BAB II
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
Dalam Bab II ini dijelaskan mengenai
kebebasan beragama dalam perundang-undangan di Indonesia. Hal ini penting untuk
memahami mengapa proteksi kebebasan beragama di negeri ini menjadi problematika
yang tak kunjung selesai sebagaimana telah dipaparkan dalam Bab I.
Penjelasan mengenai dasar undang-undang
kebebasan beragama di Indonesia ini akan didahului dengan pemaparan mengenai
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hal ini penting untuk melihat
apakah universalitas HAM yang dituangkan dalam deklarasi tersebut di adopsi
dalam perundang-undangan di Indonesia atau tidak. Baru kemudian akan dijelaskan
mengenai apa yang dikatakan undang-undang mengenai hak kebebasan beragama,
secara khusus penulis akan menguraikan mengenai Pancasila sebagai dasar hak
kebebasan beragama di Indonesia.
A. Sejarah Pemikiran Deklarasi Universal HAM
Deklarasi Universal HAM yang juga disebut “Magna Carta”
adalah suatu pernyataan dari berjuta-juta manusia di bumi yang merindukan
adanya proteksi dari HAM dalam dunia. Deklarasi ini dapat disebut sebagai
ideologi internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Nilai-nilai universal HAM pertama
kali dikumandangkan dalam deklarasi tersebut. Meski implementasi dari HAM
tersebut masih memerlukan perjuangan panjang yang menuntut perhatian semua umat
manusia, tetapi adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan HAM itu
merupakan suatu prestasi penting.
Tidaklah berlebihan jika Deklarasi Universal HAM kemudian disebut sebagai
Piagam Mulia. Karena sejak itu, semua manusia mengerti apakah tindakan atas
sesamanya merupakan sesuatu yang melanggar HAM atau tidak, dan ketika deklarasi
tersebut dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam suatu
negara, maka HAM kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam suatu
negara. Deklarasi HAM itu juga telah membuat negara-negara di dunia bertanggung
jawab untuk menjaga implementasi HAM di negara tempat mereka memerintah.
Kedudukan Deklarasi Universal HAM menjadi penting bagi suatu Negara karena mempengaruhi hubungan luar negeri negara tersebut. Deklarasi universal memang
tidak mempunyai kekuatan hukum dan juga tidak memiliki polisi internasional
untuk mengawasi pelaksanaan hak-hak tersebut,
juga untuk mengadili pelanggar HAM di suatu negara. Namun, laporan
mengenai keadaan suatu negara yang tidak mengadakan proteksi terhadap HAM akan
membuat banyak kesulitan bagi negara tersebut dalam menjalin hubungan internasionalnya.
Sejak
diterimanya Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tanggal 10 Desember 1948, deklarasi itu telah banyak mempengaruhi banyak negara
di dunia untuk melaksanakannya, hal tersebut nyata dengan digunakannya deklarasi
tersebut dalam penyusunan dan perbaikan UUD negara-negara yang ada, demikian juga yang terjadi dengan
Indonesia, terlebih setelah tumbangnya rejim yang otoriter.
Deklarasi Universal HAM yang dijadikan sebagai pedoman bagi
pelaksanaan HAM dalam dunia internasional dibangun di atas dasar pemahaman
bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia dan melekat pada manusia,
sehingga tidak seorangpun berhak mencabutnya. Hak tersebut dimiliki oleh
manusia karena ia terlahir sebagai manusia,
hal ini secara
eksplisit dituangkan dalam mukadimah Deklarasi Universal HAM yang berbunyi
demikian, “bahwa pengakuan atas martabat alamiah serta atas hak-hak yang sama
dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan
bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian didunia.”
Pandangan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang didasari oleh hukum kodrat
yang dicetuskan oleh John Locke. Sehingga Rhoda seorang pengamat tentang
hak-hak asasi manusia mengatakan :
Hak asasi manusia adalah masalah sekuler: hak ini
berasal dari pemikiran manusia tentang hakikat keadilan, bukan keputusan Ilahi.
Meskipun hak asasi manusia dalam prakteknya akan lebih terjamin kalau
didasarkan pada keyakinan agama, dasar keagamaan ini tidak mutlak. Hak asasi
manusia tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang bagaimana mereka
seharusnya. Hak asasi manusia bersifat universal dalam arti harus universal,
tanpa memandang apakah agama-agama besar menerimanya sebagai prinsip.
Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan didasarkan pada agama, melainkan pada
masyarakat sekuler, pada pandangan kaum sekuler tentang hak yang diperlukan
semua orang untuk hidup bermartabat
Pandangan Rhoda tersebut lahir untuk
menanggapi pandangan yang menolak universalitas dari HAM. Agama-agama yang
berbeda ternyata menghasilkan konsep HAM yang berbeda sehingga universalitas
HAM mengalami gugatan dari kaum relativisme HAM, karena itu bagi Rhoda seorang
penganut universal HAM, tidak penting apakah agama-agama setuju atau tidak, dan
HAM harus bersifat universal. Pemahaman Rhoda tentang HAM yang bersifat
universal merupakan penelusuran konsep HAM modern yang memang dipelopori oleh
para filsuf, secara khusus John Locke. Namun sayangnya Rhoda tidak mencoba
untuk menganalisa darimanakah asalnya pikiran masyarakat sekuler tersebut.
Tentulah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran keagamaan juga.
Klaim bahwa manusia dilahirkan dalam
kebebasan dan memiliki martabat yang sama sebagaimana dikatakan dalam Deklarasi
Universal HAM yang dipengaruhi oleh pikiran Locke, sebenarnya merupakan sesuatu
yang berasal dari pengaruh Yahudi dan Kristen. Yaitu diatas pengakuan manusia
yang diciptakan sebagai gambar Allah. Memang pemahaman bahwa manusia dikarunia
akal serta hati nurani dan harus bergaul dalam semangat persaudaraan berasal
dari pikiran pencerahan.
HAM memang harus bersifat universal
berdasarkan hukum kodrat, namun tidak berarti bahwa HAM merupakan buah pikiran
manusia sekuler semata-mata. Karena apa yang dinyatakan dalam hukum kodrat John
Locke telah ada
jauh sebelum dinyatakan oleh Locke.
Untuk memahami pengaruh kekristenan dan
Yahudi dalam pembentukan pemikiran hukum kodrat John Lock, dapat ditelusuri
dengan mempelajari sejarah pembentukan pemikiran Barat. Baik di Inggris maupun
Amerika, tempat dimana pemikiran HAM yang modern dikembangkan. Pengaruh
kekristenan terhadap institusi legal nyata ketika agama Kristen menjadi agama
negara pada waktu pertobatan Konstantinus. Pada waktu itu, undang-undang negara
dipengaruhi oleh pemikiran kekristenan, seperti undang-undang yang ditetapkan
dalam lembaga pernikahan: pernikahan merupakan pernikahan monogami,
heterosexual dan seumur hidup.
Demikian juga pada masa Reformasi Protestan yang mengajak untuk
kembali kepada pemahaman manusia sebagai gambar Allah. Reformasi mengakui bahwa
semua manusia memiliki martabat yang sama. Pengakuan itu kemudian melahirkan
suatu kesadaran bahwa semua manusia memiliki kesamaan dihadapan hukum dan
negara.
Pemahaman manusia memiliki martabat yang mulia dan kesederajatan
tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap Deklarasi Amerika dan Perancis.
Munculnya dasar lain selain agama dalam pembentukan sistem perundang-undangan
negara baru terjadi setelah terjadi konflik sektarian yang melahirkan perang
berdarah,
Namun tidak berarti nilai-nilai kebenaran Kristen tidak lebih baik dari standar
sekuler yang kemudian melahirkan HAM dalam perspektif masyarakat modern, karena
pikiran sekuler tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran agama yang telah
mengalami sekularisasi.
Harus diakui, perkembangan HAM tidak terikat semata-mata dengan
tahapan perkembangan pemikiran Barat, namun tanpa memahami perkembangan tahapan
itu, maka HAM tidak dapat dimengerti dengan baik.
Pemikiran HAM akan memiliki bentuk yang terpotong-potong, yang berakibat
lahirnya pemikiran HAM yang bersifat relative (relativisme HAM).
Pikiran Rhoda yang ingin mengabaikan agama dengan menganggap HAM
adalah buah karya masyarakat sekuler dengan tidak mempertimbangkan pentingnya
pengaruh agama juga akan mengakibatkan terciptanya jurang antara Barat dan non
Barat.
Karena bagi orang-orang yang beragama Islam, Kristen, Hindu dan Kongfucu hukum dan agama memiliki kesatuan
yang dalam, sehingga menganggap HAM hanyalah buah manusia sekuler dan tidak
mempertimbangkan aspek agama dalam pembentukan HAM justru akan melahirkan
penolakan terhadap HAM yang bersifat universal. Apalagi apa yang dinyatakan
dalam hukum kodrat sebagai dasar HAM modern dapat dimengerti lebih baik justru
dengan melihat sejarah lahirnya pemahaman hukum kodrat yang telah diakui sejak
lama dalam kekristenan.
Pengaruh pikiran Locke sangat kental pada
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat dianggap sebagai penetapan yang paling awal dari HAM secara
konstitusional, Maka Locke dianggap sebagai peletak dasar
dari HAM jaman modern. Sehingga lahirnya HAM dalam konsep modern tidak dapat
dianggap sebagai buah karya masyarakat
sekuler semata-mata (produk Barat), karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat sarat dengan pemikiran Kristen, dan itu ada dalam pikiran John
Locke, dan karena John Locke seorang pemeluk agama Kristen
dan seorang anggota jemaat dari Church of England.
Mengenai pengaruh pikiran John Locke dalam
isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat David Weissbrodt menjelaskan sebagai
berikut:
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 menyatakan hak-hak
yang tidak dapat dihilangkan dari semua orang untuk hidup, untuk bebas, dan
mencari kebahagiaan. Hak-hak ini diturunkan dari teori-teori Eropa pada abad
ke-18 yang mengatakan bahwa individu itu pada kodratnya otonom. Begitu masuk ke
dalam masyarakat, otonomi setiap individu bergabung membentuk kedaulatan
rakyat. Maka secara prinsip hak rakyat yang tidak dapat dihilangkan itu telah
berubah menjadi hak untuk memerintah diri sendiri (self government)
termasuk hak untuk menentukan dan mengubah pemerintahnya. Namun masing-masing
individu juga masih tetap memiliki beberapa otonominya yang asli dalam bentuk
hak-hak yang bahkan pemerintah sendiri tidak boleh melanggarnya. Kepercayaan
terhadap hak-hak yang masih dimiliki itu telah menyebabkan masing-masing negara
bagian bersikeras mengenai perlunya tambahan Bill Of Rights kepada Konstitusi
Amerika Serikat tahun 1789.
Pandangan David Weissbrodt di
atas merupakan hasil dari analisis kritis dari isi Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat yang menjelaskan mengenai alasan mengapa masyarakat membentuk
suatu pemerintahan. Secara eksplisit pengaruh pikiran Locke mengenai hukum
kodrat yang terkait erat dengan pemikiran Kristen dan Yahudi tersebut tertuang
dalam pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang ditulis oleh Thomas
Jefferson seperti berikut:
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sudah jelas dengan
sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa penciptanya telah
menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut; bahwa di antara
hak-hak ini adalah hak untuk hidup bebas dan mengejar kebahagiaan- bahwa untuk
menjamin hak-hak ini, orang-orang mendirikan pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan
persetujuan (kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk
pemerintahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat berhak untuk mengubah atau
menyingkirkannya.
Pemahaman tentang manusia yang diciptakan oleh Allah dengan martabat
yang mulia dan dalam kesamaan merupakan pikiran yang berdasarkan keagamaan,
bukan sekuler, jadi Pengakuan HAM tidak dapat dilepaskan dengan pengaruh
kekristenan.
Pengakuan akan hak-hak Asasi manusia sebagaimana tertuang dalam
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat juga ada dalam Deklarasi Perancis tentang
hak-hak manusia dan warga Perancis tahun 1789.
Naskah Deklarasi Perancis ini diberi judul Deklarasi Hak Manusia dan Warga
negara. Karena dalam deklarasi ini bukan hanya menyatakan hak-hak, tetapi juga
menyatakan hukuman terhadap penyelewengan, sebagaimana terjadi dalam rejim yang
ditumbangkan pada revolusi tersebut. Dalam deklarasi itu dinyatakan bahwa
manusia memiliki hak yang “kodrati” yang melekat pada manusia dan tak dapat
dicabut, pernyatan tersebut terdapat dalam pasal 1 Deklarasi Hak Manusia dan
Warga Negara tertanggal 26 Agustus 1789, yang mengatakan bahwa: “Semua manusia
terlahir dan tetap selalu dalam kebebasan dan persamaan hak. Perbedaan
kedudukan dalam masyarakat hanya dapat didasari oleh kemanfaatan manusia.” Kemudian
dalam pasal 4 dinyatakan bahwa: “Kebebasan adalah hak untuk melakukan segala
sesuatu yang tidak merugikan orang lain: dengan demikian batas-batas
pelaksanaan hak kodrati setiap manusia hanyalah dibatasi oleh jaminan
pelaksanaan hak kodrati bagi anggota lain masyarakat. Batas-batas tersebut
hanya dapat ditentukan oleh hukum”.
