijakan pemerintah yang mendasari
pendidikan formal seperti Pendidikan Tinggi keagamaan Kristen untuk merumuskan
integrase pendidikan warga gereja dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen.
Alternatif meningkatkan
kompetensi pelayan Kristen.
Warga gereja adalah input bagi Pendidikan Tinggi Teologi, secara khusus
mereka yang telah mengikuti pendidikan warga gereja (non formal) yang
bekerjasama dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi pendidikan
warga gereja akan mengakibatkan kualitas input pendidikan tinggi keagamaan
Kristen menjadi lebih baik. Pada sisi lain pendidikan tinggi keagamaan Kristen
perlu memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan kegiatan belajar yang ada pada
pendidikan warga gereja dengan melakukan equivalensi terstruktur dan
equivalensi tidak terstruktur sebagaimana juga dijelaskan dalam kurikulum
merdeka dan merdeka belajar.
Pada sisi lain, pendidikan tinggi keagamaan Kristen perlu menyadari
bahwa Gereja adalah pengguna lulusan pendidikan tinggi teologi, pada semua
program studi, sehingga kemampuan pelayanan yang dikemangkan dalam gereja perlu
menjadi mata kuliah pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Integrasi itu
akan membuat pendidikan tinggi keagamaan Kristen dapat memahami kebutuhan
gereja, sehingga kontribusi pendidikan tinggi teologi menjadi tepat sasaran.
Menurut penelitian saya sebagai Pembina pada banyak pendidikan tinggi
teologi, baik ketika berada sebagai ketua bidang penelitian Perkumpulan Dosen
dan Perguruan Tinggi Kristen (PDPTKI), Ketua Umum Asosiaso Program Studi Ilmua
Keagamaan (APSIK), juga sebagai asesor lembaga akreditasi mandiri kependidikan
(LAMDIK), serta pernah menjadi narasumber
perumusan kurikulum mengacu KKNI pada tahun 2017, terlihat jelas bahwa
Perguruan Tinggi kegamaan Kristen belum mampu melakukan integrasi pendidikan
warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Salah satu persoalannya
adalah pendidikan tinggi keagamaan Kristen pada umumnya belum mampu merumuskan
kurikulum mereka dengan baik, sehingga tidak memiliki rencana yang baik bukan
hanya untuk luarannya, tapi juga seleksi input, dan kemudian tentunya
mengakibatkan proses untuk mencapai profil lulusan tidak dapat dipetakan dengan
baik.
Kurikulum adalah sebuah rencana, tanpa sebuah rencana yang baik tidak
dapat diharapkan hasil sesuai yang diharapkan. Salah satu rencana yang perlu
dirumuskan dengan baik adalah perumusan kurikulum dan pengembangan kurikulum
untuk merepons perubahan.
Penutup
Integrasi pendidikan warga gereja dan pendidikan tinggi keagamaan
Kristen memiliki pijakan yang kuat, karena itu gereja dan lembaga pendidikan
tinggi keagamaan Kristen, perlu membangun kemitraan bukan hanya pada gereja-gereja
sealiran dengan pendidikan tinggi keagamaan Kristen, tetapi juga kemitraan
dengan gereja-gereja yang beragam aliran untuk bersama meningkatkan kompetensi
tenaga pelayan Kristen.