Perbedaannya adalah, jika Amerika Serikat berjuang untuk merdeka, maka Perancis
berjuang menghancurkan sistem pemerintahan yang absolut dan mendirikan negara
demokrasi.
Sebelum konsep HAM modern ditetapkan secara konstitusional dalam
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Perancis pada abad XVII di Eropa
sudah banyak orang berpikir tentang masalah HAM. Hal ini tidak mengherankan
karena pada tahun 1215, di Inggris, lahir Piagam Mulia (Magna Charta) hasil
perjuangan kaum bangsawan melawan kekuasaan Raja John. Piagam tersebut berisi
batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolut.
Piagam Mulia ini menjadi
induk bagi perumusan HAM yang dikenal dengan konsep modern. Apabila HAM dipahami sebagai hasil dari
pemikiran masyarakat sekuler semata-mata, maka secara bersamaan HAM akan
dianggap sebagai sesuatu yang dilahirkan oleh budaya Barat dan tidak harus
diterima oleh non Barat. Namun sebagaimana telah dijelaskan di atas, pemikiran
HAM yang bersifat mutilasi tersebut (Tidak melihat sejarah perkembangan
pemikiran Barat) akan mengakibatkan lahirnya HAM yang relative dan tidak sesuai
dengan Deklarasi Universal HAM. Pemahaman tentang HAM yang menyeluruh merupakan
sesuatu yang amat penting dalam memahami sifat HAM yang bersifat universal.
Percakapan dan penghormatan HAM sebenarnya
juga sudah ada sejak sebelum Masehi. Pada jaman Yunani kuno, abad kedua sebelum
Masehi, seorang ahli hukum Romawi kuno bernama Cicero mencetuskan pernyataan
yang terkenal sebagai inti HAM demikian: “Manusia adalah sama dan semua manusia
dilahirkan bebas”. Tetapi apabila ditarik lebih jauh lagi
keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kesamaan dan kebebasan sudah ada sejak
adanya manusia. Alkitab Perjanjian Lama melaporkan bahwa manusia diciptakan
mulia sebagai gambar Allah (Kejadian 1: 26). Jadi, martabat manusia yang mulia
bukan ada dengan sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang dikaruniai oleh
Allah. Tidak seorang pun berhak mencabut hak-hak manusia kecuali pencipta itu
sendiri. Karena itu semua manusia harus hidup dalam penghormatan terhadap
sesamanya, karena ia diciptakan sederajat adanya. Walaupun pada abad XIX Gereja
Katolik secara organisasi (tindakan gereja secara organisasi belum tentu sesuai
dengan pandangan Alkitab) merupakan pendukung pemerintahan monarkhi dan menolak
HAM, sikap gereja tersebut disebabkan trauma yang dialami gereja pada waktu
Revolusi Perancis di mana dalam revolusi tersebut ribuan imam Katolik dihukum
mati karena tidak mau mengucapkan sumpah pada konstitusi. Puncak penolakan kebebasan beragama dalam
gereja Katolik terjadi pada tahun 1964 di mana kebebasan beragama dan toleransi
dikutuk sebagai kesesatan. Sikap gereja yang melakukan pelanggaran
HAM juga nyata dalam perang-perang salib serta pertikaian antara gereja Katolik
dan aliran Protestan yang dianggap bidat. Namun tindakan-tindakan salah gereja
tidak boleh diartikan bahwa Alkitab menyetujui tindakan tersebut. Karena pada
waktu-waktu selanjutnya gereja mendukung penegakan HAM sebagaimana dikatakan
oleh Paus Johanes Paulus II yang memuji Deklarasi Universal HAM sebagai inspirasi dan sendi yang mendasar
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Demikian juga Calvin seorang tokoh
reformator Protestan pernah mendapat pujian sebagai pioner kebebasan hati
nurani dan HAM.
Harus diakui bahwa dalam sejarah Gereja
baik Katolik maupun Protestan terdapat banyak pelanggaran HAM, namun tidak
dapat diartikan bahwa kekristenan tidak menghargai HAM. Pemahaman mengenai
aspek keberadaan manusia yang telah jatuh dalam dosa serta tidak lagi mampu
mentaati Allah secara sempurna harus menjadi dasar dalam memahami kegagalan
gereja dalam mengadakan proteksi terhadap HAM, tetapi hal itu tidak hanya
terjadi pada agama Kristen, tetapi juga pada semua agama.
Dalam sejarah agama-agama terlihat bahwa
semua agama besar di dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap
agama-agama lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut
melekat kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama
terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti politik
atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.
Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat
lokal, namun setelah perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami
trauma yang dalam akibat perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta
perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan proteksi
HAM tidak lagi bersifat domestik. Perjuangan HAM yang bersifat mendunia tersebut
nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tahun 1945. Dalam pembukaan Piagam PBB dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk
menegaskan kepercayaannya akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional
tersebut akhirnya menghasilkan Deklarasi Universal HAM yang lahir tanggal 10
Desember 1948. Dan piagam tersebut oleh majelis PBB
ditetapkan sebagai standar umum untuk semua rakyat dan negara. Dua puluh pasal
pertama deklarasi tersebut memiliki kesamaan dengan Bill Of Rights Amerika
Serikat. Karena itu tidaklah mengherankan jika
Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya
dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati. Konsep HAM dianggap dipengaruhi oleh konsep Locke
tentang hukum kodrati tersebut tidak boleh dianggap menjadi buah karya
masyarakat sekuler, karena peran kekristenan sangat nyata, dimana hukum kodrati
itu sendiri sudah ada sebelum dicetuskan oleh Locke, dan hukum kodrati merupakan sesuatu yang berasal dari
kekristenan.
Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB sebagai standar umum
bersifat tidak mengikat, karena itu dalam usaha untuk menegakkan HAM yang
bersifat universal lahirlah konvensi-konvensi yang bersifat mengikat.
B. Sejarah Pemikiran Hak Kebebasan Beragama
Setelah penulis menjelaskan mengenai sejarah pemikiran HAM secara
umum, maka dalam bagian ini penulis akan memaparkan mengenai sejarah pemikiran
perlindungan hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa kebebasan
beragama merupakan hak yang bersifat universal.
Hak Kebebasan
Beragama merupakan hak yang harus dihormati oleh semua manusia hal tersebut
dinyatakan secara tegas dalam Deklarasi Universal HAM dalam pasal 1 dan 18 yang berbunyi:
Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara
dalam martabat dan hak. Mereka
dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat
persaudaraan (pasal 1). Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau
keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi, atau bersama-sama dengan
orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau
keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan kataatan (pasal 18).
Pernyataan mengenai kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM
merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh seruan Presiden Roosevelt tentang empat
macam kebebasan. Salah satu adalah kebebasan bagi setiap orang untuk bertakwa
kepada Tuhan menurut caranya sendiri (freedom of every person to worship God
in his way).
Pernyataan Presiden Roosevelt juga tidak dapat dipisahkan dari
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang juga memberikan hak kebebasan beragama
dimana dalam Deklarasi Kemerdekaan tersebut Amerika Serikat menyatakan bahwa
negara terpisah dari agama, dan negara memberikan perlindungan terhadap
kebebasan beragama, kemudian ditetapkan bahwa setiap orang bebas untuk berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Kebebasan ini merupakan elemen dari hak asasi yang paling utama,
tanpa adanya penghormatan terhadap hak tersebut maka tidak mungkin ada
penghormatan terhadap HAM.
Pengakuan kebebasan beragama secara internasional nyata dengan
adanya pengakuan kebebasan beragama dalam “The
Peace of Westphalia” tahun 1648 yang mengakhiri peperangan 30 tahun. Pada waktu itu ada perlindungan bagi
orang-orang Protestan dalam negara Katolik, demikian juga orang-orang Katolik
dalam negara Protestan. Westphalia pada waktu itu mulai memberikan kebebasan
beragama. Pemisahan total antara agama dan negara
yang merupakan kelahiran negara sekuler dipelopori oleh pengakuan “Peace of Westphalia” dan pengakuan ini
jugalah yang mempengaruhi lahirnya negara sekuler Amerika Serikat yang
menghargai kebebasan beragama, namun tidak berarti didalam negara sekuler
Amerika serikat agama tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Deklarasi Amerika Serikat merupakan gambaran betapa kuatnya pengaruh
kekristenan dalam pernyataan kemerdekaan tersebut. Demikian juga dokumen Peace
of Westphalia tidak dapat dianggap sebagai karya manusia modern.
Sehingga pangakuan kebebasan beragama juga tidak dapat dianggap produk
masyarakat sekuler. Mengenai kesepakatan “Peace
of Westphalia”, Thamrin Amal Tomagola menjelaskan seperti berikut:
Kesepakatan itu sendiri sebenarnya merupakan anak kandung dari
proses Renaissance yang telah bergulir sejak abad 13 di sana. Proses ini secara
signifikan mempreteli kekuasaan gereja dan memunculkan negara sekuler. Negara
sekuler ini selain mengharuskan pemisahan agama dari negara, ia juga didirikan
berlandaskan asumsi bahwa individualisme telah menjadi kenyataan dan berperan
nyata sebagai pilar-pilar negara. Dicanangkannya individu-individu yang mandiri
ini secara asertif mampu melepaskan diri baik dari ikatan dan tekanan kolektiva
suku maupun agama (umat).
Pandangan Thamrin Amal Tomagola nampak sejalan dengan Rhoda yang
menganggap bahwa HAM, secara khusus kebebasan beragama merupakan karya
masyarakat sekuler. Sebagaimana Rhoda yang tidak mencoba melihat perkembangan
pemikiran Barat yang dipengaruhi oleh kekristenan dan Yahudi, demikian juga
Thamrin tidak melihat bahwa perkembangan pemikiran yang melatarbelakangi
lahirnya kesepakatan “Peace of
Westphalia”, yaitu pengaruh kekristenan dan Yahudi yang mempengaruhi
pemikiran Barat. Penafsiran
HAM sering dianggap merupakan produk sekuler pada saat ini juga karena
teolog-teolog Kristen kurang memaparkan bahwa HAM dipengaruhi oleh kekristenan.
Dorongan untuk menjelaskan HAM dari sudut pandang kekristenan baru mulai
sekitar tahun 1970.
Pengakuan hak kebebasan beragama tidak boleh
dianggap sebagai karya manusia sekuler semata-mata, bukan saja karena keyakinan
bahwa dokumen “Peace of Westphalia”
bukan semata-mata lahir oleh pemikiran Renaissance, tetapi juga karena lahirnya
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang memiliki pengaruh terhadap
dimasukkannya kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM dianggap
dilatarbelakangi oleh pikiran John Locke, yang adalah seorang Kristen, walaupun
ia juga seorang filsuf jaman modern. Pernyataan Hak Kebebasan Beragama yang
dituangkan dalam Deklarasi Amerika Serikat dilindungi oleh negara yang
memisahkan antara agama dan negara (negara sekuler) dan konsep tersebut
dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam tulisannya yang berjudul “A Letter Concerning Toleration” yang
dia tulis ketika berada dalam pengasingan di Belanda tahun 1965. Mengenai pemisahan antara agama dan
negara, Locke menjelaskan sebagai berikut:
Kekuasaan sipil akan sama di mana saja: di tangan seorang raja
Kristen, kekuasaan itu tidak boleh memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada gereja, dibanding dengan seorang kafir…Dari mana pun asalnya kekuasaan
tersebut, karena bersifat gerejawi, kekuasaan tersebut harus terbatas dalam
batas-batas gereja, dan dengan cara apa pun tidak boleh diperluas ke
urusan-urusan sipil; karena gereja itu dalam dirinya sendiri adalah mutlak
terpisah dan berbeda dari masyarakat. Batas-batas di kedua belah pihak adalah
tetap dan tak dapat digoyahkan.
Bagi Locke negara
dan agama harus terpisah, sehingga orang yang beragama apa pun yang memegang
kekuasaan negara tidak boleh memberikan hak khusus kepada kelompok agama
tertentu. Pikiran Locke inilah yang mendasari adanya pemisahan antara agama dan
negara dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang memberikan perlindungan
terhadap Hak Kebebasan Beragama, dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tersebut mendapat pengaruh
yang kuat dari kekristenan.
Hak Kebebasan beragama yang tertuang dalam Deklarasi Amerika ini
mempunyai pengaruh yang besar terhadap perlindungan kebebasan beragama dalam
Deklarasi Universal HAM, maka pengakuan hak kebebasan beragama tidak boleh
dianggap sebagai buah karya manusia sekuler. Memang pemberian perlindungan
terhadap hak kebebasan beragama lebih mendapat tempat dalam negara yang
memisahkan antara agama dan negara, dan kekristenan setuju dengan pemisahan
antara negara dan agama.
Walaupun Hak kebebasan beragama merupakan pengakuan yang tertua
secara internasional dari elemen-elemen HAM lainnya namun ternyata penegakkan
kebebasan beragama merupakan yang paling lambat dari pada hak-hak lainnya, hal
ini juga terjadi karena agama sering kali dimanipulasi untuk kepentingan
politik, padahal sebenarnya agama tidak semestinya menimbulkan kekerasan.
Pada faktanya, hampir semua masyarakat penganut agama mayoritas di
sebuah negara pernah melakukan kekerasan terhadap masyarakat penganut agama
lain (minoritas). Penguasa di negara yang menjadikan Kristen sebagai agama
negara juga pernah melakukan kekerasan atau penghukuman terhadap warga yang
dinilai menganut ajaran sesat (bidat) dengan sangat kejam. Demikian juga tindakan intoleran dilakukan
oleh penganut agama Islam terhadap agama-agama lain. Dalam dunia Islam terjadi pembatasan peran sosial
secara spesifik bagi penganut agama di luar Islam. Kekerasan terhadap penganut
agama lain juga dilakukan oleh agama Kongfucu di Cina. Di Jepang, Buddha sebagai agama negara juga tidak
bersikap toleran dengan agama-agama lain. Jika melihat kekerasan yang
mengatasnamakan agama tampak bahwa ada faktor lain yang menyertakan kekerasan
agama sebagaimana dikatakan oleh Thomas Santoso:
Fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan
kekerasan apabila berhubungan dengan faktor lain, misal kepentingan dan penindasan
politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalaharahkan baik dari sisi eksternal
maupun internal. Dari sisi eksternal, agama propetis (nabi), seperti Islam dan
Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka
terancam. Dari sisi internal, agama profetis cenderung melakukan kekerasan
karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena pemahaman
agama atau bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu alasan yang
mendasari kekerasan politik agama.
Melihat perkembangan agama-agama di dunia
yang sering kali sulit dipisahkan dengan negara maka dapat dipahami mengapa
kekerasan atas nama agama begitu sering terjadi dan sangat sulit diatasi.
Penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap agama-agama tertentu dilakukan
untuk melestarikan kekuasaan oknum yang berkuasa. Agama-agama yang ada nasibnya
ditentukan oleh kekuasaan, maka ketika agama-agama tidak memiliki akses untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah, agama-agama melakukan tindakan yang
inkonstitusional untuk mendapatkan akses tersebut, terjadilah tindakan
kekerasan antaragama. Tindakan kekerasan atas nama agama dilakukan oleh
pemerintah dan juga oleh kelompok-kelompok tertentu dalam usaha untuk menjaga
eksistensinya.
Tidaklah mengherankan jika perlindungan
Hak Kebebasan Beragama yang telah diakui secara internasional lebih awal
dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam implementasinya ternyata menjadi
sesuatu yang paling sulit terlebih lagi dengan adanya perbedaan pandangan
mengenai Hak Kebebasan Beragama (paham universal dan relativisme HAM), baik
yang berasal dari negara atau kelompok agama tertentu. Namun demikian usaha
untuk menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami perkembangan. Hal ini
terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948, kemudian dibuat suatu covenant
on human rights tahun 1966. Kemudian pada tahun 1981 ada hal yang lebih
menggembirakan yaitu adanya “Declaration on the Elimination of All Forms of
Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief” Pernyataan
deklarasi tersebut memang dapat menunjukan bahwa pelanggaran hak kebebasan
beragama masih terus berlangsung dan perlu penanganan terus-menerus secara
lebih serius. Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya deklarasi tersebut
menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kerinduan miliaran manusia di
bumi ini, karena itu harus terus diperjuangkan
Dalam pelaksanaan kebebasan beragama tampak
bahwa negara demokrasi yang menerima adanya negara sekuler merupakan salah satu
syarat yang harus terpenuhi untuk adanya pengakuan kebebasan beragama. Dan
syarat tersebut merupakan sesuatu yang sulit untuk dapat dipenuhi, karena masih
terlalu banyak negara di dunia ini yang tidak pernah ingin memisahkan antara
negara dan agama. Akibatnya walaupun pengakuan kebebasan beragama secara internasional yang paling tua
dibandingkan dengan hak-hak lainnya, implementasinya justru menjadi hal yang
paling sulit dikerjakan.
C. Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penegakkannya di Indonesia
Jaminan
kebebasan beragama sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal Ham
sesungguhnya telah dituangkan dalam Pancasila, batang tubuh UUD 45 yang
merupakan penjabaran dari sila-sila yang terdapat dalam Pancasila, dan juga
perundang-undangan di Indonesia. Karena itu, pembelengguan kebebasan beragama
yang terus terjadi di negeri ini sesungguhnya lebih kepada kurangnya
konsistensi pemerintah dalam berpegang pada perundang-undangan yang telah
ditetapkan.
1. Pancasila Dasar Pengakuan Kebebasan Beragama.
Pancasila sebagai dasar negara disahkan
bersamaan dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam berbangsa dan
bernegara. Hal ini dapat
dimengerti karena sila-sila dari Pancasila tertuang di dalam pembukaan UUD
1945. Dengan demikian, semua rumusan Pancasila yang ada, selain yang tertuang
dalam pembukaan UUD 1945, termasuk Piagam Jakarta harus dianggap sebagai suatu
dokumentasi sejarah. Dengan terjadinya penuangan Konstitusional tersebut, maka
Pancasila menjadi sumber hukum negara Republik Indonesia dan Pancasila adalah
Ideologi Nasional. Karena itu semua hukum dibawahnya harus bersumber dari
Pancasila.
Tidak dimuatnya rumusan Pancasila versi
Piagam Jakarta tidak harus ditafsirkan sebagai suatu kekalahan oleh pihak
tertentu. Karena kemerdekaan yang dicapai itu merupakan konsensus bersama, dan
seharusnya menjadi kemenangan semua rakyat Indonesia. Sebagaimana juga telah
dijelaskan di atas, Pancasila adalah wujud pengakuan masyarakat Indonesia
sebagai suatu bangsa yang telah memiliki persatuan sejak lama dan sempat
terpecah oleh penjajah yang ingin melestarikan kekuasaannya. Tekad bersatu
untuk merdeka telah dibuktikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentang
proses perubahan rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta, hingga menjadi rumusan
Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, Hatta melaporkan demikian:
Pada sore harinya saya menerima
telepon dari tuan Nishijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan, dapatkah saya
menerima seorang opsir Kaigun (angkatan laut). Karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat
penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya
persilahkan mereka datang. Opsir itu, yang saya lupa namanya, datang sebagai
utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil
Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dukuasai oleh AL Jepang
berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar, yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak
mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya
ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang pokok Undang-Undang dasar berarti
mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika “diskriminasi”
itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Pernyataan sikap sebagian rakyat Indonesia yang
disampaikan oleh opsir Jepang tersebut dianggap sebagai sesuatu yang serius
oleh Hatta. Maka sebelum sidang panitia persiapan kemerdekaan,
Hatta mengadakan rapat dengan Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr Kasman
Singodimejo dan Mr.Teuku Hasan,
membicarakan saran dari opsir
Jepang di atas. Laporan Hatta tentang perubahan rumusan
Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dengan rumusan pada Piagam
Jakarta, tidak dilakukan di bawah tekanan tentara Jepang, mengingat pada waktu
itu Hatta mempunyai kedudukan dan wibawa yang cukup besar. Hatta mengambil
keputusan tersebut karena ia ingin agar urusan agama dipisahkan dari urusan
negara. Dengan kata lain, Hatta ingin menyatukan
seluruh bangsa Indonesia. Langkah penyatuan ini memang penting mengingat
masyarakat Indonesia bukan hanya memiliki
beragam budaya tetapi juga agama. Hatta sadar dan
mengakui bahwa kalimat: “Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, merupakan bentuk diskriminasi terhadap
masyarakat penganut agama-agama lain di luar Islam. Oleh karena itu, pemisahan
agama dari negara merupakan langkah yang sangat tepat. Langkah Hatta tersebut
juga merupakan gambaran kebijaksanaannya dalam melihat realitas yang ada, demi
kebaikan bersama.
Pancasila
yang ditetapkan sebagai dasar negara memisahkan urusan agama dari negara, dan
menolak pendapat yang menghendaki agama Islam menjadi dasar negara, karena ada
banyak daerah di Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama lain.
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang melahirkan Republik Indonesia, juga merupakan
proses penyatuan daerah-daerah yang ada di Nusantara. Maka adalah sesuatu hal
yang tidak tepat jika salah satu agama dijadikan dasar negara Indonesia.
Sebaliknya, adalah sesuatu langkah yang sangat tepat jika negara menganjurkan
setiap warga untuk beragama, karena “founding fathers” Indonesia sendiri
adalah orang-orang yang beragama. Keputusan untuk memisahkan agama dari negara
berarti juga melindungi semua pemeluk agama yang ada di Indonesia. Pancasila dapat disebut sebagai dasar bagi
kebebasan beragama di Indonesia. Kebenaran ini secara jelas tertuang khususnya
dalam pengertian sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Mengenai pengertian dari sila Ketuhanan yang Maha Esa, Soekarno pencetus
istilah Pancasila menjelaskan seperti berikut:
Prinsip
yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan, bukan saja karena
bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
bertuhan, sesuai keyakinan
masing-masing. Orang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih,
Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang Buddha menjalankan
ibadahnya menurut petunjuk kitab-kitab mereka, dan seterusnya. Tetapi marilah
kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat Indonesia
hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya “egoisme agama” dan hendaknya negara
Indonesia satu negara yang bertuhan.
Berdasarkan
pernyataan di atas, Soekarno tidak bermaksud mengatakan bahwa negara mengatur
rakyatnya untuk memilih agama yang harus mereka anut. Dalam pidato tersebut,
dia hanya menganjurkan supaya semua warga negara memeluk agama yang sesuai
dengan keyakinannya. Dia juga
menjelaskan bahwa negara menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan
ibadah agamanya masing-masing. Soekarno dan rekan-rekannya yang merumuskan
Pancasila adalah orang yang bertuhan, karena itu wajarlah jika mereka
menghimbau semua rakyat Indonesia untuk bertuhan. Sebagai orang yang bertuhan,
Soekarno mengerti apa faedah agama itu bagi pembangunan bangsa. Namun tidak
berarti dia memaksa rakyat untuk menganut agama tertentu.
Senada dengan Soekarno, TB Simatupang mengatakan secara tegas bahwa :
Sila
pertama bukanlah “kepercayaan kepada Allah” tetapi lebih berarti kepercayaan
kepada “ide ketuhanan”, oleh karena kata yang dipakai di sini bukanlah “Allah”
tetapi istilah yang lebih netral, “Ketuhanan”. Kepada istilah tersebut
ditambahkan pula keesaan dan kemahaan. Demikianlah sila yang pertama tidak
berbicara tentang Allah, tetapi tentang ke-allahan. Ia berbicara tentang
keilahian. Juga orang-orang yang tidak mempercayai Allah yang bersifat pribadi,
misalnya beberapa kalangan dalam agama Budha, dapat menerima sila tersebut. Ia
berbicara tentang kepercayaan kepada sesuatu yang maha transenden. Sesuatu yang
maha esa, mungkin ini terdengar sebagai suatu konsep yang amat samar-samar,
tetapi ia berhasil merangkul semuanya. Bahkan orang-orang Komunis pernah
menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai keberatan yang asasi terhadapnya. Semua
orang mendaptkan dalam sila itu sesuatu yang bersifat pokok dari segi
kepercayaan mereka.
Uraian Soekarno dan Simatupang mengenai Pancasila
sangat jelas. Bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa tidak boleh diartikan secara
teologis, yang dimaksud dengan penafsiran secara teologis misalnya adalah
menafsirkan kata Ketuhanan yang Maha Esa sebagai tauhid dalam agama Islam, karena ia adalah gambaran pengakuan bahwa
semua agama mempunyai tempat di bumi Indonesia. Sila tersebut juga merupakan
suatu pengakuan bahwa negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak
agama, dan memberi tempat yang sama terhadap semua agama. Penjelasan yang
gamblang mengenai kebebasan beragama di dalam sila pertama yang merupakan
pernyataan tidak adanya diskriminasi agama, seharusnya diterima oleh semua
individu dan kelompok yang ada di Indonesia, apabila setiap individu dan
kelompok tersebut sungguh-sungguh mempelajari sejarah lahirnya NKRI dan
masa-masa di mana seluruh rakyat sama-sama bahu-membahu berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan itu.
Dalam perjalanan sejarah, ada tiga kekuatan besar di Indonesia yang
berusaha menancapkan pengaruhnya. Pertama adalah nasionalis sekuler, kedua
Islam (Islam politik dan kultural), dan ketiga komunis (marxisme). Namun
pernyataan bersama untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara
yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, harus dianggap sebagai sesuatu yang
sudah final. Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta tetap dianggap merupakan
kekalahan bagi Islam politik, walaupun pada waktu itu sudah ada suatu kompromi
dengan ditambahkannya perkataan “yang Maha Esa” Tetapi perubahan itu (tidak
dicantumkannya ketujuh kata dalam Piagam Jakarta ke Pembukaan UUD 45) tampaknya
tidak menghapus kekecewaan Islam politik. Islam politik disini adalah kelompok
dari umat Islam yang berusaha untuk menggantikan Ideologi Pancasila dengan
Ideologi Islam. Mereka berbeda dengan Islam kultural yang lebih menekankan
substansi dibandingkan aspek legal dan formal idealisme. Sedang Islam politik
lebih menekankan aspek legal dan formal idealisme, karena itu dalam tulisan ini Islam
politik disebut Islam formalis (nasionalis Islam) untuk membedakan dengan Islam
politik yang nasionalis sekular. Islam Formalis ini berkeinginan untuk
menetapkan syariah sebagai konstitusi negara. Kelompok ini merupakan kelompok
kecil, sehingga tidaklah mengherankan jika
Piagam Jakarta tidak dapat diterima. Soekarno dan Hatta sebagai “founding fathers”dapat digolongkan
ke-dalam Nasionalis Muslimin “sekular” (nasionalis sekular). Walaupun Islam
formalis terus berusaha untuk memasukkan tujuh kata yang “hilang” itu ke
Pembukaan UUD 45, namun tidak pernah berhasil, karena memang merupakan kelompok
kecil. Karena kecewa, suatu kelompok Islam formalis yang dinamakan Darul Islam
(DI) melakukan pemberontakan terhadap negara. Aksi pemberontakan ini pertama
kali meletus di Jawa Barat pada tahun
1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Dan kemudian terjadi juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Pemberontakan
ini baru dapat dipadamkan setelah 13 tahun, merupakan perang yang paling lama dalam sejarah
perjuangan Indonesia.
Perlawanan terhadap Pancasila yang kedua dilakukan
oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Perlawanan tersebut pertama kali meletus di Madiun, Jawa Timur pada bulan
September 1948. Pemberontakan-pemberontakan terhadap ideologi Pancasila ini
sangat melukai hati bangsa Indonesia karena terjadi pada waktu pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda. Puncak pemberontakan PKI terjadi pada 30 September
1965. Dan sejak itu PKI menjadi partai terlarang. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Pancasila dan UUD 1945 menjadi makin kukuh. Meski demikian, bukan berarti
upaya-upaya perlawanan terhadap ideologi tersebut berhenti. Perjuangan untuk
melawan Pancasila menggunakan taktik lain, yakni dengan memberikan tafsir lain
terhadap Pancasila sebagaimana dijelaskan oleh Pranarkha demikian :
Oleh karena dengan dekrit itu bagaimanapun
juga kedudukan Pancasila menjadi makin kukuh, maka konflik ideologi yang
berkenaan dengan Pancasila terjadi dalam bentuk lain. Penolakan langsung
terhadap Pancasila tidak terjadi secara terbuka. Pergumulan ideologi itupun
berjalan melalui penetration pacifique, terutama dengan proses transplantasi
ideologi masing-masing itu kedalam Pancasila. Pancasila ditafsirkan melalui
berbagai macam aliran ideologi.
Walaupun Pancasila sudah ditetapkan sebagai
ideologi negara, tetapi perlawanan untuk menggantikannya dengan ideologi lain
masih terus berlangsung. Peluang-peluang ini memang bisa saja terjadi, terlebih
lagi pemerintah yang berkuasa seringkali tidak menjalankannya dengan konsekuen.
Pancasila merupakan kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia
yang memiliki ribuan pulau dengan berbagai macam suku, bahasa serta agama.
Perang agama adalah suatu peristiwa yang hampir tidak terdengar dalam sejarah
Indonesia, sampai pada masa kemerdekaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
masuknya agama-agama baru ke Indonesia berlangsung dengan cara damai.
Agama-agama suku sudah ada jauh sebelumnya, bahkan banyak yang bercampur dengan
agama-agama yang datang.
Percampuran agama dengan agama
suku itu melahirkan apa yang disebut dengan aliran kepercayaan. Namun demikian,
hubungan antaragama di Indonesia tetap berjalan dengan baik. Dan meski penduduk
negeri ini terdiri dari suku bangsa yang berbeda, berbeda bahasa, dan agama,
namun bisa bersatu memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Kemudian Pancasila dipilih
sebagai sesuatu yang dianggap menjadi alat perekat bangsa, karena ia memang
merupakan kristalisasi bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut seharusnya
mendorong setiap elemen bangsa mengusahakan agar Pancasila dapat tetap
terpelihara, dijaga, dan setiap kelompok, suku dan agama senantiasa memberikan
sumbangsihnya bagi pemikiran yang bersifat pancasilais, untuk tetap menjadikan
Pancasila sebagai alat perekat bangsa yang sangat beragam tersebut.
Kesadaran bahwa Pancasila merupakan alat perekat bangsa
Indonesia dan telah teruji dalam membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka
dan berdaulat penuh, menimbulkan semangat dalam setiap insan di Indonesia untuk
terus menggali nilai-nilai dari Pancasila.
Mengenai usaha-usaha ini, Eka Darmaputera menjelaskan sebagai berikut:
Sejak ia diperkenalkan oleh Soekarno pada tanggal 1
Juni 1945, sampai kepada ketetapan MPR pada tanggal 22 Maret 1978, Pancasila
telah mengalami berbagai perubahan dan dalam urutan, perumusan dan penekanan
makna, selama kurun waktu itu banyak buku telah ditulis, dan berbagai sebutan
telah diberikan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, salah satu ciri khas
Pancasila ialah, bahwa ia memberikan tempat bagi bermacam-macam pendekatan.
Usaha untuk terus menggali nilai-nilai Pancasila sebagai
alat perekat bangsa, juga mendapatkan tandingan dari usaha-usaha untuk
memasukkan pemikiran kelompok tertentu ke dalam Pancasila, apalagi Pancasila
memang memberikan tempat bagi bermacam-macam pendekatan sebagaimana dijelaskan
oleh Eka di atas. Maka terciptalah heterogenitas Pancasila yang bukan hanya
mengandung aspek positif tetapi juga aspek negatif.
Ketika usaha-usaha dengan kekerasan untuk menggantikan
Pancasila sebagi ideologi negara mengalami kegagalan, maka penetrasi
nilai-nilai kelompok yang ingin menggantikan Pancasila terjadi dengan amat
derasnya. Semangat komunalisme agama terus bertumbuh dengan subur sebagai
saingan dari negara yang terus berusaha untuk menumbuhkan semangat
nasionalisme, walaupun tidak kepada seluruh lapisan masyarakat. Hubungan
“partnership” yang seharusnya terjadi antara negara dan kelompok etnis serta
agama, berubah menjadi hubungan yang saling menelan satu sama lain.
Persaingan antara negara dan kelompok agama menimbulkan
tafsir yang beragam dari Pancasila, karena kelompok-kelompok agama berusaha
melakukan penetrasi nilai-nilainya. Mereka tidak perduli apakah nilai tersebut
dapat memenuhi syarat sebagai jati diri Pancasila atau tidak, sebab tujuan
utama mereka adalah mengganti Pancasila
dengan nilai-nilai kelompok agama mereka.
Tidak jarang Pancasila melahirkan pemikiran-pemikiran
yang bertentangan dengan jati dirinya dan tidak dapat berfungsi sebagaimana
adanya. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tafsir tentang pemikiran Pancasila
terus bergeser dan tidak lagi menjadi sesuatu yang merekatkan bangsa,
sebaliknya menjadi sumber konflik karena ke dalam Pancasila telah dimasukkan
hal-hal yang bukan merupakan hakikat dirinya. Hal ini terjadi karena usaha
untuk menggali pemikiran Pancasila didasarkan pada usaha untuk melakukan
penetrasi ajaran agama atau kelompok tertentu ke dalam Pancasila semata, dan
jika perlu mengesampingkan kelompok lain. Akibatnya diskriminasi menjadi
sesuatu yang biasa.
Heterogenitas Pancasila pada hakikatnya merupakan wujud
dari keberagaman yang ada di Indonesia. Keberagaman suku, budaya dan
agama-agama, melahirkan heterogenitas pemikiran tentang Pancasila. Heterogenitas Pancasila disatu
sisi menunjukan keunggulan dari Pancasila karena hal tersebut menjadi bukti
bahwa semua orang yang berada dalam payung Pancasila identitasnya tetap
dihargai. Kelompok suku, budaya dan agama-agama dapat bertumbuh dengan subur di
bumi Indonesia dalam naungan Pancasila. Keberadaan tersebut menciptakan
partisipasi yang tinggi dari setiap kelompok yang ada di Indonesia untuk
memberikan sumbangsih pemikiran terhadap Pancasila.
Terjaganya
hak-hak individu dan kelompok di dalam Pancasila merupakan kekuatan Pancasila
sebagai kompromi bersama. Karena itu tidak mengherankan jika Darmaputera
mengatakan bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik satu-satunya untuk Indonesia.
Pancasila sebagai pilihan terbaik menjadi harapan
seluruh bangsa Indonesai untuk membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat
penuh. Dalam perjuangan bangsa Pancasila terbukti mampu mempersatukan seluruh
rakyat Indonesia untuk bahu membahu melawan penjajah. Pancasila mampu menjadi
perekat bangsa.
Walaupun Pancasila dalam perjalanan menjadi ideologi dan
dasar negara melewati proses perdebatan yang panjang antar kelompok-kelompok
yang berbeda-beda. Pancasila sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945
telah dianggap sebagai sesuatu yang final. Keberadaan Pancasila ini merupakan
kekuatan dimana bangsa yang baru merdeka tersebut memiliki arah dalam
perjuangan bangsa.
Perdebatan antar kelompok yang ada semasa menjelang
kemerdekaan dalam hal Pancasila juga mengindikasikan bahwa Pancasila sebelum
menjadi ideologi dan dasar negara Indonesia telah mengalami proses kritik dari
berbagai kalangan yang berbeda. Berarti sila-sila dari Pancasila merupakan
rumusan yang lahir dari keterlibatan banyak orang di Indonesia, dengan segala
keragamannya, yang memperkaya isi dari sila-sila di dalam Pancasila. Pancasila
merupakan sintesa dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Sintesa tersebut
berisi nilai-nilai yang universal dan diterima oleh semua kelompok yang ada di
Indonesia.
Nilai-nilai yang dituangkan
dalam sila-sila dari Pancasila sebagai sintesa yang bersifat universal bukan
hanya kerinduan bangsa Indonesia, tetapi menjadi kerinduan semua umat manusia. Sehingga Pancasila memiliki keunggulan
karena tidak ada orang yang menolaknya.
Keterlibatan kelompok-kelompok
yang ada di Indonesia dalam memberikan sumbangsihnya terhadap pemikiran
Pancasila nyata dalam munculnya heterogenitas tafsir Pancasila. Adanya
keberagaman tafsir memungkinkan timbulnya sintesa-sintesa pemikiran yang lebih
baik dari kelompok-kelompok yang ada.
Apabila terjadi perbedaan tafsir terhadap
Pancasila, perbedaan tersebut tidak akan menimbulkan konflik. Perbedaan antara
tafsir yang ada akan selalu menciptakan sintesa-sintesa, dan akan memberikan
rumusan nilai-nilai bersama bagi hidup bersama.Usaha penafsiran yang demikian
disebut penafsiran terhadap Pancasila yang dijiwai dengan semangat Pancasila
yaitu kebhinekatunggalikaaan. Sebaliknya sumbangsih kelompok dan agama-agama
yang ada akan menjadi negatif apabila didasarkan pada pengingkaraan Pancasila
sebagai ideologi negara. Karena pada waktu perbedaan tafsir terjadi,
kelompok-kelompok yang ada akan terus mempertahankan penafsirannya sebagai
sessuatu yang benar. Akibatnya, perbedaan tafsir akan menimbulkan koflik karena
tidak dijiwai oleh semangat Pancasila.
Pancasila sebagai sesuatu yang
menaungi semua memang hanya berisi hal-hal yang bersifat pokok saja, namun ini
tidak boleh diartikan sebagi suatu kelemahan semata-mata. Keberadaan Pancasila
yang memerlukan penjabaran lebih jelas tersebut disatu sisi memiliki kekuatan.
Sehubungan dengan hal ini Simatupang menerangkan bahwa: “Kelima sila itu
merupakan payung yang cukup lebar untuk semua orang. Tiada seorangpun mempunyai
alasan apapun untuk menentangnya. Rakyat dapat menerimanya. Kami dapat hidup
bersama-sama dibawahnya”.
Pancasila sebagai kristalisasi
kehidupan masyarakat Indonesia terbukti mampu menaungi semua, karena ia adalah
isi dari jiwanya bangsa Indonesia. Mengenai hal ini
Soekarno menerangkan seperti berikut:
Saudara-saudara, … buat kesekian kalinya saya katakan,
bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari,
ialah sekedar memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat
dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa
membuat Pancasila itu buatan Soekarno … saya sekedar menggali di dalam bumi
Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap
dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara seindah-indahnya, … Aku menggali
di dalam buminya rakyat Indonesia dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa
Indonesia itu hidup lima perasaan.
Sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia nilai-nilai dari
Pancasila tidak berarti hanya menjadi milik monopoli masyarakat Indonesia,
karena nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia tersebut dapat berupa nilai-nilai
yang universal. Dan sifat universal dari Pancasila dapat dilihat dari sila-sila
dalam Pancasila, yaitu ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan, kedaulatan rakyat dan keadilan, merupakan nilai-nilai yang
universal, karena nilai-nilai tersebut menjadi kerinduan semua masyarakat di
dunia, maka ia juga berarti kerinduan masyarakat Indonesia. Dengan dasar
pemahaman itu juga penafsiran terhadap Pancasila harus berisi nilai-nilai yang
universal. Pemikiran Pancasila yang berasal dari tafsir dari kelompok dan agama
yang ada di Indonesia haruslah bersifat inklusif dan nondiskriminatif.
Tidaklah mengherankan jika Pancasila sebagai nilai-nilai yang
universal diterima sebagai kompromi kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, karena
Pancasila yang berisi nilai-nilai yang universal tersebut dimiliki oleh setiap
kelompok dan agama yang ada, sehingga penerimaan Pancasila tidak akan
menghapuskan identitas yang ada. Tetapi juga sesuatu yang benar apabila
pertumbuhan kelompok yang ada tidak boleh menelan rasa persatuan sebagai bangsa
di bawah Pancasila, karena Pancasila tidak menghambat perkembangan
kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat
Indonesia memiliki kekuatan. Kristalisasi nilai-nilai yang tertanam dalam
perasaan-perasaan masyarakat Indonesia memiliki keunggulan, karena ia berisi
nilai-nilai yang universal, dengan demikian Pancasila adalah ideologi terbuka.
Artinya sebagai ideologi terbuka Pancasila mampu menerima kontribusi semua
nilai-nilai yang berada dalam kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, serta
ideologi-ideologi lain. Walaupun
Pancasila tetap tidak dapat menerima apa saja. Penerimaan Pancasila memiliki
batasan-batasan tertentu.
Sebagai ideologi terbuka
Pancasila memang tidak memiliki nilai operasional, namun transformasi Pancasila
ke dalam hukum dan perundang-undangan memungkinkan Pancasila dapat diamalkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Transformasi Pancasila kedalam hukum dan
perundang-undangan membutuhkan keterlibatan semua kelompok yang ada, sehingga
hukum dan perundang-undangan tidak hanya berisi nilai-nilai yang ada dalam
kelompok atau agama tertentu. Sehingga diskriminasi suku dan budaya, serta
agama-agama sesuatu yang ditentang oleh Pancasila.
Pancasila yang adalah
nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia tersebut dapat disebut sebagai
ideologi terbuka, karena setiap orang boleh memberikan
tafsir kepada Pancasila, dan penafsiran tunggal merupakan sesuatu yang tidak
memiliki tempat dalam Pancasila. Sedang dalam ideologi tertutup penafsiran yang berbeda tidak memiliki
tempat. Karena itu Heterogenitas Pancasila secara positif merupakan gambaran
bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, dimana setiap kelompok yang ada dalam
negara Indonesia memiliki tempat dalam memberikan kontribusinya dalam mengisi
Pancasila. Namun penerimaan dari pemikiran yang disumbangkan tersebut harus
mengalami proses dialog, dimana setiap kelompok boleh memberikan kritik dari
pemikiran tersebut, barulah pemikiran tersebut dapat dianggap menjadi
nilai-nilai dari Pancasila yang dapat menampung keberbedaan masyarakat
Indonesia. Usaha untuk memasukan pemikiran terhadap Pancasila tidak boleh
dilakukan dengan cara paksa.
Sebagai Ideologi terbuka
Pancasila tidak memiliki nilai operasional sehingga tingkah laku orang
Indonesia tidak dapat dinilai dengan penerapan ideologi Pancasila secara
langsung. Pengoperasian dari Pancasila sebagai ideologi terbuka harus melalui
perangkat hukum dan perundang-undangan. Jadi pemahaman Pancasila sebagai ideologi
negara Indonesia berarti Pancasila menjadi sumber hukum dari setiap hukum yang ada di Indonesia yang
penjabarannya dinyatakan dalam undang-undang. Peraturan perundang-undangan
inilah yang dapat menjadi tolok ukur apakah tingkah laku masyarakat Indonesia
sesuai dengan Pancasila atau tidak. Namun tidak berarti bahwa setiap
pelanggaran terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada merupakan perlawanan terhadap Pancasila.
Dalam usaha untuk menciptakan
perangkat hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari Pancasila, semua
kelompok yang ada harus berpartisipasi aktif. Dan partisipasi itu menjadi
sesuatu yang positif apabila setiap kelompok yang ada berpegang kepada
Pancasila sebagai ideologi negara yang mempersatukan bangsa Indonesia, bukan
pada ideologi yang lain.
Heterogenitas Pancasila merupakan gambaran bahwa
Pancasila diakui sebagai ideologi. terbuka. Pancasila dapat menerima semua
keberagaman yang ada. Sebagai ideologi terbuka Pancasila memiliki kekuatan
karena ia berisi nilai-nilai yang universal dan terbuka bagi perubahan untuk
menjadikannya tetap relevan sepanjang jaman.
Selama Tafsir
tentang Pancasila dijiwai oleh semangat kbehinekatunggalikaan yang adalah
realitas bangsa Indonesia, maka Pancasila akan mampu menampung semua, walaupun
tidak berarti Pancasila boleh diisi apa saja.
Pancasila sebagai pilihan terbaik selalu diusung oleh
pemerintah yang ada, baik pada masa orde lama maupun orde baru. Kegagalan
Indonesia untuk mengatasi konflik dalam negara Indonesia bukan karena Pancasila
tidak mampu memberikan solusi bagi penyelesain konflik tersebut, tetapi
dikarenakan Pancasila mengalami perkembangan pemikiran. Perkembangan pemikiran
Pancasila pada realitanya berisi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila
itu sendiri. Jadi dalam dirinya Pancasila senantiasa menjadi alat yang
mempersatukan bangsa Indonesia, karena Pancasila adalah payung yang lebar dan
dapat menampung semua keragaman yang ada di Indonesia. Apabila Pancasila
ditafsirkan secara inklusif dan nondiskriminatif, maka pemikiran Pancasila akan
berisi nilai-nilai yang memberi keadilan bagi semua.
Pada sisi lain heterogenitas
Pancasila mempunyai kelemahan. Perbedaan tafsir terhadap Pancasila dapat
menimbulkan konflik apabila tidak disikapi dengan tepat. karena keberbedaan
pada hakekatnya bukan hanya menjadi kekayaan bangsa, tetapi juga dapat menjadi
potensi konflik dalam kehidupan bersama, secara khusus munculnya perbedaan
tafsir terhadap Pancasila yang didasarkan pada pemahaman agama-agama yang
berbeda-beda.
Heterogenitas Pancasila setidaknya
terjadi dalam tiga hal. Pertama heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila,
kedua, heterogenitas terhadap pengakuan sumber dari Pancasila, ketiga,
heterogenitas tafsir Pancasila. Hetereogenitas Apresiasi, sumber dan tafsir
terhadap Pancasila tersebut kemudian membuat Transformasi Pancasila tidak
berjalan dengan mulus dalam hukum dan perundang –undangan.
Heterogenitas
apresiasi terhadap Pancasila ini terjadi karena kelompok-kelompok yang ada di
Indonesia tidak berpegang pada konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar
kemerdekaan. Status Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak diakui
sebagai sesuatu yang final oleh semua individu atau kelompok yang ada di
Indonesia. Kelompok-kelompok yang ada tersebut (Marxisme dan ideologi Islam)
mengingkari sumpah setianya untuk membangun negara Indonesia dibawah Pancasila.
Dan terus memegang harapan-harapan lain (Marxisme dan Ideologi Islam).Hal
tersebut nampak dengan adanya keinginan menggantikan Pancasila sebagai ideologi
negara, baik melalui penetrasi nilai-nilai agama tertentu kedalam Pancasila,
maupun dengan cara kekerasan.
Mengenai penerimaan Islam formalis terhadap Pancasila
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, Darmaputera menjelaskan demikian:
Penerimaan Islam pada waktu itu adalah bersifat “sementara”
dan “taktis”, dengan pertimbangan mereka akan memperjuangkannya kembali secara
konstitusional kelak, yaitu yang terjadi pada sidang-sidang konstituante dan
sebagian mengambil langkah perjuangan bersenjata…penerimaan Islam pada waktu
itu diikuti oleh beberapa “konsesi” penting, misalnya adanya Departemen Agama,
berlakunya hukum pengadilan agama Islam.
Penerimaan Islam formalis (lihat bab I) yang
menginginkan negara berdasarkan ideologi Islam ini juga terjadi pada penerimaan
terhadap Pancasila sebagaimana di lakukan oleh kaum Marxisme, kelompok komunis
pada menjelang kemerdekaan belum mempunyai kekuatan yang menonjol dibandingkana
kubu kebangsaan dan Islam. Sehingga Komunis memilih untuk mendukung kubu
kebangsaan pada semenetara waktu. Akibatnya Pancasila mengalami kemajemukan
status, dan terjadilah apresiasi terhadap Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila dapat dimengerti
karena Pancasila merupakan kompromi politik (Kebangsaan, Islam dan Marxisme).
Pada waktu kelompok-kelompok politik yang ada tidak lagi berpegang pada
pengakuan bahwa Pancasila adalah ideologi negara, maka kelompok-kelompok
tersebut berusaha untuk melakukan penetrasi nilai- nilai mereka secara paksa
kedalam Pancasila.
Keragaman apresiasi terhadap Pancasila seharusnya telah
selesai sejak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi negara, karena
Pancasila merupakan konsensus dari
seluruh rakyat Indonesia. Dan Pancasila yang telah dituangkan dalam pembukaan
UUD 1945 harus diterima oleh setiap kelompok yang ada di bumi Indonesia sebagai
sessuatu yang final.
Pancasila sebagai suatu kompromi dari kelompok-kelompok
politik yang ada di Indonesia tidak dapat memuaskan semua pihak, namun
Pancasila merupakan jalan terbaik untuk memelihara kebhinekaaan Indonesia.
Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak
mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi
kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara,
apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945.
Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian
mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya
kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk
menumbangkan kekuasaan negara.
Ironisnya usaha untuk menggantikan Pancasila dengan
ideologi lain dengan cara kekerasan terjadi pada tahun 1949, saat dimana
Indonesia akan mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka, yang seharusnya
disyukuri bersama. Usaha menggantikan Pancasila dengan pemberontakan yang
terjadi menjelang pengakuan kedaulatan RI merupakan penghianatan terhadap
komitmen untuk mempertahankan Indonesia, sebagai negara merdeka.
Mengenai tumbuhnya
harapan-harapan lain diluar Pancasila yang menciptakan heterogenitas apresiasi
Pancasila dan bermuara pada usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain
dengan cara kekerasan, Simatupang mengatakan demikian:
Dalam
pada itu sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949,
maka telah muncul dua harapan tandingan terhadap Pancasila dan UUD 45. Yaitu,
pada satu pihak, harapan tandingan untuk mendirikan negara Komunis yang
dicetuskan oleh pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948. Dan pada
pihak lain harapan tandingan untuk mendirikan negara Islam yang dicetuskan oleh
Darul Islam atau DI. Berlainan
dengan harapan bersama bangsa kita yang bersifat inklusif dan nondiskriminatif.
Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa yang satu bersifat eksklusif dan
diskriminatif berdasarkan kelas, sedangkan yang lain bersifat eksklusif dan
diskriminatif bersarkan agama. Yang satu kita kenal sebagai ekstrem kiri,
sedangkan yang lain kita kenal dengan nama ekstrem kanan.
Harapan-harapan tandingan yang
muncul menjelang tahun 1949 yang menciptakan kemajemukan status Pancasila
merupakan buah dari penerimaan sementara terhadap Pancasila oleh Islam Formalis
dan Komunis. Identitas-identitas yang dihargai dan dilindungi oleh Pancasila
kemudian berusaha untuk menggantikan Pancasila. Karena pertumbuhan
kelompok-kelompok yang ada kemudian menelan rasa persatuan di bawah Pancasila.
Hal ini merupakan kelemahan Pancasila yang dapat menerima semua, sebagai suatu
kompromi..
Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara sebagaimana telah diikrarkan secara bersama dalam pembukaan UUD
1945, baik oleh kelompok yang mengharapakan ideologi Marxisme maupun kelompok
yang mengharapakan ideologi Islam, tidak lagi dihargai sebagai harapan tunggal.
Dan timbullah pemberontakan untuk menggantikan Pancasila sebagi dasar negara.
Heterogenitas Pancasila
memiliki kelemahan karena adanya heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila.
Pancasila tidak menjadi harapan satu-satunya semua individu atau kelompok yang
ada di Indonesia. Kelompok yang menginginkan ideologi Islam, terus berusaha
untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam. Pancasila hanya diterima
karena ideologi Islam belum berhasil menjadi ideologi negara Indonesia, secara
khusus oleh Islam formalis yang terus berusaha untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi negara.
Demikian juga dengan Komunis.
Ideologi Komunis selalu dipegang sebagai harapan tandingan Pancasila, sehingga
senantiasa diusahakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis.
Heterogenitas Pancasila tersebut menimbulkan konflik, baik secara terbuka,
maupun tertutup. Konflik yang timbul karena perbedaan apresiasi terhadap
Pancasila tersebut seringkali menjadi ancaman bagi Pancasila sebagai harapan
bersama rakyat Indonesia (lihat bab I).
Mengenai konflik yang terjadi
karena adanya heterogenitas Pancasila ini A.M.W Pranarka menerangkan demikian :
Pada awalnya konflik
ideologi mengenai Pancasila itu tidak terjadi secara terbuka dan sistematik.
Pancasila tumbuh secara iuxta positif dengan ideologi-ideologi lain. Dalam
dasawarsa 1950-an interaksi antara berbagai ideologi itu menjadi terbuka dan
konfliktif, sebagaimana terjadi di dalam perdebatan mengenai dasar negara di
dalam sidang Konstituante. Ada dua sikap terhadap Pancasila: ada yang menolak Pancasila
(ideologi Islam, ideologi Barat modern sekuler), ada yang menerima Pancasila.
Selanjutnya terdapat pula pemikiran yang memodifikasikan Pancasila, baik dari
kalangan aliran ideologi Islam maupun aliran ideologi Barat modern sekuler.
Pergumulan ideologi itu masih berjalan terus sesudah dinyatakan Dekrit Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak saat itu tidak terjadi konflik
terbuka, akan tetapi pergumulan ideologi berjalan melalui tafsir: Pancasila
ditafsirkan dengan berbagai aliran ideologi terutama ideologi keagamaan, dan
ideologi Barat modern sekuler.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, Pancasila
terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa
Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Tahun
1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. Pengakuan Belanda akan kedaulatan
Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun,
keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta
mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua
kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai
sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya
pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain.
Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah
pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai
pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang
dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun (lihat bab I).
Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan
bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan
terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran
konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya
harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua
individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen
bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan
keragaman apresiasi terhadap pancasila.
Jika pada awalnya keragaman
apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk
pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga
perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan
pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang
menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi
nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.
Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang
mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya
tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok
yang ada di Indonesia.
Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada
serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di
Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama.
Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh
bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok
yang ada. Dan juga tidak
berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara
pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak
boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia.
b. Heterogenitas Pendapat
tentang Sumber Pancasila
Pancasila sebagaimana di
tuangkan dalam pembukaan UUD 1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang
final sebagai ideologi dan dasar negara. Namun secara de fakto masih memerlukan
penyadaran dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda
terhadap Pancasila seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila
merupakan konsensus bersama, maka semua orang Indonesia harus memiliki
pengharapan yang sama, yaitu membangun Indonesia yang merdeka dibawah
Pancasila.
Adanya apressiasi terhadap
Pancasila kemudian menimbulkan perbedaan pendapat mengenai sumber dari
Pancasila, dan menciptakan heterogenitas pendapat tentang sumber Pancasila.
Heterogenitas terhadap sumber
dari Pancasila melahirkan setidaknya 7 pendapat yang berbeda.
Heterogenitas pendapat
mengenai sumber Pancasila ini terdiri dari:
1. Sumber Pancasila adalah Pidato lahirnya
Pancasila yang diucapkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
2. Sumber Pancasila adalah rumusan Muhamad
Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.
3. Sumber Pancasila adalah kompromi antara
golongan kebangsaan dan golongan Islam mengenai dasar negara, yang hasilnya
dituangkan di dalam Piagam Jakarta.
4.
Sumber Pancasila adalah
pembukaan UUD 1945, dimana terdapat perumusan mengenai dasar negara.
5.
Sumber Pancasila adalah Tap
XX/MPRS/1966.
6.
Sumber Pancasila adalah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959
7. Sumber Pancasila adalah kepribadian
Indonesia.
Heterogenitas pemahaman mengenai sumber Pancasila tersebut di atas
menimbulkan problematik yang tidak mudah diselesaikan, apalagi sebelum
penetapan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila mengalami
perkembangan sebagaimana dijelaskan dalam sumber-sumber dari Pancasila di atas.
Heterogenitas Pendapat mengenai sumber Pancasila merupakan kelemahan
dari Pancasila, karena dalam proses Pancasila ditetapkan dalam UUD 1945 melalui
proses yang panjang, dan terjadi perdebatan antar kelompok yang berbeda.
Apalagi ternyata Pancasila yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, juga mengalami
perbedaan dengan UUD sementara, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS).
Perbedaan pandangan mengenai sumber dari Pancasila ini kemudian menimbulkan
heterogenitas tafsir terhadap Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap
Pancasila ini, tidak hanya menyangkut struktur Pancasila, tetapi juga
menyangkut isi dari sila-sila di dalam Pancasila.
Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila yang berkaitan dengan
struktur Pancasila lahir karena adanya heterogenitas sumber dari Pancasila.
Timbulnya keragaman tafsir mengenai struktur Pancasila disebabkan adanya
pemahaman bahwa didalam sila-sila dari Pancasila ada sila yang utama dan
menjadi sumber dari semua sila dalam Pancasila.
Pandangan yang menekankan bahwa sila pertama adalah sila utama dari
Pancasila dan menjadi sumber bagi sila-sila yang lain dari Pancasila didasarkan
pada pandangan agama Islam. Pandangan ini mendasarkan pandangannya bahwa
Pancasila lahir dari pemikiran M.Yamin yang beragama Islam. Sila pertama dari
Pancasila kemudian ditafsirkan berdasarkan kepercayaan agama monotheisme.
Pandangan tersebut muncul karena menurut pendapat Muhamad Yamin, agama
Indonesia pada waktu menjelang kemerdekaan adalah agama-agama yang monotheisme,
bukan agama-agama nenek moyang.
Pemahaman bahwa sila pertama dari Pancasila hanya dapat ditafsirkan
menurut pandangan agama motheisme, menjadikan sila ketuhanan yang maha esa
menjadi sila utama dari Pancasila dan menjadi titik tolak penafsiran dari
sila-sila di dalam Pancasila.
Demikian juga apabila sumber Pancasila dianggap berasal dari
pemikiran Piagam Jakarta, maka sila pertama akan ditafsirkan berdasarkan agama
Islam, akibatnya agama Islam dianggap menjadi dasar bagi penafsiran sila
pertama, dan agama-agama lain tidak mempunyai hak untuk menafsirkan sila
tersebut, karena sila pertama dari Pancasila di klaim sebagai sesuatu yang
bersumber dari agama Islam. Mengenai klaim bahwa sila pertama hanya dapat
secara tepat ditafsirkan dalam bingkai agama Islam Saefuddin mengutif Hazairin
menjelaskan seperti berikut:
Dari manakah datangnya
sebutan “Ketuhanan YME” itu? Dari pihak Nasranikah, atau pihak Hindukah, atau
dari pihat “Timur Asing” (seorang keturunan Cina)-kah, yang ikut bermusyawarah
dalam panitia yang bertugas menyusun UUD 1945 itu? Tidak mungkin! Istilah
“Ketuhanan Yang Maha Esa” itu hanya sanggup diciptakan oleh otak,
kebijaksanaan, dan Iman orang Indonesia Islam, yakni sebagai terjemahan
pengertian yang terhimpun dalam Allahu al-Wahidu al-Ahad yang disalurkan dari
QS 2:163 dan QS 112, dan dizikirkan dalam doa Kanzu’l-Arys baris 17.
Pandangan Hazairin yang dikutip oleh Saefuddin nampak terlalu cepat,
pendapat tersebut diutarakan tanpa berusaha untuk mempelajari agama-agama yang
ada. Adanya nilai yang universal dalam suatu agama, tidak berarti hanya menjadi
miliki agama tertentu. Karena
kebenaran yang universal berasal dari Tuhan, dan tidak dapat di klaim milik
agama tertentu. Kepercayaan adanya Allah yang esa, ada dalam banyak agama.
Bahkan kepercayaan animisme juga mempercayai adanya pribadi yang lebih tinggi
dari apa yang ada, dan dapat dianggap sebagai kepercayaan kepada allah yang
esa. Dari penjelasan di atas nampak bahwa Pancasila memiliki kelemahan karena
penafsiran Pancasila dapat bertentangan dengan isi Pancasila sebagai suatu
kompromi pada waktu ia ditetapkan. Terlebih lagi jika penafsiran tersebut
merupakan penetrasi nilai-nilai agama yang eksklusif.
Disamping pemikiran yang didasarkan pada
pemahaman agama, yang menciptakan sila pertama sebagai sila utama dalam
struktur Pancasila, heterogenitas tafsir
struktur Pancasila juga dipengaruhi oleh ideologi lain. Menurut
pandangan kelompok Komunis, sila
persatuan harus menjadi sila yang utama dari Pancasila. Sehingga sila-sila lain
harus ditafsirkan dengan titik tolak dari sila persatuan tersebut. Tafsiran
yang inklusif dan nondiskriminatif terhadap struktur Pancasila dikemukakan oleh Kihadjar Dewantoro, dengan
menekankan bahwa sila kemanusiaan harus menjadi yang utama dari sila-sila dari
Pancasila, dan Pancasila harus diartikan dengan titik berangkat pada sila
kemanusiaan. Dan ada juga pandangan yang
menekankan keadilan sebagai sila yang utama
Heterogenotas tafsir terhadap struktur
Pancasila ini menimbulkan perbedaan struktur hierarkis dari Pancasila. Maka
timbullah struktur hierarkis piramidal yang berbeda-beda.
Tafsir terhadap adanya struktur hierarkis
terhadap Pancasila bertentangan dengan pemikiran yang menekankan bahwa
Pancasila merupakan suatu keutuhan manunggal bulat dari sila satu dengan
lainnya. Pemahaman bahwa sila-sila dari Pancasila merupakan suatu kesatuan yang
manunggal dan utuh merupakan pemahaman yang lebih awal dari tafsir tentang
struktur Pancasila yang bersifat hierakis pyramidal.
Pemahaman bahwa sila sila dari Pancasila
merupakan satu kesatuan manunggal tersebut berangkat dari pemahaman bahwa
Pancasila bersumber dari kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila merupakan
kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia, yang disebut oleh Soekarno sebagai
“isi jiwa bangsa Indonesia”.
Heterogenitas tafsir Pancasila menimbulkan
pemahaman yang berbeda mengenai struktur Pancasila. Keberbedaan struktur
Pancasila tidak hanya terjadi dalam struktur hierarkis Pancasila itu sendiri,
tetapi juga dengan pandangan yang menganggap bahwa di dalam Pancasila tidak ada
struktur hierarkis. Sebaliknya sila-sila dari Pancasila saling kait mengkait,
dan tidak ada yang utama. Pancasila adalah satu kesatuan yang utuh manunggal.
Perbedaan tafsir mengenai struktur Pancasila ini kemudian menimbulkan perbedaan
tafsir dari sila-sila dalam Pancasila.
Heterogenitas tafsir Pancasila yang
berkaitan dengan struktur Pancasila memiliki kelemahan karena Pancasila dapat
dianggap sebagi produk kelompok agama tertentu, dan kemudian ditafsirkan secara
eksklusif. Artinya hanya agama atau kelompok tertentu yang memiliki hak tafsir
terhadap silas-sila dari Pancasila.
Disamping heterogenitas tafsir Pancasila
yang menyangkut struktur Pancasila, heterogenitas Pancasila juga terjadi dalam
penafsiran sila-sila dari Pancasila. Dalam sila pertama tercipta heterogenitas
penafsiran. Ada penafsiran yang mengatakan bahawa sila pertama merupakan
pemikiran orang Islam sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tentang struktur
Pancasila di atas.
Sila pertama yang seharusnya merupakan
pengakuan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan, yang dinyatakan
dalam pengakuan kepada “Tuhan Yang Maha Esa” suatu pengakuan
yang tidak menunjuk kepada “Allah” atau
“Tuhan” dalam agama tertentu, melainkan kepada “konsep” atau satu “prinsip”
yang umum dan abstrak. Ditafsirkan menjadi kepercayaan kepada “Allah” dalam
agama tertentu. Penafsiran sila pertama sebagai pengakuan yang lahir dari agama
Islam menimbulkan diskriminasi terhadap agama lain, secara khusus agama-agama
suku dan aliran kebatinan yang tidak dapat menyesuaikan kepercayaannya untuk
mengakui adanya Allah dalam agama Islam.
Penafsiran sila-sila dari Pancasila
sebagaimana dijelaskan di atas bertentangan dengan penafsiran Soekarno yang
berpandangan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi tri sila yaitu
sosio-nasionalisme, sosio demokrasi, dan ke Tuhanan yang maha esa. Dan
ketiganya dapat diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong.
Penafsiran Soekarno terhadap Pancasila
menjadi gotong royong dianggap menjadi ancaman bagi golongan Islam Formalis
yang selalu ingin melakukan penetrasi nilai-nilai Islam ke dalam Konstitusi.
Mengenai penolakan paham gotong royong
Soekarno sebagai penamaan dari Pancasila Saefuddin mengutip M. Roem menerangkan
demikian:
Tentu tidak ada orang yang
menolak dasar “gotong royong”. Gotong Royong adalah ciri atau sila tersendiri
yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad. Tetapi saya rasa
terlalu jauh untuk menggali lima sila itu dengan gotong royong. Terutama sila
Ketuhanan Yang Maha esa tidak dapat dihilangkan atau diselipkan dalam “gotong
royong” bagi orang-orang yang memandang agamanya dengan sungguh-sungguh.
Penafsiran Soekarno yang memeras Pancasila
menjadi gotong royong bertentangan dengan pemikiran Piagam Jakarta, yang menjadikan
sila ketuhanan yang maha esa dalam bingkai agama Islam menjadi sila utama yang
menjadi sumber bagi sila-sila yang lain. Kedua pendangan yang berbeda tersebut
juga bertentangan dengan penafsiran Pancasila yang didasarkan pandangan bahwa
Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh manunggal dan di dalam sila-sila
Pancasila tidak ada sila yang utama, sebaliknya sila-sila di dalam Pancasila di
batasi oleh sila-sila yang lainnya.
Heterogenitas tafsir Pancasila tersebut kemudian berusaha
diselesaikan oleh Soekarno melalui pidato politiknya pada tanggal 17 Agustus
1959 yang kemudian diberi nama Manifesto Politik (MANIPOL) dimana didalamnya
Soekarno mengemukakan tentang gotong royong tiga kekuatan yaitu nasionalis,
Islam dan Komunis. Soekarno menyebutnya NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis).
Jadi Nasakom merupakan sintesa dari tiga ideologi menjadi satu jiwa. Bahkan
Soekarno juga mengatakan bahwa Pancasila adalah sintesa yang lebih tinggi
antara Deklarasi Kemerdekaan Amerika serikat dan Manifesto Komunisnya Rusia.
Akibat eksperimen Soekrno ini maka Indonesia mendekati pada kehancuran ekonomi
serta tercipta konflik-konflik ideologis dan primordial.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa heterogenitas tafsir Pancasila
memiliki kelemahan, karena Pancasila dapat ditafsirkan secara eksklusif dan
diskriminatif oleh kelompok dan agama-agama tertentu. Dari sisi pemerintah,
Pancasila juga dapat ditafsirkan untuk mempertahankan kekuasaan yaitu berusaha
untuk menyenangkan sekelompok orang untuk mempertahankan kekuasaannya.
Karena itu heterogenitas tafsir terhadap Pancasila tidak boleh
disertai pemaksaan untuk menjadikan penafsirannya sebagai sesuatu yang sungguh
sesuai dengan isi Pancasila, sebelum mengalami kritik dari kelompok-kelompok
lain. Demikian juga pemerintah tidak dapat mengklaim diri sebagai pemegang
tafsir tunggal terhadap Pancasila.
Pancasila sebagai Kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia,
dimana sila-sila dari Pancasila merupakan jiwanya bangsa Indonesia dapat
dimengerti bahwa dalam sila-sila tersebut tidak ada sila yang lebih utama. Sebaliknya sila-sila dari pada Pancasila
dibatasi oleh sila-sila yang lainnya. Karena itu penafsiran Pancasila haruslah
mengkaitkan antara sila yang satu dari Pancasila dengan sila-sila lainnya.
Misalnya, sila ketuhanan yang maha esa
tidak dapat dilihat lepas dari sila persatuan Indonesia dan sila-sila lainnya
dari Pancasila. Apabila sila ke satu dari Pancasila ditafsirkan lepas dari
sila-sila lainnya, maka sila ini akan mengabaikan kelompok lain yang ada di
Indonesia. Apabila sila ketuhanan yang maha esa ditafsirkan dalam bingkai
ideologi Islam, maka sila ini dapat diartikan sebagai tauhid, kepercayaan
kepada Tuhan yang esa. Maka penafsiran tersebut akan mengabaikan agama Hindu yang memiliki banyak dewa, demikian
juga Budha yang tidak berbicara tentang
Allah, dan juga dengan agama-agama suku serta aliran kebatinan. Namun
apabila sila ini ditafsirkan dalam bingkai persatuan Indonesia. Maka sila
ketuhanan yang maha esa menaungi semua agama yang ada di Indonesia. Sehingga
pandangan Simatupang (lihat bab I) yang menjelaskan bahwa sila pertama
merupakan kepercayaan akan adanya allah (hurup kecil) berarti suatu konsep
tentang Allah yang dipercayai oleh semua orang Indonesia, maka sila ini tidak
akan membuat diskriminasi terhadap penganut agama-agama suku dan aliran
kepercayaan.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
yang merupakan penolakan terhadap rasialisme dapat diartikan bahwa adanya
persamaan derajat manusia yang harus dihormati. Sila ini jika dikaitkan dengan sila pertama akan mempunyai
gambaran yang lebih jelas. Dimana manusia yang ada dalam kesederajatan tersebut
adalah mahkluk mulia yang adalah ciptaan Tuhan. Dan seharusnya hidup dalam
persatuan (sila ke 3) dan mempunyai kaitan yang erat dengan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan dengan
sila keadilan sosial.
Sila persatuan Indonesia sebagai sila yang
ketiga dari Pancasila merupakan sesuatu yang penting. Kedaulatan negara
Indonesia dapat terwujud karena semua elemen bangsa bahu-membahu berjuang dalam
semangat persatuan untuk mengusir penjajah. Dan dalam hubungan dengan sila
pertama, sila persatuan merupakan kerja-sama antar agama yang berbeda untuk
saling memberikan tempat bagi kebebasan beragama dari agama-agama yang beragam tersebut.
Demikian juga sila ini terkait dengan sila-sila lainnya.
Sila keempat merupakan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikamt kebijaksanaan/perwakilan. Sila ini di artikan sebagai demokrasi. Memang
kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia tidak mengenal demokrasi. Namun di
desa-desa terdapat unsur-unsur demokrasi yang asli. Dengan masuknya agama
Kristen dan Islam sangat berperan dalam memperbaiki pemerintahan yang ada.
Pernyataan bahwa sila keempat dapat diartikan sebagi demokrasi dengan melihat
pasal 1 UUD 1945 dimana dijelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Dan Kedaulatan yang berada di tangan rakyat ini dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Sila ini juga mesti dikaitkan dengan sila-sila lainnya.
Jadi demokrasi sebenarnya bukan khas
Indonesia, walaupun demokrasi sebagai nilai-nilai yang universal ada dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, namun ia bukanlah sesuatu yang berasal dari
kehidupan masyarakat Indonesia, melainkan dari Barat. Namun karena nilai-nila
itu bersifat universal, maka demokrasi bukanlah milik khusus masyarkat Barat,
tetapi sesuatu yang bersifat universal.
Sedang sila kelima yang berbunyi keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga harus ditafsirkan dengan mengaitkan
dengan sila-sila lain dari Pancasila. Apabila dikaitkan dengan sila kedua maka
hal ini dapat diartikan bahwa keadilan sosial berarti memberikan kesempatan
yang sama terhadap semua orang di Indonesia, untuk mengembangkan talentanya.
Bagi pembangunan Indonesia. Jika dikaitkan dengan sila ketuhanan yang maha esa,
dapat diartikan bahwa setiap kelompok agama yang ada harus memiliki tempat yang
sama. Tidak boleh ada diskriminasi agama.
Penafsiran Pancasila sebagaimana
dijelaskan di atas juga dapat dilihat dalam batang tubuh UUD 1945 serta
penjelasannya, walaupun tetap perlu penjabaran yang lebih mendeteil. Ketuhanan
Yang maha esa ada dalam pasal 29 yang menjelaskan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. Sila kedua Kemanusiaa yang adil dan beradab dimuat dalam
pasal 27, 28, 30, 31. Pasal 27 ayt satu menjelaskan bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
Hukun dan Pemerintahan itu dengn tidak ada kecualinya. Persatuan Indonesia
termuat dalam pasal 1, 32, 35. Pasal1 menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republic, dan kedaulatan adalah ditangan rakyat,
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sila ke 4 dimuat dalam sila1, 2,3, 28, 37.
Pasal 37 menjelaskan cara mengubah UUD 1945, yaitu 2/3 jumlah anggota MPR harus
hadir. Dan sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dimuat dalam
pasal 23, 27, 28, 29, 31, 33, 34. Pasal 33 menjelaskan bahwa semua
cabang-cabang produksi harus diusahakan untuk kemakmuran bersama.
Penafsiran Pancasila di atas hanya memuat
hal-hal yang penting dalam Pancasila. Untuk dapat diamalkan Pancasila
memerlukan penjabaran yang mendeteil. Penjabaran tersebut ada dalam hukum dan
perundang-undangan. Karena itu Penafsiran Pancasila dalam perundang-undangan
yang memiliki nilai operasional harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat
diterima oleh semua.
Namun pada realitanya heterogenitas
tafsir Pancasila memilki kelemahan karena
Pancasila dapat ditafsirkan secara eksklusif dan diskriminatif. Terbukanya
peluang bagi kelompok-kelompok dan agama-agama untuk memasukan kedalam
Pancasila nilai-nilai yang bersifat eksklusif dan diskriminatif, merupakan
kelemahan dari heterogenitas Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila
memiliki kelemahan karena bukan hanya batas-batas eksternal yang dapat
diabaikan tetapi juga batas-batas internal. Semangat Pancasila yang adalah
bhinekatunggalika tidak lagi menjadi dasar bagi penafsiran terhadap Pancasila.
Kelemahan heterogenitas Pancasila terjadi
karena semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia belum kuat, sehingga
semangat bhinekatunggalika tidak mendasari usaha-usaha dalam memberikan tafsir
terhadap Pancasila. Dampak negatif dari apresiasi terhadap Pancasila ini
melahirkan heterogenitas pengakuan terhadap sumber dari Pancasila, dan
berakibat pada heterogenitas penafsiran Pancasila yang juga berisi nilai-nilai
yang bertentangan dengan hakekat Pancasila. Kelemahan ini membahayakan kelangsungan
negara Indonesia.
Heterogenitas Pancasila juga mempunyai
kerugian karena menimbulkan koflik yang sulit untuk di atasi serta
mengancam keutuhan NKRI. Untuk
menghentikan adanya heterogenitas tafsir Pancasila orde baru menyusun penafsiran
tunggal tentang Pancasila. Keputusan ini walaupun didasarkan oleh niat yang
baik, namun cara yang dilakukan merupakan upaya mengambil jalan pintas. Dalam
mengatasi konflik biasanya selalu ada usaha untuk mencari jalan pintas
penyelesaian. Pada jaman orde baru pemerintah mengambil jalan pintas dalam
mengatasi konflik dengan menjadikan dirinya sebagai agen tunggal dalam
penafsiran Pancasila. Jadilah Pancasila sebagai ideologi tertutup sebagai
pengesahan rezim yang otoriter.
Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila merupakan
suatu realita, namun tidak berarti Pancasila tidak memiliki batas-batas
sehingga dapat diisi apa saja. Tetapi tafsir terhadap Pancasila memiliki
batas-batas tertentu. Dalam sejarah pemikiran tentang Pancasila Batasan tafsir
terhadap Pancasila ini memiliki kelemahan karena tidak semua orang di Indonesia
memiliki semangat kebhinekatunggalikaan yang adalah semangat Pancasila. Tidak
adanya semangat Pancasila tersebut membuat Pancasila dapat diisi dengan hal-hal
yang bertentangan dengan Pancasila. Pancasila dapat ditafsirkan dengan tanpa
memperdulikan batasan yang ada. Akibatnya di dalam Penjabarannya dalam hukum
dan perundang-undangan Pancasila mengalami perlawanan.
Pancasila bukanlah mangkok
yang kosong meminjam istilah Vander Kroft, yang dapat diisi dengan apa saja.
Walaupun usaha untuk memasukan Pancasila dengan apa saja dapat dilakukan dengan
cara pemaksaan.
Mengenai batas-batas dalam
memberikan isi terhadap Pancasila ini, Darmaputera menjelaskan sebagai berikut:
Setiap kelompok boleh mempunyai penafsiran
sendiri-sendiri terhadap Pancasila, sampai pada batas tertentu bahkan harus,
sebab dengan begitulah orang dapat mengamalkannya. Dalam arti ini, penafsiran
tunggal tidaklah mungkin, apabila penafsiran tunggal itu akan dipaksakan juga,
maka akibatnya ialah ketegangan dan konflik, yang justru amat bertentangan
dengan maksud dan jiwa dari Pancasila itu sendiri.
Menurut Darmaputera kebebasan setiap
kelompok dalam menafsirkan Pancasila memiliki batas. Dan tidak boleh ada
penafsiran tunggal. Tafsiran sila-sila dari Pancasila dengan mengaitkan
sila-sila dari Pancasila dengan sila lainnya sebagai batasan merupakan hakekat
Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia.
Batas-batas dalam menafsirkan
Pancasila diperlukan karena pada hakekatnya Pancasila merupakan penyatuan dari
kebhinekaan masyarakat Indonesia. Jadi dalam menafsirkan Pancasila setiap orang
harus melihat hakekat keragaman dalam kesatuan, sehingga setiap keragaman yang
merupakan hakekat bangsa Indonesia mendapatkan tempat yang sama. Penafsiran
terhadap Pancasila juga harus memiliki batasan, karena Pancasila merupakan
kompromi politik (yaitu menyatunya aliran kebangsaan/ Nasionalis, ideologi
Islam, dan ideologi barat sekuler.) yang melahirkan Pancasila sebagai dasar dan
Ideologi bangsa Indonesia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan batas-batas dari Pancasila secara eksternal adalah
kesatuan dan persatuan bangsa. Artinya pada waktu individu atau kelompok yang
ada memiliki penafsiran yang berbeda, individu atau kelompok tersebut tidak
boleh memaksakan penafsirannya terhadap Pancasila. Sebaliknya harus diusahakan
sintesa-sintesa baru untuk melahirkan nilai-nilai yang merangkum semuanya dalam
hidup bersama (batas eksternal). Karena Pancasila merupakan sintesa dari keragaman
suku agama dan aliran politik yang ada pada masa menjelang kemerdekaan. Namun
yang terutama setiap kelompok yang berusaha untuk menafsirkan Pancasila harus
membatasi diri dengan semangat kesatuan dan persatuan (pembatasan internal),
inilah yang disebut dengan semangat Pancasila. Semangat yang melahirkan
sila-sila dari Pancasila.
Setiap kelompok yang telah menerima
Pancasila memiliki tempat di dalam Pancasila, dan setiap kelompok tersebut
memiliki kebebasan untuk menafsirkan Pancasila, sehingga setiap kelompok boleh
memberikan sumbangsihnya dalam memberikan penafsiran terhadap Pancasila.
Kemudian heterogenitas dalam penafsiran Pancasila ini akan menciptakan proses
dialog terhadap keberbagaian dari apa yang menjadi pemikiran dari Pancasila.
Dalam proses dialog tersebut, tafsir tentang Pancasila yang berasal dari
berbagai kelompok dan agama mengalami proses penyaringan, apakah pemikiran
Pancasila yang disumbangkan oleh setiap kelompok memberi tempat kepada
keberagaman Indonesia. Dengan kata lain semangat Pancasila yang didasarkan pada
Bhineka Tunggal Ika harus menjadi filter terhadap setiap pemikiran Pancasila.
Inilah yang menjadi batasan dari penafsiran terhadap Pancasila.
Cara menafsirkan Pancasila sebagaimana dijelaskan
di atas akan membuat setiap kelompok yang ada di Indonesia tetap memiliki
kebebasan dalam Pancasila dengan tidak mengorbankan identitas dari setiap
kelompok yang ada. Sebaliknya kelompok-kelompok yang ada akan bertumbuh
bersama-sama dan saling diperkaya oleh keberagaman yang ada, tanpa menghancurkan
persatuan yang telah diikrarkan.
Dalam sejarah pemikiran Pancasila, tafsir tentang
Pancasila ada kalanya tidak memperdulikan batasan -batasan tersebut. Lahirnya
Undang-undang Pendidikan Nasional (UUPN) yang mendapat penolakan dari umat
Kristen merupakan contoh pelanggaran batas tersebut. Demikian juga UU
perkawinan yang sarat dengan muatan agama, merupakan bukti bagaimana Pancasila
dapat ditafsirkan secara eksklusif dan diskrikimnatif.
Penafsiran Pancasila yang benar sangat berpengaruh
dalam transformasi Pancasila di dalam hukum dan perundang-undangan yang
mempunyai nilai operasional. Kegagalan untuk mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan masyarakat Indonesia sangat terkait dengan transformasi Pancasila.
Apabila Pancasila ingin ditafsirkan secara benar,
sesuai dengan keberadaan Pancasila yang adalah kristalisasi masyarakat
Indonesia. Penafsiran sila-sila dari Pancasila haruslah saling kait mengkait.
Tidak boleh ada salah satu sila yang menjadi utama dan menjiwai semua sila-sila
dari Pancasila. Apalagi dengan menetapkan adanya sila utama dari Pancasila
berdasarkan pandangan kelompok atau agama tertentu. Lebih berbahaya lagi
jika kemudian sila utama tersebut di
klaim sebagai milik kelompok atau agama tertentu, serta menjadikan pemahaman
kelompok atau agama tertentu sebagai
agen tunggal pemilik penafsiran terhadap sila-sila dari Pancasila.
Batasan sila-sila di dalam Pancasila dalam
penafsiran sebagaimana dijelaskan di atas sangat penting untuk menghindari
timbulnya faktor-faktor negatif dari heterogenitas Pancasila yang mempengaruhi
transformasi Pancasila dalam undang-undang yang memiliki nilai operasional.
Batasan tersebut diperlukan untuk membedakan mana yang bersifat Pancasilais dan
mana yang tidak.
Pancasila merupakan kristalisasi
kehidupan masyarakat Indonesia, namun tidak berarti bahwa Pancasila tersebut
telah ada dalam bentuk yang sempurna. Sebaliknya Pancasila yang berisi sila-sila yang begitu
umum dan luas, memerlukan penjabaran yang lebih jelas untuk dapat diamalkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, penjabaran tersebut memerlukan
partisipasi semua elemen bangsa yang beragam. Pancasila yang memiliki
penjabaran lebih detail dalam hukum dan perundang-undangan, atau biasa disebut
sebagi proses transformasi Pancasila ini memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut
terjadi karena adanya perkembangan pemikiran Pancasila.
Pancasila bukan saja mengalami
kemajemukan status, yang kemudian menimbulkan perdebatan mengenai sumber
Pancasila, tetapi juga mengalami heterogenitas tafsir terhadap Pancasila yang
menyangkut struktur dan sila-sila dari Pancasila. Heterogenitas tafsir terhadap
Pancasila ini memiliki kelemahan karena kelompok dan agama yang ada tidak hidup
dalam semangat Pancasila, sebaliknya mengadakan usaha-usaha untuk melakukan
penetrasi nilai-nilai agama dan budayanya. Akibatnya terjadi dominasi dan
hegemoni budaya dan agama dalam proses transformasi Pancasila. Tidaklah
mengherankan jika hukum dan perundang-undangan yang lahir di Indonesia kemudian
bertentangan dengan isi dan jiwa dari Pancasila. Dominasi dan hegemoni budaya
ini membuat transformasi Pancasila tidak berjalan dengan mulus.
2. Pancasila Sebagai Asas Tunggal
Bentuk kelemahan Pancasila nyata
dengan dijadikannya Pancasila sebagai asas tunggal. Heterogenitas Pancasila di
satu sisi menimbulkan ketakutan bagi pemerintah yang berkuasa. Heterogenitas Pancasila melahirkan konflik
yang tidak mudah dan berkepanjangan. Seperti yang dilakukan DI dan Komunis.
Dalam usaha untuk
melanggengkan kekuasaan, pemerintah menciptakan tafsir tunggal terhadap
Pancasila. Tafsir tunggal terhadap Pancasila ini kemudian melahirkan Pancasila
sebagai asas tunggal. Pancasila menjadi ideologi tertutup dan tidak dapat lagi
menerima nilai-nilai di luar pemilik tafsir Pancasila. Pancasila menajdi
ideologi tertutup karena adanya dominasi dan hegemoni kelompok dan budaya
tertentu, dan kemudian menyatu dengan pemerintah.
Mengenai penyimpangan yang
terjadi dalam usaha menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal Darmaputera
melihat hal tersebut sebagai adanya dominasi dan hegemoni agama. Secara khusus
yang dilakukan oleh Islam Formalis yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar
negara. Asas tunggal merupakan proses pengislaman semua segi kehidupan di
Indonesia (lihat bab I).
Pancasila menjadi idelogi
tertutup, karena hanya pemerintah yang memiliki hak untuk menafsirkan
Pancasila. Tafsir lain di luar apa yang dikatakan pemerintah dianggap sebagai
perlawanan kepada Pancasila. Pancasila di sakralkan. Pancasila dijadikan
ideologi tertutup karena Pancasila
menolak baik ideologi tertutup maupun terbuka. Beralihnya Pancasila dari
ideologi terbuka menjadi ideologi tertutup karena Pancasila ditafsirkan secara
eksklusif dan diskriminatif. Akibatnya timbullah konflik, karena Pancasila tidak dapat menerima
pandangan kelompok manapun, kecuali apa yang dikatakan pemerintah, sebagai agen
tunggal tafsir terhadap Pancasila.
Pengesahan dari Pancasila
sebagai asas tunggal yang Darmaputera sebut pengislaman semua segi kehidupan di
Indonesia menunjukan bahwa usaha menjadikan Pancasila terjadi karena adanya
kerja sama antara negara dan agama. Entah siapa yang mencari keuntungan dalam
hubungan tersebut, namun akibatnya diskriminasi agama menjadi ancaman serius.
Dari sisi pemerintah politik akomodasi merupakan gambaran kekuasaan menjadi
sesuatu yang utama dibandingkan penghargaan terhadap sesama. Politik akomodasi
yang sangat diskriminatif dari pemerintah menjadikan agama-agama berada dalam
pemasungan (lihat bab I). Pancasila sebagai azas tunggal merupakan wujud dari
jalan pintas penyelesaian konflik.
Pada mulanya konflik yang terjadi karena
pemaksaan Pancasila sebagai azas tunggal tidak terjadi secara terbuka. Hal ini
terjadi karena pemerintah pada masa orde baru terlalu kuat, dan sangat
otoriter. Karena negara terlalu kuat maka konflik tersebut dapat di atasi
dengan kekuatan senjata, namun tidak berarti pandangan yang berbeda tersebut
terkubur dan mati. Tetapi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai musuh
Pancasila terus ada dan bertumbuh. Setiap saat menjadi ancaman bagi pemerintah
ororiter. Fakta tersebut nyata setelah tumbangnya Soeharto.
Usaha mengubah Pancasila dari ideologi
terbuka menjadi ideolog tertutup bukan hanya dilakukan kelompok kelompok budaya
dan agama yang berbeda, namun juga oleh pemerintah. Penetapan Pancasila sebagi
azas tunggal dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan Pancasila memiliki
nilai operasional. Tidaklah mengherankan jika pada periode tersebut orang
sangat takut jika dianggap tingkah lakunya tidak sesuai dengan Pancasila.
Ketakutan itu terjadi karena setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan tafsir pemerintah tentang Pancasila,
dianggap melawan pemerintah, dan secara bersamaan berarti melawan negara. Jadi
Pancasila telah dijadikan instrumen oleh pemerintahan orde baru untuk
melanggengkan kekuasaan. Karena itu yang muncul bukanlah nilai-nilai Pancasila
yang menghargai kebebasan beragama sebaliknya, nilai-nilai yang bertentangan
dengan semangat Pancasila. Transformasi Pancasila ke dalam undang-undang di
negeri menjadi persoalan yang tidak mudah, apalagi ketika Pancasila hanya
dijadikan instrumen kpenetingan politik semata.
- Kebebasan Beragama dalam Perundang-undangan di
Indonesia
Kebebasan beragama di negeri ini dijamin
oleh konstitusi. Udang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 45 hasil amandemen menegaskan :
1) “Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.”.
Pengakuan hak kebebasan beragama dalam konstitusi negeri ini semakin dikokohkan
dalam pasal 29 UUD 45 yang menyatakan:
(1) Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing- masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu.
Selanjutnya dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, kebebasan beragama sebagai hak dasar yang pemenuhannya tidak
bisa ditunda ditegaskan dalam pasal 22
demikian:
(1)Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pengakuan kebebasan beragama sebagai
hak-hak asasi yang bersifat universal secara tegas juga dinyatakan pada
ratifikasi kovenan hak-hak sipil dan politik, International
Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR),
yang menjadi tuntutan internasional. Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR
melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik).
Jaminan kebebasan beragama di Indonesia jelas
cukup kuat, namun tingginya kekerasan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa
implementasi dari undang-undang tersebut amat lemah. Hal lain yang tidak kalah
pentingnya dalam memberikan andil bagi tingginya kekerasan agama di Indonesia
juga berkait dengan ketidakkonsistenan pemerintah dalam berpegang pada
konstitusi. Lahirnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor: 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan
dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, merupakan contoh ketidak konsisitenan
pemerintah yang menghadirkan aturan yang dikriminatif dan bertentangan dengan
konstitusi. Menariknya lagi, SK-SK
bersama mengenai peraturan untuk mendirikan rumah ibadah hanya mengatur
pendirian rumah ibadah untuk orang Kristen (lihat Bab I). Hal itu semakin jelas
ketika melihat latar belakang dikeluarkannya SK tersebut, yakni karena ada
gejala- gejala bahwa dalam beberapa daerah umat Kristen bertambah dengan pesat,
dan dibeberapa tempat terdapat pengrusakan terhadap gedung gereja.
Lahirnya undang-undang No. 1/1974 dimana Konghucu
tidak tercantum sebagai agama resmi, jelas bertentangan dengan konstitusi
Indonesia yang mengakui kebebasan beragama. Apalagi undang-undang perkawinan
tersebut juga terbukti telah mengekang kebebasan beragama yakni adanya larangan
menikah beda agama.
Selanjutnya, dalam Instruksi Menteri Agama No.
4/1978 dimana departemen agama tidak mengakui aliran kepercaayaan, jelas
membuktikan bahwa transformasi Pancasila kedalam aturan-aturan dibawahnya tidak
berjalam dengan mulus, banyak aturan-aturan di negeri ini yang sesungguhnya
bertentangan dengan Pancasila dan UUD.
Tidak konsistennya pemerintah dalm berpegang pada
konstitusi khususnya terhadap hak kebebasan beragama semakin terlihat jelas
dengan kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai daerah di Indonesia,
khususnya pada daerah-daerah dimana
agama-agama tertentu menjadi mayoritas. Kehadiran perda-perda diskriminatif
tersebut kemudian membua interdepedensi antar agama makin tergerus, dan
intoleransi agama makin menguat di negeri yang terkenal dengan kerukunannya.